Judul : Ma Yan:
Perjuangan dan Mimpi Gadis
Kecil Miskin di Cina untuk Meraih Pendidikan
Penulis : Sanie B. Kuncoro
Penerbit : Penerbit Bentang
Cetakan
ke : I, Mei 2011
Halaman : viii + 228 hlm
Kebijakan
“lompatan jauh ke depan” yang digulirkan empat dekade silam (1958-1962) oleh
Mao Zedong, sang pemimpin besar Cina, ternyata kini (2000-2002) berdampak
sangat buruk: merusak alam, menimbulkan penggurunan di beberapa wilayah
agraris, dan akhirnya menjerat para petani yang bermukim di wilayah tersebut
dalam kemiskinan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka
hampir-hampir tak bisa bercocok tanam lagi karena air sangat sulit diperoleh.
Padahal, penghidupan mereka terutama bersumber dari hasil pertanian.
Desa
Zhangjiashu termasuk wilayah agraris yang menjadi korban kebijakan “lompatan
jauh ke depan”. Di desa yang mendapat sebutan sebagai “dataran yang dahaga”
itulah Ma Yan beserta ayah (Ma Dongji), ibu (Bai Juhua), dan dua adik
laki-lakinya (Ma Yichao dan Ma Yiting) tinggal. Seperti keluarga-keluarga lain
di desa itu, mereka adalah keluarga muslim yang relatif taat, setidaknya secara
formal-ritual.
Meskipun
desa itu adalah desa Islam, tetapi tradisi patriarkat masih mengakar. Harga
perempuan jauh di bawah harga laki-laki. Perempuan tidak perlu diberi
pendidikan tinggi-tinggi, toh kelak mereka akan menikah, melahirkan, menjadi
ibu rumah tangga, dan kembali ke dapur. Lebih menguntungkan memberi pendidikan
tinggi bagi anak laki-laki daripada anak perempuan. Selain tidak mendapat
prioritas pendidikan, anak perempuan dituntut untuk selalu patuh tanpa syarat
terhadap segala perintah orang tua, juga dalam soal perjodohan.
Ma
Yan kecil yang cerdas dan haus pendidikan awalnya tidak memahami nilai
tradisional yang dianut masyarakat desanya itu. Dengan bersemangat, bersama Ma
Yichao tiap minggu ia pergi-pulang berjalan kaki ke sekolah-asramanya yang
terletak di kota Yuwang, 20 kilometer jaraknya dari desa Zhangjiashu. Jarak sejauh
itu ditempuh selama empat sampai lima jam. Jalur Zhangjiashu-Yuwang adalah
jalur yang berbahaya, lebih-lebih bagi anak perempuan sekecil Ma Yan. Jalur
berdebu itu diapit jurang-jurang, penuh dengan dakian dan turunan yang curam
serta celah lebar di antara karang terjal. Tetapi bahaya dalam perjalanan tidak
selesai sampai di sini. Masih mengintai bahaya lain: hadangan ular-ular yang
kelaparan dan para pencuri. Sebenarnya, untuk sampai ke sekolah-asramanya, Ma
Yan bisa menumpang traktor. Tetapi menumpang traktor tidak gratis, harus
membayar ongkos sebesar satu yuan, jumlah yang sangat besar bagi keluarga Ma
Yan.
Semangat
belajar Ma Yan di sekolah-asramanya pun tinggi. Ia ingin meraih prestasi
sesempurna-sempurnanya demi menggapai masa depan yang lebih cerah, lebih
sejahtera, sehingga bisa membahagiakan ibu-ayahnya. Bahkan, ketika Ma Yan
mengalami dua kali kegagalan, yakni kegagalan dalam ujian sekolah dan kegagalan
dalam ujian seleksi masuk sekolah menengah putri, semangat belajar Ma Yan tidak
lantas surut. Ia terus berpikir positif. Pada ujian sekolah berikutnya, ia
meraih peringkat kedua.
Bai
Juhua merasa bangga dan gembira dengan prestasi anak perempuannya tersebut.
Akan tetapi, kegembiraannya ini tak berlangsung lama. Hujan yang tidak turun
sepanjang lima tahun belakangan ini membuat ekonomi keluarga semakin seret.
Sementara itu, suaminya, Ma Dongji, yang juga bekerja di kota sebagai kuli
proyek konstruksi, sering tidak menerima gaji karena gajinya dikorupsi oleh
manajer proyek. Solusinya, Bai Juhua harus memangkas pengeluaran rumah tangga,
termasuk biaya sekolah. Artinya, salah seorang anaknya terpaksa berhenti
sekolah. Menurut tradisi, anak laki-lakilah yang layak diberi prioritas
mendapat pendidikan tinggi, dan Ma Yan harus berhenti sekolah. Dengan sedih dan
sesal, Bai Juhua menyampaikan keputusan dan maksudnya tersebut kepada Ma Yan.
Ma
Yan tidak bisa menerima keputusan itu. Ia berkeras ingin terus sekolah. Melalui
ucapan dan sacarik surat, ia memprotes dan menggugat ibunya, tradisinya, kenapa
anak perempuan tidak boleh mengenyam pendidikan setinggi-tingginya; kenapa
dalam bidang pendidikan anak laki-laki yang harus didahulukan.
Walaupun
Bai Juhua berusaha melunakkan kekerasan hati anaknya dan mendorong Ma Yan
supaya rela menerima keputusan diskriminatif tersebut, hati kecil Bai Juhua
sebetulnya membenarkan dan mendukung protes Ma Yan. Nasib Bai Juhua tidak lebih
baik ketimbang nasib Ma Yan. Bai Juhua juga korban diskriminasi tradisi
patriarkat. Dulu, ketika masih kecil, ia diberhentikan dari sekolah oleh orang
tuanya sebelum ia bisa membaca dan menulis. Ketika remaja, ia dijodohkan dengan
Ma Dongji, laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya. Saat itu, ia hanya bisa
patuh, kepatuhan yang kini mesti dibayar mahal. Sebab, kepatuhan itu telah
menjadikannya sebagai perempuan yang kurang berpendidikan dan melarat.
Surat
protes Ma Yan dan bisikan hati kecilnya menyalakan keyakinan dalam diri Bai
Juhua bahwa penderitaan dan kemiskinannya jangan sampai ia wariskan kepada Ma
Yan. Hidup Ma Yan wajib lebih baik daripada hidupnya. Bagaimana pun caranya, Ma
Yan harus terus sekolah, sekolah setinggi-tingginya.
Beruntung,
Bai Juhua menemukan jalan keluar sementara. Untuk membayar biaya sekolah Ma
Yan, tanpa mempedulikan perutnya yang selalu sakit, Bai Juhua pergi mengikuti
rombongan petani ilegal pemanen Fa Cai, rumput sayuran yang tumbuh subur di
Cina bagian barat daya, di perbatasan antara Ning Xia dengan Mongolia Dalam,
400 kilometer jauhnya dari desa Zhangjiashu. Di tempat itu ia memanen Fa Cai,
dan menginap berhari-hari lamanya. Uang hasil panenan itu untuk sementara dapat
menutupi biaya sekolah Ma Yan. Tetapi, ancaman kesulitan ekonomi senantiasa
membayangi. Karena itu, mesti segera dicari jalan keluar lain yang lebih
menjamin pendidikan Ma Yan.
Adalah
kebetulan, di tengah kebuntuan itu, suatu ketika tetangga Bai Juhua memberi
tahunya bahwa beberapa orang asing sedang menginap di rumah Imam Hu, sesepuh
desa Zhangjiangshu. Menurut si tetangga, mereka mungkin sedang mengadakan
sensus. Bai Juhua kemudian bertanya: apa mereka juga mencari anak-anak pintar?
“Mungkin,” jawab si tetangga. Didorong naluri keibuannya, Bai Juhua bergegas
pergi ke rumah Imam Hu, bermaksud menemui orang-orang asing itu, mengabarkan
bahwa Ma Yan, anak perempuannya, adalah anak pintar yang sedang mereka cari. Ia
berharap, mereka dapat menolong Ma Yan supaya dapat terus melanjutkan sekolah.
Sebelum
sampai di rumah Imam Hu, Bai Juhua melihat mobil melaju ke arahnya. Mobil itu
dinaiki oleh orang-orang asing yang baru saja meninggalkan rumah Imam Hu. Bai
Juhua sontak menghadang mobil itu agar berhenti. Mobil pun berhenti. Ia
mengajak mereka mampir ke rumahnya. Karena perbedaan bahasa, rombongan orang
asing yang berasal dari Perancis itu tidak segera bisa memahami kata-kata Bai
Juhua. Akhirnya, mereka mengerti maksud Bai Juhua. Bai Juhua dinaikkan ke
mobil. Mereka pun mampir ke rumah Bai Juhua.
Setiba
di rumahnya, tanpa memberi tahu Ma Yan terlebih dahulu—saat itu Ma Yan sedang
tak di rumah, kepada mereka Bai Juhua menyerahkan buku catatan harian dan surat
protes Ma Yan yang tentu saja ditulis dalam bahasa Cina. Ma Yan memang rajin
menulis catatan harian. Di dalamnya, Ma Yan mengabadikan peristiwa sehari-hari
dan hal-hal yang menurutnya penting, termasuk kegagalan dan keberhasilan
ujiannya, kemiskinan keluarganya, serta cita-citanya untuk melanjutkan sekolah
setinggi-tingginya. Kendati baru pertama kali bertemu dengan, dan tidak
betul-betul mengenal, orang-orang asing itu, Bai Juhua yakin, mereka adalah
orang baik. Mereka pasti akan berusaha membaca buku catatan harian dan surat
protes Ma Yan walaupun mereka tidak mengerti benar bahasa Cina. Mereka pasti
akan membantu Ma Yan mewujudkan impiannya.
Ma
Yan lagi-lagi memprotes ibunya ketika ia tahu bahwa Bai Juhua telah memberikan
buku catatan harian dan surat protesnya kepada orang-orang asing itu. Bai Juhua
dengan sabar meyakinkan Ma Yan bahwa tindakannya tidak salah dan tidak akan
sia-sia. Kali ini, Ma Yan melunak, tidak menyangkal keyakinan ibunya, tidak
lagi menyalahkan tindakan ibunya.
Keyakinan
seorang ibu adalah mukjizat. Orang-orang asing itu rupanya memang orang baik,
dan bukan orang sembarangan. Pemimpin rombongan, Pierre Haski, adalah redaktur
sebuah harian di Perancis: Liberation.
Setelah membaca dan mendalami buku catatan harian dan surat protes Ma Yan,
hatinya terketuk oleh perjuangan Ma Yan meraih pendidikan. Kemudian, ia menulis
kisah Ma Yan itu, dan memuatnya di Liberation.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam