Sepasang sejoli lagi nge-date di taman kota, duduk saling sender
di bangku kayu, di bawah naungan temaram cahaya lampu merkuri. Mesra sekali. Sepotong
bulan menggantung di tepi langit malam. Bintang-bintang berkedap-kedip. Dan,
blessss, ada bintang jatuh, terjun melengkung dari sebelah barat menuju ke sisi
timur. Kata orang, ketika ada bintang jatuh, maka buatlah permohonan. Dijamin
mustajab. Maka mereka pun diam-diam berdoa: semoga ikatan kasih kami langgeng,
sampai kakek-nenek, sampai liang lahat.
Saat itu tahun 1965 ketika hawa politik nasional semakin
memanas, prasangka menebal, kebencian memuncak, dan amarah bagai bom waktu yang
tinggal tunggu detik meledaknya. Beberapa kader PKI juga melihat bintang jatuh
itu. Bukan. Saat itu bukan saatnya untuk membuat permohonan. Menurut firasat
mereka, bintang jatuh itu—mereka menyebutnya sebagai lintang kemukus—bukan
pertanda mujur. Sebaliknya, lintang kemukus adalah sinyal pagebluk. Tidak lama
lagi bencana besar akan datang. Mungkin lindu. Mungkin wedus gembel. Mungkin
perang besar yang berdarah-darah. Kemungkinan terburuk apapun bisa terjadi.
Firasat mereka tepat. Tahun 1965-1967 adalah tahun banjir darah. Jutaan orang
tak bersalah digeren dan digorok, kemudian dikubur hidup-hidup, dibiarkan saja,
atau dihanyutkan di Bengawan Solo. Konon, karena saking banyaknya mayat yang
dihanyutkan di sana, air sungai ini memerah.
Lintang kemukus ternyata netral. Orang yang berbeda akan
memaknai lintang kemukus secara berbeda pula. Pemuda dimabuk asmara yang
dibesarkan di lingkungan urban membaca lintang kemukus sebagai lambang harapan.
Lintang kemukus adalah masa depan surgawinya. Sedangkan kader PKI yang hidup di
lingkungan pedesaan dengan tradisi kejawen yang kental membaca lintang kemukus sebagai
lambang malapetaka. Lintang kemukus adalah pesan kiamat yang dikirimkan oleh
betara kala. Perbedaan cara baca inilah yang “barangkali” disebut sebagai
perbedaan pandangan dunia (world view).
Kita sering luput mempelajari seluk-beluk pandangan dunia: apa
sebenarnya pandangan dunia itu, bagaimana cara pemerolehan dan cara kerjanya,
bagaimana mengubahnya, dan seterusnya. Padahal pandangan dunia—Bakdi Sumanto
menyebutnya sebagai “cara nyawang”—selain menentukan tingkah polah sehari-hari
kita, juga menentukan arah hidup mana yang hendak kita pilih. Ringkasnya,
baik-buruknya perjalanan hidup seseorang ditentukan oleh cara nyawangnya. Bila
cara nyawangnya positif, maka hidupnya akan positif. Dia akan mengarungi
belantara kehidupan dengan optimisme yang tinggi dan kepercayaan diri yang
kukuh. Tetapi bila cara nyawangnya negatif, maka kehidupan yang secerah apapun
akan selalu tampak mendung di matanya. Masa lalunya adalah kebusukan. Masa
kininya adalah neraka. Masa depannya adalah kegelapan.
Selama pemuda dimabuk asmara tadi menyawang segala sesuatu
secara positif, maka hidup akan indah belaka baginya. Doanya sangat mungkin
akan terkabul. Selama kader PKI tadi menyawang segala sesuatu secara negatif,
maka hidup baginya adalah barisan kepahitan tanpa akhir yang menghimpit. Firasat
buruknya sangat mungkin akan jadi kenyataan. Cara nyawang adalah perkara
sepele, tapi penting.
Yogya, 9
januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam