Dia doyan sekali sama perempuan. Istrinya tiga. Sebelum menganut
agama Islam, dia adalah seorang Katholik. Dia tipe muslim yang tak rajin
sembahyang. Soal kejawen, dia paham betul. Dia masih termasuk keluarga keraton
Surakarta. Sejak SD dia sudah belajar kejawen, baik teori maupun praktek.
Ketika remaja dia pernah membuat Umar Kayam naik pitam. Apa pasal? Saat
berlatih teater, dia suka semaunya sendiri, sulit diatur, egois, sok, tidak bisa
bekerjasama. Dia adalah binatang jalang tulen. Dia adalah Rendra, lengkapnya:
Wahyu Sulaiman Rendra.
Tak dapat disangkal, Rendra adalah wong agung dalam sejarah kebudayaan kita. Dia mempelopori munculnya
sajak-sajak pamflet. Isinya berupa kritik lugas terhadap kekuasaan. Diksinya
tidak diindah-indahkan, tidak dirumit-rumitkan, tetapi tampil apa adanya,
sederhana, sehari-hari, dan hampir tanpa metafor yang melangit. Semua kalangan
bisa mengonsumsi sajak itu. Sajak pamflet adalah wujud kongkret dari konsep
sastra yang terlibat (manjing ing sak
njroning kahanan).
Namun, menurut Bakdi Sumanto, walaupun menulis sajak pamflet,
Rendra tidak sedang berpolitik praktis. Dia mengritik kekuasaan dalam
kapasitasnya sebagai penyair, bukan sebagai politisi. Rendra tidak bisa
disamakan dengan para sastrawan Lekra. Lekra menempatkan sastra di bawah
komando politik. Penyair adalah juru bicara partai. Sedangkan bagi Rendra,
tampaknya sastra tidak boleh dikendalikan oleh politik, justru sebaliknya,
sastralah yang harus mengendalikan politik. Sastra adalah kusir delman yang
mengendalikan kuda politik.
Sikap terlibat tapi tidak terseret arus ini adalah ciri khas
Rendra. Pada tahun 1970, mahasiswa mulai muntab terhadap Soeharto. Presiden
baru itu ternyata tidak lebih baik daripada seniornya, Soekarno. Para mahasiswa
berniat menggulingkan Soeharto. Tapi posisi mereka sulit. Militer memihak
Soeharto. Kondisi ini berbeda dengan ketika mereka berencana menggulingkan
Soekarno pada tahun 1960-an. Saat itu militer memihak mahasiswa. Meskipun paham
bahwa mereka akan tidak berhasil menggulingkan Soeharto dan akan dilumat oleh
militer, namun para mahasiswa itu tetap bersikeras mengadakan unjuk rasa
meminta Soeharto turun tahta. Suasana memanas. Tentara diturunkan untuk
menghadang dan meredakan aksi mahasiswa.
Rendra sebetulnya juga tidak setuju dengan tindak-tanduk Soeharto.
Tapi Rendra memilih tidak bergabung dalam kelimunan mahasiswa. Rendra membuat
aksi sendiri. Dia mengajak beberapa temannya untuk menyelenggarakan apa yang
disebut oleh Goenawan Mohamad sebagai malam
tirakatan. Malam itu, di halaman Istana Merdeka mereka duduk layaknya
pertapa yang sedang bersemedi. Begitulah cara Rendra melawan ketidakadilan.
Momen Malam Tirakatan itu
rupanya menjadi bahan renungan panjang bagi Rendra. Refleksinya terhadap
peristiwa tersebut membuahkan naskah teater berjudul: Mastodon dan Burung Kondor. Bengkel Teater pertama kali mementaskan
naskah ini di ITB, kemudian di UGM. Memang, selain sebagai penyair, Rendra juga
dikenal sebagai pembaharu dalam sejarah teater Indonesia. Rendra pernah membuat
gebrakan dengan mementaskan teater minikata.
Jogja,
Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam