Dihitung-hitung, telah lebih dua tahun saya menulis puisi.
Jumlah puisi saya lebih dari seratus, termasuk puisi yang tak sengaja digubah.
Selama seminggu ini, saya mengumpulkan dan menyeleksi puisi-puisi itu. Saya
ingin menerbitkan antologi puisi perdana. Setelah saya pilih, ternyata
terkumpul kurang dari 50 biji puisi yang menurut saya pantas untuk diabadikan.
Sambil menyunting, saya membaca dan membaca ulang puisi-puisi
itu. Setelah bacaan pertama, saya berpendapat: puisi saya boleh juga, tak kalah
lah kalau diadu dengan puisi para penyair koran. Setelah bacaan kedua, saya
berpikir: ada yang kurang dari puisi-puisi ini. Tapi apa itu? Setelah bacaan
ketiga, saya mulai loyo, dan berkesimpulan: puisi-puisi ini membosankan. Tema,
diksi, dan imajinya mengulang-ulang, klise sekali. Komposisi masih kasar dan
semrawut. Selain itu, cenderung gelap dan tak lugas. Terlalu disulitrumitkan.
Jangankan orang lain, saya sendiri kepayahan memahami makna beberapa puisi
saya. Tapi, mengapa saya menulis puisi seperti itu? Tentu ada alasannya.
Setelah bacaan keempat, saya ragu untuk menerbitkan kumpulan puisi itu. Saya
merasa tak pantas. Saya tak berhasil menulis puisi yang berkualitas. Setelah
bacaan kelima, saya bertanya: mengapa saya tak berhasil menulis puisi? Apa yang
salah dalam proses kreasi saya?
Selama ini, saya menulis puisi dengan metode automatic writting. Kata yang terlintas
saya tangkap, saya catat, kemudian saya biarkan kata itu mengalir menemukan
kata berikutnya, begitu seterusnya hingga ujung puisi. Atau: sepenggal kalimat
yang datang tiba-tiba saya rekam dan saya kembangkan menjadi sebuah puisi. Kata
dan kalimat tak diundang itu bisa merupakan kristalisasi dari sebuah ide atau
hanya kata dan kalimat yang datang menumpang lewat.
Automatic writting juga digunakan sebagai metode melukis. Automatic writting adalah metode kreasi yang “dicuri” kaum surealis
dari klinik psikoanalisa. Pasien yang mengalami gangguan jiwa dapat disembuhkan
apabila dia menulis atau melukis segala yang terlintas dalam benaknya secara
bebas. Tulisan itu membantu psikolog menafsirkan “ struktur racun rohani” yang
mengendap dalam alam bawah sadar kliennya. Usai menafsirkan dan membuat
diagnosa, psikolog memberi sugesti kepada kliennya. Kabarnya, jika “upacara”
ini dilakukan secara berulang-ulang dan kontinyu, pasien akan bisa waras
kembali.
Anda bisa menggunakan metode ini ketika hati lagi galau.
Caranya, cari buku diari, tulis semua suara yang menyesaki dada Anda. Rampung
menulis, saya jamin Anda akan merasa lebih lega, plong, walaupun masalah tidak
akan tuntas hanya dengan mencurahkan perasaan ke dalam buku diari. Paling
tidak, strategi ini menolong Anda untuk membaca keadaan secara lebih jernih. Anda
jadi lebih mengenal seluk-beluk permasalahan. Anda menjadi paham kenapa Anda
berbuat A dan tidak berbuat B sementara orang lain berbuat X dan tidak berbuat
Y. Singkatnya, dengan strategi ini, perlahan-lahan Anda akan mengenal siapa
sejatinya diri Anda. Kata orang bijak, orang yang mengenal dirinya akan
mengambil keputusan yang cerdas dan tepat sehingga masalah lekas terselesaikan
dengan baik.
Memang itulah tujuan saya menulis puisi secara automatic writting. Saya ingin mengenal
diri saya. Saya ingin tahu mengapa saya begini, di mana dunia saya, dan apa
peran yang diamanatkan tuhan kepada saya di dunia ini. Setelah dua tahun lebih
menulis puisi, apa saya telah mengenal diri saya? Belum. Tapi saya telah sedikit
mampu menemukan garis sambung antara masa lalu, masa kini, dan masa depan saya,
biarpun garis sambung itu kelihatan tak terlalu jelas, masih samar, hanya
bayangan-bayangan sekejap belaka. Tampaknya, saya masih harus melanjutkan
menulis puisi dengan metode automatic
writting.
Namun saya ingin pula mencoba metode lain, misalnya metode yang
lebih sistematis, dengan prolog, pokok, dan epilog yang menyusun sebuah cerita.
Saya ingin memperkaya diksi dan bereksperimentasi dengan metafora-metafora yang
tak sempit dan itu-itu melulu. Sampai saat ini saya belum mau menentukan tema
khas puisi-puisi saya. Soal tema, lebih baik mengalir saja. Demikian pula soal
paradigma dan perspektif. Saya tidak mau masuk—dan sepertinya tak bisa
masuk—dalam sangkar ideologi tertentu. Saya juga tertarik dengan pantun dan
mantra, dua ragam sastra lisan Melayu. Saya kepingin belajar tembang Jawa.
Pastinya, waktu dua tahun belum cukup. Proses kreatif masih akan
sangat lama lagi. Saya akan mencoba berkreasi dengan metode-metode lainnya,
bila mungkin, menemukan metode kreasi sendiri dan bentuk puisi sendiri yang berbeda
dengan bentuk yang sudah ada selama ini.
Puisi-puisi saya barangkali tidak akan menyebabkan saya dibaptis
sebagai penyair. Akan tetapi, puisi-puisi saya adalah tanda bahwa saya ada,
hidup, dan berkarya; bahwa saya adalah manusia. Saya bangga dengan puisi
gubahan saya, bahkan puisi yang paling gagal sekali pun. Puisi-puisi itu adalah
iluminasi, dan bagian dari, diri saya.
Yogyakarta, Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam