TUJUAN PENDIDIKAN DALAM
NOVEL MA YAN:
Kajian Sosiologi Sastra
1.
Pendahuluan
Kemiskinan
merupakan momok yang menakut-nakuti, menyiksa, dan membelenggu perkembangan
hidup, manusia. Ia menghanglangi manusia mencapai kehidupan yang makmur,
sejahtera, sentausa, bahagia, dan bermartabat.
Selain
dibelenggu oleh kemiskinan, perkembangan hidup manusia, khususnya perempuan,
juga dibelenggu oleh tradisi patriarkat, atau diskriminasi gender. Dalam
masyarakat patriarkat, perempuan amat dibatasi ruang geraknya, tidak lebih dari
urusan rumah tangga. Perempuan adalah makhluk yang kurang bernilai dibanding
laki-laki.
Dalam
rangka mencapai perkembangan hidup manusia yang diidealkan, belenggu-belenggu
itu harus dihancurkan. Pendidikan adalah alat yang dianggap paling ampuh dan
strategis untuk menghancurkan belenggu-belenggu itu. Dengan ungkapan lain,
membebaskan manusia dari kemiskinan dan membebaskan manusia, khususnya
perempuan, dari tradisi patriarkat yang tidak adil termasuk tujuan
diselenggarakannya pendidikan.
Tujuan pendidikan seperti inilah yang kiranya
hendak disampaikan oleh Sanie B. Kuncoro melalui novel Ma Yan: Perjuangan dan Mimpi Gadis Kecil Miskin di Cina untuk Meraih
Pendidikan[1].
Sanie B. Kuncoro adalah prosais yang tampak konsisten mengangkat isu gender dan
kemiskinan. Dalam prosa fiksinya yang lain, misalnya novel Garis Perempuan, prosais yang mengawali karir kepenulisannya
semenjak 1980-an ini juga mengangkat isu gender dan kemiskinan[2].
Kajian
sederhana ini bermaksud membuktikan dan memastikan adanya konsepsi tujuan
pendidikan untuk membebaskan manusia dari kemiskinan dan tradisi patriarkat
dalam novel Ma Yan. Pendekatan yang
dipakai adalah pendekatan mimetik, khususnya pendekatan sosiologi sastra.
Mendukung
kategorisasi Abrams, Teeuw berpendapat, terdapat empat macam pendekatan yang
lazimnya digunakan dalam kajian sastra: objektif, ekspresif, pragmatik, dan mimetik.
Masing-masing pendekatan menekankan fokus analisis yang berbeda. Pendekatan
objektif menekankan karya sastra (work)
sebagai fokus analisis, pendekatan ekspresif menekankan penulis (artist), pendekatan pragmatik
menekankan pembaca (audience), dan pendekatan
mimetik menekankan semesta (universe)
(Teeuw, 1988: 49-50). Semesta adalah realitas faktual yang direpresentasikan
oleh penulis dalam karya sastra dengan caranya sendiri yang khas. Dengan
demikian, dalam pendekatan mimetik ini, terkandung asumsi implisit bahwa
realitas faktual tercermin dalam realitas imajiner yang disusun sedemikian rupa
dalam karya sastra; terdapat relasi antara realitas faktual dengan realitas
imajiner. Jadi, pendekatan sosiologi sastra termasuk dalam ruang lingkup
pendekatan mimetik, bahkan secara garis besarnya dua pendekatan ini sah bila
disamakan.
Junus
mengklasifikasikan kajian karya sastra dengan pendekatan sosiologi sastra ke
dalam enam macam pendekatan yang lebih detail dan spesifik. Pertama, pendekatan yang melihat karya
sastra sebagai dokumen sosiobudaya. Kedua,
pendekatan yang meneliti penghasilan dan pemasaran karya sastra. Ketiga, pendekatan yang meneliti
bagaimana penerimaan masyarakat terhadap (sebuah) karya seorang penulis
tertentu dan apa sebabnya. Keempat,
pendekatan yang melihat bagaimana pengaruh sosiobudaya terhadap penciptaan
karya sastra. Kelima, pendekatan genetic structuralism dari Goldmann. Keenam, pendekatan Duvignaud yang
melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra (Junus, 1986: 3).
Kajian
ini akan menggunakan pendekatan yang pertama: melihat karya sastra sebagai
dokumen sosiobudaya, yang mencatat kenyataan sosiobudaya suatu masyarakat pada
suatu masa tertentu. Pendekatan ini memiliki beberapa ciri atau prinsip, yaitu:
a) memandang karya sastra sebagai pencerminan (reflection) realitas sosiobudaya; b) tidak memperhatikan
keseluruhan dan kebulatan karya sastra, hanya memperhatikan secara terpisah
unsur-unsur sosiobudaya yang terkandung di dalamnya; c) hanya mendasarkan
kepada cerita tanpa mempersoalkan struktur cerita (Junus, 1986: 3-10). Adapun
unsur sosiobudaya yang akan ditinjau dalam novel Ma Yan ini adalah tujuan pendidikan (untuk membebaskan manusia dari
kemiskinan dan tradisi patriarkat).
Sebelum
menganalisis, serta membuktikan adanya konsepsi, tujuan pendidikan yang
terdapat di dalam novel Ma Yan,
terlebih dahulu saya akan meringkaskan cerita novel tersebut (2), kemudian
membahas secara singkat dan sekadarnya konsep-konsep tujuan pendidikan yang
saya temukan pada beberapa literatur, khususnya konsep tujuan pendidikan yang
relevan dalam kajian ini, yaitu sarana pembebasan dari a) kemiskinan dan b) tradisi
patriarkat (3).
2.
Sinopsis
Novel Ma Yan
Kebijakan
“lompatan jauh ke depan” yang digulirkan empat dekade silam (1958-1962) oleh
Mao Zedong, sang pemimpin besar Cina, ternyata kini (2000-2002) berdampak
sangat buruk: merusak alam, menimbulkan penggurunan di beberapa wilayah
agraris, dan akhirnya menjerat para petani yang bermukim di wilayah tersebut
dalam kemiskinan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka
hampir-hampir tak bisa bercocok tanam lagi karena air sangat sulit diperoleh.
Padahal, penghidupan mereka terutama bersumber dari hasil pertanian.
Desa
Zhangjiashu termasuk wilayah agraris yang menjadi korban kebijakan “lompatan
jauh ke depan”. Di desa yang mendapat sebutan sebagai “dataran yang dahaga”
itulah Ma Yan beserta ayah (Ma Dongji), ibu (Bai Juhua), dan dua adik
laki-lakinya (Ma Yichao dan Ma Yiting) tinggal. Seperti keluarga-keluarga lain
di desa itu, mereka adalah keluarga muslim yang relatif taat, setidaknya secara
formal-ritual.
Meskipun
desa itu adalah desa Islam, tetapi tradisi patriarkat masih mengakar. Harga
perempuan jauh di bawah harga laki-laki. Perempuan tidak perlu diberi
pendidikan tinggi-tinggi, toh kelak
mereka akan menikah, melahirkan, menjadi ibu rumah tangga, dan kembali ke dapur.
Lebih menguntungkan memberi pendidikan tinggi bagi anak laki-laki daripada anak
perempuan. Selain tidak mendapat prioritas pendidikan, anak perempuan dituntut
untuk selalu patuh tanpa syarat terhadap segala perintah orang tua, juga dalam
soal perjodohan.
Ma
Yan kecil yang cerdas dan haus pendidikan awalnya tidak memahami nilai
tradisional yang dianut masyarakat desanya itu. Dengan bersemangat, bersama Ma
Yichao tiap minggu ia pergi-pulang berjalan kaki ke sekolah-asramanya yang
terletak di kota Yuwang, 20 kilometer jaraknya dari desa Zhangjiashu. Jarak
sejauh itu ditempuh selama empat sampai lima jam. Jalur Zhangjiashu-Yuwang
adalah jalur yang berbahaya, lebih-lebih bagi anak perempuan sekecil Ma Yan.
Jalur berdebu itu diapit jurang-jurang, penuh dengan dakian dan turunan yang
curam serta celah lebar di antara karang terjal. Tetapi bahaya dalam perjalanan
tidak selesai sampai di sini. Masih mengintai bahaya lain: hadangan ular-ular
yang kelaparan dan para pencuri. Sebenarnya, untuk sampai ke sekolah-asramanya,
Ma Yan bisa menumpang traktor. Tetapi menumpang traktor tidak gratis, harus
membayar ongkos sebesar satu yuan, jumlah yang sangat besar bagi keluarga Ma
Yan.
Semangat
belajar Ma Yan di sekolah-asramanya pun tinggi. Ia ingin meraih prestasi
sesempurna-sempurnanya demi menggapai masa depan yang lebih cerah, lebih
sejahtera, sehingga bisa membahagiakan ibu-ayahnya. Bahkan, ketika Ma Yan
mengalami dua kali kegagalan, yakni kegagalan dalam ujian sekolah dan kegagalan
dalam ujian seleksi masuk sekolah menengah putri, semangat belajar Ma Yan tidak
lantas surut. Ia terus berpikir positif. Pada ujian sekolah berikutnya, ia
meraih peringkat kedua.
Bai
Juhua merasa bangga dan gembira dengan prestasi anak perempuannya tersebut.
Akan tetapi, kegembiraannya ini tak berlangsung lama. Hujan yang tidak turun
sepanjang lima tahun belakangan ini membuat ekonomi keluarga semakin seret.
Sementara itu, suaminya, Ma Dongji, yang juga bekerja di kota sebagai kuli
proyek konstruksi, sering tidak menerima gaji karena gajinya dikorupsi oleh
manajer proyek. Solusinya, Bai Juhua harus memangkas pengeluaran rumah tangga,
termasuk biaya sekolah. Artinya, salah seorang anaknya terpaksa berhenti
sekolah. Menurut tradisi, anak laki-lakilah yang layak diberi prioritas
mendapat pendidikan tinggi, dan Ma Yan harus berhenti sekolah. Dengan sedih dan
sesal, Bai Juhua menyampaikan keputusan dan maksudnya tersebut kepada Ma Yan.
Ma
Yan tidak bisa menerima keputusan itu. Ia berkeras ingin terus sekolah. Melalui
ucapan dan sacarik surat, ia memprotes dan menggugat ibunya, tradisinya, kenapa
anak perempuan tidak boleh mengenyam pendidikan setinggi-tingginya; kenapa
dalam bidang pendidikan anak laki-laki yang harus didahulukan.
Walaupun
Bai Juhua berusaha melunakkan kekerasan hati anaknya dan mendorong Ma Yan
supaya rela menerima keputusan diskriminatif tersebut, hati kecil Bai Juhua
sebetulnya membenarkan dan mendukung protes Ma Yan. Nasib Bai Juhua tidak lebih
baik ketimbang nasib Ma Yan. Bai Juhua juga korban diskriminasi tradisi
patriarkat. Dulu, ketika masih kecil, ia diberhentikan dari sekolah oleh orang
tuanya sebelum ia bisa membaca dan menulis. Ketika remaja, ia dijodohkan dengan
Ma Dongji, laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya. Saat itu, ia hanya bisa
patuh, kepatuhan yang kini mesti dibayar mahal. Sebab, kepatuhan itu telah
menjadikannya sebagai perempuan yang kurang berpendidikan dan melarat.
Surat
protes Ma Yan dan bisikan hati kecilnya menyalakan keyakinan dalam diri Bai
Juhua bahwa penderitaan dan kemiskinannya jangan sampai ia wariskan kepada Ma
Yan. Hidup Ma Yan wajib lebih baik daripada hidupnya. Bagaimana pun caranya, Ma
Yan harus terus sekolah, sekolah setinggi-tingginya.
Beruntung,
Bai Juhua menemukan jalan keluar sementara. Untuk membayar biaya sekolah Ma
Yan, tanpa mempedulikan perutnya yang selalu sakit, Bai Juhua pergi mengikuti
rombongan petani ilegal pemanen Fa Cai, rumput sayuran yang tumbuh subur di
Cina bagian barat daya, di perbatasan antara Ning Xia dengan Mongolia Dalam, 400
kilometer jauhnya dari desa Zhangjiashu. Di tempat itu ia memanen Fa Cai, dan
menginap berhari-hari lamanya. Uang hasil panenan itu untuk sementara dapat
menutupi biaya sekolah Ma Yan. Tetapi, ancaman kesulitan ekonomi senantiasa
membayangi. Karena itu, mesti segera dicari jalan keluar lain yang lebih
menjamin pendidikan Ma Yan.
Adalah
kebetulan, di tengah kebuntuan itu, suatu ketika tetangga Bai Juhua memberi
tahunya bahwa beberapa orang asing sedang menginap di rumah Imam Hu, sesepuh
desa Zhangjiangshu. Menurut si tetangga, mereka mungkin sedang mengadakan
sensus. Bai Juhua kemudian bertanya: apa mereka juga mencari anak-anak pintar?
“Mungkin,” jawab si tetangga. Didorong naluri keibuannya, Bai Juhua bergegas
pergi ke rumah Imam Hu, bermaksud menemui orang-orang asing itu, mengabarkan
bahwa Ma Yan, anak perempuannya, adalah anak pintar yang sedang mereka cari. Ia
berharap, mereka dapat menolong Ma Yan supaya dapat terus melanjutkan sekolah.
Sebelum
sampai di rumah Imam Hu, Bai Juhua melihat mobil melaju ke arahnya. Mobil itu
dinaiki oleh orang-orang asing yang baru saja meninggalkan rumah Imam Hu. Bai
Juhua sontak menghadang mobil itu agar berhenti. Mobil pun berhenti. Ia
mengajak mereka mampir ke rumahnya. Karena perbedaan bahasa, rombongan orang
asing yang berasal dari Perancis itu tidak segera bisa memahami kata-kata Bai
Juhua. Akhirnya, mereka mengerti maksud Bai Juhua. Bai Juhua dinaikkan ke
mobil. Mereka pun mampir ke rumah Bai Juhua.
Setiba
di rumahnya, tanpa memberi tahu Ma Yan terlebih dahulu—saat itu Ma Yan sedang
tak di rumah, kepada mereka Bai Juhua menyerahkan buku catatan harian dan surat
protes Ma Yan yang tentu saja ditulis dalam bahasa Cina. Ma Yan memang rajin
menulis catatan harian. Di dalamnya, Ma Yan mengabadikan peristiwa sehari-hari
dan hal-hal yang menurutnya penting, termasuk kegagalan dan keberhasilan
ujiannya, kemiskinan keluarganya, serta cita-citanya untuk melanjutkan sekolah
setinggi-tingginya. Kendati baru pertama kali bertemu dengan, dan tidak
betul-betul mengenal, orang-orang asing itu, Bai Juhua yakin, mereka adalah
orang baik. Mereka pasti akan berusaha membaca buku catatan harian dan surat
protes Ma Yan walaupun mereka tidak mengerti benar bahasa Cina. Mereka pasti
akan membantu Ma Yan mewujudkan impiannya.
Ma
Yan lagi-lagi memprotes ibunya ketika ia tahu bahwa Bai Juhua telah memberikan
buku catatan harian dan surat protesnya kepada orang-orang asing itu. Bai Juhua
dengan sabar meyakinkan Ma Yan bahwa tindakannya tidak salah dan tidak akan
sia-sia. Kali ini, Ma Yan melunak, tidak menyangkal keyakinan ibunya, tidak
lagi menyalahkan tindakan ibunya.
Keyakinan
seorang ibu adalah mukjizat. Orang-orang asing itu rupanya memang orang baik,
dan bukan orang sembarangan. Pemimpin rombongan, Pierre Haski, adalah redaktur
sebuah harian di Perancis: Liberation.
Setelah membaca dan mendalami buku catatan harian dan surat protes Ma Yan,
hatinya terketuk oleh perjuangan Ma Yan meraih pendidikan. Kemudian, ia menulis
kisah Ma Yan itu, dan memuatnya di Liberation.
3.
Tujuan
Pendidikan
Tujuan,
dalam Kamus Bahasa Indonesia, didefinisikan sebagai dan disinonimkan dengan
arah, haluan, jurusan, maksud, dan tuntutan (Kamus Bahasa Indonesia, 2008:
1553). Maka, tujuan pendidikan dapat diartikan sebagai, dan disinonimkan
dengan, arah pendidikan, jurusan pendidikan, maksud pendidikan, dan tuntutan
pendidikan. Akan tetapi, dalam kajian “sederhana” ini, tujuan pendidikan juga dipahami
sebagai fungsi pendidikan dan peran pendidikan, tanpa secara ketat dan taat
mengacu pada konsep fungsi dan peran yang telah terkonseptualisasi dalam
teori-teori sosiologi yang mapan.
Tujuan
pendidikan dapat ditinjau dari beragam perspektif: filsafat, psikologi,
sosiologi, ekonomi, politik, teologi, gender, dan tentu saja dari perspektif
pedagogi itu sendiri. Perspektif yang relevan digunakan untuk meninjau tujuan
pendidikan dalam kajian ini adalah perspektif ekonomi dan perspektif gender. Pada
garis besarnya, secara ekonomi pendidikan bertujuan untuk menyejahterakan
masyarakat umumnya, individu khususnya. Apabila dipandang melalui perspektif
gender, pendidikan, pada garis besarnya, bertujuan membebaskan perempuan dari
diskriminasi gender yang seringkali disebabkan oleh faktor ekonomi, politik,
dan tradisi. Berikut ini akan dibahas dengan agak mendalam tujuan pendidikan
dalam kedua perspektif tersebut menurut pendapat yang dikemukakan oleh beberapa
sarjana.
a.
Membebaskan
manusia dari kemiskinan
Melandaskan
diri pada pemikiran Amartya Sen dan Jeffrey Sachs, Tilaar (2006) mengajukan
teori bahwa pendidikan merupakan salah satu mekanisme dalam penuntasan
kemiskinan. Tetapi, Tilaar tidak memaknai kemiskinan secara sempit. Yang
dimaksud dengan kemiskinan bukan hanya kemiskinan material, namun juga
kemiskinan politis, kemiskinan pendidikan, dan kemiskinan kesehatan. Lebih
lanjut ia menjelaskan, untuk menuntaskan kemiskinan, perlu dikembangkan
berbagai bidang dan program penting yang berkanaan dengan kepentingan rakyat
banyak, antara lain pengembangan bidang pendidikan serta ilmu pengetahuan (Saksono,
2008: 103-104).
Dari
pendapat Tilaar tersebut dapat ditarik kesimpulan kasar bahwa pendidikan
bertujuan atau berfungsi sebagai sarana, alat, atau mekanisme pembebasan
manusia dari kemiskinan; bertujuan untuk membebaskan manusia dari kemiskinan.
Dengan kata lain, pendidikan bertujuan untuk menyejahterakan manusia.
b.
Membebaskan
manusia dari tradisi patriarkat
Al-Abrasyi,
teoritisi dan praktisi pendidikan Islam kontemporer dari Mesir, dengan tegas
menolak praktik tradisi patriarkat. Tradisi ini menghambat perkembangan
kehidupan perempuan. Al-Abrasyi tidak hanya menolak praktik tradisi patriarkat,
tetapi juga menyatakan bahwa tradisi patriarkat atau bias gender dapat
dihilangkan lewat proses pendidikan yang demokratis, yang falsafahnya ditimba
dari al-Qur’an. Pendidikan semacam itu melahirkan perlakukan yang seimbang dan
adil terhadap laki-laki dan perempuan (Roqib, 2003: 25-29).
Menurut
al-Abrasyi, persamaan (kemanusiaan), demokrasi, kebebasan, dan keadilan
merupakan empat dasar utama pendidikan (Islam). Dengan demikian, pendidikan
bertugas merealisasikan nilai persamaan posisi dan kedudukan antara perempuan
dan laki-laki dalam kehidupan umat manusia. Nilai persamaan itu dapat
direalisasikan dengan menempatkan ibu/perempuan sebagai pusat pendidikan. Alasan
lain mengapa perempuan ditempatkan sebagai pusat pendidikan adalah karena pendidikan
perempuan menentukan kuat-lemahnya masyarakat (Roqib, 2003: 31-81). Dengan
menempatkan perempuan sebagai pusat pendidikan, al-Abrasyi secara tidak
langsung hendak mengatakan bahwa dalam hal pendidikan, perempuan memperoleh
prioritas yang sepadan dengan laki-laki, bahkan relatif lebih besar.
Dari
uraian di atas dapat disarikan bahwa pendidikan bagi al-Abrasyi bertujuan untuk
membebaskan, atau berfungsi sebagai sarana pembebas, perempuan dari tradisi
patriarkat yang membelenggu perkembangan hidupnya. Apabila memperoleh
pendidikan yang baik, maka perempuan niscaya akan dapat berdiri sama tinggi dan
duduk sama rendah dengan laki-laki. Peluang perempuan untuk mengembangkan dan
menyejahterakan diri pun semakin besar. Dengan begitu, ia semakin mempunyai
kesempatan menjadi ibu yang ideal bagi anak-anaknya.
4.
Tujuan
Pendidikan dalam Novel Ma Yan
a.
Pendidikan
membebaskan manusia dari kemiskinan
Zhangjiashu,
desa di mana Ma Yan dan keluarganya tinggal, adalah desa agraris yang gersang,
daratan yang dahaga. Desa ini merupakan korban dari kebijakan “Lompatan jauh ke
Depan” Mao Zedong, pemimpin besar revolusi Cina. Penduduknya dilanda kemiskinan
luar biasa yang celakanya harus mereka wariskan secara turun-temurun. Beberapa
keluarga hanya berpenghasilan 120 yuan atau sekitar 15 dolar setahun.
Hidup
dalam kemiskinan yang parah itu, wajarlah jika para penduduknya menyimpan
cita-cita hidup makmur dan sejahtera, lepas dari belenggu kemiskinan, tak
terkecuali Bai Juhua dan anak perempuannya, Ma Yan. Bagi mereka, juru selamat
yang bakal mengangkat mereka dari lembah kemiskinan adalah pendidikan.
Bai
Juhua berjanji dan bertekad tidak akan mewariskan kemiskinan kepada
anak-anaknya, sebagaimana orangtuanya telah mewariskan kemiskinan kepadanya
(MY: 36-37; 125-126). Ia akhirnya sampai pada pemahaman bahwa cara terbaik
menyelamatkan anak-anaknya dari kemiskinan yang diwariskan turun-temurun adalah
dengan memberi pendidikan sebaik-baiknya kepada mereka. “Pendidikan,” kata Bai Juhua “adalah
alternatif terbaik untuk melepaskan diri dari takdir kemiskinan” (MY: 128).
Saat
keluarga Ma Yan menghadapi kesulitan ekonomi paling berat karena sudah lima
tahun hujan tidak turun, dan karena gaji Ma Dongji tidak dibayar teratur, Bai
Juhua terpaksa mengambil keputusan pelik yang sesungguhnya bertentangan dengan
hati nuraninya, yaitu memberhentikan Ma Yan dari sekolah. Ma Yan menolak dan
menggugat keputusan itu, dengan ucapapan langsung dan dengan surat yang begitu
menyentuh hati Bai Juhua. Teramat menyentuhnya, Bai Juhua sampai-sampai
membatalkan keputusannya untuk memberhentikan Ma Yan, dan mencari sumber
penghasilan lain untuk membiayai sekolah Ma Yan, yakni memanen Fa Cai di
perbatasan Ning Xia dan Mongolia Dalam. Karena jarak dari Zhangjiashu ke daerah
tersebut sangat jauh, 400 kilometer, Ma Dongji enggan mengizinkan Bai Juhua
memanen Fa Cai di sana, apalagi perut Bai Juhua sering sakit. Tetapi Bai Juhua
terus memaksa supaya Ma Dongji memberinya izin, sebab, kata Bai Juhua:
“Ma Yan ingin tetap sekolah. Aku
tidak akan membiarkan anak-anak kita berhenti sekolah, karena itu akan membuat
mereka bernasib seperti kita, tercengkeram kemiskinan tanpa batas waktu.”
“Maka kita harus melakukan apa pun
juga, supaya anak-anak kita menjadi orang-orang terdidik, karena itulah cara
untuk melepaskan diri dari kemiskinan.” (MY: 160)
Melihat
besarnya niat Bai Juhua untuk mencari sumber penghasilan lain supaya Ma Yan
bisa terus melanjutkan pendidikannya, Ma Dongji pun luluh, mengizinkan Bai
Juhua memanen Fa Cai.
Lantaran
hasil panen Fa Cai tak begitu bisa diharapkan, dan hanya merupakan sumber
penghasilan sementara, Bai Juhua memutar otak, mencari sumber penghasilan lain
yang lebih menjamin pendidikan Ma Yan. Keberuntungan mendatanginya, atau ia
mendatangi keberuntungan. Ia menemukan orang asing yang mau membantunya melapangkan
jalan bagi Ma Yan untuk mengenyam pendidikan. Orang asing itu adalah Pierre
Haski, redaktur harian Liberation,
serta rombongannya yang kebetulan tengah mengadakan ekspedisi di desa
Zhangjiashu. Bai Juhua menyerahkan buku catatan harian dan surat gugatan Ma Yan
kepada mereka. Pierre membacanya dan mendalaminya dengan sungguh-sungguh.
Pierre tergetar dengan kisah perjuangan Ma Yan meraih pendidikan, kemudian
memuat kisah itu di hariannya (MY: 157-226).
Seluruh
tindakan Bai Juhua tersebut membuktikan, ia mempunyai keyakinan yang tebal
bahwa pendidikan adalah sarana yang pasti bisa membebaskan anak-anaknya dari
belenggu kemiskinan. Tak hanya Bai Juhua yang mempunyai keyakinan seperti itu,
Ma Yan juga mempunyainya. “Aku tahu,”
ujar Bai Juhua “kami, ibu dan anak
memiliki keyakinan yang sama, yaitu bahwa pendidikan adalah satu cara
melepaskan diri dari genggaman kemiskinan” (MY: 182).
Bahwa
Ma Yan mempunyai keyakinan seperti itu, dapat diketahui melalui
refleksi-refleksi pribadinya yang ia tulis pada buku catatan hariannya.
11 September 2000
Ayah dan ibu rela mengorbankan
segalanya agar kami bisa tetap bersekolah. Aku harus belajar supergiat untuk
masuk universitas suatu hari nanti. Setelahnya, aku akan mendapat pekerjaan
yang bagus. Ibu dan ayah tidak akan lagi hidup sengsara. Itulah tujuan hidupku.
Itulah pengharapanku. (MY: 66)
13 September 2000
Aku harus bekerja keras dan
mengikuti ujian masuk universitas bergengsi. Kemudian aku akan mendapat
pekerjaan supaya ibu bisa menikmati makanan hingga benar-benar kenyang dan
menjalani kehidupan yang lebih baik. (MY: 101)
Setelah
memahami tindakan, ujaran, dan pikiran dua tokoh utama novel ini, Ma Yan dan
Bai Juhua, kiranya tidak salah bila diambil kesimpulan: novel ini secara
tersirat dan tersurat menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membebaskan
manusia dari belenggu kemiskinan. Pendidikan diyakini mampu mengganyang
kemiskinan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
b.
Pendidikan
membebaskan manusia dari tradisi patriarkat
Beberapa
tokoh yang berperan dalam novel Ma Yan
apabila ditilik dari pandangan gender yang mereka hayati dapat diklasifikasikan
menjadi dua golongan oposisional: golongan yang mendukung tradisi patriarkat
dan golongan yang memberontaki tradisi patriarkat. Bibi, Ibu, dan Ayah Bai
Juhua termasuk dalam golongan pertama, sedangkan Ma Yan dan ibunya, Bai Juhua
termasuk dalam golongan kedua.
Ketika
Bai Juhua masih kecil, karena mengalami kesulitan ekonomi, ibunya
memberhentikan Bai Juhua dari sekolah sebelum ia mampu membaca dan menulis. Ibu
Bai Juhua menganggap perempuan tidak sangat membutuhkan pendidikan (MY: 33). Sebab,
segala persoalan kehidupan akan terselesaikan ketika perempuan menikah. Setelah
menikah, ia melahirkan anak dan membesarkan anak-anaknya. Jadi, pendidikan
tidak teramat penting bagi perempuan, sebab akhirnya ia akan kembali ke rumah
juga.
“Para perempuan juga tidak perlu
menjadi terlalu pandai, dalam arti tidak perlu bersekolah terlalu lama yang
mengharuskannya belajar terus-menerus dengan segala daya upaya demi mendapatkan
nilai yang membanggakan. Para perempuan hanya perlu mendapatkan kepandaian apa
adanya. Lalu segala persoalan akan terselesaikan dengan cara menikah. Kemudian
melahirkan anak-anaknya, memelihara anak-anak itu dan menyiapkannya menjadi
generasi penerus, dalam arti menjadi anak-anak yang menjalani kehidupan seperti
yang dijalani orangtua sebagai pendahulu. Sebuah kehidupan pada umumnya dan
menjalani tradisi yang lazim, yaitu bekerja, menikah, memiliki anak. Dan
begitulah seterusnya.” (MY: 20)
Sekali
lagi tradisi patriarkat mengendalikan nasib Bai Juhua. Bibi, ibu, dan ayahnya
menjodohkannya dengan Ma Dongji, laki-laki asing yang sebelumnya belum pernah
dikenal oleh Bai Juhua. Mulanya, Bai Juhua menolak perjodohan itu. Ia
memberontak terhadap tradisi patriarkat. Tetapi kemudian ia bimbang dan
menerima perjodohan tersebut karena Bibinya mengingatkannya akan tradisi
patriarkat yang dijunjung masyarakatnya. Menolak perjodohan, kata Bibinya,
adalah aib yang lebih buruk dari apa pun. Saking malunya, bisa-bisa seluruh
keluarga bisa mati (MY: 22).
Merefleksikan
riwayat hidupnya itu, yang selalu dihantui, dibayang-bayangi, dan dikendalikan
oleh tradisi patriarkat, Bai Juhua lantas membuat semacam resolusi: Ma Yan,
anak perempuannya, tidak boleh mengalami nasib buruk sepertinya. “Aku,” tutur Bai Juhua “adalah perempuan yang tidak mengenal
pendidikan. Perjalanan hidupku adalah penelusuran alur nasib semata-mata. Kini
dengan gigih akan kutantang nasib itu, sehingga nasib yang sama tidak akan
menghampiri anak-anakku” (MY: 156). Oleh sebab itu, menurut Bai Juhua, masa
depan Ma Yan harus cerah. Caranya, Ma Yan mesti memperoleh pendidikan
setinggi-tingginya; Ma Yan harus menjadi orang terdidik (MY: 160).
Demikianlah,
dalam pandangan Bai Juhua, pendidikan adalah sarana yang akan membuat kaum
perempuan mempunyai derajat yang sama dengan kaum laki-laki. Pendidikan akan
membebaskan perempuan dari diskriminasi gender. Tujuan pendidikan adalah untuk
membebaskan perempuan pada khususnya, manusia pada umumnya, dari tradisi
patriarkat.
Akan tetapi, pandangan seperti itu baru masak
dalam pikiran, dan baru diterima sepenuhnya oleh, Bai Juhua ketika Ma Yan
menentang perintahnya untuk berhenti dari sekolah. Perkembangan watak Bai Juhua
memang tampak jelas dalam alur novel ini. Awalnya, Bai Juhua mengafirmasi dan
mengikuti tradisi patriarkat masyarakatnya, dengan kebimbangan dan
pemberontakan yang dipendam dalam hati. Selanjutnya, setelah merasakan betapa
tradisi patriarkat membuatnya dirinya dan anak perempuannya menderita, ia
terang-terangan menentang tradisi patriarkat tersebut melalui tindakan-tindakan
positifnya.
Sebab
demikian, tokoh yang sungguh-sungguh merepresentasikan pemberontakan terhadap
tradisi patriarkat adalah Ma Yan. Pemberontakan ini misalnya ditunjukkan ketika
Ma Yan menolak perintah ibunya untuk berhenti sekolah. Ia menggugat, kenapa ia
yang bergender perempuan yang harus berhenti sekolah, bukan Ma Yichao, adik
laki-lakinya (MY: 139). Ketidaksetujuan dan pemberontakan Ma Yan terhadap tradisi
patriarkat membawanya kepada pandangan pendidikan yang pada intinya boleh
dibilang serupa dengan pandangan pendidikan Bai Juhua. Dalam suratnya yang ia
berikan kepada ibunya, dengan mana ia menolak dan menggugat perintah ibunya
untuk berhenti sekolah, Ma Yan menulis:
“Hidup ibu menderita. Bila aku berhenti sekolah, aku akan menjadi
seperti ibu dengan segala penderitaan itu. Apakah itu yang harus terjadi
padaku? Sekolah adalah persemaian masa depan, peluang untuk meraih sesuatu,
berhenti sekolah berarti kehilangan peluang itu....” (MY: 144-145)
Dan
penderitaan itu disebabkan oleh tradisi patriarkat.
Maka
jelaslah, bagi Ma Yan pendidikan juga merupakan sarana untuk menyudahi
penderitaan perempuan yang disebabkan oleh tradisi patriarkat. Pendidikan
bertujuan untuk membebaskan perempuan dari tradisi patriarkat. Pendidikan adalah
ladang tempat menyemai masa depan bagi dirinya yang perempuan. Dengan berusaha
meraih masa depan yang cerah melalui pendidikan, Ma Yan berharap nasibnya tidak
seperti ibunya: menderita karena diskriminasi gender.
5.
Penutup
Konsepsi
tujuan pendidikan dapat ditinjau dari berbagai perspektif, antara lain
perspektif ekonomi dan perspektif gender. Secara ekonomi, pendidikan bertujuan
membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan. Dengan bersekolah, diharapkan
manusia akan dapat menikmati kehidupan yang makmur dan sejahtera. Berdasarkan
perspektif (keadilan) gender, pendidikan bertujuan membebaskan manusia,
khususnya perempuan, dari diskriminasi gender yang membelenggu perkembangan
hidupnya. Dua macam tujuan pendidikan tersebut terdapat dalam novel Ma Yan ini.
Bai
Juhua berjanji dan bertekad menyekolahkan anak-anaknya setinggi-tingginya.
Sebab, sekolah atau pendidikan merupakan sarana yang dapat membebaskan
anak-anaknya dari cengkeraman kemiskinan yang telah diwariskan secara
turun-temurun. Bai Juhua yakin sekali dengan pandangannya ini, demikian pula Ma
Yan.
Ma
Yan yakin, dengan menempuh pendidikan setinggi-tingginya, ia akan memperoleh
pekerjaan yang bagus, hidupnya akan sejahtera, dan dengan kehidupan yang
sejahtera itu ia akan dapat membahagiakan ibu dan ayahnya. Menurut mereka,
pendidikan adalah sarana, sarana terbaik, untuk membebaskan manusia dari
belenggu kemiskinan.
Bai
Juhua juga yakin bahwa pendidikan dapat membebaskan anak perempuannya dari
tradisi patriarkat yang telah membuatnya menderita, dan nyaris mewariskan
penderitaan itu kepada Ma Yan. Oleh karena itu, ia memberontak terhadap tradisi
patriarkat tersebut. Awalnya, ia memendam pemberontakannya di dalam hati,
lama-kelamaan ia memberontak secara terang-terangan dengan tindakan-tindakan
positif setelah membaca surat yang ditulis oleh Ma Yan untuknya.
Lebih
terbuka dan lebih keras daripada Bai Juhua, Ma Yan memberontak terhadap tradisi
patriarkat secara lugas dan tegas. Ketika disuruh berhenti sekolah oleh ibunya,
Ma Yan menolak mentah-mentah perintah itu dengan ucapan langsung dan dengan
surat yang ia bacakan kepada ibunya. Ma Yan kecil berpikir, jika ia berhenti
sekolah, ia akan mengalami penderitaan seperti ibunya, penderitaan akibat
diskriminasi gender. Ma Yan menolak menjadi korban tradisi patriarkat.
Menurutnya, ia harus terus bersekolah supaya tidak menjadi korban diskriminasi
gender; supaya terbebas dari belenggu tradisi patriarkat.
Jadi,
baik bagi Bai Juhua maupun bagi Ma Yan, pendidikan, selain bertujuan untuk
membebaskan manusia dari belenggu kemisikinan, juga bertujuan untuk membebaskan
manusia, khususnya perempuan, dari tradisi patriarkat.
Daftar Pustaka
Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastera: Persoalan Teori dan
Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran
Malaysia.
Kuncoro, Saine B. 2011. Ma Yan: Perjuangan dan Mimpi Gadis Kecil
Miskin di Pedalalaman China untuk Meraih Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit
Bentang.
Roqib, Moh. 2003. Pendidikan Perempuan. Purwokerto: STAIN
Purwokerto Press.
Saksono, Ign. Gatut. 2008. Pendidikan Memerdekakan Siswa.
Yogyakarta: Rumah Belajar Yabinkas.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori
Sastra. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Jaya dan Girimukti Pusaka.
Tim Penyusun. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa.
“Perempuan dalam Teropong Sanie B.
Kuncoro.” http://terasimaji.blogspot.com/2010/05/perempuan-dalam-teropong-sanie-b-kucoro.html.
Diunduh tanggal 8 Juli 2012.
[1] Judul novel selanjutnya
ditulis Ma Yan saja.
[2] “Perempuan
dalam Teropong Sanie B. Kuncoro,” Teras Imaji, dalam http://terasimaji.blogspot.com/2010/05/perempuan-dalam-teropong-sanie-b-kucoro.html
(diunduh tanggal 8 Juli 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam