Judul : Indonesia Mengajar:
Kisah Para Pengajar Muda di Pelosok Negeri
Kisah Para Pengajar Muda di Pelosok Negeri
Penulis : Pengajar Muda
Penerbit : Bentang
Cetakan : I, November 2011
Tebal : xviii + 322 halaman
ISBN : 978-602-8811-57-6
APA janji kemerdekaan, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, telah terlunasi? Belum lunas tuntas. Banyak anak Indonesia tidak memperoleh pendidikan. Jika pun memperoleh, pendidikan yang mereka terima tak bisa dikatakan layak.
Kondisi sekolah di mana mereka belajar
memprihatinkan. Lokasinya terpencil, bahkan terisolasi dari modernitas kota. Fasilitas
serba kurang. Jumlah guru terbatas, tak sebanding dengan jumlah siswa.
Sementara itu, metode mengajar guru-guru ini ketinggalan zaman, menumpulkan
kreativitas dan melumpuhkan potensi siswa.
Anis Baswedan tidak bisa tinggal diam
menatap kenyataan menyedihkan itu. Dia bertindak, bergerak. Tak puas sekadar
mengutuksumpahi kenyataan, dia menyalakan lilin dengan mendirikan Yayasan
Indonesia Mengajar pada 2009.
Yayasan ini membuat gerakan Indonesia
Mengajar: merekrut anak-anak muda terbaik Indonesia untuk selama setahun ditempatkan
sebagai guru Sekolah Dasar (SD) di pelosok-pelosok tanah air. Pada trip
pertama, terkumpul 51 pengajar muda. Mereka ditempatkan secara terpencar di
empat kabupaten tertinggal: Bengkalis (Riau), Halmahera Selatan (Maluku Utara),
Majene (Sulawesi Barat), Paser (Kalimantan Timur). Anak-anak muda “langka”
tersebut rela meninggalkan kenyamanan kota, merantau jauh dari keluarga demi
mengabdikan diri kepada bangsa. Keputusan yang berani dan patut diberi
puji-sanjung.
Di lokasi penempatan, para pengajar muda tak
hanya mengajar, mereka juga belajar. Mereka belajar hidup dalam keterbatasan.
Mereka belajar mengenali problematika sehari-hari, dan manunggal dengan,
masyarakat akar rumput. Mereka belajar menjadi pemimpin. Mereka belajar menginspirasi
siswa-siswi mereka. Mereka belajar menjadi guru yang mampu menemukan dan melambungkan
potensi anak didiknya.
Dalam buku ini, Indonesia Mengajar: Kisah Para Pengajar Muda di Pelosok Tanah Air,
ke-51 pengajar muda itu menceritakan pengalaman mereka ketika bertugas di
lapangan. Mereka bercerita tentang “keistimewaan” anak-anak didik mereka,
tentang bagaimana mereka berjuang mempertahankan dan memupuk optimesme di
tengah kondisi yang menekan dan serba sulit, tentang bagaimana mereka belajar
untuk lebih berendah hati, tentang usaha mereka untuk senantiasa sabar dalam
merawat dan menularkan ketulusan.
Sebagai anak muda, tentulah cerita mereka
dibumbui dengan idealisme dan keputuasaan, harapan dan kekecewaan, tangis dan
tawa, kegagalan dan keberhasilan, keluh dan syukur, kegalauan dan keceriaan,
heroisme dan keminderan. Tetapi justru bumbu-bumbu itu yang menjadikan buku ini
begitu menyentuh, menggerakkan, enak dibaca, dan perlu. Tak percaya? Tampaknya
Anda memang harus segera membaca buku yang diterbitkan oleh Bentang ini.
Bumbu-bumbu itu juga membuktikan bahwa mereka
sungguh-sungguh belajar menjadi pemimpin, sekaligus menunjukkan bahwa Yayasan
Indonesia Mengajar telah cukup berhasil menunaikan misinya yang kedua: Menjadi
wahana belajar kepemimpinan bagi anak-anak muda terbaik Indonesia agar tak
semata memiliki kompetensi kelas dunia, tetapi juga pemahaman akar rumput. Misi
pertamanya yaitu mengisi kekurangan guru berkualitas di daerah yang
membutuhkan.
Ternyata, keberhasilan gerakan Indonesia
Mengajar menginspirasi Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada
(UGM) untuk menyelenggarakan gerakan serupa. Padahal, berdirinya Indonesia
Mengajar justru diinspirasi oleh program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) pada
1960-an yang diadakan UGM. Inisiator program ini adalah Koesnadi
Hardjasoemantri, eks tentara pelajar yang waktu itu masih mahasiswa dan kelak,
pada 1986-1990, menjadi rektor UGM.
PTM sendiri tampaknya merupakan purwarupa
dari apa yang saat ini kita kenal sebagai Kuliah Kerja Nyata (KKN). Para
mahasiswa dikirim ke daerah, khususnya daerah luar Jawa, untuk bertugas sebagai
guru Sekolah Menengah Atas (SMA). Dalam beberapa kasus, selain mengajar, mereka
mendirikan SMA baru.
Kiprah para pengajar muda, sebagaimana
tertuang dalam buku ini, memang tidak segemilang mahasiswa-mahasiswa yang
tergabung dalam PTM. Mereka hanya mengajar. Tidak mendirikan sekolah. Tetapi, ketika
masyarakat Indonesia hampir kehilangan harapan dan teladan seperti saat ini,
apa yang mereka lakukan telah menginspirasi banyak kalangan. Mata kita pun
terbuka, dan kita sadar: idealisme dan ketulusan itu rupanya masih ada, mimpi
dan harapan masih menyala.
Kepada publik mereka memperlihatkan bahwa
tidak semua anak muda Indonesia hanyut dalam arus budaya pop, hedonisme, dan
pragmatisme. Masih ada banyak sekali anak muda Indonesia yang bermental
tangguh, berkarakter matang, bervisi jauh ke depan, berkompetensi global, yang
mau blusukan di pedalaman untuk mengajar dengan sepenuh jiwa dan raga.
Apa anak-anak muda Jambi juga dapat
menginspirasi, mampu menjadi teladan baik? Pasti dapat. Pasti mampu. Asal,
lembaga pendidikan tinggi di sini, semisal Universitas Negeri Jambi (UNJA) atau
IAIN STS Jambi, memberikan wadah bagi mereka untuk membuktikan kemampuan mereka
dengan menyelenggarakan gerakan semacam Indonesia Mengajar, atau gerakan lain
yang lebih progresif. Saya percaya, kompetensi dan potensi anak-anak muda Jambi
tidak lebih rendah (bahkan dalam beberapa aspek lebih tinggi) ketimbang ke-51
pengajar muda yang kisahnya dimuat dalam buku ini.
Akhirnya, selamat membaca buku “bermutu”
ini, dan selamat bergerak dalam rangka melunasi janji kemerdekaan: mencerdaskan
kehidupan bangsa. Salam.
jogjakarta, januari 2012
jogjakarta, januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam