Sastra, tidak seperti matematika, tidak
menawarkan kepastian. Dalam matematika, dua ditambah dua pasti sama dengan
empat. Tidak bisa lain. Dalam sastra, jawaban dari dua ditambah dua adalah
keserbamungkinan, bisa empat, bisa nol, bahkan bisa tidak terjawab, atau hanya
dijawab dengan: “saya tidak tahu”.
Mengapa sastra bersifat tak eksak? Sastra
membicarakan kehidupan. Kehidupan tidak bakal dapat dipastikan. Dan dalam
kehidupan, pilihan yang tersedia tidak hanya dua macam saja: atau hitam atau
putih. Kadang-kadang hitam secara aneh, menakjubkan, dan selaras bersenyawa
dengan putih, tanpa harus menjadi abu-abu. Kadang-kadang apa yang disangka
hitam ternyata sejatinya putih, atau sebaliknya. Dan kadang-kadang lagi, ada
sosok yang tidak dapat dikategorikan masuk ke dalam golongan hitam maupun golongan
putih, jadi dia bukan hitam sekaligus bukan putih, dan dia mengatasi batas yang
memisahkan dan membedakan hitam dan putih. Dia adalah sosok yang lain yang baru,
seorang moderator yang bergerak (nomad, musafir, gelandangan, orang usiran,
petualang, pengelana, pengembara, eksil, dan lain sebagainya, dan seterusnya).
Teori yang dilahirkan dan disimpulkan
secara matematis akan menghadapi kebuntuan dan mengalami kebingungan dalam memahami
sosok seperti dia. Solusinya, kita mau tidak mau dituntut untuk membatalkan
teori tersebut. Kekeraskepalaan kita untuk bersikukuh memegang dan mendukung
mati-matian teori itu, selain menunjukkan ketertutupan dan ketakutan kita, juga
merupakan sikap yang tidak sejalan dengan kehendak kehidupan, dengan kata lain,
kita menjerumuskan diri ke lembah kematian.
Membicarakan kehidupan adalah membicarakan
manusia yang ingin mengetahui dengan pasti, dan memastikan, kejadian, tetapi
karena kelemahan epistemiknya manusia mesti mengakui bahwa dia tidak mungkin
mampu mengetahui, dan menjelaskan, misteri kejadian. Sebab itu, tidak sedikit
sastrawan yang tak sengaja menjumpai tuhan dalam perjalanan hidup dan proses
kreatifnya, meskipun dia sesungguhnya tidak berniat mencari tuhan.
Tuhan di sini adalah tuhan yang tak
terbahasakan. Tidak ada nama yang dapat digunakan untuk menerangkan hakikat-Nya.
Penamaan tuhan justru akan mempermiskin dan mempersempit hakikat-Nya. Tuhan
tidak lagi memiliki, namun dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang. Posisi
sudah dibalik. Tuhan yang seharusnya Maha Tinggi ditempatkan di bawah (kuasa)
manusia yang diciptakan dari tanah yang busuk dan air yang menjijikkan, makhluk
yang sangat dan paling rendah asal-muasalnya.
Selain itu, penamaan tuhan merupakan
pernyataan terbuka bahwa Dia telah ditemukan. Tidak ada lagi misteri dan
pencarian. Manusia yang hidup diberi “insting mencari”. Lalu, apa jadinya jika misteri tertinggi dan
pencarian termustahil sudah tidak ada lagi? Bisa jadi lantaran hal ini, dalam
teologi Islam, tuhan dipercayai mempunyai 99 nama yang indah. Angka 99 adalah
isyarat ketakterhinggaan, kelaksaan. Maksudnya, tuhan sebetulnya tidak
terdefenisikan dan tidak terangkakan. Dia adalah misteri, al-ghaib, dan
keluasan, al-wasi’. Karena kemisterian tuhan memungkinkan manusia untuk
mengadakan pencarian sehabis-habisnya, manusia pun hidup dengan progresi yang
luar biasa. Kita memahami “progresi yang luar biasa” ini sebagai keajaiban.
Dengan keajaiban itu, kita merasakan keberadaan tuhan melalui perbuatan manusia
yang masuk akal maupun yang tak masuk akal.
Hubungan antara kehidupan dan tuhan ini,
menurut pandangan lama yang mempertentangkan antara matematika dengan sastra,
tidak terjangkau oleh kaedah-kaedah eksakta. Bagi matematikus, tuhan adalah
tuhan yang konseptual dan teoritis. Tuhan tidak dapat tidak bernama. Untuk
membicarakan tuhan, kita harus terlebih dahulu memberi-Nya nama, dan merumuskan
defenisi-Nya, meringkus dan meringkas-Nya ke dalam bahasa verbal manusia.
Akan tetapi, zaman ketika sastra dan
matematika diasumsikan saling berseberangan dan mengambil jalan dan alamatnya
masing-masing tampaknya sudah lewat. Kini, entah bagaimana juntrungannya,
semakin banyak matematikus yang tak sengaja menyaksikan kehadiran tuhan dengan
sarana angka-angka. Demikian pula sebaliknya, telah lahir generasi sastrawan
yang menyangsikan kehadiran tuhan, dan mereka terang-terangan mempromosikan
diri sebagai ateis. Matematika pun menjadi puitis, dan puisi menjadi matematis.
Atau jangan-jangan, kesadaran akan “yang lain yang baru” yang telah lepas dari
dikotomi sastra-matematika memang telah tumbuh dalam masyarakat kita. Sains dan
agama yang sejak era aufklarung tercerai-berai kini sudah mulai rujuk dan
menyatu kembali, bukan?
Yogyakarta,
Sabtu, 24 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam