WALAUPUN memiliki sepasang telinga, manusia adalah makhluk yang
paling tidak suka mendengarkan nasihat orang lain, terlebih bila nasihat itu
diungkapkan dengan cara yang menggurui dan cenderung menyalahkan. Manusia
selalu saja minta didengar, sebelum dia mau mendengarkan. Cara terampuh untuk
menasihati dan mendidik adalah tidak dengan kata-kata. Orang baru sadar bahwa
dia salah apabila dia telah kena batunya, merasakan sendiri akibat
perbuatannya. Barangakali karena alasan ini dibuatlah pepatah: guru terbaik
adalah pengalaman.
Maka, sebetulnya metode ceramah tidak tepat digunakan ketika
mengajarkan mata pelajaran agama atau kewarganegaraan. Apalagi metode
menghapal. Saya jamin, siswa hanya akan pandai bicara, tetapi hatinya tak
pernah tersentuh dan tergerak sehingga sikap sehari-harinya sama sekali tak
berubah. Sebelum masuk kelas, dia tak kenal tuhan. Setelah masuk kelas, dia
tambah tak kenal dengan tuhan. Sebelum belajar materi “keterbukaan”, dia adalah
siswa yang tertutup dan pikirannya dipenuhi dengan prasangka keliru terhadap
penganut agama lain. Setelah mempelajarinya, dia malah semakin membenci, dan
siap meneror, pemeluk agama lain. Ruang kelas tidak lagi berfungsi sebagai
tempat belajar. Ruang kelas adalah tempat di mana prasangka buruk ditanam,
dendam dipupuk, kebencian disulut, pertumpahan darah dibenarkan, dan kekerasan
dirayakan. Ternyata kita sekolah hanya untuk belajar melampiaskan amarah, berkelahi,
menggunjing, dan memfitnah. Jika begitu, “lebih baik tidak sekolah,” kata
Sujono Samba, staf pengajar di SMP
Alternatif Qoryah Tayyibah, Kalibening, Salatiga.
Metode ceramah dan menghapal sudah ketinggalan zaman dan tak
tepat lagi digunakan. Zaman bergerak.
Problematika zaman berkembang dan semangat zaman berubah. Perkembangan
teknologi informasi yang sedemikian cepat mengharuskan para guru merubah
paradigma kependidikannya. Zaman menuntut baik guru maupun siswa bersikap
terbuka dan arif terhadap perbedaan. Kemudian, bagaimana mengajarkan, misalnya
materi “keterbukaan”, kepada para siswa jika tidak menggunakan metode ceramah?
Sebagaimana teknologi informasi berkembang dengan cepatnya, ilmu
pedagogi juga berkembang sangat cepat. Dengan terus mengadakan dialog bersama
disiplin ilmu lain, misalnya filsafat, psikologi, sosiologi, neorologi,
musikologi, manajemen, dan lain sebagainya, ilmu ini sekarang kian kaya dan
berhasil guna. Metode-metode mengajar baru ditemukan, dieksperimentasikan,
disebarluaskan, dan selalu disempurnakan. Jadi, tak usah khawatir, ada banyak
jalan menuju Roma, ada banyak metode untuk mengajarkan keterbukaan kepada para
siswa.
Sebagai contoh, siswa
muslim diajak berkomunikasi langsung dengan siswa kristen, bila perlu saling
kunjung-mengunjungi tempat ibadah masing-masing, tentu dengan tujuan untuk
saling lebih mengenal satu sama lain. Contoh lain, guru bisa menyusun naskah
drama yang isinya mendorong siswa muslim dan konghucu untuk mengeratkan
persahabatan dan membabat habis prasangka buruk yang tertanam di otak mereka.
Selanjutnya, para siswa itu diajak untuk mementaskan drama tersebut. Pementasan
diadakan secara maraton, pertama di sekolah, kedua di masjid, ketiga di
kelenteng, keempat (mungkin) di balai desa. Siswa muslim berperan sebagai tokoh
agama Konghucu. Sedangkan siswa konghucu berperan sebagai santri yang telah
bertahun-tahun mondok di pesantren salafi. Sebagian siswa lain berperan sebagai
figuran, sisanya sebagai penonton-yang-aktif. Seorang ustadz di sebuah sekolah
Islam dapat membawa pastor ke ruang kelasnya untuk menceritakan banyak hal
mengenai agama kristen kepada para santri. Dengan cara mengajar seperti itu,
siswa selain akan memahami keterbukaan, juga akan “mengalami” keterbukaan. Ini
sejalan dengan prinsip filsafat eksistensialisme dan paradigma konstruktivisme.
Tanpa harus banyak bicara dan banyak kecewa, guru telah mendidik siswanya untuk
menghayati makna keterbukaan.
Siswa tidak sekedar pandai bicara tentang toleransi dan
keterbukaan seperti para politisi atau demagog. Siswa dengan senang hati akan
mempraktekkan toleransi dan keterbukaan dalam kehidupan sehari-harinya.
Keluarganya akan terkesima ketika melihatnya dapat membangun jalinan persahabat
yang erat dan harmonis dengan pemeluk agama lain. Dua anak berbeda agama itu
saling tolong-menolong. Jika yang satu sakit, yang lain mengunjungi, merawatnya
sampai sembuh. Demikian sebaliknya. Agama tidak menjadi penghalang persahabatan
mereka. Melihat betapa besarnya manfaat keterbukaan, seluruh anggota keluarga
itu turut serta bersikap terbuka, mencontoh perilaku si anak. Perlahan-lahan
keluarga tersebut berubah menjadi keluarga yang terbuka, ramah dan apresiatif
terhadap pemeluk agama lain. Dengan demikian, siswa itu pun telah menjadi
inspirasi bagi keluarganya. Keluarga itu kemudian menjadi inspirasi bagai
desanya. Indah, bukan?
Jogja, 7 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam