26/07/13

motivasi


Nilai ibadah terletak pertama-tama pada motivasinya, pada niatnya. Semakin luhur motivasinya, semakin bernilai ibadah tersebut. Ibadah yang bernilai selalu memberi umpan balik yang positif kepada pengamalnya. Ibadah yang tidak atau kurang bernilai, yang didorong oleh motivasi yang tidak luhur, malah akan menjatuhkan kemuliaan dan menggerus kebahagiaan pengamalnya.

Ibnu Sina pernah melontarkan teori motivasi ibadah yang perlu direnungkan. Menurutnya, orang beribadah karena tiga hal.

Pertama, orang beribadah karena takut akan siksa Tuhan. Orang ini bagaikan hamba sahaya yang melakukan aktivitas karena didorong rasa takut. Ia memandang tuannya sebagai sosok yang keras, kasar, kejam, dan tidak memiliki belas kasihan. Kemerdekaan, kedamaian, dan keamanan hanyalah impian baginya.

Kedua, orang beribadah karena mengharap surga Tuhan. Orang ini bagaikan pedagang yang tidak melakukan aktivitas kecuali untuk memperoleh keuntungan. Tuhan adalah mitra bisnisnya. Hubungannya dengan Tuhan merupakan hubungan yang ekonomistis dan matematis. Semboyannya: saya membeli apa, saya membayar berapa; saya memberi apa, saya mendapat apa. Kalau memberi sesuatu tetapi tidak kunjung mendapat gantinya yang lebih baik atau minimal yang sama baiknya, ia akan dirundung putus asa dan kekecewaan. Lunturlah kepercayaannya terhadap mitra bisnisnya. Orang seperti ini mereduksi ibadah menjadi angka-angka dan mengkonversinya menjadi citra-citra. Seksama ia mengamati berapa jumlah pahala ibadah ini dan itu. Telaten ia mempercantik bungkus barang dagangannya, kemasan ibadahnya. Ia mempersuasi Tuhan sedemikian rupa supaya mau membeli ibadahnya.

Ketiga, orang beribadah karena dorongan cinta. Sikapnya terhadap Tuhan bagaikan sikap ibu terhadap anaknya—tetapi, dengan mengunakan metafor ini, saya tidak bermaksud menggambarkan Tuhan sebagai seorang anak.  Sikap seorang ibu terhadap anaknya tidak dapat lain kecuali dilatarbelakangi dan dilatardepani oleh cinta yang murni dan sejati. Terhadap anaknya, ibu laksana matahari yang konsisten memberi tanpa menagih dan menunggu imbalan. Pandangannya melampaui untung dan rugi. Ia masih akan memberi meskipun pemberian itu merugikannya, bahkan menderitakannya. Ia tidak berharap apa pun kepada anaknya selain kebahagiaan dan keridhaan anaknya itu.

Memang, teori Ibnu Sina di atas tidak terbebas dari apa yang disebut sebagai koersi kategorisasi yang merupakan salah satu bentuk kekerasan epistemik. Kenyataan yang kompleks seolah-olah dapat terpetakan dengan jelas dan pasti. Ada sekelompok hamba yang beribadah hanya karena dorongan rasa takut akan siksa Tuhan. Ada sekelompok hamba yang beribadah hanya karena mengharap surga Tuhan. Ada sekelompok hamba yang beribadah hanya karena dorongan rasa cinta yang satu dimensi kepada Tuhan.

Tipe hamba lain yang beribadah karena semua hal itu tidak tercakup dalam kategorisasi yang dirumuskan Ibnu Sina. Hamba tipe ini beribadah karena dorongan rasa cinta yang multidimensi. Menurutnya, di dalam pengertian cinta terkandung pula unsur takut dan harap, tetapi bukan sekadar takut akan siksa Tuhan dan berharap akan surga-Nya, melainkan takut terhadap dan berharap kepada Tuhan itu sendiri. Tuhan tidak disekutukannya dengan neraka dan surga.

Ia memandang Tuhan sebagai pribadi yang bhineka tunggal ika. Tuhan itu Pengasih dan Penyayang tetapi sekaligus Pembalas dan Penyiksa. Penghukuman dan keadilan Tuhan adalah manifestasi kasih sayang-Nya. Tuhan merendahkan dan meninggikan hamba-Nya, menghinakan dan memuliakan hamba-Nya. Pendek kata, ia tidak mampu menyingkap hakikat Tuhan secara total, utuh, dan lengkap. Tuhan tidak terjangkau oleh akalnya. Tuhan adalah misteri yang tak tersingkap, teka-teki yang tak terpecahkan, pertanyaan yang tak terjawab, rahasia yang tak terketahui. Karena itu, Tuhan adalah keindahan sejati yang abadi. Daya tarik-Nya tak pernah sirna. Kecantikan-Nya tak pernah pudar.

Meskipun hamba tipe ini merasa tidak pernah sanggup menuntaskan identifikasinya terhadap Tuhan, ia memiliki keyakinan yang kokoh dan kukuh bahwa Tuhan itu ada, keyakinan yang meningkatkan secara generatif nilai ibadahnya. Barangkali, keyakinan inilah yang dikonsepkan sebagai iman dalam agama Islam. Dan hamba itu sendirilah yang bakal menikmati buah keyakinannya dan hasil ibadahnya: akhlak yang indah.

yogyakarta, juli 2013