25/04/11

hanya tanya

sebuah soneta gurindam




hanya tanya (atawa nama tanpa tanda tanya)

perlu kita teror-teror itu
padahal kita memilih kematian
sebagai jalan kehidupan
                    memilih sakit sebagai obat
                    memilih merdeka untuk membudak

butuh aku kata-kata itu
padahal aku memilih puisi
sebagai jalan keheningan
                    memilih alif agar air
                    memilih buta supaya melihat

bisa kita mencari jawaban
tanpa tanya sebagai awalan

mampu aku mencapai pertanyaan
tanpa nama sebagai pangkalan


jogja, 25 april 2011

17/04/11

sayang nian, saya hanya sebatang hari



sayang nian, saya hanya sebatang hari. saban hari mengintip perawan mandi, mendengar ibu-ibu nggosip sambil nyuci, menyaksi anak-anak sungai yang berenang telanjang menyetubuhi bauku dan keruhku dari pagi hingga petang magrib.

sayang nian, saya hanya sebatang hari, sebatas mengalir ke hilir, mengikuti titah takdir. maka dengan lapang dada, saya menerima sampah dan tinja yang datang dari uluan, mengizinkan tongkang dan pompong mengangkuti kayu curian, mendukung penambangan emas legal besar-besaran, merekam ikan dan udang  air tawar yang punah pelan-pelan, terheran-heran mengapa manusia abai urusi lingkungan.

sayang nian, saya hanya sebatang hari. tak kuasa bersuara, tak cakap bercakap, tak tukang unjuk rasa. saya bisu, tak bermulut, belum sekalipun belajar kata-kata. saya buta huruf, jauh dari bangku sekolah dasar. saya begitu semut, terinjak, kadang terduduki, sesak napas, menanti mati. tapi siapa peduli dengan saya yang hanya sebatang hari?

sayang nian, saya hanya sebatang hari, berjalan panjang merajang-rajang jambi. saya memisahkan satu kampung dengan kampung lain, satu kota dengan kota lain. mereka tak saling bertemu muka, bertukar mata, bersalam jiwa. saya, dengan riak yang sangat tenang, memandang parang dan perang, sumpah serapah dan hujatan, jenazah penasaran, dan batang-batang yang mengambang. apalah daya, saya hanya sebatang hari, bukan wali yang pandai menyemai damai.

sayang nian, saya hanya sebatang hari. saya tak memiliki kaki, apalagi ferari yang bisa membantuku melarikan diri dari ingin ilahi, dan menghindarkan orang-orang dari banjir pembasmi  rizki. jika hujan berminggu-berbulan, tubuhku menggelembung membuncah tumpah ruah ke daratan: rumah-rumah tenggelam, huma-huma rusak habis-habisan, padi tak jadi dituai, tambak luluh lantak, bayi-bayi menangis tak berhenti, dan para jompo melongo menatapi dan meratapi kenangan dari atas sampan yang sia-sia. tapi saya hanya sebatang hari, mustahil menjelma sapu tangan yang mengelap air mata mereka, atau pelawak pasaran yang menerbitkan tawa gembira mereka.

sayang nian, saya hanya sebatang hari, yatim piatu sebatang kara yang selalu menunggu inang datang dari lawang pintu langit yang berjanji menghadiahi sepasang angsa putih yang sedang kasmaran: menyanyi dan menari mengitari tubuhku, suka-cita menggelar opera cinta.


asrama batanghari, 17 april 2011

rantau




                          : untuk seseorang, di sini


kita dulu menyatu
namun waktu membelah kita
jadi dua

sepertinya kini cinta
entah datang dari wilayah mana
meminta kita bersetubuh
sekali lagi menyatu

kau mau, akuku?


Jogja, 17 april 2011


nb: puisi ini kuserahkan pada seseorang. Senantiasa menggema-gema namanya di dadaku. Kau tahu di mana rumahnya? Di sini. Kau tahu kapan ia menyapaku? Saat ini.

14/04/11

Kilas-Balik

TUAN:
sekali lagi, budak tersayangku, aku sama sekali tidak berniat menguasaimu. aku hanya mengutil beberapa kata perintah dari kamus besar kematian, dan menggunakannya agar mudah berdialog denganmu. ingat, ber-dia-log, bukan menyuruh atau menginstruksi ini-itu. aku menjunjung tinggi persahabatan, persaudaraan, dan kebersamaan. aku tidak berbakat jadi politisi atau pedagang. kuharap kau mau akur denganku dan bekerja bersama, dengan tulus hati, jika perlu tanpa meminta upah. kejayaan dan kemenangan adalah milik kita, milik kita. tapi biarkan aku tetap duduk di kursi goyang, menghayati irama tubuh penari alam, menyantap anggur dan rembulan, dan bangga sebagai pujangga yang pandai bersiasat dengan kata-kata.


BUDAK:
maafkan aku, tuanku tercinta, aku semata rakyat jelata, harta tak punya, rumah tak ada, melayari lautan kehidupan sebagai gelandangan nista. aku sangat suka mengikuti kehendak luhurmu. aku juga mengidam-idamkan kebersamaan yang kanak-kanak, persahabatan yang hangat, dan persaudaraan yang surga. ruhku menyuruhku mengakurimu, bekerja bersamamu dengan tulus yang paling susu. namun dunia bukan beranda senja tempat sepasang cucakrawa bercanda mesra. sementara kubiarkan kau duduk ngaso di kursi goyang, kau biarkan aku memenuhi cangkir anggurmu dengan peluhku, dan kadang, dengan darahku. aku adalah penari alam yang tubuhnya pelan-pelan pecah karena tak kuat menyimpan lapar dan cambuk waktu. aku berlari menghadap rembulan, mensujudinya, mencium muka bopengnya. tapi rembulan tidak pernah bisa berkata, tidak pernah sekali pun, apalagi menyelamatkanku dari dagingku. aku pun sepi, terasing dari segala bahasa. bagaimana aku bisa berbahasa, bila kau adalah pujangga pemilik sarwa kata?

13/04/11

halte

aku perawan. tak punya sayap, tapi ingin memegang awan.

ibu waktu dan bapa ruang, pada suatu jum'at yang malam, saling mengumpulkan kenangan dan harapan, merapal secanting doa berulang kali, dan beberapa hari kemudian, lahirlah aku, seperti sabda yang mudah jatuh ke tanah.

namun orang-orang tak mau mendengar tangisku yang nyanyi, juga tak peduli dengan laparku yang wangi. mereka mengolok-olokku sebagai ular berbisa muasal dosa. anak-anak pembawa layangan dan kelereng, berkumpul melingkari ayunan airku. mata mereka adalah pisau yang diasah tujuh puluh tujuh kali dan ditusuk-tusukkan ke sekujur tubuh kapukku.

aku ketakutan dan meraung dalam bisu. di bibir sungai, ibuku mematung saja. di tepi rumah, bapaku terpaku saja. keduanya seakan tak bisa berbuat apa-apa, juga untuk sekedar berteriak marah: "hei kalian para keji, anak kami bukan haram, kalianlah justru iblis yang bersembunyi di balik rupa dan kata manusia, dan setan yang tenang bersemayam di sela-sela jari tangan tuhan."

tetapi, entah telingaku yang tuli, atau raga dua orang tuaku yang mayat, aku tidak mendengar pertolongan timur atau bantuan barat.

aku perawan. sekarang aku sangat yakin bahwa aku tak punya sayap, dan masih ingin memegang awan. tapi bagaimana metodologi memegang awan?

"Titi tangga ini. Lepaskan bajumu dan kerudungmu dan rok merakmu dan sepatu debumu. campakkan pikiranmu dan tanggalkan tubuhmu. abaikan waktu, ibumu itu. berpalinglah dari ruang, bapamu itu. turun, turunlah ke sini, ke diriku yang awan ini, cintaku. peganglah aku, peganglah aku, dengan sederhana dan apa adanya. "

06/04/11

Salam Jika Saja




Jika saja, saudaraku                                
setanah air seair tanah
putih bendera kita cerai dari merahnya
tinggal marah dan darah
seperti yang telah-telah

Jika saja, saudaraku
seadam hawa sehawa adam
merah bendera kita pisah dari putihnya
bakal kalah dan rendah
seperti yang sudah-sudah

Jika saja, saudaraku
putih memerah merah memutih
kiri menganan kanan mengiri
laki-bini saling mencintai
maka kita mukim di musim musik


jogja, 6 april 2011

Lada, ca-pek deh...



    TIAP ibu, atau gadis yang sedang berlatih jadi ibu, tentu kenal lada. Lada punya puspaguna. Seorang ibu rumah tangga menggunakannya untuk melezatkan makanan. Seorang tabib yang mahir meramu obat herbal, barangkali akan memanfaatkannya untuk pencampur jamu. Seorang anak kecil, yang lagi suka mengetapel burung prenjak, bisa jadi akan mencuri lada dari dapur, dan memakainya menggantikan kelereng atau kerikil sebagai pelor ketapelnya.

   Atau seorang pencinta yang terlalu kreatif, akan membeli sebutir lada, lalu ia menjadikannya bandul kalung; kalung berbandul lada itu diserahkannya pada kekasihnya sebagai hadiah ulang tahun. Lelucon yang majnun? Betul. Lada, kadangkala juga adalah pertanda ketakwarasan, sebagaimana diceritakan B.J.O. Schrieke dalam Indonesian Sociological Studies.

   Dalam buku yang dijadikan rujukan penulisan sejarah Indonesia oleh Sartono Kartodirdjo itu, Schrieke menjelaskan bagaimana lada yang pada mulanya adalah berkah berubah menjadi bala bagi Jambi. Jenis rempah ini diproduksi di daerah pedalaman Jambi hingga Minangkabau pada abad XVI-XVII. Waktu itu, selain emas, lada adalah komoditi ekspor utama Jambi.

Namun komoditi, seperti pernah disinyalir Karl Marx, akhirnya dipuja mati-matian. Dalam dunia ekonomi-politik, lada diberhalakan, lada dituhankan, dan ia menjelma fethis. Status ontologi lada menanjak tinggi, melebihi manusia, bahkan mengatasi tuhan.

   Lada diperebutkan oleh para orang kayo, orang laut, bangsawan, dan pedagang asing. Kerajaan Aceh yang menguasai pantai barat Sumatera menyerang Jambi hanya salah satunya untuk memonopoli produksi dan perdagangan lada Jambi, persis seperti Amerika dan sekutunya yang belakangan ini menggempur Libya untuk mencaplok minyaknya. Portugis yang menduduki Malaka pun menggempur Jambi. Johor dan Banten sama saja. Gara-gara lada lahir tidak hanya persaingan ekonomi, namun juga perang militer. Karena lada, manusia dihalalkan, bahkan diwajibkan, membunuh manusia yang lain. Majnun, bukan?

   Bahkan sampai saat ini, sisa-sisa perang lada tersebut masih terekam jelas dalam hubungan diplomasi Jambi-Johor. Genealogi konflik perebutan Pulau Berhala antara Provinsi Jambi di satu pihak, dengan Provinsi Kepulauan Riau di pihak lainnya, mungkin saja, secara psikohistoris, berakar dari gonjang-ganjing perang lada itu. Huft! Perang kok ya diwariskan segala! Ca-pek deh…

Jogja, 6 april 2011

Pembicaraan Telinga


seperti kata yang menulis huruf
seperti daun yang melukis hijau
seperti wajik yang meracik legit
seperti baju yang menjahit benang
seperti yesus yang menghamili maria

pernah dengar telinga bicara?


Jogja, 6 april 2011

02/04/11

Sepotong Layla, Sepenggal Majnun


...
...

Di antara anak-anak dari berbagai kabilah, terlihat seorang gadis cantik berusia belasan tahun. Wajahnya anggun mempesona, lembut sikapnya dan penampilannya amat bersahaja. Gadis itu bersinar cerah seperti mentari pagi, tubuhnya laksana pohon cemara, dan bola matanya hitam laksana mata rusa. Rambutnya hitam, tebal bergelombang.

Gadis yang menjadi buah bibir dan penghias mimpi pemuda itu bernama Layla. Ya, bukankah Layla berarti malam, seperti warna rambutnya? Bila seorang pemuda menatap parasnya, pasti jiwa si pemuda akan gelisah dan wajh lembut itu akan tetap terkenang hingga ajal menjelang. Apalagi bila menatap pipinya nan seperti rembulan menyinari gurun Arab, tentu jantung mereka akan berhenti berdetak. Laksana Zulaikha yang terpesona melihat ketampanan Yusuf, semua lelaki yang memandang pasti terpikat oleh pesona dan kecantikan gadis yang sedang tumbuh mekar itu. Cahaya gadis itu benar-benar mempesona, jikalau matahari tidak terbit, cukuplah wajah Layla yang menggantikan sinarnya. Bila rembulan enggan datang di malam hari, kelembutan wajah Layla sudah cukup untuk menyejukkan bumi.

Apatah lagi, gadis yang menjadi cahaya malam itu dikaruniai kecerdasan, kefasihan lidah dan memiliki kemampuan yang mengagumkan dalam merangkai madah. Lengkaplah sudah kesempurnaan dan kemuliaan yang ia miliki.

Kemanapun Layla pergi, kawan-kawannya pasti menemani, seolah ingin memungut sisa-sisa pesonanya. Dan para pemuda, berlomba-lomba menarik perhatiannya, berusaha menawan hati bunga nirwana itu. Pesona wajah Layla bagai pusaran angin beliung yang bisa menyedot semua benda yang tertanam di bumi. Ia adalah mahkota bangsa Arab, yang dipuja dan dikenang selalu. Andaikata seorang pemuda tidak mampu menatap wajahnya, maka mendengar namanya saja sudah cukup untuk mengembalikan gairahnya yang hilang.

Qays sendiri sejak pertamakali melihat pancaran keindahan itu, jiwanya langsung bergetar. Ia seperti merasakan bumi berguncang dengan hebat, hingga merobohkan sendi-sendi keinginanya untuk menuntut ilmu. Qays belum pernah melihat keindahan yang menakjubkan di bumi seperti keindahan paras Layla. Dan Qays benar-benar telah jatuh hati pada Layla, sang mawar jelita. Keharuman cinta telah menghancurkan ketenangan pikirannya. Gejolak gairah cinta dalam jiwa membuatnya kehilangan akal sehat, hingga lupa belajar dan lupa makan. Setiap detik, tiada yang melintas di angannya, kecuali mata indah Layla. Tiada suara yang lebih merdu daripada suara Layla.

Saat menatap wajah Layla, ribuan kata ingin keluar dari bibirnya, namun apalah daya bibir tak mampu bergerak untuk melukiskan keagungan cinta. Nyala api asmara dalam hati semakin lama semakin berkobar. Kebiasannya kini hanya melamun dan merangkai syair.

Berlalu masa, saat orang-orang meminta pertolongan padaku
Dan sekarang, adakah seorang penolong yang akan
mengabarkan rahasia jiwaku pada Layla?
Wahai Layla, cinta telah membuatku lemah tak berdaya
Seperti anak hilang, jauh dari keluarga dan tidak memiliki harta
Cinta laksana air yang menetes menimpa bebatuan
Waktu terus berlalu, dan bebatuan itu akan hancur,
berserak bagai pecahan kaca
Begitulah cinta yang engkau bawa padaku
Dan kini hatiku telah hancur binasa
Hingga orang-orang memanggilku si dungu yang
suka merintih dan menangis
Mereka mengatakan aku telah tersesat
Duhai, mana mungkin cinta akan menyesatkan
Jiwa mereka sebenarnya kering, laksana dedaunan
diterpa panas mentari
Bagiku cinta adalah keindahan yang membuatku tak
bisa memejamkan mata
Remaja manakah yang dapat selamat dari api cinta?

Qoys tidaklah menggantang asap, bertepuk sebelah tangan. Layla mawar jelita di taman nirwana itu sudah tertarik pada Qays sejak pertamakali berjumpa. Gadis itu melihat pesona yang memabukkan pada diri Qays. Baginya Qays seperti gelas minuman, semakin dipandang semakin haus. Sama seperti Qays, kekaguman Layla pada pemuda impiannya itu hanya mampu diungkapkan melalui syair.

Dan semua yang tampak dari manusia adalah kebencian
Namun cinta telah memberi kekuatan pada manusia
Orang-orang yang mencemooh hubungan kita
Sesungguhnya mereka tidak tahu, bahwa asmara tersimpan di dalam hati

Pun cinta sudah mengakar dalam hati keduanya, tetapi mereka tidak ingin orang lain mengetahui hubungan itu. Cinta ibarat bungan mawar, jika tak hati-hati akan tertusuk duri. Dan duri dalam cinta sakitnya tak terkira. Belum pernah ada tabib atau obat mujarab yang mampu menyembuhkan luka karena duri cinta.

Dari waktu ke waktu cinta tumbuh subur dan berbunga harum di dalam taman hati Qays dan Layla. Tetapi jiwa mereka masih malu-malu, lidah mereka kelu, hingga tiada kata-kata indah merayu yang terucap, hanya mata mereka yang berbicara. Ketika kedua pasang mata saling menatap, maka sabda jiwa mereka tak mampu disembunyikan lagi. Melalui pancaran mata, jiwa mereka seolah mengatakan tidak ingin berpisah, sembari merasakan kehangatan cinta.

Memang begitulah madu asmara, tiada yang lebih indah selain khayal dan harapan. Qays maupun Layla tidak peduli lagi pada pelajaran. Saat teman-teman mereka tekun belajar, kedua insan itu hanya terdiam saling menatap, berusaha membaca apa yang tersirat dari orang yang dicintai. Saat yang lain berpikir dan berusaha keras agar menjadi orang hebat, dua kekasih itu hanya berpikir tentang cinta. Saat teman lain berusaha menerapkan apa yang dipelajari dari buku, jiwa mereka melantunkan bait pujian. Bagi mereka, pengetahuan tidak lagi menarik untuk dibanggakan. Mereka hanya merasakan manisnya cinta, dengan melukiskan ghazal pada mata masing-masing.

Bila panah cinta telah menghunjam hati dan jantung, maka tiada yang dapat dilakukan kecuali mengikuti jalan cinta. Dalam cinta keindahan menyimpan kepahitan, dan dalam kegetiran terselubung rasa nikmat. Hanya cinta yang memenuhi pikiran si pemuda dan si gadis. Kedua insan itu larut dalam pesona cinta yang nikmat, dihiasi dengan senyum dan tangis rindu. Mereka melewatkan waktu hanyut dalam bahasa jiwa, terkesima dengan cinta yang ada di dalam hati. Mereka seolah berada di taman surgawi dengan gemericik air nan sejuk mengalir. Jalan yang mereka lalui seperti dihiasi berbagai macam bunga yang indah dan harum, dan kata-kata mereka sehangat udara musim panas. Bagi mereka, matahari seolah diciptakan karena cinta, rembulan bersinar juga karena cinta. Dan bila tidak ada cinta, maka mustahil air laut mencapai pantai. Begitulah khayalan pemuda yang sedang ditawan cinta.

Setiap tatapan mata adalah ungkapan perasaan dalam hati, karena cahaya mata mampu mengungkapkan ribuan kata pujian yang tak mampu diucapkan oleh lidah. Qays yang melihat kecantikan, kelembutan, dan keanggunan Layla, membuatnya terbakar oleh api asmara. Siang dan malam hanya Layla yang dia kenang dan impikan. Ibarat perahu, hanya pada diri Layla jiwa Qays dapat berlabuh.

Mampukah seorang lelaki menyembunyikan hasrat, seolah tidak terpengaruh apapun, ketika melihat rambut hitam ikal mayang, bibir berkilauan bak batu rubi, mata hitam bercahaya dan jernih, seperti cahaya rembulan di malam hari? saat melihat pesona yang memikat hati seperti itu, jiwa pemuda pasti akan gelisah tak menentu. Melihat keajaiban seperti itu, tentu seorang pemuda akan bersedia mengelilingi tujuh samudera, asal bisa mendapatkannya.

Sedang bagi Layla, Qays adalah pencuri budiman. Apalagi yang dapat dilakukan seorang gadis yang hatinya telah tercuri, kecuali selalu ingin bertemu dengan si pencuri. Syair-syair Qays bagai angin lembut yang membuatnya terhanyut dalam buai kerinduan. Atau bagai riak air laut yang menghanyutkan pasir-pasir jiwanya. 

*** 
...
...

(Syekh Nizami, penggalan Bab II Layla Majnun)