Dulu saya seorang pembela kesadaran yang gigih. Segala keputusan
harus diambil secara sadar. Setiap perbuatan mesti dilakukan dengan kesadaran
yang matang. Kalau mau maju, harus berpikir untuk sadar diri. Yang tak sadar,
lebih baik menyingkir. Di situ ada alur yang jelas dan lurus: berpikir à sadar diri à merdeka à progresivitas.
Tetapi kemudian saya mulai mengenal apa yang disebut sebagai
desire dan passion. Psikologi Freudian menyebutnya sebagai dorongan tak sadar.
Dia tersimpan di dalam alam bawah sadar. Dalam percakapan sehari-hari, kita
menyebutnya sebagai naluri (instinct). Ini seperti apa yang dinamakan Nietzsche
sebagai spirit dionysian.
Supaya lebih jelas, saya ambil satu contoh. Ada jejaka yang
jatuh cinta pada seorang gadis. Siang malam wajah gadis ini memenuhi
ingatannya. Di dalam hatinya hanya ada satu nama, nama si gadis. Lain tidak. Dia
“ingin” memiliki gadis itu. Dia menyusun beragam program untuk memetik hati si
gadis. Dia menjalankan program itu dengan semangat yang meledak-ledak. Si gadis
sebenarnya juga jatuh hati kepadanya. Tetapi karena satu dan lain hal, si gadis
terpaksa menolak cinta si jejaka. Hati jejaka kontan hancur berkeping-keping.
Dia “ingin” pergi ke dukun untuk memelet si gadis atau untuk balas dendam. Dia
“ingin” gantung diri. Dia “ingin” melarikan diri, mencari kesibukan lain. Dia
“ingin” menjadi orang yang sukses sesukses-suksesnya. Dia “ingin” membuat si
gadis menyesal karena telah menolaknya. Dia “ingin” melampiaskan kegagalannya
dengan bermain cinta bersama sebanyak mungkin wanita.
Apa semua tindakan si jejaka masuk akal? Tentu tidak. Apa si
jejaka berbuat begitu karena tidak punya akal? Tentu juga tidak. Dalam kasus
ini, akal si jejaka memainkan fungsi sekunder dan pelengkap. Inilah, saya kira,
yang disebut oleh Habermas sebagai nalar instrumental. Determinan dari
tindakan-tindakan si jejaka adalah desire. Cinta seperti bedil. Bila dipegang
oleh orang yang salah dia akan menjadi senjata pembunuh. Bila dipegang oleh
orang yang tepat dia akan menumbuhkan napas kehidupan.
Celakanya (atau untungnya?), bila dicermati betul-betul, tiap
tindakan kita, entah sedang jatuh cinta atau tidak, berasal dari dorongan alam
bawah sadar. Jika ada anjing menggonggong dan bersiap mengejar kita, kita akan
lari terbirit-birit. Tanpa berpikir dahulu, kita langsung saja lari.
Prasangka yang lama mengendap dan terpendam di alam bawah sadar
menuntun kita untuk melakukan aksi A atau aksi B. Berpikir dapat mengubah
susunan kimiawi prasangka ini atau mendekonstruksinya. Jika ada anjing
menggonggong dan bersiap mengejar, seketika muncul prasangka lama di benak
kita. Anjing itu akan mengejar saya. Dia akan menggigit saya dengan taringnya
yang tajam. Saya akan terluka. Saya akan kena rabies. Agar tak digigit, saya
harus lari sekencang-kencangnya. Dengan berpikir, kita meragukan prasangka lama
ini. Apa benar anjing itu akan mengejar saya, menggigit saya, lalu saya
terserang rabies, dan mati? Rupanya, anjing itu tak bisa mengejar saya. Dia
dirantai. Rantainya pendek. Mengapa takut? Mengapa lari? Sayang, ketika ada
anjing menggonggong dan bersiap mengejar, kita tak bakal sempat berpikir. Kita
akan bertindak secara reflektif dan instingtual.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita menemukan banyak kejutan.
Peristiwa-peristiwa baru yang tak terprediksi datang menyerbu. Adalah insting
kita, dan bukan nalar kita, yang pertama-tama merespon peristiwa-peristiwa itu.
Selang sehari atau seminggu setelah peristiwa itu berlangsung, baru kita
mencoba berkontemplasi, merenungi kadar kesalahan dan kebenaran tindakan kita.
Dan bila kita tak melatih dan mengelola desire, apa yang akan
terjadi kepada kita? Islam menganjurkan kita untuk bermuhasabah.
kediri, 25 november 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam