Pendidikan Hanya
Menghasilkan Air Mata
Oleh: Sindhunata
Seorang bapak tua, duda, anaknya tiga, dan pensiunan tukang
kebun, datang ke kantor Basis. Ia
menyodorkan selembar foto copy
perincian biaya pendidikan anaknya di sebuah sekolah tinggi. Ia bilang, ia
sudah minta keringanan dan memang diberi.
Toh total biaya yang harus
dibayarnya masih Rp. 695.000,00. “Dari mana saya bisa memperoleh uang sebesar
ini?” katanya. Ia bilang, uang pensiunnya sebagai tukang kebun per bulan tidak
sampai Rp.150.000,00. Bapak tua itu lemas. Tak tahu, apa yang harus
diperbuatnya, kecuali mengharapkan kebaikan dan pertolongan sesamanya.
Seorang bapak lain juga bercerita. Ia seorang kasir. Gajinya
hanya pas untuk hidup sehari-hari keluarganya, plus menabung sedikit-sedikit.
Pada tahun ajaran baru ini, kedua anaknya sama-sama harus melanjutkan
pendidikan ke jenjang berikutnya. Yang satu ke universitas, lainnya masuk SMU.
Untuk ke universitas, anaknya terkena biaya masuk Rp. 7.000.000,00, sedang
untuk SMU Rp. 3.000.000,00. Jadi bapak itu harus membayar 10 juta rupiah. Bagi
bapak itu, biaya tersebut kelewat mahal. Terpaksa semua tabungannya dikeruk,
perhiasan istrinya dijual.
Seeprti ulah penduduk Gunung Kidul di musim kering,
demikianlah ulah banyak orang tua di musim tahun ajaran baru. Di musim kering
di Gunung Kidul, orang beramai-ramai menggadaikan miliknya untuk membeli air.
Di musim tahun ajaran baru, orang berbondong-bondong ke kantor pegadaian untuk
menutupi biaya pendidikan anak-anaknya.
Kompas, 13 Juli 2000
melaporkan, orang-orang datang ke beberapa kantor pegadaian di Jakarta, seperti
di Jalan Muardi IV Grogol, Jalan KS Tubun Tanah Abang, Jalan Raya Ragunan
Pasarminggu, dan Jalan Senen Raya Jakarta Pusat. Umumnya pengunjung adalah kaum
ibu rumah tangga. Mereka menggadaikan apa saja, perhiasan gelang, cincin dan
kalung, bahkan karpet dan alat rumah tangganya. Semuanya ini ditempuh, agar
anak-anak mereka dapat meneruskan pendidikannya. Seorang ibu warga Petamburan
mengaku, karpetnya dihargai Rp. 60.000,00. Sedikit memang, tapi daripada tidak
ada?
Pendidikan memang memakan biaya. Tapi haruskah biaya itu
dibebankan pada warga negara yang jelas-jelas tidak mampu menanggungnya?
Pendidikan adalah harta mulia yang terpendam dalam masyarakat. Tujuan akhir
pendidikan adalah pembebasan dan emansipasi masyarakat dari kebodohan,
kemiskinan dan penderitaan mereka.
Semua warga negara berhak atas pembebasan dan emansipasi
itu. Karena itu diandaikan, tersediaan dan terjamin kesempatan yang sama bagi
setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan. Itulah sebabnya misalnya di
Perancis, konsep citoyens tak bisa
dilepaskan dari kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Maksudnya, kesempatan
untuk memperoleh pendidikan harus diberikan pada setiap orang. Dan karena
pendidikan, setiap orang dapat menjadi citoyens.
Maka pendidikan harus mampu mengangkat anak kelas pekerja setara dengan anak
kelas menengah, anak mereka yang menganggur setara dengan anak mereka yang
aktif bekerja. Pendidikan harus mampu mengangkat setiap warga menjadi warga
negara yang mempunyai hak dan kesempatan yang sama.
Pendidikan di Indonesia masih sangat jauh dari konsep citoyens itu. Pendidikan kita belum
mampu membebaskan dan mengangkat anak-anak didik untuk kelak benar-benar
menjadi warga negara. Karena tak tersedia kesempatan yang sama, banyak anak
putus sekolah. Akibatnya, banyak anak buruh yang tetap menjadi buruh, dan anak
penganggur menjadi penganggur, kendati mereka sempat menikmati pendidikan.
Tujuan akhir pendidikan adalah pembebasan masyarakat secara
paripurna. Kita hampir tak berani berharap, bahwa kita bisa mencapai ideal
luhur ini. Dalam tahun-tahun mendatang, kita tampaknya akan tetap dibelit oleh
persoalan yang selama ini sudah melilit kita habis. Orang tua berani
mengeluarkan biaya berapa pun, asal anaknya dapat bersekolah dan terdidik. Tapi
biaya pendidikan itu melampaui kemampuan mereka. Berutanglah mereka, atau
pergilah mereka ke pegadaian, atau jika tak punya apa-apa, mereka menyerah tak
berdaya, dan menerima nasib anaknya bakal sejelek mereka.
Dilihat secara menyeluruh, pendidikan kita ternyata tak
berhasil mengemansipasikan masyarakat. Pendidikan yang seharusnya membebaskan,
malah menindas sebagaian warga yang tak mampu. Pendidikan yang seharusnya
membahagiakan, malah menderitakan dan makin memojokkan orang tua miskin ke
dalam kemiskinan dan penderitaan yang lebih dalam. Bagi kebanyakan warga, tahun
ajaran baru adalah tahun di mana mereka bingung, meratap, menjerit dan
menangis, menggadaikan dan menjual apa saja demi pendidikan. Pendidikan memang
harta dan nilai yang mulia. Tapi di Indonesia harta itu ternyata memeras, dan nilai
itu ternyata menderitakan. Itulah tragika pendidikan kita.
Kendati tragis, tak pernah orang tua menyerah untuk tidak
mendidik anak-anaknya. Tekad ini tampak dalam tragedi tenggelamnya Kapal Motor
Cahaya Bahari, 29 Juni 2000 yang berpenumpang 492 orang. Tercatat 60 persen
dari keseluruhan penumpang adalah pelajar SD, SLTP, SLTA dan mahasiswa. Mereka
berasal dari kawasan bergolak Maluku Utara. Mereka ke Manado untuk pindah
sekolah. Sebagian diantar orang tua mereka, yang akhirnya ikut mati tenggelam
bersama mereka di perairan Pulau Siau Tagulandang, Sangihe Talaud, Sulawesi
Utara.
Tenggelamnya Kapal Motor Cahaya Bahari adalah simbolik
peristiwa, betapa tragis dan penuh tangis dunia pendidikan di Indonesia ini. Toh para politikus kita cuek saja. Mereka terus membadut dengan
obrolannya yang kosong belaka. Sialan!
NB: Tulisan ini
dimuat dalam Basis, no. 07-08, tahun ke-49, Juli-Agustus 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam