Air 30
Karena hujan, manusia menciptakan payung, mantel, dan jas hujan.
Karena banjir, manusia meninggikan rumah. Karena keruh, manusia merekayasa
teknologi penyaringan dan penyulingan air. Karena kemarau, manusia
berduyun-duyun salat minta hujan dan membuat hujan buatan. Karena menerima,
terjadi kerjasama yang indah dan terbangunlah hubungan kasih-sayang yang saling
memberi. Hujan memang adalah isyarat, atawa jejak. Karena bencana, kita bisa
menjadi survivor. Karena dijajah, Indonesia tahu apa itu kemerdekaan dan dia
akhirnya bisa merdeka.
Jogja, 28
november 2011
Air 32
Hiduplah seekor guru dengan bakat sok tahu menyundul langit.
Barangkali bakat sok tahu itu dia peroleh setelah membaca buku putih yang
ditulis oleh profesor dari zaman yang sudah usang. Kepada sungai, dia
mengajarkan air, cair, mengalir, juga gemercik, kecipak, dan riak. Suatu hari,
si sungai bertanya kepada sang guru: waktu kemarau, boleh saya mengering?
Tidak. Haram bagimu mengering. Kalau membanjir? Jangan. Nanti kamu dipanggang
di neraka. Neraka itu api. Api itu panas. Kulitmu akan terbakar. Tulangmu akan
meleleh. “Sebagai sungai,” sang guru melanjutkan kuliahnya “kamu harus menolong
manusia untuk bertahan hidup”.
Beberapa tahun kemudian, sungai lulus sekolah. Sang guru memberi
ijazah cum laude kepadanya. Sungai pun pulang kampung untuk mengamalkan
ilmunya. Baru sehari di kampung, Pak Kades datang menemui sungai. “Kami petani
padi,” terang Pak Kades, “Sawah kami sekarang kering. Kami mohon, Anda sudi mengalirkan
diri ke beberapa petak sawah kami. Kami sedang sangat butuh air irigasi.”
Sungai berpikir sejenak. Dia membatin: “Guru menasihati saya
untuk menolong manusia bertahan hidup, bukan untuk mengairi sawah. Saya tidak
boleh mengalirkan diri ke sawah mereka. Haram. Nanti saya diceburkan ke dalam neraka.
Padahal saya kepingin sekali masuk surga, berendam dalam sungai yang mengalir
di bawahnya.” Maka dengan tegas dan pasti, sungai menolak permintaan Pak Kades.
Sawah semakin mengering. Para petani gagal panen. Mereka
kelaparan, jatuh sakit, sebagian meninggal, yang lain jadi makin miskin.
Seorang musafir yang kebetulan melewati kampung itu merasa
prihatin dengan kondisi penduduknya. Dalam hati dia bertanya-tanya: apa di
kampung ini tidak ada sungai?
Jogja, 30
november 2011
Air 33
kau air, bakar aku!
Jogja, 30
november 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam