kita
telah belajar
membaca
jarak
antara
lebah dan madu
tabah
menghisap rahasia rindu
kita
pun lalu tahu:
manis
dan pahit adalah daun
jelita
ketika muda, tapi nanti gugur juga
menyentuh
tanah. menyatu dengan masa lalu
kepadamu,
aku berharap sebenarnya
di
samping makamku besok, kau berbisik—diiringi gerimis pagi:
aku
berjanji, menyelesaikan kisah yusuf-zulaikha
dengan
sebaris seloka yang liris
yogya, september 2012
nb:
ada dua sebab kenapa saya menulis puisi ini. Yang pertama, kepada seseorang,
saya pernah berjanji akan membuatkan untuknya puisi. Kepada dialah saya
persembahkan puisi ini, sebagai permintaan maaf, tanda terima kasih, dan hadiah
sederhana. Maka kepadanya, saya ucapkan “Selamat Menikmati”. Yang kedua, lagu
Ada Band, “Cinta Sempurna”, lagu yang mungkin dinilai picisan, tetapi
kadang-kadang sejenak menyelamatkan saya dari seretan arus waktu.
Dua
sebab ini, apalagi yang terkahir, memang terdengar norak, dangkal, dan remeh.
Tapi katanya, hal-hal besar hanya menghipnotis gerombolan anak-anak muda untuk
menulis pamflet, slogan, atau poster protes, dan menempel foto mereka sendiri
pada baliho iklan rokok. Sedangkan puisi, dipanjatkan oleh seorang pemulung
lapar tepat ketika dia menemukan gelas aqua bekas yang terlantar di tepi
selokan. Begitu remeh, menurut kita—termasuk saya—yang selalu kebagian jatah
sarapan berlebih dari Tuhan.