Tentang al-Qur'an, Makanan, Pendidikan, dll.
1. Pada
prinsipnya, semua makanan tidak haram, kecuali makanan yang diharamkan oleh
Tuhan. Keharaman makanan tertentu itu dinyatakan melalui ayat al-Qur’an serta
hadits nabi. Yang ditekankan adalah kehalalan makanan, bukan keharaman makanan.
Dalam hal ini tersirat larangan mengikuti perilaku bani israil. Mereka mengharamkan
apa yang semula dihalalkan Tuhan. Ini sesungguhnya adalah perintah agar jangan
berpikir terlampau legalistik dan kelewat batas. Hikmahnya, jangan menciptakan
penjara untuk mengurung diri sendiri. Jangan zalim terhadap diri sendiri. Adil terhadap
diri sendiri.
2. Al-Qur’an
menghubungkan makanan dengan keadilan. Artinya, terdapat pula hubungan antara
makanan dan politik. Perilaku politik seorang presiden juga ditentukan oleh apa
yang ia makan, bagaimana ia memperolehnya, serta bagaimana ia mengonsumsinya. Teori
ini tidak ditemui dalam ilmu politik modern yang fakultatif dan materialistis.
3. Al-Qur’an
juga menghubungkan makanan dengan budi pekerti. Umat Islam diperintahkan untuk
hanya memakan makanan yang halal lagi baik (halalan thayiban), lezat lagi baik
akibatnya (hani-an mari-an). Makanan yang haram, rijs, dan khabits, berpengaruh
terhadap kesehatan jasmani dan rohani. Makanan yang baik, menurut Quraish
Shihab, adalah makanan yang sehat, proporsional, dan aman. Di sini terlihat
lagi kaitan antara makanan dengan keadilan. Adil sendiri merupakan budi pekerti
yang mulia. Asumsinya, bila kita memakan makanan yang baik dengan cara yang
baik, maka budi pekerti kita menjadi mulia, sedangkan kemuliaan budi pekerti
itu antara lain ditunjukkan melalui perilaku kita yang adil.
4. Pendidikan
berurusan dengan pembangunan budi pekerti. Jika demikian, pendidikan
berhubungan dengan makanan. Agar budi pekerti anak kita menjadi mulia, maka ia
perlu mengonsumsi makanan yang halal lagi baik. Makanan yang haram dan yang syubhat
jangan sampai dikonsumsi oleh anak-anak kita. Dalam pedagogi modern yang
berasal dari barat, kaitan langsung antara makanan dengan kesehatan rohani ini
tidak diperhatikan. Yang diperhatikan hanya kaitan tidak langsung antara
makanan dengan kesehatan rohani. Jika mengonsumsi makanan yang bergizi, jasmani
anak akan sehat. Jika jasmani anak sehat, rohaninya pun sehat. Bergizi hanya
salah satu aspek dari halalan thayiban. Selama ini, dalam perbincangan tentang
pendidikan karakter, tampaknya hubungan antara makanan dengan budi pekerti
jarang disinggung. Memberi makanan yang
halal lagi baik kepada siswa juga merupakan metode pendidikan karakter.
5. Pengharaman
makanan bukan tujuan, melainkan cara mewujudkan tujuan. Makanan tertentu
diharamkan dengan maksud untuk memelihara akal, jiwa, nyawa, harta, dan
martabat manusia. Supaya manusia menjadi beradab, diharamkanlah makanan
tertentu. Mengonsumsi daging babi dalam kondisi darurat agar kita tidak mati
kelaparan, dihukumi halal. Kehidupan atau nyawa manusia lebih penting daripada
keharaman daging babi.
6. Paling
kurang, keharaman suatu makanan disebabkan oleh adanya nash yang mengharamkannya,
dzatnya, akibatnya, cara memperolehnya, dan cara mengonsumsinya. Nasi itu
halal, tetapi bila diperoleh dengan cara yang salah, misalnya mencuri, maka
nasi tadi menjadi haram. Durian itu halal, namun bila dikonsumsi secara
berlebih-lebihan sehingga kesehatan kita terancam, durian tadi menjadi tidak
halal. Mudah-mudahan Tuhan senantiasa menganugerahi kita rezeki yang halal.
Mudah-mudahan makanan yang masuk ke dalam perut kita dan keluarga kita hanyalah
makanan yang halal lagi baik, lezat lagi baik akibatnya. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam