SELAMA sekitar tiga bulan ini saya mencoba untuk lebih intensif
belajar ilmu mendidik. Ini saya lakukan bukan karena saya ingin segera lulus.
Sedari semester pertama, saya sengaja memperlama masa kuliah. Tujuannya: supaya
kepribadian saya menjadi lebih matang dan hidup, selain memang ingin memperpanjang
masa bermain-main dan berpetualang.
Saya telusuri sejarah pendidikan di Indonesia. Saya lacak apa
tujuan puncaknya. Saya perhatikan bagaimana aplikasi lapangannya. Saya baca
buku yang ditulis oleh beberapa guru dan pakar pendidikan kita. Setelah melakoni
hal itu secara serabutan dan serampangan, saya lantas mengambil beberapa
kesimpulan tentatif. Di sini saya tulis lima kesimpulan yang menurut saya
paling penting.
Pertama, terbentang jarak yang begitu lebar antara cita-cita
pendidikan nasional dengan penerapannya di lapangan. Bahkan bukan sekedar
jarak, melainkan kontras, seperti kontras antara hitam dan putih atau langit
dan bumi. Apa yang telah letih-letih dirumuskan oleh para ahli pedagogis kita,
kurang, bahkan tidak, dipraktekkan, sedangkan apa yang dicoba dihindari oleh
mereka justru dipraktekkan dengan massif. Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara
bahkan dipetimatikan oleh Taman Siswa, lembaga pendidikan alternatif yang dia
bangun dan dia rancang sebagai purwarupa pendidikan Indonesia. Kalau pun masih
sempat diseminarkan, paling jauh hanya dimaksudkan sebagai slogan promosi
belaka.
Kedua, pendidikan formal yang dikelola oleh pemerintah kurang
bisa diharapkan berfungsi sebagaimana seharusnya. Perhatian harus beralih pada
pengembangan pendidikan informal atau pendidikan luar sekolah. Jumlah sekolah
alternatif perlu diperbanyak dan disebarluaskan hingga ke daerah-daerah.
Mengharapkan profesionalitas kinerja pemerintah sama halnya dengan menyemai benih
kekecewaan, kemarahan, dan keputusasaan. Masyarakat harus mandiri dan
mengorganisir diri membangun pusat-pusat belajar sendiri.
Ketiga, sekolah memang bertanggung jawab mendidik anak-anak.
Tetapi kewajiban mendidik tidak bisa dan tidak mungkin begitu saja diserahkan
sepenuhnya kepada sekolah. Sekolah hanya membantu anak-anak belajar dan
membantu orang tua mengajari anak-anak cara belajar. Pendidik pertama dan utama
adalah orang tua. Artinya, sekolah dan masyarakat, guru dan orang tua, harus
bekerjasama dalam rangka baik menciptakan lingkungan belajar yang kondusif
maupun menolong anak belajar menemukan jati dirinya.
Keempat, pendidikan harus adaptif dengan situasi kontemporer dan
harus antisipatif. Pendidikan tidak boleh melawan arus zaman dan tidak boleh
jadul. Jika Indonesia masih ingin sekurang-kurangnya survive di kancah
kompetisi global, para pelajar SD kita sudah harus akrab dengan teknologi,
bahasa, dan budaya digital. Sayang sekali, di sana-sini masih banyak kendala
yang menghambat realisasi angan-angan ini.
Kelima, tampaknya saat ini sedang terjadi gelombang reformasi
pendidikan, menyusul gelombang demokrasi ketiga, gelombang revolusi
komunikasi-informasi, dan terpolarisasinya tata ekonomi global. Ketidakpuasan warganegara
terhadap sistem pendidikan aktual memuncak. Kurikulum baru diujicobakan di
sekolah-sekolah. Sebagian guru telah menanggalkan paradigma klasik dan beranjak
memakai paradigma baru yang lebih kritis dan terbuka. Sekolah-sekolah jenis
baru didirikan. Ini, sejauh saya ketahui, merupakan gelombang reformasi
pendidikan yang kedua setelah periode politik-etis. Akan tetapi, gelombang
reformasi pendidikan ini masih terpusat di pulau Jawa. Semoga, dalam jangka
waktu dekat, para sarjana pendidikan lokal akan tergerak untuk merombak sistem
pengajaran di provinsinya.
Yogya, 2
Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam