Jarak memang memisahkan. Keterpisahan
dianggap sebagai balak yang menyakitkan. Tetapi sejatinya keterpisahan adalah kerugian
yang menguntungkan. Penilaian secara adil dan objektif hanya mungkin jika
terbentang jarak yang memadai antara si penilai dengan si dinilai. Jarak melahirkan
kritisisme dan dekonstruksi-untuk-rekonstruksi. Dalam menilai, bukan dalam
melakukan observasi lapangan, llmuwan tidak boleh subjektif, membawa-bawa,
apalagi terombang-ambing, oleh perasaan. Dia adalah arjuna yang mau tak mau berperang
melawan diri sendiri sebelum berperang melawan orang lain.
Keterpisahan—dalam filsafat manusia disebut
sebagai alienasi—adalah syarat bagi berfungsinya nalar secara benar dan tepat.
Ketidakbenaran dan ketidaktepatan fungsi nalar mengakibatkan proses kehidupan
diatur samasekali tanpa hukum yang mengikat dan legitimatif, dengan kata lain,
proses kehidupan itu tak-teratur karena tak “secara sadar” mengatur-diri.
Seperti apa yang terjadi di Indonesia: kanon-hukum yang rasional sebenarnya
telah disusun, tidak hanya dengan keringat, tetapi juga dengan timbunan airmata
dan darah, tetapi karena nalar tampaknya
tidak pernah diberi ruang dan daya hidup yang cukup, maka kanon-hukum itu,
beserta segenap institusi penopangnya, segera mati-fungsi, seolah tak ada,
bahkan malfungsi.
Untuk menghakimi, maksudnya melakukan
evaluasi ilmiah, ilmuwan harus menjaga jarak, berpisah dari himpunan, kelompok,
gerombolan, kerumunan. Dia harus masuk ke dalam jagad kesunyian. Ongkos
menjaga-jarak tidak murah, tetapi produk yang dihasilkan tidak murahan. Derajat
keabsahan penilaian diukur dari konsistensi ilmuwan dalam menaati prinsip-etik
dan prosedur ilmiah yang muktabar. Karena menilai suatu objek merupakan
kegiatan sehari-hari, maka siapa saja akan tidak mengalami kesukaran berarti
ketika melakukannya asal dia berani, pada titimangsanya, melepashempaskan
prasangka kuno yang dia anut selama ini. Semua manusia, secara kodrati, adalah
ilmuwan (pelajar).
Kesukaran akan muncul saat dia dituntut
untuk menilai dirinya sendiri. Dalam rangka menilai diri (muhasabah), manusia
mesti membelah dirinya bahkan sekurang-kurangnya menjadi tiga bagian: aktor
protagonis, aktor antagonis, dan penonton. Jika menolak mengakui dan tidak menerima
fakta kemunafikan diri, dia akan mengeluh bahwa laku tapa brata ini adalah
tirakat yang berat dan mustahil.
Sebaliknya, kebersamaan tidak selamanya positif
dan menguntungkan. Kebersamaan, dalam setiap situasi terancam yang mencekam, malah
akan berperan sebagai habitat tempat meledaknya kekerasan-kolektif yang bersumber
dari solidaritas-rimbawi. Kebersamaan yang selama ini dikira oleh kelompok tertentu sebagai tolok ukur masyarakat ideal,
ternyata juga dapat menyihir manusia menjadi binatang patuh, yang ironisnya,
sekaligus buas.
Saya pikir karena alasan ini baik Moh.
Hatta maupun Sutan Takdir Alisjahbana mendukung dan merekomendasikan suatu
individualisme-bersyarat untuk dipancangkan sebagai dasar falsafah nasional.
Hatta, Takdir, dan Tan Malaka paham betul watak-beringas masyarakat Indonesia.
Dengan mengajukan individualisme-bersyarat (scientitude) sebagai “salah-satu”
sokoguru kebudayaan bangsa, mereka mencoba mengarahkan perjalanan Indonesia
agar tidak mundur ke belakang kembali ke zaman pra-kolonial atau pra-sejarah.
Mereka mencita-citakan berlangsung-terusnya progresivitas sejarah. Mereka
membimbing rakyat (presiden, anggota DPR, dan hakim agung pun termasuk rakyat)
melangkah ke ambang peradaban. Saya ingat kata-kata Pramoedya sewaktu dia
menerangkan apa yang dinamakannya sebagai individuitas: manusia lahir
sendiri-sendiri dan mati sendiri-sendiri.
Yogyakarta, 15 november 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam