Keterbukaan
Budaya
Oleh:
Mochtar Lubis
Dalam nomor ini kami muat sebuah esei
berjudul Glasnost Intelektual di Indonesia oleh Prof. Dr. P. Sidharta, yang
amat terkenal di Jakarta dan di dunia perguruan tinggi di negeri kita dengan
berbagai buku ilmu kedokteran yang ditulisnya.
Apa yang digambarkannya berupa gejala
ketertutupan ilmiah di dunia perguruan tinggi kita, dengan memberikan
contoh-contoh di bidang kedokteran, patut mengejutkan kita semua. Jika penyakit
yang sama juga berjangkit di kalangan disiplin ilmu-ilmu yang lain, bagaimana
bangsa Indonesia akan mampu mengembangkan ilmu seluas-luasnya di negeri kita
ini? Seandainya setiap ilmuwan merasa harus menyimpan tiga jurus untuk dirinya
sendiri, dan mengajarkan hanya tujuh jurus dari ilmu yang mengandung 10 jurus,
maka ilmu bukannya jadi bertambah maju, akan tetapi malahan mundur. Karena
mahasiswanya kemudian akan menyimpan pula sedikitnya satu atau dua jurus untuk
dirinya sendiri, agar tidak terkalahkan oleh mahasiswanya nanti.
Ketertutupan intelektual seperti ini adalah
juga akibat dari ketertutupan budaya. Sudah terlalu lama, sedikitnya dua kali
20 tahun lebih orde lama dan orde baru, manusia Indonesia telah tidak diberi
iklim kebebasan untuk bersikap dan menyatakan kritiknya terhadap yang terjadi
dalam masyarakatnya, dan manusia yang tidak kritis adalah manusia yang juga
tidak mungkin kreatif. Karena itu timbul manusia-manusia Indonesia seperti yang
disebut Prof. Sidharta itu. Malahan ada yang menyembunyikan buku-buku ilmiah
yang sedang dipelajarinya agar tidak diketahui oleh kolega-koleganya sendiri,
agar dirinya sendiri tetap lebih unggul ilmunya dari orang lain. Dia sendiri
tidak kreatif, dan juga hanya menimba ilmu dari ilmuwan lain, yang lebih
kreatif dari dia.
Alangkah bedanya sikap orang seperti ini,
dengan umpamanya pengalaman saya dengan kawan-kawan saya di luar negeri. Tiap
kali saya berkunjung ke rumah mereka, atau ke universitas tempat mereka
mengajar, mereka selalu bertanya apakah saya telah membaca buku-buku baru yang
mereka tahu mengenai bidang-bidang minat saya, seperti lingkungan hidup,
bioteknologi, komunikasi dan informasi, falsafah, dan lain-lain.
Teman-teman saya di luar negeri itu gembira
untuk membagi informasi dengan saya dan dengan teman-teman mereka yang lain.
Telah menjadi keharusan dan kebiasaan pada mereka untuk menulis tentang
penemuan-penemuan mereka, agar dapat diketahui orang banyak dan teman-teman
sejawat mereka.
Kebudayaan kita yang tertutuplah, yang
membuat orang merahasiakan apa yang diketahuinya, yang membuat orang
merahasiakan apa yang diketahuinya yang berarti penting bagi perkembangan dan
kemajuan bangsanya sendiri, agar dia tetap unggul sendiri.
Di kebudayaan yang terbuka ilmu dapat
ditimba dari buku-buku yang dapat dibeli oleh setiap orang. Seseorang hanya
dapat menduduki tempat yang unggul, jika dia dapat berpikir dan bekerja lebih
kreatif, lebih keras dan lebih rajin, dan penuh integritas dari orang lain.
Malahan saya pernah menghadiri sebuah
diskusi antara seorang ilmuwan lain, mengenai sebuah teori yang sedang
dikembangkannya, dan mereka bertukar-pikiran dengan asyik sekali.
Mungkin masalah ini juga patut didiskusikan
nanti dalam satu kongres kebudayaan nasional, jika tidak dilakukan oleh Menteri
P & K Fuad Hassan, semoga oleh menteri P & K lain yang satu waktu akan
menggantikannya nanti.
***
Diperlukan:
Glasnost Intelektual di Indonesia
Oleh:
P. Sidharta
Pendahuluan
Karena tirai besi komunis, manusia di Uni
Soviet merasakan kesumpekan, kegerahan, dan kegelapan. Untuk mengadakan
perbaikan agar ruang napas menjadi lebih lega, kesejukan dapat menyegarkan
badan dan cahaya dapat mengusir keremang-remangan, Gorbachev telah menciptakan glasnost, yakni kondisi keterbukaan.
Demi keamanan, setiap negara, baik yang
komunis, fasis maupun demokratik, memiliki satu sektor tanpa keterbukaan,
yaitu sektor dinas rahasia atau dinas intelijen. Para ilmuwan yang
bekerja di sektor yang dikategorikan dalam sejenis dinas rahasia, seperti
ilmuwan yang bekerja di institut teknologi tinggi yang membuat alat-alat
canggih untuk peperangan dan ekspansi di luar angkasa, mereka harus
merahasiakan tugas dan hasil pekerjaannya. Menurut Shakarov sebenarnya mereka
bukan ilmuwan. Mengapa?
Pokok
keterbukaan intelektual
Shakarov, seorang ilmuwan teknologi tinggi
di departemen pertahanan negara di Uni Soviet minta diberhentikan dari
jabatannya, oleh karena ia kehilangan kebebasan intelektualnya. Menurut
Shakarov, seorang ilmuwan tidak tahan menyimpan penemuannya dalam diri sendiri,
melainkan senantiasa berhasrat untuk mengkomunikasikannya di dunia ilmiah. Maka
pada hakikatnya ciri utama dari ilmuwan
adalah hasratnya untuk berkomunikasi dan itulah dasar keterbukaan
intelektual.
Krisis
keterbukaan intelektual sepanjang masa
Dalam sejarah terdapat banyak contoh
tentang usaha-usaha yang hendak meniadakan keterbukaan intelektual. Pada tahun
213 sebelum masehi, kaisar Cina Shih Huang-ti membakar buku-buku Konfusius dan
karya tulis cendekiawan dengan maksud menghilangkan pengaruh pihak lawan kelas
yang berkuasa. Emperium Romawi tidak dapat menandingi emperium Byzantium dalam banyak hal kecuali dalam
peperangan. Karena iri hati itu maka kebudayaan Byzantium (= Helenisme) tidak dapat dikembangkan secara terbuka di
Roma dan Eropa. Gereja Katolik pun anti kebudayaan helenistik yang memuja
kepada dewa-dewa sehingga melarang kaum terpelajar Eropa yang beragama Katolik
untuk mempelajari ilmu kedokteran helenistik.
Berbeda dengan sikap Gereja Katolik dan
emperium Roma adalah sikap dunia Islam. Di ketiga kalifahnya, Bagdad, al-Iskandaria
dan Kordoba, ilmu kedokteran helenistik dipelajari dengan bebas sehingga pada
waktu Karel Agung membutuhkan seorang
dokter untuk mengajar ilmu kedokteran di Perancis, ia mengajukan permohonan
kepada Kalif Harun al-Rasyid.
Berkat keterbukaan dunia sekemakmuran Islam
ilmu kedokteran helenistik (Yunani) dapat diawetkan dalam bahasa Arab. Dan
karya tulis dalam bahasa Arab itulah merupakan sumber pengetahuan bagi Eropa
yang menterjemahkannya dalam bahasa Latin.
Glasnost
intelektual sekarang ini di Indonesia
Tuan Pronk beberapa kali datang ke
Indonesia untuk melihat keadaan sosioekonomik Indonesia di sana-sini. Pada
perlawatan inspeksinya kali ini, Prof. Dr. Mohammad Sadli dapat mengomentari
bahwa kehadirannya (Pronk) membawa angin sejuk, karena merupakan contoh
keluguan, informalitas, kesungguhan dalam keyakinan dan keterbukaan serta
transparansi dalam dialognya dengan berbagai kalangan di Indonesia. Sebagai
penutup tulisan Sadli di Tempo 21 April 1990, dapat kita baca: “Bagi masyarakat
Indonesia, yang dewasa ini ramai mendiskusikan masalah pemerataan, masalah
demokrasi ekonomi, masalah kesenjangan sosial, maka kontribusi Jan Pronk kepada
dialog nasional ini harus dihargai. Tapi pemerintah RI menyadari bahwa glasnost (keterbukaan) akan membawa
manfaat bagi kita semua”.
Tampaknya keterbukaan sudah masuk bidang
sosioekonomik dan politik. Bagaimana dengan keterbukaan intelektual. Kini di
kalangan Institut Agama Islam Negerti (IAIN) terdapat kesempatan untuk belajar bersikap terbuka melalui studi di Jurusan Bahasa dan Kebudayaan di
Universitas Negeri di Leiden. Soalnya “Selama ini sarjana kita (IAIN) lebih
banyak mempelajari taufik dan fikih” demikian penjelasan Bapak Zarkowi
Soejoeti, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama. Lalu
penjelasan berlanjut, “Karena itu ada baiknya bila kepada mereka juga
diperkenalkan pemikiran-pemikiran mengenai Islam yang ada di kalangan
orientalis Barat.”
Bagaimana di universitas yang wajib
merupakan benteng kebebasan berikut keterbukaan intelektual?
Kesan yang diperoleh berdasarkan kenyataan
adalah sebagai berikut. Para dosen, dari profesor sampai asisten ahli, yang
mengetahui misi tugasnya, yakni memeratakan pemilikan ilmu, semuanya bertindak
sesuai dengan jiwa keterbukaan intelektual. Dosen yang tidak memperlihatkan
keterbukaan intelektual tergolong pada kelompok yang dicoraki oleh aspirasi menjadi adikuasa intelektual.
Bukan suatu dongeng apalagi kabar burung
bahwa di perguruan tinggi pemerintah ada seorang guru besar yang menginstruksikan
kepada para asistennya: “Jangan memberikan pelajaran terlalu banyak, karena
nantinya kita mendapat terlalu banyak saingan “ (dalam praktek kedokteran
sehari-harinya).
Lain profesor yang beraspirasi menjadi
adikuasa dalam ilmu kedokteran, tidak senang kalau para asistennya mengetahui
buku-buku teks terbaru yang sang profesor sedang baca. Aspirasi untuk tetap
menjadi adikuasa dalam bidang kedokteran terbukti juga dalam kebiasaannya untuk
“memberikan 5 sampai 7 pukulan saja” kepada anak didiknya, seperti suhu silat
zaman dulu, yang mempertahankan 3 pukulan bagi bela diri kalau-kalau muridnya
makar terhadapnya.
Belum lama ini ada seorang dosen yang
mengeluh tentang pengangkatan guru besar. Senat guru besar dianggapnya tidak
bertindak bijaksana, apabila seorang guru besar diangkat dan staf bagian yang
bersangkutan melontarkan pertanyaan ke ruang bebas: “Karena apa dia yang
diangkat menjadi guru besar?” Jika ada keterbukaan intelektual, tidak mungkin
seorang yang dikenal kurang bobot akademiknya secara obyektif diangkat menjadi
guru besar.
Tindakan anti keterbukaan intelektual yang
juga jelas adalah larangan belajar dari buku teks karangan seorang dosen.
Profesor yang melarang itu sendirinya tidak mampu menyusun buku teks, namun ia
melarang para mahasiswa mempelajari buku teks yang ada (dalam bahasa
Indonesia).
Lebih-lebih di rumah sakit, praktek
kedokteran sehari-hari dilakukan tanpa keterbukaan intelektual. Seorang
penderita dirawat oleh seorang dokter. Dari hari ke hari keadaan pasien mundur
dan keluarga pasien mengusulkan untuk mengkonsulkan pasien kepada dokter lain.
Dalam hal itu terjadi banyak hal-hal yang menegangkan, yang semuanya merupakan
perwujudan dari sikap yang anti keterbukaan intelektual. Salah satu contoh yang
diceritakan oleh suami seorang pasien adalah sebagai berikut. “Saya mempunyai
dokter langganan yang sudah seperti kawan akrab sekali. Tetapi waktu istri saya
sakit dan dirawat oleh dia, saya mengusulkan untuk konsult dokter lain. Di luar
dugaan dan pengertian saya ia marah besar, sampai menuding-nuding kepada saya
sambil menyampaikan kemarahannya. Ia menghendaki putus hubungan sama sekali.”
Minta untuk diperiksa oleh dokter lain kalau keadaan pasien mundur atau kalau
diagnosis atau usul tindakan operasi dari dokter yang sedang merawatnya kurang
sreg dengan perasaan atau pendapat keluarga. Minta “second opinion” atau “minta
pendapat dari dokter lain” adalah hak azasi setiap pasien. Tetapi banyak dokter
merasa dihina atau tidak dipercaya kalau pasiennya menghendaki pendapat dokter
yang dimintai konsultasi berimplikasi bahwa ia lebih unggul dalam profesinya,
maka setiap permintaan konsultasi dirasakan oleh dokter yang sedang merawat
pasien sebagai penghinaan, bahwasannya dokter lain dianggap lebih pintar dari
dia. Sebenarnya dokter yang sedang merawat pasien (“attending doctor”) harus
memperlihatkan keterbukaannya demi kebaikan pasiennya. Semua konsult yang
diusulkan pasien harus disetujui. Dalam suasana keterbukaan “attending doctor”
dan dokter konsulen mencari cara penanggulangan yang paling baik bagi
pasien. Dalam segala kemungkinan
“attending doctor” senantiasa mendapat keuntungan dari konsultasi. Jika
terbukti bahwa diagnosis dan tata pelaksanaan mediknya tepat ia mendapat
dukungan kuat dari konsulen. Bilamana diagnosis dan terapinya kurang tepat, ia
memperoleh pelajaran dan pengalaman tambah.
Menuju
keterbukaan intelektual
Orang-orang yang menghalang pemerataan
intelektual, orang-orang pencipta kesenjangan intelektual, dan orang-orang
dengan aspirasi monopoli intelektual merupakan kekuatan anti keterbukaan
intelektual, yang menghalang kemajuan di segala bidang kehidupan bangsa
Indonesia.
Banyak kongres ilmiah telah diselenggarakan
di Jakarta, Denpasar, dan seterusnya, tetapi belum pernah diadakan dialog
nasional tentang sikap intelektual yang nasional, yang sehat dan tepat.
Nepotisme dalam perguruan tinggi dan eselon
tinggi segenap departemen RI sukar tumbuh bahkan tidak dapat berkembang, bila
terdapat keterbukaan dalam seluruh aparatur negara.
“Brain drain” akibat dipensiunkannya
profesor, yang tidak mau menghibahkan segenap pengetahuan dan pengalaman semasa
dinasnya menjadi minimal sekali.
Semua sarjana yang bersikap terbuka
menjamin kehidupan intelektual yang kreatif dan produktif.
Masalah kesenjangan sosial, pemerataan
kemakmuran, dan masalah demokrasi ekonomi bergandengan erat dengan kesenjangan
intelektual, demokrasi intelektual, yang dapat ditanggulangi melalui glasnost
intelektual.
NB:
dua artikel ini dimuat dalam Majalah Horizon No. 6 Thn. XXIV 1990, hlm.
615-618.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam