di manakah islam berada?
setiap hari, seorang muslim wajib salat 5 kali, 17 rakaat. pada setiap rakaat, dia membaca surah al-fatihah. paruh terakhir al-fatihah berisi doa. bukan sembarang doa, tapi doa yang sangat dasar dan penting, yaitu doa memohon petunjuk, mengharap hudan atau hidayat. hidayat inilah yang dicari-cari oleh kangjeng sunan kalijaga, mahaguru umat islam tanah jawa. hidayat ini pulalah yang diajarkan secara tertulis oleh pujangga pamungkas jawa, yaitu ranggawarsita III, melalui kitabnya yang masyhur, wirid hidayat jati.
ihdina al-shirata al-mustaqim; shirat alladzina an'amta 'alaihim. anugerahi kami petunjuk berupa jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat. inilah bagian pertama doa yang terdapat dalam surah al-fatihah tersebut. siapakah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah itu? jawabannya ditemukan pada bagian lain al-quran.
ada empat golongan manusia yang memperoleh nikmat. dengan demikian, mereka pun mendapat petunjuk. golongan pertama, para nabi. kedua, orang yang berintegritas dan tidak terbelah jiwanya (al-shiddiq). ketiga, pahlawan yang wafat dalam berjuang di jalan Allah (al-syahid). keempat, orang yang luhur akhlaknya (al-shalih). keempat kualitas mulia ini boleh jadi terhimpun pada diri seorang manusia. ada manusia yang punya satu, dua, atau tiga kualitas saja.
golongan manusia yang diberi petunjuk yang memperoleh porsi paparan cukup besar dalam surah hud adalah para nabi. dari semua nabi yang namanya diajarkan kangjeng rasul, hanya 7 nabi yang dikisahkan dalam surah hud. mereka adalah nuh, hud, saleh, ibrahim, luth, syuaib, dan musa. musa, syuaib, dan nuh digambarkan sebagai manusia yang berpihak kepada golongan lemah dengan status sosial rendah yang merupakan korban ketidakadilan struktural. mereka membela gabah den interi, gabah yang ditampi, jenis manusia yang nasibnya terombang-ambing tak menentu.
musa berpihak kepada dan membela bani israil yang diperbudak firaun. sebegitu keras dan lama perbudakan itu berlangsung, sampai-sampai musa menghadapi banyak kesulitan dalam upayanya membebaskan bani israil dari mentalitas budak. sekalipun demikian, musa tidak melepaskan keberpihakannya kepada bani israil, golongan yang lemah di negeri mesir pada zamannya. syuaib juga berpihak kepada golongan masyarakat yang lemah secara ekonomi. bahkan, beliau dipandang sebagai bagian golongan masyarakat ini. mereka adalah korban dari kerakusan pengusaha dan penguasa bangsa madyan.
sebagaimana musa dan syuaib, nuh pun berpihak kepada golongan masyarakat yang tidak beruntung. di negeri nuh, kaum yang tidak beruntung disebut araadzil. kata ini merupakan turunan dari bentuk dasar r-dz-l. mashdarnya, radzaalah, mengandung arti berkonotasi negatif: hina, buruk, keji, jahat. maka, araadzil adalah golongan masyarakat yang bukan hanya lemah secara ekonomi, tetapi juga lemah secara moral, sehingga para bangsawan menstigma mereka sebagai manusia yang hina, buruk, keji, dan jahat.
barangkali tidak salah kalau kita berpikir bahwa fakir, miskin, yatim piatu, pencuri, pelacur, pemabuk, difabel, budak, preman, dan gelandangan termasuk ke dalam golongan araadzil. kepada merekalah nuh berpihak. bukan para bangsawan yang membanggakan keluhuran dan keberadabannya, tetapi golongan araadzil-lah yang justru menerima dengan hati terbuka pesan tauhid yang disampaikan nuh.
islam sesungguhnya berada di kalangan araadzil ini. karena itu, kangjeng rasul kabarnya pernah berdoa agar diwafatkan bersama-sama kaum fakir miskin. beliau pernah bercerita tentang seorang pelacur yang memperoleh rahmat karena memberi minum seekor anjing. kita pun ingat, betapa kangjeng rasul begitu memuliakan ibnu ummi maktum yang tuna netra itu. beliau juga memberikan kepada bilal bin rabbah, budak berkulit hitam, posisi keagamaan yang tinggi dan terhormat.
sebagai rasul, baik kangjeng rasul maupun nuh teguh berpihak kepada golongan araadzil. nuh tidak mencabut keberpihakannya meskipun dimusuhi dan diancam kaum bangsawan. mereka bermaksud mengusir golongan araadzil dari negerinya, tetapi nuh tidak setuju. nuh justru membela golongan araadzil yang telah beriman. kalau aku [ikut-ikutan] mengusir mereka, kata nuh, siapa yang akan menolongku dari [hukuman] Allah? menurut nuh, Allah juga memberikan kebaikan kepada golongan araadzil. kendati kelihatan hina dan tak beradab, mereka adalah manusia yang pasti punya kebaikan. mereka pasti memiliki akhlak luhur meskipun sekecil biji sawi. seharusnya, mereka di-emong, bukan malah dihina, dijauhi, dan disingkirkan. mereka bukan beban sosial, apalagi sampah masyarakat.
kaum bangsawan memaksa nuh agar tidak menghalangi mereka mengusir kaum araadzil. nuh tetap pada pendiriannya. hal inilah, di samping perendahan dan penghinaan yang disasarkan kaum bangsawan terhadap nuh, yang menimbulkan konfrontasi hebat antara pihak nuh dan pihak bangsawan. tidak lama kemudian nuh memperoleh wahyu untuk membuat bahtera. melihat perilaku ganjil nuh tersebut, penghinaan kaum bangsawan semakin menjadi-jadi. nuh membalas penghinaan itu dengan berkata, kalau sekarang kalian menghina kami, maka pasti kami nanti akan menghina kalian sebagaimana kalian menghina kami.
apakah nuh benar-benar menghina kaum bangsawan ketika banjir bandang melanda negerinya? tidak ada keterangan tentang hal itu karena keterangan tersebut memang tak perlu. sebagai rasul yang punya sifat welas asih di atas rata-rata, nuh, saya pikir, tidak tega menghina kaum bangsawan ketika mereka tergulung ombak setinggi gunung. saat itu tampaknya perhatian nuh terpusat kepada anaknya. nuh tidak menyangka bahwa anaknya juga ikut tergulung ombak. ini bagian dari kisah nuh yang paling dramatis dan tragis.
dari jauh, dari atas geladak bahteranya, nuh memanggil-manggil anaknya. ananda, naiklah bersama kami; jangan engkau berpihak kepada orang-orang yang ingkar. orang-orang ingkar itu jauh dari dan menentang kebenaran. mereka tidak membela kaum araadzil, bahkan hendak mengusirnya dari negeri. ajakan nuh, sayang sekali, ditampik oleh anaknya. anaknya binasa termakan air bah bersama kaum bangsawan yang ingkar, yang sombong, yang menolak kebenaran, yang berlaku diskriminatif terhadap kaum araadzil.
kematian anaknya secara hina itu, merupakan kenyataan getir yang bagi nuh tak logis. karena itu, beliau mengadu kepada Allah. Gusti, ujar nuh, anakku itu keluargaku--[mengapa Engkau binasakan dia]; [tapi, meskipun demikian, hamba percaya bahwa] sesungguhnya janjimu [untuk menghukum orang-orang yang ingkar] itu benar; Engkau adalah sebaik-baik hakim.
perkataan tersebut menggambarkan bahwa nuh masih, meskipun dalam kadar yang kecil, memegang pandangan yang terbingkai oleh logika, konvensi, dan tradisi. beliau masih mendefinisikan keluarga secara empiris. Allah kemudian meluaskan cakrawala berpikir nuh hingga melampaui apa yang nampak.
seperti kita, walaupun bergelar rasul, nuh juga manusia. setelah diangkat sebagai rasul, dia masih harus belajar. dan bagi nuh, salah satu pelajaran yang paling berharga barangkali pelajaran tentang siapa keluarga yang sebenarnya. dalam pandangan Allah, anaknya yang binasa oleh gelombang air bah, bukanlah bagian dari keluarganya. Wahai nuh, firman Allah, sesungguhnya dia bukan bagian dari keluargamu; sebab, amalnya tidaklah saleh.
kriteria kekeluargaan bukanlah darah, tetapi amal saleh. rendah-luhurnya akhlak, itulah yang menentukan siapa keluarga kita sebenarnya. meskipun dengan si fulan kita tak punya hubungan darah, tetapi akhlak fulan demikian luhur terhadap kita dan terhadap orang lain, fulan haruslah kita pandang dan kita terima sebagai keluarga.
tidak semata-mata kepada nuh, firman Allah tentang pengertian keluarga yang hakiki tersebut ditujukan pula kepada kanjeng rasul dan pengikutnya; artinya kepada kita juga. pengikut kangjeng rasul, kaum muslim generasi awal, menghadapi masalah besar berkenaan dengan pengertian keluarga. mereka memeluk islam, sementara saudara, ayah, ibu, atau anaknya belum mau menerima kebenaran. muncul pertanyaan , apakah mereka harus terus memandang keluarganya yang belum beriman sebagai keluarga, padahal keluarganya itu tidak jarang menyiksa mereka agar kembali ke pangkuan agama leluhur. bagaimana seharusnya mereka bersikap terhadap keluarganya yang belum beriman dan memusuhi mereka?
surah hud, melalui kisah nuh, memberi jawaban. mereka tidak harus memandang keluarganya yang belum beriman sebagai keluarga. keluarga sejati adalah siapa pun yang telah menerima kebenaran islam dan beramal saleh. sekali lagi, batasan keluarga dan bukan keluarga adalah akhlak luhur. diasumsikan bahwa siapa pun yang telah menerima islam akan berusaha untuk memiliki akhlak luhur.
itu artinya, seorang muslim mesti berusaha keras untuk memperoleh petunjuk, meneladani manusia-manusia yang dilimpahi nikmat, yaitu para nabi, para sidik, para saleh, dan para syahid. mereka berpihak kepada kaum araadzil. mereka selamat dari pembinasaan, sedangkan kaum bangsawan yang ingkar dan diskriminatif terhadap kaum araadzil dibinasakan dengan cara yang hina dan mengerikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam