Menulis adalah menyeleksi fakta, menggores garis-garis prasangka,
membubuhkan argumentasi yang kokoh, dan membentuk sebuah dunia baru. Dunia baru
ini bisa merupakan copy, ringkasan, pembengkokan, atau kebalikan dari dunia
real. Harus digarisbawahi, dunia baru yang dikreasi penulis dengan dunia real
di mana penulis hidup tidak pernah sama dan serupa, selalu berbeda, meskipun
penulis tersebut adalah sejarahwan yang berpretensi menceritakan ulang masa
lalu menurut kaidah-kaidah ilmiah yang valid dan reliable atau wartawan yang
hanya memberitakan apa yang terjadi, bukan apa yang dikhayalkan terjadi.
Kanon sejarah Indonesia, yang kita pelajari semenjak SD hingga
SMA, juga merupakan dunia baru tersendiri yang sama sekali terpisah dan berbeda
dengan dunia nyata. Walaupun para sejarahwan nasional bermaksud mencatat
biografi Indonesia secara jujur dan apa adanya, tanpa melebih-lebihkan atau
mengurangi, narasi yang mereka sodorkan selalu dimuati pandangan politis
tertentu bagaimana pun besarnya usaha mereka untuk menetralisir dan mensucikan
diri dari lingkungan politik. Mereka, sebagaimana kita, dikondisikan oleh ruang
dan waktu, oleh mode dan semangat zaman yang sedang berkembang.
Nasionalisme adalah semangat zaman yang berkembang ketika kanon
sejarah Indonesia pertama kali ditulis oleh orang Indonesia sendiri.
Nasionalisme menjadi tolok ukur dalam menyeleksi fakta, peristiwa, dan tokoh
mana yang harus diabadikan ke dalam atau disingkirkan dari ingatan kolektif.
Nasionalisme menuntun dan menuntut sejarahwan membentuk sebuah dunia baru.
Dalam dunia baru bersentimen nasional ini, Indonesia
didefinisikan sedemikian rupa sehingga tampaklah siapa malaikat dan siapa
iblis, siapa pahlawan dan siapa penjahat, siapa hitam dan siapa putih. Tokoh
yang berperan dalam peristiwa sejarah kurang dilihat sebagai manusia
senyatanya, tetapi lebih difantasikan sebagai manusia seharusnya. Inilah tipe
manusia satu dimensi yang keberadaannya diangan-angankan sehingga terasa
monoton, hambar, mati, dan membosankan. Mereka
yang tergolong malaikat misalnya Soekarno, Hatta, Sjahrir, Soedirman, dan
seterusnya. Sedangkan iblisnya, antara lain, para gubernur jenderal belanda
yang berkulit putih, serdadu kolonial, tentara jepang, dan semacamnya.
Pemilahan hitam-putih ini hidup dalam ingatan kolektif kita
selama puluhan tahun tanpa pernah ada penyeledikan kembali apakah yang hitam
benar-benar sepenuhnya hitam dan yang putih sungguh-sungguh seratus persen
putih. Saat ini, ketika peristiwa politik sehari-hari memperlihatkan betapa
tingginya naluri menjajah anak bangsa, dan ketika globalisasi membuka mata kita
bahwa manusia kulit putih, termasuk belanda, adalah manusia yang cukup arif dan
humanis, muncul kebutuhan untuk melakukan pembacaan dan penulisan ulang atas sejarah
Indonesia. Pemilahan oposisional hitam-putih dirasa tidak faktual dan tidak
adil. Padahal fakta merupakan tulang sumsum penulisan sejarah dan keadilan
adalah ruh bagi sebuah narasi sejarah.
Tokoh-tokoh yang berkecimpung dalam peristiwa-peristiwa penting
yang mendefenisikan Indonesia mesti pertama-tama dipandang sebagai manusia,
manusia saja, bukan manusia jawa, manusia bugis, manusia eropa, manusia cina,
manusia arab, manusia jepang, dan lain sebagainya. Memandang sebagai manusia
artinya menilai tokoh-tokoh itu sebagai pribadi yang tak genap, gesah, goyah,
dan terbelah. Seberapa pun jujur, mereka tetap menyimpan potensi kemunafikan
yang tak mungkin dihindari. Seberapa pun tamak dan bengis, mereka juga
mengamalkan kebaikan-kebaikan kecil nan sederhana terhadap keluarga sendiri,
teman sejawat, maupun rekanan kerja atau anak buah. Sesuka dan seobsesif apapun
terhadap perang, mereka, mungkin sekali,
adalah para pecinta musik, tari, lukisan, dan ragam seni lain.
Tidak ada tempat lagi bagi pahlawan yang didewa-dewakan atau
bagi penyamun yang disetan-setankan. Semuanya manusia. Sejarah Indonesia
bukanlah sejarah dewa atau sejarah setan, tetapi sejarah manusia. Hanya dengan
menerima pandangan sejarah ini, penulisan sejarah Indonesia baru akan beranjak
lebih dewasa dan objektif. Setiap tokoh menjadi bernyawa. Setiap peristiwa
menjadi penuh dinamika, gejolak, lebih berwarna, dan tidak menjenuhkan serta
monokrom. Sejarah pun memainkan perannya sebagai ilmu, tidak melulu sebagai
alat indoktrinasi dan propaganda.
Apa yang saya kemukakan ini sebenarnya telah jauh-jauh hari
diusulkan oleh Soedjatmoko dalam, kalau tak keliru, kongres pertama sejarah
Indonesia, tepat sebelum kanon sejarah nasional yang warnanya hanya hitam-putih
itu ditulis. Soedjatmoko memperingatkan agar sejarah Indonesia ditulis berdasar
perspektif internasionalis dan humanis. Tetapi karena semangat zaman yang
berkembang pada waktu itu adalah nasionalisme yang tampaknya kekanak-kanakan
dan ramboistis, Soedjatmoko kalah suara. Dan jadilah kini sejarah Indonesia
sebagai sejarah yang tertutup, terbatas, dan fiksional, tidak terbuka, tidak
berdarah dan berdaging, mudah sekali memancing konflik, dan terus terang,
kurang ilmiah.
Kita pun buta dan lupa terhadap andil belanda dalam
merasionalisir dan memodernisir peradaban Indonesia, juga dalam menyatukan
wilayah nusantara. Kita tidak ingat bahwa pada masa kolonial pajabat pribumi
ternyata lebih korup dan dungu daripada pejabat belanda yang beberapa di
antaranya berpikiran etik, progresif, bahkan revolusioner dan nasionalis. Tanpa
campur tangan dan bimbingan orang Eropa seperti Dekker, Sneevliet, dan
Abendanon, tokoh-tokoh semacam Soewardi Soerjaningrat, Semaoen, dan Kartini
belum tentu akan tampil pada panggung sejarah Indonesia.
Sejarah Indonesia adalah bagian dari sejarah dunia. Indonesia
dibangun tidak hanya oleh indonesier yang berkulit sawo matang, tetapi juga
oleh indonesier yang berkulit putih berhidung mangir, berkulit kuning langsat
bermata sipit, berkulit hitam berperawakan tinggi-besar. Indonesia, bahkan
semenjak sebelum lahir, sudah merupakan kancah dialog dan ruang gotong-royong
bagi hampir semua komunitas bangsa di dunia.
Soekarno pernah mengingatkan, nasionalisme Indonesia tidak
sovinistis, membuka diri terhadap dan turut serta dalam pergaulan
internasional. Tetapi karena Soekarno adalah manusia peragu yang terbelah, dan
bukan dewa, dia tampaknya mengingkari sendiri kata-katanya ini. Dia
memaklumatkan perang terhadap Malaysia dan menetapkan demokrasi terpimpin yang
dalam pelaksanaannya cenderung fasistis.
Yogyakarta, 4 desember
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam