28/07/11

hukum


Bahwa hukum di Indonesia sudah mandul, tak mungkin disangkal. Di negara yang telah berumur lebih dari 60 ini, bos narkoba bisa lolos dari jeratan hukum, semudah koruptor bebas dari berbagai tuduhan penyelewengan pajak dan anggaran. Tetapi orang kampung yang hanya mencuri semangka dan ayam, diganjar dipenjara selama setahun atau bahkan lebih. Kita pun kompak menggugat, dengan teriakan yang tersendat: “Mana keadilan Dewi Keadilan?”

Pertanyaan ini adalah pertanyaan permukaan. Ada pertanyaan lain yang lebih penting yang harus juga dijawab, “Mengapa Dewi Keadilan tak adil?”, “Mengapa di Indonesia hukum tak kunjung tegak?”.

Pertama, kualitas moral para penegak hukum rendah. Mafia hukum bergentayangan dari pusat hingga daerah, bahkan menyelusup hingga aparat desa.

Kedua, banyak warga negara, karena terbatasnya akses ekonomi dan akses pendidikan yang layak, belum mengenal substansi hukum. Masyarakat, juga masyarakat desa, tahu bahwa kita sedang mengalami krisis hukum yang begitu kronis.

Seperti para pengamat, mereka hanya mencela siapa yang penjahat dan memuji siapa yang pahlawan dalam satu kasus hukum berskala nasional tertentu. Mereka menyalahkan Nazaruddin. Mereka menyanjung Prita. Hanya sampai di situ. Mereka tak segera melakukan koreksi diri dan koreksi sosial sedemikian rupa sehingga hukum di lingkungan terdekat mereka juga bisa ditegakkan. Artinya, mereka hanya melihat bahwa penegakan hukum semata-mata merupakan tugas dan tanggungjawab para pejabat berwenang. Barangkali cara berpikir macam ini yang menyebabkan sering meletusnya perang antarkampung dan tumbuh suburnya korupsi di desa-desa.

Bagi sebagian besar masyarakat kita, hukum merupakan barang tak dikenal, makhluk asing yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Mereka lebih mengenal sangsi adat atau sangsi agama daripada hukum positif. Mereka, kendati cukup berpendidikan, cenderung bersandar pada tradisi ketimbang pada modernitas.

Ketiga, hukum di Indonesia berlapis-lapis. Kita menggunakan hukum positif yang dipinjam dari Romawi. Kita menggunakan hukum Islam yang dikodifikasi dan dibakukan di dunia Arab. Kita juga memakai hukum adat yang, untuk beberapa bagian, sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Sementara universitas negeri mencetak para advokat yang menguasai hukum positif, institut agama islam juga memproduksi qadhi-qadhi yang dipersiapkan sebagai penegak hukum islam. Di beberapa daerah, masyarakat arus bawah lebih memilih mempedomani hukum adat daripada hukum positif atau hukum islam.

Di lapangan, jika muncul kasus tertentu, tidak jarang ketiga jenis hukum ini berbenturan satu dengan lainnya. Contohnya, konflik di kalimantan antara suku dayak dan suku madura. Suku dayak merasa benar karena telah mendasarkan diri pada hukum adat warisan para leluhur. Suku madura pun tidak mau dipersalahkan karena berkeyakinan bahwa tindakan mereka didasarkan atas hukum islam. Konflik ini sendiri tidak mungkin diselesaikan dengan hukum positif, selain karena wibawa para penegak hukum sudah punah di mata rakyat, juga karena kosmologi hukum positif tidak cocok dengan kosmologi suku dayak dan suku madura.

Memang, telah ada upaya, bahkan sejak periode kolonial, untuk membuat hukum nasional yang merupakan penyatuan dari berbagai hukum adat yang ada di nusantara. Tetapi kemudian timbul penolakan-penolakan. Hukum nasional seperti itu akan tidak menghargai keunikan tiap-tiap komunitas adat, dan  secara jangka panjang, akan berbahaya bagi eksistensi adat itu sendiri. Mayoritas muslim juga akan dirugikan oleh hukum yang seolah-olah hendak meredupkan, bahkan membunuh, kejayaan Islam di nusantara. Akhirnya, sebagai solusi atas perdebatan ini, setelah kemerdekaan, kita memutuskan menganut hukum positif yang “sama sekali tak berakar” kecuali pada masyarakat kelas-menengah, sambil secara malu-malu dan setengah-setengah menerapkan hukum islam dan hukum adat—fenomena ini sejajar dengan ketumpangtindihan tata ekonomi dan tata pendidikan kita.

Bagaimana kosmologi hukum masyarakat jambi? ada pepatah populer, “adat menurun, sarak mendaki, adat bersendikan sarak, sarak bersendikan kitabullah”. Masyarakat jambi, terutama masyakat “kalbu yang 12” yang bermukim di sepanjang pesisir Sungai Batang Hari telah berhasil mengintegrasikan hukum adat dan hukum Islam. Sumber hukum Islam, al-Qur’an dan Hadits, dijadikan sebagai sumber hukum adat.

Kemungkinan besar, integrasi hukum adat dan hukum Islam ini dipengaruhi oleh Perang Paderi (1819-1832) yang terjadi di Minangkabau. Perang ini sebenarnya adalah konflik ekonomi-politik antara kubu adat (matrilinear) dan kubu islam (patrilinear) yang direkayasa dan dimanfaatkan oleh Belanda. Belajar dari Perang Padri, para budayawan Minangkabau mengambil prakasa mengintegrasikan hukum adat dan hukum islam dengan, misalnya, membuat pepatah: “adat bersendikan sarak, sarak bersendikan kitabullah”.

Strategi-budaya ini kemudian masuk di Jambi karena, “barangkali”, masalah sosial yang dihadapi Minangkabau sama dengan masalah sosial yang dihadapi Jambi, yakni konflik laten antara adat dan islam. Sebuah sumber menyebutkan, beberapa wilayah di Provinsi Jambi dulu merupakan daerah “rantau” Kerajaan Pagaruyung, Minangkabau. Proses masuknya strategi-budaya ini ke Provinsi Jambi dapat dibaca dalam buku susunan Hartono Margono dkk., “Sejarah Sosial Jambi: Jambi Sebagai Kota Dagang”, hal. 51.

Sementara itu, suku-suku di Jambi yang secara genealogis merupakan keturunan proto melayu, seperti suku batin, suku bajau, dan suku anak dalam, hidup dengan kosmologi hukum adat. Suku Kerinci, walaupun juga bernenek moyang proto melayu, telah dapat mengintegrasikan adat dan islam, meski di sana-sini ekspresi adat terkesan lebih mencolok daripada ekspresi islam.

Apa masyarakat “akar-rumput” Jambi telah mengenal dengan baik hukum positif? Secara pasti, saya belum bisa menjawab pertanyaan ini. Tetapi di desa-desa, sebuah perkara lebih sering dan lebih efektif diselesesaikan dengan hukum adat atau hukum islam daripada hukum positif.
  
Secara esensial, apa hukum positif, hukum islam, dan hukum adat berbeda? Saya hanya tahu, hukum apa saja, selama masih berkaitan dengan tata kehidupan manusia, punya maksud, tujuan, dan bahkan metodologi yang sama. Perbedaannya terletak hanya pada bahasa dan dialeknya.

Hukum, apapun jenisnya, adalah wahana keadilan. Di Indonesia, baik hukum positif, hukum islam, maupun hukum adat sudah nyaris tidak berguna karena keadilan kian langka.

Saya jadi kepingin bertanya, bila generasi saya kesulitan memperoleh keadilan, apa akibatnya? Ketidakpercayaan pada hukum dan penegaknya. Lalu? Kehancuran yang tak terbayangkan.

Jogja, Juli 2011

saya salah


Karena bermimpi, saya sudah mencapai beberapa keberhasilan. Karena bermimpi pula, saya sudah menderita beberapa kegagalan. Mudah menjawab mengapa saya berhasil. Namun sukar menjawab mengapa saya gagal, bagaimana saya bisa mengubah kegagalan menjadi keberhasilan, apa yang mesti diperbuat agar tak mengalami kegagalan berikutnya. Lebih sulit lagi menjawab apa ukuran keberhasilan dan kegagalan sesungguhnya.

Dulu, saya memiliki mimpi yang muluk. Anak-anak muda menyebutnya sebagai revolusi. Bahkan sampai sekarang, saya tak paham benar apa arti kata yang baru saya kenal tiga tahun silam itu. Tampaknya, saat itu, saya mensinonimkan revolusi dengan kemenangan dan kegagahan, atau sakit hati dan balas dendam.

Bersama beberapa kawan yang “seideologi”, saya mencoba mengejawantahkan mimpi itu, dengan semangat yang menyala-nyala, dengan lagu-lagu yang berkobar, dengan teriakan-teriakan yang panas, dengan kata-kata yang mengguntur. Saya terus merawat mimpi itu dengan berbagai sikap dan tindakan yang tentu saja saya anggap ideal dan benar.

Hampir setiap minggu saya berdemonstrasi, kadang di lingkungan kampus, kadang di tengah-tengah jalan protokol, kadang di depan kantor pemerintahan; kadang bersama para mahasiswa yang konon pahlawan, kadang bersama buruh yang konon melarat, kadang bersama PKL yang konon terdiskriminasi, kadang bersama jurnalis yang konon dipersempit kebebasan ekspresifnya, kadang bersama petani yang konon ditindas.

Hampir setiap hari saya, dengan teori yang canggih yang tak saya ketahui substansinya, menganalisis situasi. Lalu saya menemukan banyak permasalahan dan mencoba membuat langkah-langkah penyelesaian yang mungkin dan tak mungkin. Saya juga menyalahkan para negarawan, ekonom, budayawan, agamawan, dan lain sebagainya, sambil, secara tak disadari, membenarkan pikiran dan tindakan pribadi. Saya secara berkala bahkan mengkritik dan menguji strategi perang yang sebelumnya telah saya rumuskan. Saya telah sangat yakin bahwa saya berada di pihak yang benar dan telah bertindak dengan metode yang benar. Orang lain yang tak “seideologi” dengan saya sudah pasti salah dan harus diberantas.

Pertama-tama, saya merealisir strategi perang atau mimpi revolusi itu di kampus. Dua tahun mencoba dan saya gagal. Saya kemudian merenung: Mengapa gagal? Apa dan siapa yang salah?

Lama saya berpikir dan terus berpikir. Akhirnya, sebuah kesimpulan ditarik: Tak ada yang bersalah, kecuali saya sendiri. Proyek saya gagal karena saya keliru dalam berpikir dan salah dalam bertindak. Saya kemudian membuat resolusi untuk memperbaiki diri. Saya susun ulang mimpi saya.

Saya bongkar pandangan-dunia yang sebelumnya telah susah payah dibangun. Saya, dengan berpuisi, mulai mengadakan kritik-diri dan kritik-sosial secara lebih intensif dan mendalam. Pada fase ini, saya mengalami kegamangan dan kehampaan yang parah, sebab saya menghancurkan sandaran eksistensial saya sendiri dan, pada waktu yang sama, mengotak-atik sandaran eksistensial masyarakat. Rasanya, seperti duduk di atas asap, berjalan di atas angin. Sendirian terdampar di pulau paling sepi.

Tepat pada saat kosong seperti ini, seorang teman menawari kerjasama yang baik. Komunitas mahasiswa Jambi, menurutnya, perlu dikembangkan dan dimajukan. Langkahnya, katanya, dengan latihan jurnalistik. Tanpa berpikir masak-masak, spontan saya terima tawaran ini. Saya berharap, mimpi saya bisa sedikit terwujud di komunitas mahasiswa Jambi.

Saya pun mulai mencoba. Awalnya cukup lancar. Kemudian timbul beberapa rintangan kultural kecil yang ternyata makin lama makin membesar. Mensiasati rintangan itu, saya sedikit merubah taktik: barangkali diskusi puisi dan budaya bisa diterima secara lebih luas. Ini sebagai pintu masuk. Jika tradisi diskusi telah kuat, saya akan melanjutkan dengan pembangunan tradisi tulis, tradisi seni, kemudian tradisi aksi sosial.

Ternyata, lagi-lagi harapan saya kandas. Medan tak semudah yang saya bayangkan. Jalan tak semulus yang saya pikirkan. Saya sendiri, yang seharusnya mampu menjaga keseimbangan, juga limbung, terpeleset, jatuh, ikut hanyut terseret arus.

Kembali saya merenung. Bertanya kepada diri sendiri: mengapa gagal? Siapa salah? Apa kesalahannya? Dan saya memperoleh kesimpulan lama: Saya yang salah. Saya kurang sabar, kurang tekun, cetek pikir, sempit hati, terlalu sedikit bekerja, dan yang terpenting, masih egoistis. Saya tidak adil baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.

So?
Jogja, Juli 2011

24/07/11

Imaji(nasi) Indonesia


Akhir-akhir ini, televisi adalah penguasa yang mendefinisikan Indonesia. Indonesia adalah televisi Indonesia. Indonesia adalah Nazaruddin yang sakit hati lalu jadi penghasud, Partai Demokrat yang terpecah, relity show yang penuh bualan, cerita selebriti pesanan, kekerasan yang lumrah pada hampir segala lini, kemiskinan yang dijadikan kapital, film asing yang digemari, iklan yang menggoda, dan sinetron yang tak logis serta tak realistis.

Singkatnya, Indonesia kini adalah citra, imaji, bukan lagi imajinasi [akan kebersamaan] yang terus-menerus dipupuk dan dipertahankan mati-matian. Ideologi, baik yang tertutup apalagi yang terbuka, telah hanyut terbawa arus yang tak jelas dari mana dan akan kemana. Ben Anderson, orang-asing yang tersihir oleh “pesona” Indonesia itu, tampaknya harus segera merevisi makalahnya.

Indonesia. Apa arti “kata asing” ini bagi saya? Bagi mahasiswi yang hidupnya dikendalikan oleh cinta yang semu? Bagi penjual sayur di Pasar Angso Duo? Bagi guru di Pijoan yang terlilit hutang? Bagi ibu-ibu yang ruang geraknya berkisar antara rumah, jamban, toko klontongan, mall, dan tempat rekreasi? Bagi petani karet yang berharap agar harga getah kembali stabil? Bagi tukang ojek di Simpang Sukorejo yang misuh-misuh karena BBM tiba-tiba langka? Bagi anggota DPR yang tak ngerti tatib dan prosedur legislasi? Bagi bupati yang berambisi jadi miliyarder? Saya tak tahu. Indonesia semakin terasa asing saja.

Yogya, 24 Juli 2011

Obrolan Petruk Gareng


Oleh: Sindhunata

Petruk Gareng adalah ikon Jawa sepanjang zaman. Mereka ada di zaman pra-sejarah. Dan terus hidup sepanjang sejarah. Mereka ada dalam cerita wayang. Dan mereka hidup dalam kisah yang nyata. Mereka ada ketika tanah Jawa berada di zaman purba. Dan mereka terus ada ketika tanah Jawa sudah modern. Mereka tidak hanya bisa bicara bahasa Jawa, tapi juga bahasa lain yang pernah menguasai tanah Jawa, seperti Melayu, Indonesia, Belanda, Jepang, dan Inggris.

Petruk Gareng ini pula yang pernah menjadi tokoh dalam majalah Kajawen, yang diterbitkan oleh PN Balai Pustaka Batavia, di masa sebelum masa perang, di sekitar tahun 1940-an. Majalah tersebut terbit dua kali seminggu, tiap hari Selasa dan Jumat, dan berisi berita warna warni, babad, informasi luar negeri, warta pemerintahan Belanda, serta teropong masyarakat.

Salah satu rubrik tetap masalah Kajawen adalah obrolan Petruk, Gareng, dan kadang-kadang Semar. Obrolan tersebut bertemakan apa saja, dan umumnya berkenaan dengan kejadian serta kehidupan sehari-hari masyarakat. Bentuknya, sebuah tema atau persoalan dilemparkan entah oleh Petruk, entah oleh Gareng, lalu kemudian mereka membuat diskusi atau debat di sekitar tema tersebut. Menilik isinya, obrolan ini rasanya berfungsi sebagai semacam tajuk dari majalah tersebut.

Menarik, obrolan itu dihidupkan dengan ilustrasi Petruk Gareng, yang digambarkan oleh B. Margono. Di sana Petruk Gareng didandani atau diberi busana sesuai dengan temanya. Kadang mereka memakai blangkong dan beskap. Kadang mereka memakai pantalon dan celana biasa. Kadang mereka berdandan seperti tuan-tuan kolonial. Namun sering mereka tampil seperti rakyat kecil atau petani biasa.

Bahaya luxus

Suatu hari Petruk Gareng berdiskusi mengenai luxus. Menurut Gareng, barang luxus hanyalah aden-aden, barang hiasan, yang tidak mutlak perlu. Kalau lagi beruang lebih, bolehlah aden-aden itu dimiliki, tapi kalau uang lagi cupet, tak perlu orang memilikinya. Waktu itu adalah masa perang. Pemerintah Hindia Belanda pun mesti ikut berjaga-jaga. Maka dikeluarkanlah peraturan untuk membatasi impor barang-barang luxus. Menurut Gareng, larangan itu tepat, karena pengguna barang-barang itu hanyalah segelintir orang. Kalau toh barang-barang itu naik 4.000%, ya tidak berpengaruh apa-apa pada masyarakat luas.

Kata Gareng, di desa-desa, siapa yang memakai pupur, minyak wangi, atau pemerah bibir? Kalau toh ada, paling-paling sedesa hanya satu orang yang memakainya. Lelaki yang memakai minyak rambut harum dari Paris, paling-paling juga hanya seorang di seluruh desa. Juga, siapa yang memakai aden-aden, seperti lampu yang dikerudungi sutra, atau permadani dari Damaskus, atau pot bunga dari Jepang, pot bunga Cina yang hisannya rumit, siapa yang memakainya?

Gareng bilang lagi, sekarang orang harus menahan diri, karena situasi perang, tapi nanti kalau situasi sudah normal, silakan seenaknya luxus-luxusan. Dan Gareng pun mencemooh dengan sinis: Mau mandi eudeklonyo, mau bak mandinya ditaburi minyak mawar empat puluh tong, mau kursi mejanya dari gading gajah Palembang, mau bed-nya dari slaka, mau kasurnya sutra yang tebalnya sepuluh depa, mau sepatunya diprada dan diselut emas, mau kalungnya mutiara yang besarnya segenggam-genggam, mau minum champagne segentong Pacitan sekaligus, mau berbedak 9 cm tebalnya, silakan, silakan, ... silakan, kalau keadaanya sudah tidak prihatin lagi.

Namun seperti kata Petruk, sebaiknya di zaman prihatin kita tidak hidup luxus-luxusan. Di masa sulit sebaiknya orang lebih ingat kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, karena itu wajib bahwa orang mengorbankan kesenangan pribadinya. Ujung-ujungnya, memakai barang luxus itu kan untuk sombong-sombongan, gagah-gagahan. Benar kata Gareng, orang yang mau luxus-luxusan itu adalah orang yang mau dianggap dirinya paling cakep, paling ayu, paling mulya, paling enak, pokoknya segala paling yang hanya untuk dirinya sendiri.

Jangan percaya ramalan

Lain kali obrolan berkenaan dengan astrologi dan horoskop. Obrolan dipacu oleh pernyataan Semar. Ia dikenalkan dengan  seorang tukang ramal, yang bilang, “Bintang-bintang di langit beserta semua planet sudah di tangan saya. Kalau Tuan mau tahu nasib Tuan, saya bisa menolong.”

Gareng menganggap semua ramalan itu adalah omong kosong. Karena mengharapkan uang, si peramal pasti cenderung meramalkan yang baik-baik saja. Kalau orang bertanya tentang jodoh, pasti diramalkan, ia bakal memperoleh jodoh yang baik, dan kaya. Petruk mengiyakan, dan ia bilang, sebaiknya orang juga tidak percaya, bahwa gejala-gejala alam itu ada kaitannya dengan manusia. Seperti kalau ada lintang kemukus, lalu terjadi pageblug, atau kalau kejatuhan ndaru berarti akan mendapat pangkat.

Kata Petruk, di Inggris ada peramal namanya Tuan Santer. Kata ramalan Tuan Santer itu, tanggal 26 Maret Mussolini akan minta perdamaian. Nyatanya, itu tidak terjadi. Lucunya, ketika ia ditanya apa weton-nya Winston Churchill, ia tidak bisa menjawab. Maka jangan percaya ramalan-ramalan. Ramalan itu berbahaya bagi hidup. “Kalau orang diramal akan hidup mulia, dia akan malas. Wong tidak kerja saja, besok akan mulia. Kalau diramal jelek, orang terus kecewa dan merasa ngenes hidupnya. Wong sudah berusaha mati-matian, akhirnya hanya celaka. Dan Gareng pun menyimpulkan, “Yang penting, orang harus rajin bekerja. Perkara pethek (ramalan), walau yang meramal adalah maaster in de pethek, itu tidak perlu digugu (dipedulikan).

Lelah dengan pengetahuan

Suatu waktu Gareng membuka obrolan dengan tema yang mengejutkan. Tiba-tiba ia ingin membuang segala pengertiannya. Ia merasa, pengertian yang diperolehnya hanya membebani dan menyiksa dirinya. Kata Gareng, waktu ia belum mengerti tentang bakteri, ia minum di mana-mana, berani beli cao di jalanan, enak saja, mandi di kali, senang. Tapi setelah mengerti tentang kesehatan, malah takut dan samar saja perasaannya. Minum harus hati-hati, mandi hati-hati, bernapas hati-hati, tidur hati-hati, bergaul dengan sesama harus hati-hati, takut ketularan trachoom, kenclokan baksil dan bakteri ini dan itu. Pokoknya karena mengerti ini dan itu, hidup menjadi samar, samar, dan samar terus. Begitu juga ketika mengerti tentang undang-undang negara, larangan agama, tata cara pergaulan, patokan adat istiadat, hidup lalu menjadi repot. Rasanya hidup ini seperti ditimbuni larangan, gini nggak boleh, gitu nggak boleh. Pengertian ternyata tidak membuat hidup ini enak, malah membuat hidup ini tidak bebas lagi.

Maka kata Gareng, “Lain dengan zaman ketika saya kecil. Saya tak pernah didera rasa samar, takut, atau khawatir. Tak khawatir masuk neraka. Tak khawatir diproses verbal. Tak takut sakit ini atau itu. Ada perang pun, hati tidak samar atau semer. Kelihatannya jadi orang bodoh itu malah enak.” Gareng ingin membuang semua pengertian, ingin menghapus segala pengetahuan dari otaknya, tapi ia tak bisa.

Petruk tentu saja tidak setuju dengan pendapat Gareng. Ia memberi contoh sederhana, kalau orang harus minum obat, dan ia tidak tahu apa obat itu, bisa-bisa obat itu malah membawa celaka. Orang masuk dunia politik, kalau tidak tahu politik, dia juga hanya akan ujas-ujus. Orang dagang, kalau tidak tahu tentang dagang, ia pasti akan terus merugi. Dan olahragawan, kalau tidak tahu tentang olahraga, bisa rusak badannya. Bahkan orang mengemis pun tanpa pengetahuan, ia bisa sengsara. Lho kok? “La iya, kalau karena ia tidak tahu, lalu misalnya ia mengemis ke sesama pengemis, apa ini tidak konyol?” kata Petruk. Jelasnya, orang hidup ini membutuhkan pengertian. Bahkan ia harus merasa, pengertian masih selalu kurang. Karena itu ia harus mau senantiasa belajar untuk menambah pengertiannya.

Kritik terhadap slametan

Lain kali Gareng dan Petruk asyik bicara tentang slametan. Slametan itu mahal. Maka menurut Gareng, kalau toh harus diadakan, lebih baik secara massal saja, ramai-ramai. Alasannya, supaya mengirit. Dalam slametan massal, orang kampung tidak perlu mengeluarkan banyak biaya. Kalau masing-masing warga mengadakan slametan untuk bulan Sura atau Ruwah misalnya, paling tidak mereka harus mengeluarkan tiga kali setali setiap keluarga. Kalau ramai-ramai, masing-masing keluarga paling hanya mengeluarkan setali.

Namun Gareng sendiri sebenarnya tidak terlalu setuju dengan slametan. Untuk apa? Wajib slametani lain dengan wajib pajak. Menolak bayar pajak, orang pasti kena denda. Sementara, siapa berani menuntut orang yang tidak slametan? “Tidak ada, bahkan demit-demit tidak,” kata Gareng. “Kata orang, demit-demit itu minta kembang boreh, ingkung ayam, nasi golong. Tapi saya pernah memboikot mereka dengan tidak memberi sesaji bertahun-tahun, kok ya tidak ada yang protes,” tambahnya.

Gareng berkesimpulan, slametan tidak cukup untuk menjamin hidup ini. Ia memberi contoh, tetangganya, seorang perempuan mengandung. Ia tidak mengadakan slametan untuk mitoni, toh anaknya lahir dengan selamat. “Anaknya berwujud manusia, bukan berwujud kera, walau ia tidak mengadakan slametan,” kata Gareng. Contoh lain: orang Belanda, jika mereka mau punya hajatan mengawinkan anaknya, juga tidak mengadakan slametani, toh keluarga itu juga selamat. Malah mereka mempunyai mobil, rumahnya bagus, dan anaknya gemuk-gemuk.  Dan Gareng lalu berpaling pada Semar, ayahnya, “Sementara Kamu, Pak, Kamu mengawinkan aku dengan slametan, sependapa penuh manusia. Toh ujung-ujungnya rumahmu juga dibedol. Karena itu jelas, slamet-nya hidup itu tidak tergantung pada slametan. Selanjutnya hidup itu tidak tergantung pada hari, bulan atau tahun, tak tergantung pada ramalan juga,” kata Gareng.

Gareng kemudian menantang. Misalnya ada aturan pada hari Selasa Paing, orang dilarang pindah rumah ke arah utara. Kalau ia nekat, ia akan dicaplok naga. “Naga, ayo caploklah saya.... Toh naga itu tidak berani mencaplok saya,” kata Gareng. Karena itu menurut Gareng, naga itu bila ada, hanya akan mencaplok orang yang takut. Kita harus berani memberantas rasa takut itu. Kalau begitu, kita akan terbebas dari rasa waswas, dan karenanya juga tidak perlu mengadakan slametan untuk menyingkirkan rasa waswas itu.

Transmigrasi sama dengan babad alas

Suatu saat obrolan Petruk Gareng membahas dengan seru tentang tema kolonist. Kolonist adalah apa yang sekarang disebut dengan transmigrasi. Mereka bicara tentang kolonist di karesidenan Lampung. Luas karesidenan Lampung hampir sama dengan Jawa Tengah. Menarik mereka masih membedakan orang Jawa dengan orang Indonesier lainnya. Dan demikianlah jumlah penduduk di karesidenan Lampung: 500.000 orang Indonesier, 245.000 orang Jawa, 215.000 orang Lampung dan 40.000 orang Jawa Banten dan orang Indonesier lainnya. Kata Petruk, “Bahkan jika ditambahi orang dua puluh kali lipat lagi, masih ada tempat bagi mereka. Itulah yang namanya turah enggon kurang ewong, tempat lebih tapi manusia kurang.”

Di daerah Trimurja dan Metro, semuanya sudah maju. Daerah transmigrasi itu sudah berkembang jadi kota kecil, mempunyai alun-alun, masjid dan sebagainya. Menurut Gareng, membuat kolonist itu tidak mudah, sama saja dengan babad alas. Sama kisahnya dengan para Pandawa yang melakukan babad alas Mertani untuk mendirikan kerajaannya yang baru. Maka  para kolonist harus berperang melawan lelepah, thothok uwok, gendruwo, buto dan sebagainya. Kalau dinalarkan, makhluk-makhluk halus itu sesungguhnya adalah pohon-pohon besar yang harus ditaklukkan. Gareng meng-interpiu kolonist. Umumnya mereka puas di sana. Kata seorang kolonist, “Kalau senang, memang belum, Den Bei, tapi saya sudah punya modal untuk senang, daripada dulu waktu saya hidup di desa Jawa. Ini tanah saya sendiri, belum dua minggu, sudah hilang pohon-pohonnya.”

Petruk juga bercerita, ia menjumpai seorang kolonist yang sudah bahagia di sana. Ia sudah memiliki rumah, kecil tapi rapi, pekarangannya sudah jadi, dan ketela serta jagungnya sudah menghijau. Orang tersebut tidak ingin kembali lagi ke tanah Jawa. “Sampean sekeca, Den Bei, onten ngriki niki, upama mboten sok mriyang mawon, alas wetan nika rak empun kula untal malang, (Wah, Den Bei, seandainya badan saya tidak kerap kurang sehat, sudah di sebelah timur itu sudah saya lalap habis). Untal malang adalah bahasa wayang, yang biasa digunakan oleh para raksasa untuk menyombingkan diri, bahwa ia bisa mengunyah habis lawannya. Bayangkan, begitu bersemangat kolonist asal Banyumas itu.

Di daerah kolonist, orang Jawa juga masih menghidupi budaya dan tradisinya. Sayang kata Petruk, tradisi yang jelek juga dibawa ke sana. Misalnya, mereka suka mengucapkan parikan ini: Ora susah nyambut gawe waton alus gulungane, ya ndhuk, ya tidak usah bekerja, asal rambutnya halus tergelung, ya nak, ya... ”Parikan itu menjadi benih yang tidak baik, bisa menyebabkan orang bermalas-malasan,” kata Petruk.

Gareng setuju, parikan-parikan Jawa yang membuat celaka harus diganti dengan yang menggugah semangat. “Cekake, kolonist kuwi kudu dididik dadi wong Jawa anyar, anyar uripe, anyar atine, anyar semangate, anyar kekendelane (Singkatnya, kolonist harus dididik menjadi orang Jawa baru, baru hidupnya, baru hatinya, baru semangatnya dan baru keberaniannya). “Sebab, kalau tidak baru semangatnya, orang gampang ditipu untuk berhutang, diijon sawahnya, dan sebagainya. “Dengan mental baru itu, tanpa dimeriam atau dihancurkan dengan ordonansi, segala penyakit masyarakat sudah akan terjungkir dengan sendirinya,” kata Gareng menyimpulkan.

Jelas tema kolonist bernada propaganda politik pemerintah untuk menggalakkan transmigrasi. Dan tampak, bahwa sebelum perang, tema transmigrasi itu sudah menjadi perbincangan. Masalah transmigrasi bukan hanya masalah memindahkan orang, tapi masalah membentuk mental dan hidup baru, yang harus lain dengan mental dan hidup lama, yang pernah menguasai orang Jawa di desa asalnya.

Obrolan yang kritis

Begitulah antara lain berapa contoh obrolan Petruk Gareng di majalah Kajawen. Masih banyak contoh lainnya yang menarik. Obrolan mereka selalu menyangkut masalah hidup harian di bidang sosial, politik, dan kebudayaan. Obrolan itu semacam opini rakyat, yang mencoba untuk kritis, di tengah terbatasnya kesempatan untuk mengutarakan pendapat di zaman kolonial.

Menarik, kekritisan itu disampaikan dengan bahasa Jawa sehari-hari, yang enak didengar dan dicerna. Dan tentu saja opini kritis itu menjadi makin menarik karena ilustrasi Petruk Gareng yang hidup, coretan B. Margono. Obrolan itu beserta ilustrasinya memberi kita kenangan, bahwa Petruk Gareng, tokoh rakyat sepanjang zaman ini, juga pernah hidup dengan kekritisannya yang khas rakyat di zaman pemerintahan kolonial Hindi Belanda menjelang perang.

Sumber: Majalah Basis No. 07-08, tahun ke-59, 2010, hal. 51-54