Tiap genarasi melahirkan ibrahimnya masing-masing. Pertama ia dihina, selanjutnya ia dipuja. Pertama ia dihadang, selanjutnya ia digadang. Pertama potretnya dipasang sebagai pembangkang, selanjutnya gambarnya dipajang sebagai pahlawan.
Dan sejarah puisi adalah tarikh ibrahim yang membangkang, namun juga jejak panjang kemenangan, setelah mengapak kalah dan patah berulang-ulang. Sayang, kemenangan itu sering tinggal kenangan yang hanya dibuang-buang.
Boleh orang hilang ingatan, tapi di sini, sisiphus harus mandi dan main api, dan siti jenar masih terbakar, tapi di sana, lukman tabah membegawan, dan homerus belum hangus, dan yudhistira setia dalam lara. Maria di darah mereka, Kunti di hati mereka, aminah di panah mereka.
Dalam daihar, zamzam zaman terpancar, akan mekar sekar segar di seluk belukar. Di tiap rawa tetap ada buaya dan ular. Di pahit obat, tersisip ramuan sehat.
Puisi benar menyepi dalam sunyi, tapi baru dalam kelahiran dan kematian ia benar-benar sendirian. Puisi, tutur majnun, adalah biji kematian dan benih kelahiran. Dan karena puisi, terjadi janin-janin, lahir bayi-bayi, bayi-bayi ibrahim yang hakim.
Serenada
~Steven & Coconut Treez~
Aku ingin nyanyikan lagu
Buat orang-orang yang tertindas
Hidup di alam bebas
Dengan jiwa yang terpapas
Kenapa harus takut pada matahari
Kepalkan tangan
Dan halau setiap panasnya
Kenapa harus takut pada malam hari
Nyalakan api dalam hati
Usiri segala kelamnya
Aku ingin nyanyikan lagu
Bagi kaum-kaum yang terbuang
Kehilangan semangat juang
Terlena dalam mimpi panjang
Di tengah hidup yang bimbang
Di lorong-lorong jalan
Di kolong-kolong jembatan
Di kaki-kaki lima
Di bawah menara
Kau masih mendekam derita
Aku ingin nyanyikan lagu
Tanpa kemiskinan dan kemunafikan
Tanpa airmata dan kesengsaraan
Agar dapat melihat surga
wisma tan panama, 10 januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam