“Masukkan Kembali Semua!”
Totto-chan belum pernah bekerja sekeras itu
sepanjang hidupnya. Hari itu ia benar-benar sial. Dompet kesayangannya jatuh ke
dalam kakus! Tidak ada uang di dalamnya, tapi Totto-chan sangat suka dompet
itu. Dibawanya dompet itu ke mana-mana, termasuk ke kakus. Dompet itu memang
cantik, terbuat dari kain tafetta
kotak-kotak merah, kuning, dan hijau. Bentuknya segi empat, tipis dan dihiasi
bros berbentuk anjing scotch terrier
pada penutupnya yang berbentuk segitiga.
Nah, Totto-chan punya kebiasaan aneh. Sejak
kecil, setiap kali ke kakus, ia selalu mengintip ke dalam lubang setelah
selesai buang air. Akibatnya, bahkan sebelum masuk ke sekolah dasar, ia telah
kehilangan beberapa topi, termasuk satu yang terbuat dari jerami dan satu yang
terbuat dari renda putih. Kakus, di masa itu, belum punya sistem
guyur-otomatis. Di bawahnya ada semacam penampung kotoran. Tak heran jika
topi-topinya tampak terapung-apung di bak penampung kotoran. Mama selalu
melarang Totto-chan mengintip ke dalam lubang kakus setelah selesai memakainya.
Hari itu, ketika Totto-chan pergi ke kakus
sebelum sekolah mulai, ia melupakan larangan Mama. Sebelum menyadari apa yang
sedang dilakukkannya, tahu-tahu ia sudah mengintip ke dalam lubang. Mungkin
karena genggamannya yang mengendor, dompet kesayangan Totto-chan terlepas dari
tangannya dan tercebur ke dalam lubang. Air pun berkecipak. Totto-chan menjerit
ketika dompetnya lenyap di telan kegelapan di bawahnya.
Tapi Totto-chan bertekad takkan menangis
atau merelakan dompetnya hilang. Ia pergi ke gudang peralatan tukang kebun lalu
mengeluarkan gayung kayu bertakai panjang yang biasa digunakan untuk menyiram
tanaman. Panjang tangkai gayung itu hampir dua kali tinggi badannya, tapi itu
sama sekali tidak menyurutkan tekad Totto-chan. Ia berjalan ke belakang sekolah
sambil menyeret gayung itu dan coba menemukan lubang untuk mengosongkan bak
penampung kotoran. Ia menduga letaknya pasti di luar sisi dinding kakus.
Setelah susah payah mencari, akhirnya ia melihat penutup lubang berbentuk
bundar kira-kira satu meter dari situ. Dengan susah payah, ia membuka penutup
itu dan akhirnya menemukan lubang yang dicarinya. Totto-chan menjulurkan
kepalanya ke dalam.
“Wah ini sama besarnya dengan kolam di
Kuhonbutsu!” serunya.
Kemudian Totto-chan mulai bekerja. Ia mulai
mencedok isi bak penampung kotoran itu. Mula-mula ia mengaduk-aduk tempat
jatuhnya dompet. Tapi bak itu dalam, gelap, dan luas karena menampung buangan
dari tiga kakus terpisah. Lagi pula Totto-chan bisa jatuh ke dalam bak jika
memasukkan kepalanya terlalu dalam. Akhirnya ia memutuskan untuk terus
mencedoki kotoran dan berharap akan menemukan dompetnya. Begitulah, Totto-chan
mencedoki kotoran lalu menuangkannya ke tanah di sekitar lubang.
Tentu saja setiap kali mencedok ia
memeriksa kalau-kalau dompetnya sudah terangkat bersama kotoran. Tapi ia tidak
mengira akan perlu waktu lama untuk menemukan dompetnya dan sejauh ini belum
ada tanda-tanda benda itu akan ditemukan. Di mana dompet itu? Bel berdering
tanda kelas dimulai.
Apa yang harus kulakukan? pikir Totto-chan.
Tapi karena sudah telanjur, ia pun memutuskan untuk melanjutkan. Gadis cilik
itu meneruskan mencedok dengan semangat baru.
Tumpukan kotoran di tanah sudah cukup
tinggi ketika Kepala Sekolah kebetulan lewat.
“Kau sedang apa?” tanyanya kepada
Totto-chan.
“Dompetku jatuh,” jawab Totto-chan, sambil
terus mencedok. Ia tak ingin membuang waktu.
“Oh, begitu,” kata Kepala Sekolah, lalu
berjalan pergi, kedua tangannya bertaut di belakang punggung, seperti
kebiasaannya ketika berjalan-jalan.
Waktu berlalu. Totto-chan belum juga
menemukan dompetnya. Gundukan berbau busuk itu semakin tinggi.
Kepala sekolah datang lagi. “Kau sudah
menemukan dompetmu?” tanyanya.
“Belum,” jawab Totto-chan dari
tengah-tengah gundukan. Keringatnya berleleran dan pipinya memerah.
Kepala Sekolah mendekat dan berkata ramah,
“Kau akan mengembalikan semuanya kalau sudah selesai, kan?” Kemudian pria itu
pergi lagi, seperti sebelumnya.
“Ya,” jawab Totto-chan riang, sambil terus
bekerja. Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas di benaknya. Ia memandang tumpukan
itu. Kalau aku sudah selesai aku bisa memasukkan semua kotoran itu kembali ke
dalam bak, tapi bagaimana airnya?
Air kotor terserap cepat ke dalam tanah.
Totto-chan berhenti bekerja dan mencoba memikirkan cara memasukkan air kotor
kembali ke dalam bak, karena ia telah berjanji kepada Kepala Sekolah akan memasukkan
semua kembali. Akhirnya ia memutuskan untuk memasukkan tanah yang basah.
Sekarang gundukan itu benar-benar sudah
menggunung dan bak penampung nyaris kosong, namun dompet Totto-chan belum juga
ditemukan. Mungkin tersangkut di pinggi bak atau tenggelam di dasar bak. Tapi
Totto-chan tidak peduli. Ia puas karena telah mengerahkan seluruh kemampuannya
untuk mencari dompet itu. Kepuasan Totto-chan jelas adalah hasil rasa percaya
diri yang ditanamkan Kepala Sekolah dengan mempercayainya dan tidak
memarahinya. Tapi, tentu saja hal itu terlalu rumit untuk bisa dimengerti
Totto-chan saat itu.
Kebanyakan orang dewasa, jika mendapati
Totto-chan dalam situasi seperti itu, akan bereaksi dengan berteriak,
“Apa-apaan ini?” atau “Hentikan, itu berbahaya!” atau malah menawarkan bantuan.
Bayangkan, Kepala Sekolah hanya berkata,
“Kau akan memasukkan semua kembali kalau kau sudah selesai, kan?”
Sungguh Kepala Sekolah yang hebat, pikir
Mama ketika mendengarkan cerita kejadian itu dari Totto-chan.
Sejak kejadian tersebut, Totto-chan tidak
pernah lagi mengintip ke dalam lubang setelah selesai menggunakan kakus. Ia
juga makin sayang dan percaya kepada Kepala Sekolah.
Totto-chan memenuhi janjinya. Ia memasukkan
semua kembali ke dalam bak penampungan. Mengeluarkan isi bak itu sungguh kerja
yang keras, tapi memasukkannya kembali ternyata jauh lebih cepat. Tentu saja,
Totto-chan juga memasukkan tanah basah. Kemudian ia meratakan tanah, menutup
kembali lubang itu dengan rapi, lalu mengembalikan gayung kayu yang dipinjamnya
ke gudang tukang kebun.
Malam itu, sebelum tidur Totto-chan
teringat dompetnya yang indah dan jatuh ke dalam lubang gelap. Ia sedih karena
kehilangan dompetnya, tapi kejadian hari itu membuatnya sangat letih hingga tak
lama kemudian ia sudah lelap tidur.
Sementara itu, di tempat kejadian, tanah
yang lembap memantulkan cahaya bulan yang indah.
Dan di suatu tempat, dompet Totto-chan
tergeletak dalam sunyi.
NB:
Catatan
ini adalah fragmen dari otobiografi Tetsuko Kuroyanagi, Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela, hal. 56-60 (Gramedia Pustaka Utama, 2008). Terima kasih kepada Iwan Martin yang telah meminjami saya buku
bermutu ini. Totto-chan menggambarkan
kondisi-pembelajaran di Tomoe Gakuen, sebuah sekolah alternatif di Jepang.
Di
Indonesia pernah dan tengah ada sekolah alternatif yang cukup ideal,
berkualitas, dan inspiratif, antara lain: INS Kayu Tanam, Qoryah Thoyyibah, dan
masih banyak lagi. Saya berharap alumni dari sekolah-sekolah itu mau menulis
pengalamannya selama belajar di almamater mereka, seperti apa yang telah
dilakukan oleh Tetsuko. Saya yakin, jika jumlah sekolah alternatif di Indonesia
kian banyak, maka nilai Human Development Index (HDI) kita akan kian naik dan
membaik.
Sudah
tak mungkin lagi, dan sudah bukan waktunya untuk, menaruh harapan terlalu besar
kepada pemerintah yang kerjanya hanya melanggar undang-undang dan hukum, serta
membuat masyarakatnya kecewa, bingung, frustasi, dan putus asa. Masyarakat
harus mandiri, juga dalam hal pendidikan.