Boleh putus sekolah asal tidak putus belajar
(Bahruddin)
Sistem pendidikan di negeri ini nyaris
kehilangan ruhnya. Demikian banyak wacana, kritik, dan koreksi dari berbagai
kalangan, namun belum juga menemukan formulasi yang tepat untuk memberdayakan
pendidikan. Kalau toh ada upaya perbaikan, sering tidak produktif pada tataran
aplikasi karena ujung-ujungnya sebatas pada pembangunan fisik dan
simbol-simbol, bukan pada penguatan esensi dan substansi.
Menanggapi realitas keterpurukan pendidikan
di tanah air tercinta ini, kiranya kita semua tidak perlu sibuk mencari siapa
“kambing hitam”-nya, (biasanya Orde Baru yang dikambinghitamkan). Karena kalau
polemik mencari “kambing hitam” ini dibiarkan, hanya akan menghabiskan energi
yang berujung seperti teka-teki anak-anak: “mana yang lebih dahulu antara ayam
dan telur”. Perdebatan yang tidak berpangkal dan tidak berujung. Mungkin,
karena memang terlalu banyak “kambing hitam” di dunia pendidikan kita, atau
bahkan mungkin dengan tidak disadari diri kita juga termasuk salah satu dari
“kambing-kambing hitam” itu? Sudahlah! Kita sudah terlalu lelah bergunjing,
saling mencurigai, saling menggurui, dan saling menyalahkan.
Di sisi lain, kita juga sudah sangat
kenyang dengan wacana dan konsep dari banyak pihak yang notabene menjadi
kontribusi dalam membangun kualitas pendidikan. Seminar, lokakarya, serta studi
banding tentang pendidikan tak henti-hentinya dilakukan oleh semua elemen dan
strata pendidikan. Akan tetapi, sering
kali kegiatan dan wacana yang baik itu berhenti sebatas konsep atau catatan di
atas kertas, atau sebatas kegiatan rutin sekadar melaksanakan jadwal yang jauh
hari telah diagendakan. Sebaliknya, kita terlalu sedikit melihat tindakan nyata
dan kesungguhan untuk mulai mewujudkan pendidikan yang berdaya, berkeadaban,
dan berkeadilan.
Yang dibutuhkan negara ini adalah tindakan
dan upaya konkret, meski sesederhana dan sekecil apa pun. Fenomena menjamurnya
lembaga pendidikan “plus, plus, dan plus” belum bisa menjawab persoalan riil
pendidikan bahkan memunculkan masalah baru, yaitu diskriminasi dan semakin
mempertajam kesenjangan sosial di masyarakat. Oleh karena itu, lembaga-lembaga
pendidikan yang mengklaim diri berkualitas dan modern itu telah berubah menjadi
lembaga jasa pendidikan elistis dan eksklusif karena hanya terjangkau oleh
kelompok masyarakat tertentu.
Dunia telah terlanjur mengglobal, tidak
bisa dibendung dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kita sedang berada di era
global yang serba digital, bukan era kapur tulis, kertas, dan pensil yang
manual dan konvensional. Di saat siswa Sekolah Dasar di negara tetangga
(Singapura dan Malaysia) misalnya, telah akrab dengan internet, sebagian besar
guru-guru kita masih gagap mengoprasikan komputer. Di saat mereka telah kencang
melaju meningkatkan kualitas pendidikan, kita masih ribut mencari format
pendidikan. Keadaan ini lebih diperkeruh oleh campur tangan politik dan
kekuasaan yang sebenarnya tidak cukup berkompetensi menangani persoalan
pendidikan.
Dalam hal ini, kita tidak perlu terlalu
meratapi kebodohan dan ketertinggalan SDM kita ketika dibandingkan dan
disandingkan dengan negara lain. Apalagi kemudian dengan emosional kita mencoba
mengejar ketertinggalan tersebut dengan semangat bersaing. Bisa-bisa kebat-kliwat. Sikap emosional seperti
itu tidak akan menguntungkan. Kegiatan gugat menggugat siapa yang paling
bersalah dalam membuat kebijakan pendidikan juga sebaiknya segera dihentikan
karena tidak akan bisa menemukan ujung pangkalnya. Alangkah indahnya bila kita
semua mulai menggugat diri sendiri. Siapa tahu kita juga bersalah.
Yang terpenting, kita semua dan
masing-masing kita segera mulai berbenah membangun kapasitas diri. Kita
tempatkan kelompok lain, organisasi lain, bahkan negara lain sebagai mitra dan
sahabat untuk menjalin kerjasama yang saling menguntungkan, bukan sebagai
pesaing yang harus diungguli atau dikalahkan. Ketika memiliki kompetensi yang
memadai, memiliki kemandirian, dan kepercayaan diri yang kuat dengan sendirinya
kita akan menjadi individu, kelompok, dan bangsa yang terhormat karena kita
dibutuhkan dan saling membutuhkan dengan yang lain.
NB:
tulisan ini dicatut dari buku Lebih Baik
Tidak Sekolah, karangan Sujono Samba,
terbitan LkiS, hlm. 1-4. Sujono Samba adalah seniman, cendekiawan, dan staf
pengajar di SMP Alternatif Qoryah Thayyibah, Kalibening, Salatiga, Jawa Timur.
Sekolah kampung yang memperoleh perhatian luas dari dunia pendidikan internasional
ini diprakarsai pendiriannya oleh Bahruddin pada Juli 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam