Aplikasi
total quality management (TQM) dalam manajemen pendidikan saat ini untuk
mencapai standar ISO tertentu, ujung-ujungnya hanya menurunkan kualitas
pendidikan, kualitas keilmuan, dan kualitas kemanusiaan. Yang dikejar oleh TQM
adalah akreditasi, sertifikasi, dan citra; serba angka dan status. TQM
merupakan solusi yang kontraproduktif, dan mirisnya, sedikit sekali praktisi
pendidikan yang sadar benar akan hal ini. Lebih jauh, kontraproduktivitas ini
adalah dampak dari pemakaian pendekatan pedagogis yang tak berimbang:
pendekatan manajemen-ekonomi lebih diunggulkan daripada pendekatan psikologis.
Pada
skala mikro, yaitu pada prosesi belajar-mengajar di ruang kelas,
kontraproduktivitas serupa pun terjadi, sebagai konsekuensi langsung dari TQM.
Orientasi belajar hanya pada angka—tercantum pada lembar nilai ekseminasi dan
sertifikat kelulusan—yang semakin mentradisi di sekolah-sekolah dan
kampus-kampus kita, malah mendorong pengajar untuk menurunkan standar kualitas
karena alasan subjektif (emosional) ataupun objektif (kekeluargaan;
kolektivitas; komunalitas), di samping secara ironis menghancurkan komunalitas
itu sendiri yang merupakan ciri khas kultur kita sekaligus identitas kita.
Karena
sebuah kultur merupakan sistem organis, maka hancurnya komunalitas akan
menyebabkan hilangnya identitas dan pecahnya pandangan dunia yang sebelumnya
padu-utuh. Tidak kebetulan apabila anak-anak muda kita sekarang mudah digiring
untuk mengikuti trend-trend sesaat yang disuplai dari kebudayaan asing melalui
medium teknologi informasi-komunikasi, kemudian tergesa-gesa meninggalkannya,
melupakannya, dan menggantinya dengan mengenakan trend-trend baru yang diterima
dari kebudayan asing lainnya. Bisa dipastikan, anak-anak muda itu sedang
kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial seperti “siapa aku” dan
sebagainya. Ketika memandang ke dalam diri sendiri dan memeriksa kebudayan
sendiri untuk mencari jawabannya, mereka mendapati, unsur-unsur fundamental
tertentu dalam diri mereka dan dalam kebudayaan mereka telah hancur-hilang.
Satu-satunya jalan keluar adalah menyerahkan diri terseret arus trend
kebudayaan yang tak pasti arah-tujunya; terus-menerus menjadi petualang
kebudayaan yang cemas, gamang, bingung, rapuh.
Sebelum
menawarkan solusi dari rangkaian permasalahan tersebut, misalnya berupa
aplikasi pendekatan pedagogis yang manusiawi (imbangan antara etika pengajaran,
psikologi, dan manajemen), perlu dilakukan observasi faktual yang luas dan
mendalam. Sebab, tentu saja terdapat banyak faktor yang mempengaruhi turunnya
kualitas pendidikan kita saat ini, tidak disebabkan faktor budaya populer
semata-mata: pengutamaan angka dan citra. Barangkali, faktor ekonomi, sosial,
dan politik pun berperan tidak kecil. Dengan mengamati semua faktor tersebut,
dan mendaftar apa saja akibat potensial dari penurunan kualitas pendidikan saat
ini, diharapkan kita akan bisa menawarkan solusi yang lebih tepat, efektif, dan
mempunyai kemungkinan terapan yang tinggi, walaupun belum tentu akan dapat
menyelesaikan permasalahan secara menyeluruh.
yogyakarta, juni-juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam