Romantikus
selalu menghidup-hidupkan krisis. Maksudnya, ia menilai bahwa dunia sedang
selalu dalam keadaan kacau-balau, tidak seimbang dan tidak tertata rapi. Hukum
tidak berfungsi. Hukum yang ada hanyalah hukum rimba: siapa kuat dia menang.
Antara individu yang satu dengan individu yang lain tidak terikat oleh rasa
saling percaya, sebaliknya, terikat oleh kecurigaan yang menghasilkan kecemasan
dan ketakutan. Terjadi teror fisik maupun teror mental antarindividu. Segala
tindakan terfokus pada ego masing-masing, sedikit sekali usaha untuk keluar
dari diri sendiri, menyapa dan menjumpai orang lain, juga orang yang 180
derajat berbeda dengan dirinya.
Dengan
menghidup-hidupkan krisis, dengan memastikan dan membuktikan keberadaan krisis,
romantikus mempunyai alasan untuk bergerak, baik dalam bentuk penghancuran dan
perbaikan keadaan maupun penciptaan keadaan baru yang diimpikan. Wacana krisis
ini menjadi modal agitasi dan propagandanya menjaring sebanyak-banyaknya
pengikut, selain menjadi alasan hidup dan dasar semangat hidupnya. Dengan kata
lain, ia sesusungguhnya sedang menyebarkan ketakutan dan kecurigaan. Krisis
yang senyatanya barangkali tak pernah ada justru menjadi kenyataan karena
wacana krisis yang disebarkannya dan gerakan pemulihannya yang digalakkanya itu.
Kesimpulan
romantikus akan adanya krisis disebabkan, bisa jadi, karena dia menilai keadaan
“zaman sekarang” dan “tempat di sini” menggunakan ukuran-ukuran yang tak
relevan, tak realistis, dan tak objektif. Yang sering berlaku, ia menggunakan
keagungan masa lalu sebagai tolok ukur realitas zaman sekarang. Hasilnya,
menurutnya, zaman sekarang adalah zaman kemerosotan, dan untuk mengatasi
kemerosotan tersebut, yang lama harus dihidupkan kembali. Zaman sekarang harus
dirombak. Keagungan masa lalu harus didirikan kembali.
Atau,
ia menilai zaman sekarang dengan idealitasnya yang subjektif dan melangit.
Realitas yang cacat dinilainya dengan kesempurnaan abstraksi pikiran logis.
Kesenjangan antara realitas objektif dengan idealitas subjektifnya inilah yang
disebutnya sebagai krisis. Krisis dapat disembuhkan apabila ada usaha yang
gigih untuk menyesuaikan realitas objektif dengan idealitas subjektif, atau
membumikan idealitas subjektif di tanah gersang realitas objektif. Usaha yang
gigih itu dikenal sebagai perjuangan. Hujan yang turun ke bumi dan mengantarai
langit dengan bumi, dan peristiwa persetubuhan ketika phallus (lingga)
bersentuhan dengan vagina (yoni), adalah dua simbol yang kerap dipergunakan
untuk menggambarkan proses perjuangan tersebut.
Perjuangan
adalah apa yang membuat hidup romantikus menjadi bermakna. Diungkapkan secara sloganistis,
hidup adalah perjuangan baginya. Selanjutnya, perjuangan mengenalkannya dengan
pengorbanan, korban, martir, dan penebusan. Inilah alasan mengapa beberapa
romantikus menahbis dirinya sebagai nabi, imam mahdi, mesiah, ratu adil yang
membawa misi profetik menyelamatkan dunia dari kehancuran totalnya.
Diperinci
lebih lanjut, romantikus menghendaki penyatuan segala yang beroposisi.
Persatuan adalah kata kunci propagandanya sekaligus cita-citanya yang paling
tinggi. Sayangnya, persatuan segala yang beroposisi itu masih tidak mungkin
terwujud selama dia masih hidup. Ketidakmungkinan ini mengantarkannya sampai
pada makna rindu, rindu dendam, rindu yang sangat amat hebat. Rindu
mempersyarakatkan perpisahan, dan rindu adalah hasrat kuat untuk bertemu. Siapa
yang ingin sekali ditemuinya, dalam puisi-puisi romantikus, ditandakan dengan
kata “kau” yang sejatinya adalah “Aku”.
Jika
romantikus berbicara tentang rindu, sudah pastilah dengan sendirinya ia akan
berbicara pula tentang cinta. Cinta adalah tema utama puisi-puisi yang ditulis
oleh sastrawan-sastrawan romantik. Cinta adalah jalan untuk mengatasi krisis.
Kebetulan, saripati cinta adalah kepercayaan dan keyakinan, adalah iman,
sesuatu yang diperlawankan dengan kecurigaan dan keragu-raguan, dua mentalitas
yang mewabah ketika krisis berlangsung.
Maka,
untuk mematahkan argumentasi romantikus dan untuk meredam kegilaannya yang
berkobar-kobar, pertanyaan pokok dan mula-mula yang mesti dilontarkan kepadanya
adalah: apa benar kita sedang mengalami krisis? Bukankah cinta, pada setiap
keadaan, bahkan pada keadaan yang paling sulit dan pahit pun, tetap ada, dengan
intensitas yang berbeda-beda? Bukankah manusia merupakan gelanggang di mana
benci dan cinta bertarung tak hent-henti? Bukankah ketika ada benci, ada pula
cinta? Bukankah dalam krisis paling gawat sekali pun kita masih merasakan kasih
sayang? Bukankah... catatan ini tak perlu saya tulis?
Yogyakarta, 15
juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam