Tidak bisa dimungkiri, sekolah, dengan sistemnya yang
impersonal, kuantitatif, dan kognitivis, memengaruhi perilaku harian para
siswa. Guru memang tidak mengajarkan cara berpikir kuantitatif kepada para
siswa. Guru tidak menganjurkan kepada para siswa untuk mendefinisikan belajar
sebagai menghapal dalam rangka ujian tertulis. Guru tidak secara langsung
menjelaskan bahwa Ahmad adalah nabi dan bukan manusia; bahwa Santi adalah
pelacur, bukan manusia; bahwa Suratman adalah polisi, bukan manusia; bahwa Rini
adalah guru, bukan manusia; bahwa Paino adalah siswa, bukan manusia; bahwa
Sakti adalah algojo, bukan manusia; bahwa Soekarno adalah pahlawan nasional,
bukan manusia; bahwa Soeharto adalah penyamun nasional, bukan manusia.
Guru tidak pernah mengajarkan semua itu. Namun sistem sekolah,
dari prinsip manajemen, regulasi, kurikulum, hingga mekanisme evaluasinya,
mengondisikan siswa untuk tidak bisa menjadi manusia yang mengalami orang lain
sebagai manusia. Sekolah membuat para siswa kurang mampu mengelola prasangka.
Dengan landasan berpikir seperti ini, absah-absah saja menunjuk sekolah sebagai
ujung pangkal dari meruyaknya tawuran antarpelajar-antarmahasiswa, pragmatisme
politisi, kebangkrutan negara, luluh-lantaknya masyarakat, dan menipisnya
peluang perdamaian antarbangsa.
Namun sekolah, sebuah lembaga pencerahan yang sejatinya luhur,
tidak bisa semena-mena disalahkan. Pada mulanya sekolah mengacu pada tujuan
profetis. Dia berjalan pada koridor yang sahih. Sudah kodrat alam, pencerahan
yang dilembagakan akan mengalami reduksi sedemikian rupa sehingga terjadi
diferensiasi yang jelas antara pencerahan di satu pihak dan lembaga di pihak
lain. Tadinya, pencerahan dan sekolah adalah kesatuan utuh; sekolah adalah
raga, pencerahan adalah jiwa. Waktu membelahnya ke dalam dua bagian yang sama
sekali terpisah, bahkan terkadang kontradiktif. Sekolah adalah tempat untuk
menghapal, mengejar nilai terbaik, bersaing secara curang, menyikutsepak kawan
sebangku, menjilat kepada guru, membunuh rasa merdeka dan aktivisme, mengader
para tukang yang loyalitas dan patriotismenya tak rasional.
Sementara pencerahan membimbing murid (salik) untuk mencapai
ufuk sebaliknya. Murid adalah manusia yang mengalami, bukan menghapal. Dia tak mengejar nilai dalam bentuk angka
yang dengan mudah dapat dikuantifisir dan dimanipulisir. Dia mencari kepuasan,
kedamaian, dan kecukupan batin yang tak mungkin diukur menggunakan komputer
secanggih apa pun. Apa yang sungguh-sungguh dia cari adalah makna. Dia tak
terburu-buru menyiksa diri untuk meraih nilai terbaik di mata manusia. Dia
secara perlahan-lahan bereksperimentasi mencapai nilai terbaik di mata tuhan,
dan terutama, di mata dirinya sendiri. Murid bukan tak kenal persaingan. Dia
butuh persaingan dan pertarungan. Hanya dengan menghadapi pertarungan dia bisa
mengevaluasi sampai di mana, dari mana, dan akan ke mana dia berjalan. Tetapi
murid juga mengenal kerjasama yang dibangun atas dasar kesadaran. Di negara
kita, kesadaran ini tercantum pada lima butir sila pancasila dan dijabarkan
dalam konstitusi. Murid memang bersaing dengan kawan sebangku, tapi dia tidak
memandangnya sebagai musuh. Dia memosisikannya kadang-kadang sebagai kawan
bergelut dan kadang-kadang sebagai lawan senasib-sepenanggungan. Hubungan
antarmanusia tidak pernah, dan tidak mungkin, kaku, monoton, tanpa dinamika.
Kita butuh sengketa sebagaimana kita butuh musyawarah. Murid tidak menjilat dan
meminta-minta kepada guru. Guru juga tidak meminta uang dan penghargaan kepada
murid. Murid dan guru saling memberi. Tidak ada kata meminta dalam ruang kelas.
Tidak pula di luar ruang kelas. Meminta hanya akan mengurangi. Memberi akan
menambah. Murid mempertahankan, merawat, menumbuhkembangkan, serta menggunakan
rasa merdeka dan aktivismenya. Pasivitas bukan ciri seorang murid. Murid taat
dan takwa, tapi tidak pasif dan tidak terbelenggu oleh komando dan aturan. Dia
akan berani menilai mana perintah yang wajib, sunah, makruh, atau haram untuk
ditaati. Perintah dari guru yang kualitas moralnya ambruk haram ditaati. Hanya
keledai yang mau diperintah oleh seorang koruptor. Murid selalu belajar menjadi
pemimpin, karena manusia pada hakikatnya adalah leader. Menjadi tukang sama
halnya dengan memesinkan diri. Kita pernah menonton terminator atau film
sejenis, memang. Tetapi kenyataan menyebutkan, robot yang marah, menyesal,
menangis, jatuh cinta, dan berniat membalas dendam belum pernah ditemukan.
Fantasi tidak sama dengan fakta.
Sekarang kita menyaksikan, sekolah tidak lagi berfungsi sebagai
lembaga pencerahan. Dengan metode menghapalnya, sekolah, sadar atau tidak,
berusaha mengekalkan dan mempertebal prasangka. Selain itu, mengurangkreatifkan
siswa. Cara belajar siswa pun menjadi seragam. Seolah-olah, satu-satunya gaya
belajar yang tersedia hanya menghapal.
Pare membuka mata saya. Di Kampung Inggris, selain berharap
sesegera mungkin dapat berbicara dengan lancar dalam bahasa inggris, kerja para
pelajar tampaknya hanya masuk ke ruang kelas, menerima rumus dan vocabulary.
Sampai di asrama atau kos-kosan, mereka akan sibuk menghapal, apalagi bila
menjelang ujian. Saya pikir pare didesain sebagai alternatif dari sistem
sekolah. Namun karena mayoritas pelajar pare adalah mereka yang pernah belajar
di sekolah, maka mereka membawa “cara belajar standar” yang konvensional ke
pare. Saya tidak mempermasalahkan apakah dalam jangka dekat atau lama mereka
akan berhasil mengusai bahasa inggris atau tidak. Saya hanya sedih, jika mereka
berhasil mengusai bahasa inggris, misalnya setelah belajar selama sebulan-dua
di pare, jiwa mereka masih akan hampa dan hambar. Cahaya ilmu tidak mengisi
batin mereka. Setimbun rumus dan sekarung vocabulary hanya mengendap di dalam
kepala. Kita sudah belajar banyak dari peradaban barat. Saintisme Eropa dan
Amerika gagal membangun humanisme global.
Saya bukan Illich. Saya tidak membenci sekolah dan
mempropagandakan keharaman sekolah. Sekali lagi, sekolah tidak harus
disalahkan. Saya juga lulusan sekolah. Saya masih menempuh studi di sebuah
universitas negeri. Untuk menjawab persoalan yang ada, dan memperbaiki keadaan,
harus terdapat keseimbangan antara kata “tidak” (nafi) dan kata “ya” (itsbat).
Saya sekadar menyelediki seseksama mungkin. Tanpa sekolah, sulit membayangkan
Indonesia bakal berumur panjang.
Kediri, 24 november 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam