29/08/11

takut jujur


Adalah kenyataan bahwa tindakan kita rupanya lebih digerakkan oleh dorongan naluri daripada dorongan nalar. Karena makan bangku sekolahan, selama ini kita menilai bahwa kita adalah makluk bernalar, tak sama seperti binatang yang tidak pernah membuat keputusan-keputusan sadar. Sejujurnya dan senyatanya, kita tidak lebih baik timbang binatang. 

Saya ambil beberapa contoh. Muslim NU salat teraweh 20 rakaat pada setiap malam bulan puasa. Mereka salat secara sangat kilat. Bila imam terlalu lamban bergerak, mereka akan kasak-kusuk di belakang, mengeluh, protes. Ini umum terjadi di Indonesia. Tindakan ini jelas tidak berdasar nalar, tapi merupakan penyembahan terhadap naluri.

Ambisi kita untuk jadi pegawai negeri biasanya bersifat naluriah. Kita menganggap jadi pegawai negeri enak dan nyaman. Sebagai pegawai negeri, kita tak usah lagi mencemaskan masa depan. Padahal tidak. Masa depan yang tak terduga-duga tidak bisa diramalkan dan dipastikan baik. Status pegawai negeri penuh resiko dunia-akhirat. Tindakan yang lahir karena dorongan naluri tidak pernah memperhitungkan resiko. Nalar selalu khawatir terhadap resiko. Oleh karena itu, naluri melahirkan nekad, sementara nalar melahirkan takut; naluri buas dan tergesa-gesa, sementara nalar kelewat jinak dan lambat.

Siapapun lelaki yang dipersilahkan memilih sederet perempuan, pertama-tama akan memilih perempuan tercantik, tak peduli bagaimana kualitas hatinya atau latar belakang keluarganya. Lama setelah itu, baru ia berpikir jernih apa ciri perempuan baik-baik yang layak ia pilih. Naluri berdiri di garis depan. Nalar dikemudiankan.

Saat lampu merah, Anda dan para pengguna jalan lainnya menghentikan kendaraan, menunggu hingga lampu hijau menyala. Tiba-tiba seorang anak muda menerobos lampu merah. Karena tidak ada polantas, para pengguna jalan lain kompak menirunya. Anda, saya yakin, tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menerobos lampu merah juga. Saya tidak tahu apa yang sedang Anda kejar padahal Anda tidak punya jadwal penting yang mendesak. Saya tidak paham kenapa Anda begitu pengecut sampai-sampai tidak berani mengambil tindakan yang berbeda dengan apa yang orang lain lakukan. Saya tidak mengerti mengapa Anda tidak berani berdiri sendiri untuk tetap mempertahankan akal sehat. Jadi jelas, bila Anda ikut menerobos lampu merah, maka Anda sudah tidak waras, dalam artian mengabaikan pertimbangan nalar.

Tindakan mayoritas yang dilakukan berulang-ulang bisa menjadi tindakan halal, bahkan wajib, walaupun tindakan tersebut jelas-jelas salah dan merugikan. Kekuatan kemayoritasan dan repetisi sangat dahsyat.

Sehari-hari kita melihat praktek KKN di lingkungan terdekat kita. Kita tahu bahwa KKN adalah sejenis kemunafikan, bahkan, dalam beberapa kasus, adalah kemusyrikan. KKN haram dalam pandangan hukum agama. Tetapi kita membiarkan KKN berjalan terus karena takut mencegah atau menumpasnya, takut bertindak berbeda, takut dikucilkan dan dicibir masyarakat. Kesendirian memang menakutkan. Entah karena saking takutnya atau karena tergiur oleh keuntungan, tanpa sadar kita malah ikut-ikut ber-KKN.

Tak jarang kita tidak sadar akan ketakutan dan kepentingan pribadi kita sendiri. Jarang ada manusia yang secara kontinyu dan terus-menerus sanggup merogoh sukma untuk mengamati perilakunya sendiri. Kebanyakan manusia terkurung dalam tubuh sendiri dan, karena itu, tidak bisa membedakan mana benar mana salah. Kita perlu berlatih berpisah dari tubuh supaya dapat bersikap objektif dan adil. Alienasi penting justru agar kita bisa eksis. Tanpa latihan yang sebenarnya merupakan metode ilmiah paling dasar ini, kita tidak akan mungkin menjadi manusia dan akan selalu menjadi binatang, bahkan bisa jadi martabat kita bakal turun jauh di bawah derajat binatang. Padahal, baik dalam cerita Ramayana maupun Sun Go Kong, seekor kera saja sangat ingin menjadi manusia. Lantas, mengapa kita yang manusia tulen memilih menjadi lebih buruk daripada binatang?

Jambi, 26 Agustus 2011

candu


Candu membius, merusak akal, menghancurkan ingatan, membuat konsumernya lupa daratan. Setelah mengonsumsi candu, kita  akan lupa siapa diri kita sebenarnya. Kita akan tidak mengenal ruang dan waktu. Untuk sesaat, kita bebas dari siapa pun dan apa pun.

Candu adalah pelarian yang membebaskan kita secara sementara. Candu merupakan tanda kepengecutan, kedustaan, dan ketaksabaran. Mengonsumsi candu merupakan ekspresi seorang manusia yang tak suka, tak rela, dan tak mau menjadi manusia. Diingkarinya hakikat dirinya sendiri.

Ketika efek candu habis, kita akan kembali memasuki tubuh yang menempati ruang dan waktu tertentu. Akibatnya, kita kembali sadar (dan) merasa terpenjara. Dalam penjara, diam-diam kita merindukan kebebasan sementara yang pernah kita rasakan sebelumnya, kita amat ingin keluar dari tubuh untuk sekali lagi lepas dari kurungan ruang dan waktu. Kemudian mati-matian kita mencari candu di mana dapat, bila perlu dengan memeras, mencuri, atau membunuh.

Membunuh adalah pelanggaran terhadap kebebasan dan hak orang lain, sekaligus penentangan terhadap fitrah insani kita. Candu ternyata membuat kita sangat egoistis. Dengan mencari dan mengonsumsi candu, kita hanya mencari kefanaan kebebasan personal, bukan kekadiman kebebasan komunal. Candu adalah apa yang disebut oleh para mistikus Islam sebagai kenikmatan duniawi.

Agama apa pun mengajarkan kebangkitan, yakni menuntut pemeluknya untuk menyelenggarakan kebebasan komunal, kebebasan seluruh umat manusia, rahmatal lil ‘alamin. Muslim Abdurahman menyebut kebangkitan ini sebagai Islam Transformatif, sementara Kuntowijoyo menamainya dengan Ilmu Sosial Profetik atau Sastra Transendental.

Adanya Islam Transformatif menunjukkan adanya Islam yang tidak trasformatif. Jenis Islam kedua adalah candu, sebab secara sederhana candu terbagi dua, pertama candu material, kedua candu immaterial. Islam historis sebagai perilaku beragama yang tidak transformatif termasuk candu immaterial.

Salat yang ditegakkan hanya untuk menghindarkan diri dari cemooh masyarakat adalah candu, karena apa yang didapat dari salat seperti itu adalah kebebasan atau kedamaian yang semu dan sementara belaka. Puasa yang dilakukan supaya tetap terhubung baik dengan masyarakat sarengat adalah candu. Zakat yang dibayarkan di depan umum untuk mencari puji dan simpati khalayak adalah candu. Haji yang ditunaikan dalam rangka kapitalisasi modal simbolik untuk melempangkan jalan menjadi anggota legislatif atau bupati adalah candu. Al-Qur’an yang dibaca semata-mata sebagai sarana untuk pamer suara dan pamer ilmu adalah candu. Di sekeliling kita, terhampar beragam varian candu. Ranjau.

Feuerbach dan Karl Marx menyatakan Kristen historis, sebagai perilaku beragama yang mendukung tirani monarki, sebagai candu (immaterial). Sekolah, menurut kawan-kawan Insist, adalah candu (immaterial). Maka dari itu, sekolah alternatif yang berkarakter popular dan liberatif perlu dikembangbiakkan. Seni bisa menjelma sebagai candu bila seni tersebut mendegradasikan martabat kemanusiaan kita.

Ketergantungan kita kepada buku, telepon genggam, pakaian trendy, dan sejenisnya, juga adalah candu. Benda-benda itu mengarahkan pikiran kita dan membuat kita lupa jati diri. Identitas kita ditentukan oleh benda-benda. Muncul kesombongan dan pamer. Kita melupakan kodrat kita sebagai manusia yang makamnya lebih tinggi daripada benda-benda. Kita melalaikan hak dan kewajiban kita sebagai wakil tuhan di muka bumi.

Tindak taklid buta terhadap ideologi kelompok, etnik, dan partai adalah candu, sama kadar candunya dengan obsesi mencari untung sendiri dan menimbun barang dalam dunia bisnis. Partai yang bukan candu adalah partai yang mau membicarakan kepentingan publik dengan arif. Partai macam ini tentu terbuka, membuka, dan membebaskan. Bisnis yang bukan candu ialah bisnis yang dilandasi dengan spritualitas atau etika.

Mekanisme zakat dalam agama Islam memperlihatkan bahwa agama monoteistis ini tidak menghendaki bisnis sebagai candu. Dalam kacamata Islam, bisnis bermanfaat sebagai jerambah menuju kemakmuran dan kebahagiaan bersama, demikian Asghar Ali Engineer; ekonomi merupakan cara untuk berbudaya dan beradab, demikian Soedjatmoko.

Sebagian orang berhati-hati terhadap rayuan candu material seperti kokain, heroin, vodka, ganja, dan sebagainya, tetapi mereka lupa bahwa bujuk rayu candu immaterial lebih maut daripada candu material. Meraka melarang konsumsi miras atau heroin. Mereka tidak melarang praktek beragama yang pura-pura, praktek sekolah yang membodohkan, praktek politik yang sewenang-wenang, dan praktek ekonomi yang memiskinkan dan menghisap. Mereka tenggelam dalam hipokritas dan iman yang tak kaffah.

Mudah mendiagnosis apa kita sudah kecanduan vodka atau ganja. Sulit memeriksa sudah sejauh mana candu immaterial meracuni dan menyesatkan kita. Upaya menemukan apa saja candu immaterial malah lebih sulit lagi. Inilah alasan mengapa hukum belajar adalah fardhu ‘ain.

Kita sangat butuh pengetahuan agar dapat menjadi muslim yang baik. Muslim yang baik adalah manusia yang baik. Jika pintar meramu komposisi pengetahuan, kita akan lebih ringan menjalani kehidupan, riang menjelang kematian.

Jambi, 27 Agustus 2011

importir


Mengenaskan. Namun, masih terbuka peluang bagi reformasi pendidikan baik melalui jalur formal maupun jalur antiformal. Jambi termasuk provinsi yang memiliki sedikit perguruan tinggi dan sangat sedikit sekolah berkualitas cukup baik, berbanding terbalik sekali dengan Yogyakarta atau Jakarta. Mutu pendidikan Jambi saya kira lebih rendah dari Aceh, Padang, atau Palembang.

Dari perguruan tinggi yang sedikit itu, kita pun belum mungkin mengharapkan munculnya sarjana-sarjana yang minimal memiliki reputasi keilmuan skala nasional, yang dapat cepat menyerap dan mengkritik wacana global arus utama paling mutakhir, yang intensif menggali bahan-bahan ilmiah dari tanah sendiri untuk disandingbandingkan dengan temuan para profesor dari universitas terkemuka.

Banyak sebab mengapa kondisi perguruan tinggi di Jambi sampai sedemikian bangkrut. Kawan saya yang tekun mengamati proses pendidikan Jambi menilai, hal itu terjadi karena para doktor dan profesor Jambi lebih mengejar karir birokratis ketimbang bersetia dalam riset dan pengembangan keilmuan. Saya kurang sependapat.

Saya duga, kurangnya etos belajar dan etos ilmiah adalah biang keladi kesuraman pendidikan Jambi. Sebagian sangat besar masyarakat Jambi yang pada dasarnya berwatak ekonomistis, memasuki dunia pendidikan hanya untuk mempelajari kemampuan teknis belaka.

Setelah mendapat kemampuan teknis memadai, meraka akan memperebutkan lapangan pekerjaan kerah biru yang disediakan oleh sektor industri , dagang, dan formal. Bekerja sebagai pegawai kantoran, meski hanya sebagai pesuruh, mendudukkan mereka pada posisi priyayi dalam hirarki sosial. Kekotaan masih merupakan idaman bahwah sadar bagi masyarakat bermental agraris.

Sementara itu, lapangan pekerjaan kerah putih sebagian besar ditempati oleh para pendatang dari luar, barangkali terutama dari Pulau Jawa, yang memang piawai dalam perkara filosofi dan konsepsi. Orang Jambi jadi kuli di tanah sendiri.

Ini tentu akan berdampak negatif, berpotensi menimbulkan bencana struktural. SDM impor, misalnya Rektor IAIN STS yang baru, Dede Rosyada, tidak benar-benar paham apa dan bagaimana Jambi. Cetak biru pembangunan yang dirancang oleh orang seperti ini dalam jangka panjang akan membuat anak muda Jambi tercerabut dari akar sosial-budayanya. Orientasi pembangunan tersebut sangat mungkin tidak membumi, dan mengeliminir warna lokal yang seharusnya dijadikan fondasi bagi pembangunan, sekali lagi, “dijadikan fondasi”, bukan slogan atau iklan semata.

Mayoritas anak muda Jambi sekarang sudah mulai lupa diri. Mereka “meniru” apa yang menurut pasar disebut baik dan hebat, tidak mengikuti apa yang menurut ukuran akal dan moral disebut benar dan baik. Jambi tengah butuh para pelawan arus.

Saya sedih sekaligus tersenyum kecut ketika mengetahui Amin Abdullah, teolog dan epistemolog UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, berkunjung ke IAIN STS untuk mempresentasikan paradigma pengembangan keilmuan Islamnya yang ia namai integrasi-interkoneksi. Sedih bukan karena rangka epistemologi paradigma tersebut rapuh dan karena latar belakang perumusannya penuh kepentingan, tetapi karena dalam peristiwa tersebut terselip semacam keotoriteran ilmiah.

Saya mengamati ada usaha sengaja untuk menginternalisasi integrasi-interkoneksi ke dalam tubuh IAIN STS. Padahal, setting geobudaya di mana integrasi-interkoneksi lahir jauh berbeda dengan setting geobudaya Jambi. Demi mendukung internalisasi ini, dan demi menyeragamkan model perguruan tinggi Islam se-Indonesia, Dede Rosyada dikirim, dengan cara yang korup, dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ke IAIN STS Jambi. Barangkali Dede Rosyada diserahi tugas meng-UIN-kan IAIN STS Jambi. Peng-UIN-an IAIN sejatinya bertujuan positif, namun jangan lupa, juga berekses negatif berlimpah.  

Minimnya tradisi kritik masyarakat Jambi memang akan memudahkan proses penerimaan paradigma integrasi-interkoneksi, tetapi bila kelak masyarakat Jambi memahami seluk-beluk paradigma ini, maka insya allah akan meletus gesekan budaya, dan tidak menutup kemungkinan pula akan meledak konflik sosial. Toleransi, pluralisme, dan demokrasi Yogyakarta terbilang tinggi, sementara masyarakat Jambi sejujurnya masih belum senang hati menghayati kata-kata yang diserap dari Bahasa Inggris itu. Nalar orang Yogyakarta pada khusunya dan Jawa pada umumnya berbeda dengan nalar orang Jambi.

Agar IAIN STS menyatu dengan batin, dan memberi kontribusi lebih kepada pembangunan, masyarakat Jambi, kepada beberapa teman saya sempat mengutarakan: IAIN STS perlu menyusun paradigma keilmuan, atau sekurang-kurangnya visi keilmuan, yang indegenious, berprinsip dari, oleh, dan untuk Jambi; tetapi tetap membuka diri kepada dan terhadap unsur-unsur luar. Demikian pula UNJA.

Jambi, 28 Agustus 2011

ma(ng)sa


Tak dapat digeser. Namun waktu bergeser dan menggeser. Kadang menggeser ke atas. Kadang ke bawah. Ketika digeser ke atas, aku seakan melayang di atas angin, tak menapak tanah. Aku melupakan semua yang pernah membantuku belajar jalan dan belajar bicara. Aku tukar memoriku dengan angka-angka yang miskin dan kikir.

Aku lupa bahwa mata waktu yang teliti tak kenal mati. Jika melihat perilaku keliruku, ia siap menjatuhkanku kapan suka. Aku masih keturunan Adam. Aku manusia biasa yang trauma dengan kejatuhan, dan perpisahan.

Setelah terlalu lama bersukacita di atas, seketika dunia berubah menjadi sunyi senyap. Hanya ada aku. Sendiri. Aku ingin terjun ke bawah untuk menemui ramai. Tetapi takut. Aku tak sanggup terluka karena cadas batu dan lancip duri. Aku memilih tetap di atas: sarapan bersama gelisah, makan siang bersama gamang, makan malam bersama cemas, main catur bersama hampa, menanti pagi yang makin malam.

Ketika digeser ke bawah, aku merasa lapar dan haus, dan dengan rasa malas dan malu yang maha, mengemis dari pasar ke pasar, dari rumah ke rumah. Aku mengeluh di muka selembar roti jamuran. Aku protes, entah kepada siapa entah untuk apa, di hadapan sepiring nasi basi.

Aku tak lantas menyerah kalah karena aku masih tukang mengarang seorang mesiah khayalan. Parasnya tampan, bercahaya, bak pangeran dalam dongeng cinderella. Aku segera tidur supaya segasik-gasiknya bertemu dengan sang nabi. Ternyata, setelah mengalami ribuan mimpi, aku belum bertemu dengannya. Ia tak bisa diharapkan. Sekarang bukan lagi zaman para nabi. Sekarang zaman para gali.

Lalu waktu, melalui angin malam yang melintas tepat di depan liang telinga, mengirim pesan: lebih baik mati daripada hidup menderita. Angin tidak pernah baca koran. Berita terbaru mengabarkan, mati tidak segampang dulu. Sekarang harga-harga serba mahal. Termasuk harga kematian. Untuk mati aku butuh uang untuk membeli segulung seling atau sebotol cuka getah. Tabungan kefakiranku tak cukup untuk membeli kematian.

Waktu terus berjalan, menyepak, menembak. Pembunuh paling sadis dan paling vampir adalah waktu. Waktu membawaku ke tempat-tempat baru yang belum aku lihat sebelumnya untuk menjebak dan menjeratku. Aku lolos. Tetapi di tengah perjalanan berikutnya yang terasa kian panjang, tiba-tiba ia menyepakku. Aku terpelanting. Tubuhku menghantam tembok beton dan tiang jati. Beberapa tulangku patah. Wajahku memar. Kaki dan tanganku berdarah. Ah, sakit benar rasanya.

Aku diam, ogah mengaku kalah. Aku mencoba berdiri. Sebelum tegakku sempurna, waktu menembakku. Sebetulnya, aku tak mau mati sedini ini, tapi apa hendak dikata, waktu, sekali lagi, tak dapat digeser barang sedetik lebih cepat sedetik lebih lambat. Akhirnya, waktu menang, aku kalah.

Sebagai mayat, aku cuma punya, dan cuma bisa bagi, kenangan yang telah sudah dan cita-cita yang belum sudah. Sekarang aku tidak hadir di sini. Hati waktu sesungguhnya baik. Dalam alam kematian, ia menghadiahiku fasilitas istimewa: mengelana ke masa lalu yang hitam-putih dan/atau berpetualang ke masa depan yang nirwarna. Fasilitas istimewa ini membuatku menyerupai keledai yang tidak tahu siapa pemenang siapa pecundang. Aku tak mengerti lagi apa itu kemenangan dan apa itu kekalahan. Segala pengetahuanku sirna.

Dengan menerima hadiah itu, kukira aku telah bersahabat dengan waktu dan dapat mempengaruhinya agar mau bertindak semauku. Aku salah. Waktu lebih cerdas daripada apa yang kubayangkan. Hadiah tadi adalah pemberian terakhir, ucapan selamat tinggal. Waktu tidak peduli lagi denganku. Bahkan kini, memangsaku saja ia enggan. Baginya, aku bukan lagi santapan lezat.

Tanpa waktu, bagaiamana mungkin aku?
Jambi, 28 Agustus 2011