Belajar akan didefenisikan secara berbeda
oleh orang yang berbeda. Tidak salah bila tiap orang menata defenisi belajar
masing-masing, asal dia berani mempertanggungjawabkan resiko teknis yang
diakibatkan dari defenisinya tersebut.
Ada yang mendefenisikan belajar sebagai
rutinitas ke sekolah, masuk ruang kelas, duduk anteng mendengar ceramah guru,
mengerjakan tugas, merampungkan pekerjaan rumah, mengikuti ujian, mendapat
rapor dan ranking, naik kelas, lulus sekolah. Bahwa dia memahami materi yang diajarkan
oleh guru atau tidak, tak jadi soal. Tak dipermasalahkan pula apakah materi itu
teraplikasikan dalam kehidupan praktis sehari-hari atau tidak.
Belajar, bagi dia, identik dengan sekolah,
kelas, dan guru. Rumah, pasar, masjid, bandara, jalanan, jembatan, terminal,
dan seterusnya bukanlah tempat belajar. Apalagi warnet, warung kopi, toilet, lokalisasi,
penjara, dan kamp konsentrasi.
Bagi beberapa orang tertentu, defenisi
belajar seperti itu sangat problematis. Pengetahuan yang diajarkan di sekolah
terbatas. Pengajaran di sekolah juga belum tentu akan menolong murid menghadapi
kehidupan yang kompleks dan tak terprediksi. Mereka kemudian mengajukan
defenisi belajar yang sifatnya etis.
Belajar adalah merubah diri menjadi lebih
baik. Bila sejak masuk sekolah hingga lulus perilaku murid tidak berubah
menjadi lebih baik, justru semakin kurang ajar, artinya murid tersebut tidak
pernah belajar, walaupun dia selalu meraih ranking pertama. Murid dianggap
belajar ketika dia mengalami peningkatan kualitas karakter. Dia jadi lebih
disiplin, jinak, dan penurut. Sebelum masuk sekolah dia pendiam, minder,
penakut, dan cengeng. Setelah masuk sekolah publik menyanjungnya sebagai
pribadi yang berani dan tangguh.
Menurut defenisi ini, ruang belajar tidak
bisa dibatasi oleh tembok kelas. Waktu belajar 24 jam, dari masa buaian hingga
liang lahat. Belajar bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Intinya,
belajar adalah tindakan sadar untuk memperbaiki diri, bukan merusak diri.
Belajar merupakan gerakan linear yang progresif dan evolutif. Progresif dan
evolutif di sini juga termakan hukum relativitas. Anda bisa mengembangkan
uraian ini lebih luas lagi.
Saya kurang puas dengan defenisi belajar yang
kedua. Saya ingin mengemukakan defenisi belajar yang lebih bersifat epistemologis.
Defenisi belajar yang kedua tidak mampu menjelaskan mengapa orang yang telah
belajar sekian lama sehingga dia mendapat gelar guru besar malah secara
terang-terangan melakukan korupsi; mengapa seorang kyai yang telah belajar
kitab kuning belasan bahkan puluhan tahun masih suka mengafirkan orang lain;
mengapa jalan pikiran seorang santo yang sudah mempelajari bibel berulang kali
masih sedemikian cetek dan pendek. Tak logis menilai mereka tak belajar. Mereka
belajar, tapi mengapa mereka bertindak aniaya?
Karena mendukung defenisi belajar pertama
maupun kedua, kita menjadi apatis terhadap guru dan pesimistis terhadap
sekolah. Pandangan kita menjadi gelap, seolah-olah masa depan akan sangat suram
dan muram. Tipis kemungkinan bagi kita untuk hidup bahagia kelak.
Tak ada gunanya belajar. Tak perlu sekolah.
Guru bukan lagi profesi yang agung dan mulia. Buat apa capek-capek belajar bila
hanya untuk menjadi perampok berdasi. Lebih baik belajar di rumah secara
otodidak atau mengikuti training kerja yang diselenggarakan oleh
perusahan-perusahaan gede. Lebih baik jadi buruh sadap karet atau dodos sawit.
Upahnya lumayan besar, lebih dari cukup untuk biaya hidup satu keluarga beranak
dua. Hidup makmur, nyaman, selamat dunia akhirat.
Sementara ini, belajar, bagi saya, adalah
proses membangun, membongkar, dan mengubah prasangka, baik prasangka baik
maupun prasangka buruk. Hitler belajar, maka dia sedang membangun prasangka
buruk terhadap golongan Yahudi dan membangun prasangka baik terhadap ras arya.
Sjahrir belajar, maka dia tengah membongkar prasangka lama bahwa kemerdekaan
dan kemajuan hanya milik Belanda, dan membangun prasangka baru bahwa
kemerdekaan adalah hak bagi semua manusia apa pun warna kulitnya. Seorang santri
belajar demokrasi, maka dia sedang mengubah prasangkanya terhadap Islam: Islam
tidak hanya mengurusi perkara pahala dan dosa, tetapi Islam adalah agama yang
humanis dan rahmatan lil alamin. Seorang politisi belajar, maka dia sedang
membongkar prasangka lama bahwa kejujuran dan keadilan tidak boleh dilupakan,
dan membangun prasangka baru bahwa untuk memperoleh jabatan, maka kejujuran,
keadilan, dan nilai-nilai baik lainnya harus dikorbankan dan dilalaikan.
Belajar adalah tindakan yang disadari atau
tidak disadari untuk menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk. Jadi, masuk
akal menyandingkan subjek “belajar” dengan prediket “maling” ataupun “ikhlas”,
“membenci” ataupun “mencintai”, “berkhianat” ataupun “setia”. Belajar menjadi
istilah yang netral. Manusia baik dan manusia jahat sama-sama pernah dan masih
akan belajar. Karena belajar, manusia baik mungkin suatu saat nanti akan
menjadi jahat, dan sebaliknya, manusia jahat boleh jadi akan menjadi baik.
Defenisi belajar ketiga ini lebih realistis, natural, dan sesuai dengan kodrat
manusia.
Kendati menurut para pakar dan kaum bijak
bestari negara kita saat ini sedang dikuasai oleh manusia jahat, kita tak harus
pesimistis. Sangat mungkin, entah kapan masanya, mereka akan bertobat dan
menjadi pemimpin yang patut diteladani. Toh, mereka tidak berhenti belajar. Prasangka
mereka akan berubah. Memang sekarang mereka kurang, atau tidak, memperhatikan
masyarakat. Tetapi, kita tak tahu apa yang bakal terjadi besok. Mendung mungkin
akan tersapu angin. Pagi barangkali akan terbit.
Yogyakarta, 1 Desember
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam