KETIKA BERSUJUD DI KAKI JENAZAH IBU
Oleh:
Iman Budhi Santosa
Seperti kapal berlabuh, aku di sampingmu
bersimpuh melipat sauh. Burung-burung yang dulu
terbang jauh telah kembali, dan di tangannya
hanya puisi, sedikit doa dan air mata
bersimpuh melipat sauh. Burung-burung yang dulu
terbang jauh telah kembali, dan di tangannya
hanya puisi, sedikit doa dan air mata
Tak ada pesan pada untaian melati
(selain aroma kopi) yang menjelaskan
bagaimana kemarin engkau pergi.
Di luar masih berjajar pot-pot bunga,
kaktus, rumpun sirih, serta pohon nangka
teman bertapa saat menjanda.
(selain aroma kopi) yang menjelaskan
bagaimana kemarin engkau pergi.
Di luar masih berjajar pot-pot bunga,
kaktus, rumpun sirih, serta pohon nangka
teman bertapa saat menjanda.
Setiap hari mereka akan bercerita
“Dulu, kami sering disiram dengan air kendi
disanjung seperti anak-anak sendiri...”
“Dulu, kami sering disiram dengan air kendi
disanjung seperti anak-anak sendiri...”
Kini, potret itu tetap tersenyum di atas
peti
dan kali ini bakal kucium. Sebab, di depanmu
aku tak pernah merasa tua. Tetap bayi pertama
buah pertama yang memilih sunyi
karena kau tak bisa dimiliki seorang diri.
dan kali ini bakal kucium. Sebab, di depanmu
aku tak pernah merasa tua. Tetap bayi pertama
buah pertama yang memilih sunyi
karena kau tak bisa dimiliki seorang diri.
1999
Puisi
ini terdapat dalam antologi Matahari-matahari Kecil (Grasindo, 2004) h. 90
Parafrase
Kini aku di sampingmu. Aku seperti kapal
berlabuh, yang tengah bersimpuh melipat sauh, setelah pelayaran yang panjang.
Aku seperti burung. Dulu ia terbang jauh, kini telah kembali ke sarangnya.
Tangannya hanya menggenggam puisi, sedikit doa, dan air mata.
Pada untaian melati, yang menghiasi peti
matimu, tak ada pesan—selain aroma kopi—yang menjelaskan bagaimana kemarin
engkau pergi. Di luar rumah, masih berjajar pot-pot bunga, kaktus, rumpun
sirih, serta pohon nangka, temanmu bertapa saat menjanda. Setiap hari mereka
akan bercerita: “Dulu, kami sering disiram dengan air kendi dan disanjung
seperti anak-anak sendiri...”
Kini, potret itu, potretmu, tetap
tersenyum di atas peti. Kali ini bakal kucium. Sebab, di depanmu aku tak pernah
merasa tua. Aku tetap bayi pertama. Aku tetap buah pertama yang memilih sunyi,
karena kau tak bisa dimiliki seorang diri.
Catatan
1. Judul
a. Penyair “bersujud”
di kaki jenazah ibu
b. Memakai “jenazah”,
bukan “mayat”
2. Bait
1
a.
Penyair mengungkapkan dirinya dengan mengganti-ganti
pelaku secara gradatif: kapal (benda mati), burung (binatang), kemudian
manusia. Kapal berlabuh. Burung terbang jauh. Manusia dengan tangannya menggenggam
puisi, sedikit doa, dan air mata.
b.
Pada bait ini, ada pergeseran persona
secara halus. Mulanya menggunakan “aku”, lalu (klitik) “ia”, yaitu –nya dalam “tangannya”.
c.
Kesegaran ibarat:
v kapal
bersimpuh dan melipat sauh
v manusia
(atau burung?) menggenggam puisi, sedikit doa, dan air mata.
3. Bait
2
a.
“selain aroma kopi” dimasukkan dalam
tanda kurung, petunjuk adanya kontradiksi yang tak pasti. Pada untaian melati
bukan tak ada pesan apapun, masih ada pesan tersembunyi: aroma kopi. Tapi keberadaan
pesan tersembunyi masih diragukan penyair.
b.
Penyair menyapa ibunya yang sudah
meninggal dengan “engkau”.
c.
Kesegaran ibarat
v Teman
bertapa ibu saat menjanda adalah pot-pot bunga, kaktus, rumpun sirih, serta
pohon nangka. Penyair me-mereka-kan benda-benda dan tetumbuhan tersebut.
v Setiap
hari mereka akan bercerita bahwa ibu sering menyiram mereka dengan air kendi,
bahwa ibu menyanjung mereka seperti anak-anak sendiri.
4. Bait
3
a.
Penyair menyapa ibunya dengan persona orang kedua tunggal: “kau”
serta “-mu”.
b.
Penyair menyatakan dirinya dengan
transparan, tidak lagi berakting sebagai kapal dan burung. Secara tegas dan
langsung, ia menyebut dirinya dengan “aku”. Pada bait ketiga ini, ia (sudah) meng-aku.
c.
Kesegaran ibarat
v Potret
tersenyum
v Buah
memilih sunyi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam