1.
Saya suka dengan gaya
Tohari mengolah latar tempat dalam novel ini, dan agaknya ini memang kelebihan
Tohari dibanding prosais lainnya. Gaya Tohari dalam mengolah latar tempat ini
saya temukan juga dalam beberapa novelnya yang lain.
Latar
tempat di dalam Orang-orang Proyek (OOP) tidak hanya berfungsi sebagai tempat di mana tokoh-tokoh
saling berinteraksi sehingga memunculkan jalinan peristiwa, tetapi disiasati
pula sebagai pembangun suasana dan sebagai pralambang-pralambang. Dengan metode
pelataran seperti itu, pembaca seolah diberi sasmita, tanda, atau ancar-ancar
ke arah mana peristiwa akan berjalan. Di sinilah tampaknya Tohari memainkan
unsur tegangan (suspense) dan kejutan
(surprise).
Suasana
dan pralambang itu bukan tidak realistis, sebaliknya, justru sangat realitis.
Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali ditemukan suasana, terutama pralambang-pralambang.
Suasana gerah, artinya barangkali akan turun hujan. Pralambang burung penjrak
hinggap dan berkicau di sekitar rumah, artinya barangkali akan datang tamu dari
jauh. Dan firasat dan pralambang ini memang sangat kental dalam tradisi
masyarakat Jawa. Dan memang, Tohari memanfaatkan benar khazanah kultural Jawa
dalam OOP.
2.
Buktinya, ia
menyisipkan tembang asmaradana yang
berisi nasihat-nasihat hidup di dalam OOP. Bukti lainnya, ia mencuplik, dalam salah
satu dialog antara Pak Tarya dan Kabul, peribahasa yang diajarkan oleh Ki
Hadjar Dewantara. Peribahasa itu mempunyai kandungan kearifan Jawa yang sangat
mendalam dan mendasar.
3.
Selain mewarnai isi,
kultur Jawa rupanya mewarnai bentuk novel OOP juga. Tokoh Pak Tarya adalah
tokoh yang tidak terlalu penting dalam plot novel secara keseluruhan. Garis
besar cerita novel ini tidak akan berubah jika nama Pak Tarya dicoret. Meskipun
demikian, kehadiran Pak Tarya tetap fungsional; fungsinya tidak terdapat dalam
plot, melainkan dalam miniatur (mikrokosmos imajiner) kultur Jawa yang sadar
atau tidak sadar dikonstruksi Tohari dalam OOP. Pak Tarya adalah tempat curhat,
mengadu, meminta wejangan sang tokoh utama, sang pahlawan, Kabul. Ketika
tertimpa masalah, Kabul bertemu dengan Pak Tarya, dan Pak Tarya seakan-akan
menuntun batinnya. Pak Tarya berfungsi selaku pendamping yang mengawani Kabul.
Pak Tarya adalah punakawan, adalah
Semar bagi Kabul si Arjuna. Jadi, struktur wayang merembes ke dalam OOP.
Fenomena perembesan ini pasti akan sangat bagus bila dikaji dengan teori
estetika resepsi atau pendekatan intertekstualitas.
4.
Masih ada unsur lain
yang kelihatannya tidak fungsional dalam OOP, tetapi ketidakfungsionalan
tersebut tidak bisa terburu-buru dikategorikan sebagai digresi atau anakroni
yang menjatuhkan nilai estetis novel ini. Unsur yang kelihatannya tidak
fungsional itu adalah kisah Kang Martasatang mencari anaknya yang hilang,
Sawin. Kang Martasatang mengira Sawin bukannya hilang, tetapi dijadikan tumbal
atau jengger dalam pembangunan
jembatan Sungai Cibawor.
Pertanyaannya,
mengapa Tohari menyelipkan kisah Kang Martasatang mencari Sawin? Masyarakat
desa di mana jembatan Sungai Cibawor dibangun masih percaya dengan klenik
semacam itu. Kepercayaan terhadap klenik serta dunia perdukunan itu
direpresentasikan melalui sosok, terutama, Kang Martasatang.
Kepercayaan
ini, menurut saya, mengganggu dan merusak panalaran yang sehat, jernih, dan
rasional. Karena percaya dengan klenik, dan tidak terbiasa bernalar secara
sehat, masyarakat desa tidak dapat dengan cepat mengendus adanya praktik
korupsi di proyek. Kalau pun seiring mengelindingnya waktu mereka akhirnya mengetahui
praktik korupsi tersebut, mereka tidak akan secara terbuka mengutuk dan
menindak tegas para koruptor yang punya status sosial yang tinggi. Mengapa?
Masyarakat desa mungkin menduga bawah dukun para koruptor lebih canggih
daripada dukun mereka, sehingga perlawanan macam apa pun akan berakhir sia-sia
saja.
Dengan
menyelipkan kisah Kang Martasatang mencari Sawin, Tohari secara tak langsung
bermaksud menyampaikan kepada pembaca bahwa pemberantasan korupsi bermula dari
dikesampingkannya penalaran yang tidak terterima akal, dan diterapkannya
penalaran yang rasional. Korupsi bakal sulit diberantas hingga ke akar-akarnya
apabila masyarakat masih sedemikian percaya dengan klenik. Kontrol sosial, juga
mekanisme demokrasi politik, tidak akan berjalan dengan baik. Dengan demikian,
kisah Kang Martasatang sangat fungsional, dalam arti mendukung tema novel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam