Kuntowijoyo, guru besar UGM, adalah penulis yang sangat
prolifik. Dia menulis puluhan buku. Barangkali hidup baginya adalah membaca dan
menulis, meneliti dan berkontemplasi. Dia tidak bisa dipisahkan dari dunia
penelitian dan dunia sastra. Sampai, suatu waktu, dia terserang penyakit
langka. Penyakit itu merusak otaknya. Memorinya sedikit demi sedikit hilang.
Tidak mungkin lagi baginya membaca, menulis, meneliti, dan berkontemplasi.
Untuk mengingat dan bicara saja payah. Apalagi untuk berpikir dan presentasi.
Dapat Anda merasakan bagaimana derita Kuntowijoyo? Dia tidak lagi bisa
bermesra-mesraan dengan buku dan bercumbu dengan mesin ketik. Gairah sirna. Tak
ada gunanya lagi hidup. Tetapi selama beberapa tahun berikutnya Kuntowijoyo
terus bertahan dan mempertebal kesabaran. Dia berusaha menerima realitas. Dia
kuat. Namun ajal lebih kuat. Walaupun kemudian dia mangkat, dia meninggalkan
warisan berharga: daya tahan di tengah penderitaan dan kemauan untuk hidup
ketika maut mendekat. Dia berani hidup dan berani mati.
Kita kenal Beethoven, musisi kenamaan dunia. Begitu banyak orang
terpesona dan mengagumi karyanya. Dia menaiki tangga karir pelan-pelan. Dia
berhasil mencapai puncak keemasan. Tetapi pada saat itu, ketika popularitasnya
sedang meroket, dia harus kehilangan pendengaran. Apa jadinya pianis tanpa
kemampuan mendengar? Bagaimana mungkin seorang tuli bisa bermain musik? Lebih
kurang setahun setelah dia kehilangan pendengaran, Beethoven bangkit. Dia
menciptakan keajaiban. Dia kembali bermusik. Dia kian produktif. Dan pada
saat-saat inilah dia menggubah dua karya agungnya: fur elise dan simphony IX.
Kekurangan dan keterbatasan bukan hambatan. Hanya karena kekurangan dan
keterbatasan, kita bisa maju, dan menjadi lebih baik. Kreativitas tidak bersama
orang-orang yang mapan dan sempurna sebagaimana tuhan tidak bersama orang-orang
yang merasa suci dan beriman.
Borges adalah penyair amerika latin paling gemilang, selain
octavio paz dan pablo neruda. Dia memenangkan hadiah nobel sastra. Boleh-boleh
saja dia bilang bahwa dia tidak suka membaca dan menulis. Tetapi kita tahu,
sahabatnya yang paling setia adalah buku dan pena. Piranti paling penting untuk
membaca dan menulis adalah mata dan tangan. Tampaknya dia sangat menikmati
berumah dalam dunia sastra. Ketika memasuki usia senja, matanya mulai rusak.
Dia buta. Dia hanya bisa memandang kegelapan yang tak terukur, tak terbatas,
tak ternilai. Cahaya meninggalkan dirinya. Dia tidak bisa lagi membaca dan
menulis. Sastrawan buta, tidakkah itu demikian mengerikan dan menggelikan? Apa
arti hidup bagi seorang sastrawan buta? Tapi borges adalah penyair, orang yang
sudah terlalu biasa dengan kontras. Menikmati puisi adalah menikmati
kontradiksi, tarik-ulur tak sudah-sudah antara perang dan damai. Sebagai
seorang penyair, borges akan belajar mencintai kebutaan dan menyayangi
kegelapan.
De mello, seorang spiritualis kristen, memberi nasihat kepada
sahabatnya yang mendadak buta: belajarlah mencintai kebutaanmu. Awalnya sahabat
de mello ini membenci dan menolak kebutaannya. Dia berjuang keras untuk
mencintai kebutaannya. Dia berhasil. Parasnya cerah. Dia bahagia.
Cerita serupa banyak kita dengar. Ada pemain sepak bola dunia
yang kakinya harus diamputasi. Ada penari balet yang kaki dan tangannya patah.
Ada aktris atawa model yang wajahnya tersiram air raksa. Ada pangeran yang
dikutuk menjadi si buruk rupa. Ada putri yang disihir menjadi angsa. Ada raja
yang kehilangan tahta. Ada jutawan yang perusahannya gulung tikar. Dan
sebagainya. Beberapa di antara mereka terburu-buru mengambil kesimpulan dan
kehilangan kepercayaan diri, lalu bunuh diri atau membunuh orang lain. Beberapa
yang lain mengumpulkan remah-remah semangat, membangun kembali kehidupan yang
telah runtuh, dan memupuk mimpi yang tengah sekarat. Mungkin mereka berhasil
bangkit. Mungkin juga tidak. Tetapi mereka tidak kehilangan iman dan harapan.
Karena bencana, kepercayaan mereka kepada diri sendiri, tuhan, dan orang lain
bertambah tambun. Martabat mereka terangkat tinggi, seperti Isa yang diangkat
ke langit setelah menerima sekian banyak ujian. Mereka menjadi lilin yang
menerangi, sosok yang menginspirasi.
Yogyakarta,
27 november 2011