Saya sudah lebih kurang lima tahun di
Yogyakarta, tetapi saya masih saja kuliah, sementara teman-teman seangkatan
saya sudah sarjana, mendapat pekerjaan, dan sebagian telah menikah. Dengan
kondisi saya sekarang, apa saya menyesal, dan bersedih? Tidak. Tepatnya, tidak
lagi. Pernah saya menyesali keadaan dan menangisi nasib, kemudian bersikap
pesimistis. Tetapi rupanya penyesalan, kesedihan, dan pesimisme saya tidak
beralasan kuat, bahkan tampaknya tak beralasan sama sekali, dan adalah kerugian
besar.
Sikap negatif saya ini muncul karena saya
terseret mengikuti arus prasangka umum. Prasangka umum kadang baik, namun lebih
sering buruk. Contoh, dalam masyarakat yang tidak rasional, laki-laki yang berjalan
memakai payung ketika gerimis turun dinilai tidak jantan. Saya lantas mengikuti
prasangka umum ini. Daripada malu dikatain orang banyak dan disangka tidak
jantan, saya memilih berjalan tanpa payung ketika gerimis. Akan tetapi, dua
menit kemudian hujan turun dengan sangat lebat. Saya terpaksa berhenti berjalan
dan berteduh. Waktu saya terbuang percuma hanya untuk menunggu hujan reda.
Kalau sejak langkah pertama saya memakai payung, dan menampik prasangka umum,
saya tidak perlu berteduh, dapat melanjutkan perjalanan, dan barangkali telah
sampai di tempat tujuan. Saya menggunakan waktu dengan baik.
Di sekiling kita, masih banyak prasangka
umum yang secara nalar tidak baik dan merugikan, tetapi masih kita ikuti karena
kita ingin selalu berada dalam kenyamanan psikologis. Kita tidak ingin
digunjing, dicemooh, dan dihakimi masyarakat. Kita takut berpisah dengan
masyarakat. Kita ingin hidup damai dengan masyarakat, walaupun hal ini malah
membuat kita tidak bisa berdamai dengan diri sendiri.
Hati kecil kita yang cenderung mengarah
kepada kebaikan bertikai dengan prasangka umum masyarakat yang tidak senantiasa
baik. Pertikaian ini menimbulkan kekacauan batin yang berdampak sangat gawat
jika tidak segera diterapi. Kita bisa-bisa terbiasa bertindak tanpa melakukan
penalaran terlebih dahulu. Subjektivitas, kreativitas, otentisitas, dan
kemampuan kritik kita lama-lama akan melemah. Perkembangan hidup dan kejiwaan
kita akan tersendat, macet, atau mengalami kemunduran. Kita akan bermental
kerdil. Dan bila pertikaian itu dibiarkan berlarut-larut, kita akan mengalami stress,
gila, menjadi tidak lebih mulia ketimbang binatang.
Contoh lain dari prasangka umum yang tidak
baik: pelajar yang kuliahnya tidak cepat selesai adalah pelajar yang bodoh,
nakal, bejat, dan tidak memiliki masa depan yang jelas. Penilaian dan prediksi
mereka mungkin benar, tetapi juga mungkin salah. Ada banyak sebab mengapa si
pelajar tidak lekas selesai kuliah. Sebab-sebab itu bisa datang dari luar dan
tidak melulu berasal dari kelalaian dirinya sendiri. Sementara itu, apa yang
akan terjadi di masa depan tidak selalu bersesuaian dengan hasil analisis logis.
Dalam kenyataan, “jika” tidak pasti “maka”; jika empat dikalikan dengan tujuh,
maka bisa jadi hasilnya akan sembilan. Di sinilah ruang bagi Tuhan untuk
menunjukkan kekuasaan dan cintanya kepada kita, dan untuk mengingatkan manusia
bahwa Dia nyata ada.
Oleh karena itu, saya tidak perlu menyesal,
bersedih, dan pesimistis. Prasangka umum belum tentu baik dan benar. Walaupun
mereka menyangka masa depan saya akan tidak gemilang, saya akan tetap
optimistis, karena masa depan tidak tunduk pada prasangka umum dan hanya patuh
terhadap kehendak Tuhan.
Dengan kondisi saya saat ini, saya juga
tidak perlu menyesal karena niat saya datang ke Yogyakarta sejak semula adalah
untuk mencari ilmu. Saya memaknai ilmu sebagai moralitas sehari-hari.
Kampus atau sekolah bukan satu-satunya
tempat untuk memperoleh ilmu. Di kampus kita hanya mendapatkan, dan berlatih
teknik menemukan, teori-teori. Teori-teori ini oleh manusia yang berjiwa lemah
sering digunakan sebagai alat untuk mendukung tujuan-tujuan buruknya. Teori tidak
sinonim dengan, bahkan kadangkala antonim dari, moralitas. Tetapi adalah keliru
jika pendapat saya ini dikutip untuk membenarkan sikap antipati sekelompok
orang terhadap sekolah atau kampus. Fungsi kampus dan manfaat prediket sarjana
sangat penting, terlebih dalam masyarakat kita yang simbolis dan pragmatis. Selain
itu, soko guru moralitas mustahil diemban sendiri oleh kampus semata.
Ilmu bisa kita timba dari mana saja, kapan
saja, dan di mana saja. Kita bisa menimba ilmu di toilet atau di lokalisasi. Kita
bisa menimba ilmu ketika sedang mengemudikan motor atau sedang tidur. Kita bisa
menimba ilmu dari daun kering yang gugur ke tanah, dari embek kambing, atau
dari tembelek ayam. Para nabi memperoleh ilmu langsung dari tuhannya. Untuk
menjadi nabi, mereka tidak harus belajar di kampus. Kampus hanya salah satu dari
amat banyak tempat mencari ilmu. Sebelum zaman modern, orang belajar di rumah
gurunya, di rumahnya sendiri, atau di tempat-tempat ibadah. Pada zaman
informasi sekarang ini, orang belajar melalui internet yang telah bisa
dioperasikan di mana pun.
Jadi tidak ada alasan bagi saya untuk
menyesal, bersedih, dan pesimistis. Saya hanya punya alasan untuk mensyukuri
masa lalu. Masa lalu, entah baik atau buruk, adalah hadiah dari tuhan yang
tidak ternilai harganya. Masa lalu adalah bagian dari diri saya. Tengkyu,
Gusti.
Yogyakarta,
10 Maret 2012