29/12/10

Epistemologi Heidegger

Heidegger mengikuti jalan fenomenologis Husserl. Heidegger melihat fenomen tidak melalui prasangka-prasangka akal belaka. Fenomen dilihat secara pra-reflektif dan menyeluruh. Fenomenologi mendeskripsikan fenomen secara apa adanya.

Sebab, akal (kesadaran) hanya merupakan satu dari sederet sejarah Ada. Kesadaran hanya bagian dari Ada. Tepatnya, “Kesadaran adalah cara Ada menampakkan diri” (Wood, 1989: 162). Bukan kesadaranku mencipta Ada, sebaliknya: Ada memungkinkan kesadaranku. Heidegger menjungkir doktrin cogito ergo sum yang melandasi teknik. “... serangan Heidegger atas konsep kesadaran modern sangat mendasar. Dengan memahami ada sebagai sesuatu yang mewahyukan diri pada dirinya sendiri, hubungan subjek-objek itu dilampaui dengan satu pendekatan holistis-estetis terhadap realitas: membuka mata selebar-lebarnya untuk Ada yang menampakkan diri dalam peristiwa. .... kesadaran diraih lebih dengan membuka diri dan berkontak dengan Ada daripada dengan menguasai sesuatu yang lain sebagai objek.” (F.B. Hardiman, 2008: 31)

Termasuk teknik yakni rasio strategis, dualisme subjek-objek, serta homo homini lupus. Semua ini adalah landasan bagi peradaban modern: hukum positif, negara hukum (nation-state), sekulerisasi relijius, kapitalisme, demokrasi, dan seterusnya.

Namun perlu diperhatikan, fenomenologi Heidegger berbeda dengan fenomenologi Husserl dalam hasilnya, kendati sama secara metodis. “Jadi, fenomenologi Husserl adalah suatu epistemologi karena menyangkut ‘pengetahuan tentang dunia’, sementara fenomenologi Heidegger adalah suatu ontologi karena menyangkut ‘kenyataan’.” (ibidem, 29).

Kongkritnya, bagaimana epistemologi Heidegger? Ia jelas memakai metode fenomenologis. Pengetahuan reflektif direduksi dan ditangguhkan sementara, akal dikurung sementara. Fenomen pertama-tama dihayati, bukan dianalisis, dengan alat pengenalan selain akal, baru untuk menjelaskan hasil temuan penghayatan fenomen tersebut akal difungsikan.

Apa alat itu? untuk sementara, kita simpan dulu pertanyaan ini. Ada baiknya kita menyimak kutipan berikut ini tentang metode fenomenologis Heidegger. “Heidegger menawarkan strategi lain dalam mendekati fenomen kesadaran: membuka diri terhadap ada dan mencandra realitas sedalam-dalamnya sebagai suatu peristiwa pewahyuan diri Ada. Bukan hanya ketajaman berpikir yang dibutuhkan di sini, melainkan terlebih kebeningan dan keheningan berpikir. Dengan pendekatan macam inilah Heidegger menurut saya lebih tampil sebagai seorang filusuf yang kepenyair-penyairan atau keseniman-senimanan daripada seorang ilmuwan yang kering dan analitis.” (ibidem, 32). Alat epistemologi Heidegger akan lebih jelas kita pahami melalui kutipan berikut ini. “Berpikir...lebih daripada ‘roh’ (Geist) dan ‘otak’ (Gehirn). Berpikir itu ‘hati’ (Herz), karena hati bersifat sentral untuk setiap tindakan merekam (aufnehmen) yang mengilhami pemikiran sejati.”(ibidem, 41).

Semakin hati dipakai sebagai alat pengenalan, semakin terbuka kemungkinan mengetahui; semakin kesadaran, atau roh, atau otak dipakai sebagai alat pengenalan, semakin tertutup kemungkinan mengetahui.

Ketertutupan pengetahuan yang paling parah, paling gelap, adalah dalam teknik (Die Frage nach der Technik, Persoalan Teknik, 1953). “Teknik...menyelubungi Ada alih-alih menyingkapnya. Selubung itu disebutnya Gestell (bingkai). Ada yang terperangkap dalam Gestell ini tidak menyatakan diri, melainkan justru terabaikan. Teknik menjadi mimpi buruk bagi kita...” (ibidem, 41).

Keterbukaan pengetahuan yang paling mungkin adalah dalam seni (Der Ursprung des Kuntswerkes, Asal-usul karya seni, 1935). “...seni mengandung tegangan antara menyembunyikan dan menyingkap kebenaran, mencipta sekaligus menyimpan, yakni memberi tempat yang kudus kepada Ada.” (ibidem, 41). Dalam seni dan dengan seni, kita baru akan mungkin mengetahui. Puisi yang padat balaghoh-bayan adalah kendaraan menuju pengetahuan. ‘Barangkali’, dalam kaitan antara pengetahuan dan seni inilah Heidegger sempat berujar: Bahasa adalah rumah ada (das haus des seins). “Akhirnya, karena bahasa metafisika tak mampu menangkap Ada, Heidegger mencoba mengembangkan bahasa sendiri dengan membaca puisi-puisi Horderlin.” (ibidem, 41-42).

Jadi, ada beda antara bahasa yang dimaksud Heidegger dengan bahasa sebagaimana dipahami oleh para strukturalis dan linguis. Bahasa Heidegger adalah bahasa puitika yang kental dengan retorik, metafor, ironi, dan seterusnya. Sedang bahasa para linguis adalah bahasa logis-matematis yang telah diabstraksi, bahasa kategorikal yang merupakan pengilmiahan dari bahasa sehari-hari; bahasa para linguis adalah teknik dalam pandangan Heidegger.

Kesederhanaan, Gandhi, dan Ki Blaka

Segala kebijaksanaan tampaknya sederhana saja. Bukan bagaimana konsep sebuah kebijaksanaan dirumuskan, tapi yang lebih penting adalah bagaimana kebijaksanaan itu dipraktikkan dengan konsisten. Sederhana. Sederhana sendiri juga kebijaksanaan.

Kesederhanaan Gandhi

Gandhi menginspirasi dunia hanya karena satu hal: pantang-kekerasan, ahimsa. Ini terlihat jelas pada banyak catatan otobiografisnya. Dan gandhi pun memang adalah orang sederhana yang biasa-biasa saja. Sehari-hari hidup dengan makan yang pas (bukan pas-pasan), mengenakan kain yang diselempangkan menutupi tubuhnya, memakai kasut yang terbilang murah, berkacamata ala master shaolin, dan tak pernah lupa ke mana-mana membawa tongkat. Gandhi tak memiliki keinginan yang muluk-muluk seperti aktivis-aktivis mahasiswa. Gandhi cuma mau konsisten menerapkan ahimsa. Itu saja. Adapun konsepsi tata politik, tata ekonomi, tata agama, tata budaya, sampai tata peradaban yang ia perkenalkan, itu hanya turunan dan pengembangan dari ahimsa-nya.

Kesederhanaan Ki Blaka

Sama seperti Gandhi, Ki Blaka, tokoh utama “Blakanis”, sebuah novel karya Arswendo Atmowiloto, juga hidup secara sederhana. Gagasan Ki Blaka hanya satu, gagasan yang sederhana saja, yakni: blaka. Blaka artinya hidup jujur, terbuka, transparan, telanjang, terbuka, tidak bohong, tidak pura-pura bohong, dan tidak pura-pura jujur. Sehari-hari Ki Blaka hidup sederhana: berjalan ngalor-ngidul telanjang kaki, hanya memakai selimut lorek yang menutupi tubuhnya, dan berbicara jujur. Bila ditanya orang, apa pun pertanyaannya, termasuk hal-hal paling rahasia, seperti sex, maka Ki Blaka akan menjawabnya dengan jujur. Tapi ini tidak tanpa syarat. orang yang bertanya pada Ki Blaka harus jujur juga. Tak tanggung-tanggung, tanpa malu-malu, Ki Blaka lantas menanyakan padanya: berapa istrimu? Apa kamu punya simpanan? Berapa kali njajan ke pelacuran? Pernah ngesex sama kambing nggak? Pingin kawin lagi, dengan siapa? dan pertanyaan gemblung lainnya.

Anehnya, bukan malah dibenci, justru karena kejujurannya tersebut Ki Blaka semakin disukai orang. Ia jadi tokoh terkenal. Ia membuka malam pertemuan di mana di sana tiap orang berbicara jujur, tanpa tedeng aling-aling. Tak peduli kejujurannya bakal menusuk orang lain atau menusuk dirinya sendiri. Yang penting, jujur saja. Titik.

Pernah seorang mantan menteri, yang banyak melakukan KKN dan kejahatan birokratis lainnya, datang ke pertemuan rutin Ki Blaka. Ia sedang kena sakit parah dan terpaksa duduk di kursi roda. Motifnya datang ke pertemuan itu adalah minta kesembuhan pada Ki Blaka. Ia pikir Ki Blaka adalah dukun, wali, atau orang pintar, dan sejenisnya. Namun nyatanya Ki Blaka bukan orang seperti itu. Ki Blaka hanya orang biasa yang ingin hidup secara blaka. Menteri tadi pun kecewa pada sosok Ki Blaka. Tapi kekecewaanya tak berlarut. Seperti para peserta pertemuan lainnya, ia pun berbicara jujur. Si menteri, Jamil Akamid namanya, malah menceritakan aktivitas KKN dan segala kejahatan birokratisnya dengan jujur. Jujur sekali. Ia cerita bahwa dirinya telah memperalat hukum, birokrasi, partai, dan bahkan presiden untuk menumpuk kekayaan pribadinya. Ia bocorkan nama-nama pejabat yang gemar ber-KKN bersamanya. Ia tunjukkan bagaimana prosesnya, di bank mana saja uang hasil KKN mereka di simpan, siapa bekengnya, dan siapa korbannya. Dan karena pengakuan Jamil Akamid diliput media, masyarakat pun panik. Para pejabat yang disebut-sebut namanya muntab. Stabilitas pemerintahan terancam. Jamil Akamid terus memanas-manasi Ki Blaka untuk menjadikan pertemuan rutinnya sebagai gerakan moral nasional. Katanya, Ki Blaka bisa jadi avan gardis pembuka kesadaran negeri. Tapi apa respon Ki Blaka? Biasa saja. sederhana. Ia hanya menjawab semua bujuk rayu si menteri dengan: O begitu; O, bisa ya; ya bagus itu. tidak tampak tanggapan yang meledak-leduk. Jamil Akamid pun dibikin stres oleh tingkah Ki Blaka. Sekali lagi menteri jujur ini kecewa (Menteri jujur? Kedengarannya lucu, soalnya selama ini menteri-menteri pada takut jujur). Nah, kekecawaannya yang kedua ini, alhamdulillah, menyadarkan Jamil Akamid. ia mafhum. Jujur itu bukan untuk siapa-siapa, kecuali untuk kebaikan dirinya. Berbicara jujur melatih diri hidup blaka. Hidup blaka menjadikan hidup lebih ringan dan mengalir. Orang yang hidup blaka, pembawaannya gembira melulu. Dikata-katain, gembira; dijelek-jelekin, gembira; diinjak-injak, gembira; dikutuk, gembira; dikasih uang segepok, oh tentu gembira dong; tidak pernah jadi juara sepakbola, gembira; bisa masuk final piala AFF, gembira; dicurangi, diprovokasi, dan dipecundangi 3-0 oleh Malaysia, gembira juga, toh hanya permainan.

Jadi, bagaiamana, apa Anda siap bersikap sederhana, realistis, dan tidak muluk-muluk? Mau jadi lelananging jagad? Mbok yo sing prasojo, hidup sederhana saja deh... []

12/12/10

Mata Levinas

Beranjak dari permenungan fenomenologis, Levinas pun sampai pada pembicaraan tentang mata. Terdapat dua varian mata: mata yang melihat dan mata yang mendengar.

Dengan mata yang melihat, kita cenderung melakukan kekerasan terhadap objek yang kita pandang (the violence of vision). Kita melihat benda, binatang, atau orang lain (l’ autri) menurut perspektif egoistis kita sendiri. Kita mengontrol dan menguasai identitas orang lain. Sorot mata kita menundukkan dan membudakkan orang lain. Kita adalah raja yang menghambakan orang lain. Kita umpama dalang yang mewayangkan orang lain. Diam-diam, dengan mata yang melihat, kita telah menjajah orang lain.

Sementara itu, dengan mata yang mendengar (al-‘ain al-musamma’), kita memberi ruang bagi Wajah untuk berbicara pada kita, memberi kelapangan bagi orang lain untuk mengungkapkan dirinya secara terbuka dan utuh pada kita (Al-Qur’an, 58:11). Mata yang mendengar mendorong kita untuk meniru (mimesis) perasaan orang yang sedang kita pandang, seolah-olah kita bertransformasi menjadi dirinya dan masuk ke dalam palung terdalam kalbunya. Dengan mata yang mendengar, kita berusaha mensetubuhi perasaan orang tersebut.

Teologi Mata

Mendengar yang sebetulnya adalah fakultas telinga (udzun), dilepas dan dipasang sebagai fakultas mata (‘ain). Tujuannya agar mata dapat mendengar panggilan (adzan) tuhan yang tersembunyi rapi di balik tuturan Wajah, yang tersirat di antara kompleksitas pengakuan survivor.

Wajah yang bicara, dengan demikian, secara tidak langsung mengajak kita untuk mendirikan solat sosial dan sujud sosial. Baru dalam kenyataan sosial, kita dapat mengalami tuhan (syuhud). Wajah yang bicara juga mengajak kita untuk bergegas menuju kemenangan, yakni untuk segera memultiplikasi peristiwa (event) Fathul Makkah, atau meminjam Aquinas: mendirikan kota tuhan (civitas dei) di bumi manusia. Jadi, adzan juga adalah panggilan sosial dan politik.

The candle (in the) night

:: sebuah himbauan

Bila kamu mengetahui bakal karamnya kapalmu, jangan terburu-buru mengabarkan hal itu. Jangan pernah mengucapkan hal yang negatif dan pesimistis. Jika orang lain mendengarnya, sedang hatimu sendiri menyahutnya, ucapan negatif dan pesmisitis tadi akan mempercepat proses karamnya kapalmu. Tragedi Yunani dan epik Mahabarata telah menunjukkan kebenaran hal itu. Sejarah pun telah memvalidasinya.

seburuk apapun gejala yang tampak, segelap apapun kondisi yang menimpa, walaupun kapalmu secara matematis akan segera karam, kamu harus terus mengucapkan hal-hal yang positif dan optimistik. Beri sahabat-sahabatmu suntikan spirit, senandungkan “badai pasti berlalu” untuk mereka, dan bisikkan “la takhof wa la tahzan, innallaha ma’ana” di telinga mereka. Optimisme dan energi positif orang lain yang tercipta akibat ucapanmu, akan menyelamatkan kapalmu dari kekeraman.

Gembirakan dan hibur sahabat-sahabatmu. Beri mereka lawakan-lawakan segar dan cerdas. Jangan biarkan mereka bersedih, murung, dan saling terkam. Sebisa mungkin ciptakan kondisi damai dan harmoni, dan tak usah menambah-nambah konflik, jika mungkin justru redakan dan sembuhkan konflik terpendam.

“Sistem politik yang ditakdirkan untuk runtuh,” ujar Sartre “merangsang orang banyak untuk mempercepat keruntuhan itu”. Oleh karena itu, orang tua-orang tua kita sering menasihati: husy, jangan berburuk sangka, jangan ngomong yang tidak-tidak, jangan bicara yang buruk-buruk! Ojo waton ngomong, nanging ngomongo nganggo waton! Dalam keadaan susah, ketika kapalmu hampir karam, nasihat semacam ini sebenarnya berfungsi sebagai terapi, baik terapi psikis maupun terapi sosial, dan bukan berfungsi sebagai larangan semata.

01/10/10

Gradasi Bineris dalam Etika

IMAN Budi Santosa seringkali mengingatkan tentang spektrum bineris dalam berpikir. Suatu fenomena atau problem merupakan sesuatu yang teramat kompleks dan saling tumpang tindih. Ia tidak bisa disigi dari satu segi saja. Kita mesti terlebih dahulu memahami mana segi yang lebih urgen dan esensial dari segi-segi lainnya.

Misalnya, puasa tidak bisa hanya disigi dari segi halal-haramnya saja, seperti banyak ustadz menjabarkannya di teve-teve. Tetapi puasa adalah fenomena yang kompleks. Puasa terpaut dengan bermacam-macam bineris etik. Selain menyangkut halal-haram, puasa juga terkait dengan kaya-miskin, besar-kecil, sehat-sakit, banyak-sedikit, vertikal-horizontal, indah-jelek, baik-buruk, benar-salah, dan terutama adil-zalim.

Karena terpaut dengan spektrum bineris yang kompleks ini, hukum berpuasa menjadi amat plastis dan dinamis. Hukum puasa tidak cukup dengan halal-haram saja, tapi puasa dapat dikenai hukum halal-syubhat-haram atau wajib-sunah-mubah-makruh-haram, tergantung pada bineris etik mana yang paling esensial, yang harus pertama-tama diperhatikan.

Dalam islam, bineris etik yang teresensial sudah pasti adalah adil-zalim, manusiawi-tidak manusiawi. Contoh, apakah adil, apakah manusiawi, apakah rohman-rohim seseorang yang terkena usus buntu dan mag kronis diwajibkan puasa? Baru setelah prinsip keadilan, kemanusiaan, dan kerohman-rohiman menjadi pertimbangan hukum, kita dapat memautkan dan menselaraskan puasa dengan bineris etik lainnya yang lebih tidak esensial dan tidak penting, misalnya halal-haram.

Dari sini maka akan terlihat bahwa islam memang merupakan agama akal yang mengutamakan dasar-dasar logika dan rasionalitas dalam bersikap. Pondasi argumentatif dikotomi Islam-sains pun gugur. Karena seperti sains, Islam pun melandaskan dirinya pada rasio.

Kasus puasa sama dengan kasus gender. Publik mengenal Islam sebagai agama yang patriarkat. Islam dituduh menganut teologi phallocentric. Kedudukan lelaki lebih tinggi daripada perempuan, baik dalam bidang budaya, agama, politik, sosial, maupun ekonomi.

Tetapi pendapat publik ini bagi saya merupakan justifikasi dini atas Islam, kalau bukan sebuah sterotip dangkal atas Islam (dan atas agama-agama lainnya). Dalam Islam, bineris etis lelaki-perempuan tidak diletakkan pada permulaan pertimbangan sikap. Seperti yang sudah saya sebutkan dalam kasus puasa di atas, masih ada bineris etik yang lebih dasar lagi dalam Islam, yakni adil-zalim, manusiawi-tidak manusiawi, rohman-rohim vs tidak rohman-rohim. Jika dalam suatu komunitas budaya atau peristiwa budaya tertentu, kedudukan lelaki yang lebih tinggi daripada perempuan dianggap tidak adil, tidak manusiawi, dan tidak mencerminkan sikap welas asih serta kasih sayang, maka Islam secara logis membuka pintu lebar-lebar bagi mainstreamisasi perempuan dalam bidang ekonomi maupun politik.

Oke, kita cari contoh yang lebih kongkrit. Seorang istri ditinggal mati suaminya ketika ia berumur 35. Ia memiliki 6 orang anak yang masih kecil-kecil dan semuanya perempuan. Anak sulung berumur 6 tahun, sedang si bungsu baru ditetek. Kebetulan si suami hanya meninggalkan warisan berupa gubuk gedeg reot. Secara ekonomi si istri ini kini masuk dalam kelompok penduduk paling miskin. Ia tinggal di sebuah dusun tepi sungai yang sangat marjinal dan jauh dari peradaban. Nasib tetangganya tidak lebih baik dari nasibnya.

Bagaimana Islam memandang perempuan ini? Islam, yang luwes dan dinamis, akan membolehkan perempuan tadi mencari nafkah dengan jalan apa saja, asal anak-anaknya dan dirinya sendiri tetap mampu bertahan hidup, bahkan bila ia terpaksa mencuri atau menjual diri, tetapi ini pun dengan banyak syarat yang amat ketat.

Pada kasus ini kita dihadapkan tidak hanya dengan bineris etis lelaki-perempuan. Bineris etik yang lebih dasar adalah hidup-mati. Bila tidak berkecimpung di kegiatan ekonomi dan sosial, atau bila tidak mencuri dan menjual diri, si perempuan tadi dan anak-anaknya bakal mati. Membiarkan perempuan tersebut mati adalah sikap yang zalim, tidak manusiawi, dan tidak rohman-rohim.

Jadi, kelompok feminis liberal telah sangat memsimplifikasi Islam ketika mereka melihat bahwa agama Islam sangat patriartkat dan phallocentric.

Visi Holistik Pergerakan

Seperti orang bernafas, ia tidak akan pernah berhenti, kecuali sampai datang kematiannya. Atau seperti sifat kepinginan manusia yang tak habis-habisnya, satu keinginan besar diraih, timbul lagi keinginan baru yang lebih besar, begitu seterusnya. Atau kita pahami saja hukum kontradiksi yang abadi itu: putih berpasangan dengan hitam, baik dengan buruk, benar dengan salah. Antara satu dan lainnya saling mengandaikan. yang satu hanya eksis karena eksistensi alterasinya.

Pergerakan atau perjuangan (jihad) seperti orang bernafas. Perjuangan bahkan mesti terus dilanjutkan meski tanah telah memamah kita. Dengan meresapi insight ini, sedikit banyak kita bisa lebih mawas terhadap situasi—tetapi tidak dengan mudah memaafkan dan mengacuhkan situasi itu.

Perjuangan tidak akan habis dan berakhir dengan hanya menghelatkan revolusi. Sebaliknya, revolusi merupakan awal dari sebuah akhir. Yang lebih penting adalah apa yang dilakukan setelah revolusi tersebut. Fase ini ialah fase yang lebih berat daripada fase menuju revolusi politik.

Proklamasi Agustus bukan sebuah klimaks atau akhir. Ia adalah awal. Yang terpenting adalah bagaimana mengisi prokalamasi dan membangun nation-state yang baru berdiri. Reformasi tidak merupakan akhir dari gerakan demokratisasi. Ia adalah awal. Yang paling utama adalah bagaimana menyelenggarakan dan merealisir demokrasi paska-reformasi. Perang Badar hanya awal. Ada peperangan dan perjuangan lain yang lebih penting dan lebih dahsyat setelahnya: a self-revolution, spiritual revolution, piece-meal transformation. Fathul Makkah adalah awal. Yang terpenting, dan sekaligus terpelik, adalah bagaimana menjaga agar esensi Islam tetap hidup setalah Fathul Makkah.

Paling tidak, menginsyafi insight ini akan menjadikan kita lebih tegar dan tidak mudah patah. Revolusi besar, seperti misalnya yang diimpi-impikan Pramoedya Ananta Toer, kita akui sebagai sebuah solusi jitu dan cukup tepat, namun belum benar-benar mampu mengatasi segala problem yang ada, dan problem yang akan ada (bukankah kebaikan selalu akan berbanding lurus dengan keburukan, dan siang memendam kerinduan abadi terhadap malam?) Oleh karenanya, segala bentuk perjuangan dan pergerakan kita, tidak mungkin disederhanakan dan dibatasi hanya untuk mencapai revolusi besar. Revolusi besar cuma satu momen di antara deretan momen-momen perubahan lainnya, baik besar, sedang, ataupun kecil, baik tersiar, samar, ataupun rahasia.

Dalam rangkaian gerbong kehidupan, semua momen tersebut memiliki andil dan fungsinya sendiri-sendiri. Tidak ada yang lebih dominan satu dari yang lain. Tidak bisa disebut bahwa revolusi besar kedudukannya lebih tinggi dan lebih utama ketimbang revolusi diri. Keduanya sama-sama penting, hanya kadar pentingnya berbeda-beda. Revolusi besar dan revolusi diri laksana matahari dan bulan yang saling membutuhkan. Dengan caranya masing-masing keduanya mengkeliri lazuardi sosial sehingga menjadi lebih indah.

Adalah pengikisan makna hidup bila menyandarkan perjalanan, langkah gerak, dan derap juang hanya pada revolusi besar. Pandangan mata kita akan menjadi terbingkai dan terbatas. Kita seperti memandang halaman dari satu jendela saja, padahal masih banyak jendela-jendela lainnya, yang tidak cuma penting bagi kita, tapi juga sangat kita butuhkan. Merupakan pengikisan makna hidup juga bila menyandarkan perjalanan hidup pada revolusi diri belaka.

Hal ini membuat kita sadar: kita perlu mencari sandaran hidup yang lebih tinggi, dalam, dan komplit, karena panggilan untuk mengisi makna hidup atau panggilan membuat kehidupan lebih bermakna selalu memburu kuping hati kita. Lalu, di mana kita dapati sandaran seperti itu? Sangkan paraning dumadi, inna lillahi wa inna ilaihi roji’un; sekuat apapun kita mengaku ateis, sekencang apapun kita memusuhi dan menyepelakan tuhan, sandaran hidup yang sangat-sangat kokoh itu terdapat dalam agama saja. Dengan agama, kekosongan jiwa dan ketidakberartian hidup mendapatkan obat kesembuhannya. Namun agama di sini adalah agama sejati, bukan agama yang kita fungsikan sebagai kuda-kudaan, mobil-mobilan, pelarian, atau penyuplai mimpi-mimpi dan penggambuh daduh.

Dalam agama, kita akan menemukan bahwa revolusi besar dan revolusi diri serta revolusi permanen yang kontingen sampai nafas lepas, bahkan setelah mati menggamit, adalah kesatuan utuh yang saling mengisi dan tak lekas tuntas, tak kunjung ketemu ujung, dan selalu akan berjibaku, selalu akan mendefinisikan diri tiada rampungnya dalam proses panjang kehidupan bumi.

Inilah yang membuat institusi pernikahan menjadi suatu yang alamiah. Berereksi dan beranak-pinak merupakan bagian dari pergerakan, merupakan remah jihad mencapai sangkan paraning dumadi.

Hindari Mimpikan Mimpi!

Mentalitas anak muda adalah mentalitas para pemimpi. Maka anak muda akan menjelma menjadi seorang pahlawan yang terlalu pulas tidur, tak bangun-bangun hingga matahari memuncak, dan ia dikutuk sebagai pahlawan kesiangan karena bangun setelah matahari terpeleset ke barat, setelah pesta dan pasar malam bubar. Di antara mereka, ada yang bermimpi mau jadi profesor, ada yang bermimpi mau jadi pengusaha besar, ada yang bermimpi mau jadi sastrawan, ada yang bermimpi mau jadi pemimpin besar.

Mereka bermimpi yang serba besar, tapi di saat itu juga, mereka melupakan kehadirannya yang sungguh-sungguh pada saat ini. Mereka lupa bahwa mimpi adalah mimpi, sebuah peristiwa di masa depan yang belum tentu terjadi. Mereka lupa kalau kehidupan adalah suatu enigma, kecampuradukkan, kesilangsengkarutan, kompleksitas rumit dengan banyak jejaring yang lengket ke sana, lengket ke sini. Kehidupan, yang di dalamnya mereka bermimpi, adalah hal yang tidak tunggal, tidak sehomogen dan sesederhana yang mereka pikirkan.

Akan tetapi, ketidaktunggalan kehidupan itu, bukan alasan bagi kita untuk cepat-cepat menjadi seorang pesimis, pemurung, dan penyedih, lalu melihat dunia melulu dari kacamata hitam yang gelita. Ketidaktunggalan hidup adalah isyarat gerak, dan petunjuk kerja.

Sebab hidup tidak tunggal, dan masalah dapat tiba-tiba menerjang dari arah mana saja kapan saja, dan masa depan adalah kemusykilan yang tak teramal, kita harus menyiapkan diri sesigap mungkin. Elan hidup perlu kita tiup-tiupkan tiap jantung berdetak. Dan oleh sebab itu, kita butuh merawat mimpi, yang besar, yang sedang, yang kecil, yang gigantis mupun yang kurcaci. Merawat mimpi bukan saja adalah ekspresi fantasi, tapi ia lebih merupakan ekspresi praktis. Merawat mimpi adalah peta langkah, isyarat gerak, atau petunjuk kerja. Bermimpi adalah melangkah, bergerak, bekerja. Semakin tinggi mimpi, semakin tinggi etos kerja.

Di sini mimpi tidak lagi muncul sebagai suatu peristiwa yang akan terjadi di masa depan, yang eksistensinya tak pernah bisa dipastikan. Mimpi adalah peristiwa saat ini. Mimpi adalah apa yang kita lihat, dengar, pikir, rasa, dan kerjakan saat ini.
Bermimpi surga akhirat adalah beramal semaksimal mungkin saat ini. Bermimpi revolusi adalah bekerja merubah mindset orang-orang di sekililing kita dan bekerja secapai-capainya memperbaiki apa yang terlihat dan terpajang di hadapan pandang kita sekarang ini.

Seorang yang bermimpi menjadi hero, berarti ia sedang menjadi hero. Seorang yang bermimpi menjadi pemimpin besar, berarti ia sedang menjadi pemimpin besar. Seorang yang bermimpi menjadi profesor, berarti ia sedang menjadi profesor. Seorang yang bermimpi menjadi miliuner, berarti ia sedang menjadi miliuner. Seorang yang bermimpi menjadi sastrawan, berarti ia sedang menjadi sastrawan, berarti ia adalah sastrawan. Kebahagiaan dan mimpi-mimpi indah tidak merupakan perkara yang jauh, tapi ia sangat dekat dengan diri kita, sedekat urat leher kita sendiri, sedekat urat nadi kita sendiri.

Seperti tuhan mimpi bukan sesuatu yang jauh. Tuhan sangat dekat, sedekat urat leher kita sendiri, bahkan tuhan ada dalam diri kita sendiri. Man ‘arofa nafsah, faqod ‘arofallah.

Bermimpi dan bertuhan tidak bisa dipahami dengan logika linear, logika yang memburu dan mengharap matahari esok. Diperlukan logika siklikal untuk mencapai mimpi-mimpi kita, untuk mencapai tuhan kita, yang keduanya hadir, benar-benar hadir dalam diri kita sendiri. Matahari tidak akan hadir esok hari, tapi matahari sedang hadir kini bersama kita, dalam diri kita sendiri. Labbaik allahumma labbaik. Bangun, bermimpi, lantas membeliak dan menggeliatlah bersama matahari.

Bibir Basah Gadisku

Ahmad Tohari punya satu cerpen, yang sangat simbolik, banjir hikmah dan makna, serta berwarna sufistik. Saya lupa judulnya, tapi alur dan isinya masih bisa saya ingat sedikit-sedikit. Sapardi Djoko Damono mengaku sungguh suka dengan cerpen tersebut.

Kisahnya lebih kurang begini. Tokoh utama, seorang lelaki muda, sedang pulang kampung naik bis malam kelas ekonomi yang sesak dan penat. Penjual asongan, pengamen, dan kadang kala pengemis, akan sluman-slumun keluar-masuk bis tanpa permisi saat mobil berhenti di mana saja, terutama di terminal. Mereka masuk berebutan, dan berebutan pula memikat penumpang bis. Suasana kacau, gaduh. Ada yang teriak-teriak menawarkan kacang goreng, tahu, arem-arem, dan akua. Ada yang nyanyi dengan suara sumbang, serak, dan fals. Ini membikin bis jadi seperti neraka.

Di saat-saat itu, seorang pengemis nyrobot masuk bis. Tidak sebagaimana lazimnya, pengemis ini ngemis dengan shalawat. Ia terus, dan terus bershalawat, sambil menengadahkan tangan meminta uang.

Tokoh utama bingung melihat si pengemis. Awalnya ia ber-negative thinking: dasar malas, ngemis kok pake shalawat. Ia mengira si pengemis bisa bershalawat setelah malang-melintang mengikuti pengajian umum di mana-mana. Lalu si tokoh utama bertanya-tanya: apa cuma ini hasil pengajian-pengajian umum, hanya memproduksi para pengemis?

Dan pengemis tadi terus bershalawat, bahkan ketika para pengamen dan pengasong sudah keluar bis, ketika bis sudah menderu. Kondektur mengkal dan jengkel. Panas-panas begini, masih ada juga pengemis yang anteng nongkrong di bis. Sopir bahkan lebih jengkel, mukanya merah-padam. Saking jengkelnya, sopir membentak dan mengusir pengemis. Yang diusir resistence, dan menjawab bentakan itu dengan: “bagaimana mau keluar kalau bisnya ngebut begini”. Sopir tambah murka, juga kondektur. Penumpang lain, termasuk si tokoh utama yang masih termangu-mangu heran menyaksikan adegan itu, barangkali risih.

Akhirnya, baik sopir, kondektur, maupun para penumpang membiarkan pengemis tersebut mendekam di bis, entah sampai mana, entah sampai kapan. Dan si pengemis bukannya malah gelisah, ia justru kian khusyuk dan tenang melafalkan shalawat dengan syahdunya.

Jam demi jam melela. Hari menembus senja. Para penumpang yang sudah lelah dan kepanasan banyak yang tertidur, termasuk si tokoh utama. Tapi pengemis yang bershalawat tadi hadir di mimpi tokoh utama. Di situ, pengemis tanpa henti senantiasa bershalawat. Karena sedemikian herannya pada pengemis, tokoh utama berusaha mendekati pengemis untuk mengajaknya bicara. Yang didekati terasa menjauh. Tokoh utama mengejarnya, sampai tiba-tiba ia tersandung, dan jatuh terguling-guling ke tebing berbatu. Ia luka, merintih perih karena getih mengalir.

Perih luka membangunkan tokoh utama dari tidurnya. Ia kaget, kakinya benar-benar berdarah. Dipusatkannya seluruh kesadarannya. Setelah tenang, baru ia menyadari rupanya bisnya-lah yang terguling-guling. Sopir, kondektur, dan para penumpang lainnya pingsan atau barangkali mati, kecuali dirinya dan pengemis. Sementara ia luka dan lecet-lecet akibat kecelakaan tersebut, pengemis masih segar bugar seperti tidak mengalami kecelakaan apapun, dan masih melafalkan shalawat. Pengemis kemudian keluar dari bis dengan damainya, dan berjalan ke suatu arah, lalu lamat-lamat hilang dari pandangan tokoh utama.

***

Bisa dipahami bila Ahmad Tohari mengkreasi kisah sufistik ini. Ia berlatar belakang pesantren. Dan juga bisa dipahami bila Sapardi Djoko Damono menyukai kisah ini. Banyak puisinya becorak religius. Tapi saya tidak tertarik dengan kepenyairan dan proses kreatif Ahmad Tohari maupun Sapardi Djoko Damono. Saya tertarik dengan pengemis dalam cerita tersebut, dan spesialnya pada shalawat yang dibacanya, yang “mungkin” menyelematkannya dari kecelekaan bis.

Bagi banyak orang, shalawat memang hanya kata-kata. Ia tak bertuah, tidak seperti jampi-jampi atau mantra. Namun di banyak pondok pesantren di Jawa, shalawat memiliki arti yang tidak biasa bagi para kyai dan santrinya. Orang luar akan berpendapat, bagi mereka shalawat tak ubahnya mantra, penuh mukjizat, terselempit enersi mirakel dalam rampak kata-katanya, seperti tembang mocopat atau serau. Imaji keajaiban shalawat di mata mereka bertambah-tambah lantaran banyak hadits dan qoul serta kisah nyata yang menerakan keajaiban, kewingitan, dan keutamaan shalawat.

Namun tidak semua kyai dan santri begitu mudah menyamakan shalawat dengan mantra. Ada banyak, amat banyak kyai dan santri, bahkan muslim awam, yang melihat shalawat dengan cara berbeda. Shalawat bagi mereka adalah wadag atau alat yang mengekspresikan kerinduan dan kecintaan pada Muhammad, persis penyair sufi yang mengekspresikan cintanya pada ilahi dengan puisi atau rubaiyat.

Orang-orang seperti ini biasanya ikhlas dan berkualitas hati tinggi. Perasaannya sangat peka, welas asihnya di atas manusia rata-rata, dan kemanusiaannya tidak bisa disangkal. Tabah dan sabarnya teruji. Perawakannya biasanya juga cukup menawan. Pandangan matanya teduh, wajahnya merembulan. Suara dan perkataannya lembut dan halus. Ringkasnya, wajahnya enak disawang, suaranya enak didengar, dan perilakunya membungahkan dan membungakan sukma. Mereka bagai baiduri yang menari-nari, menerangi sekelilingnya bagai lilin.

Nah, gadis seperti ini yang saya cari-cari dari dulu, wanita yang bibirnya basah karena bershalawat, tapi belum ketemu. Biar begitu, saya tetap percaya bahwa kala selamanya adalah rahasia, dan dia punya caranya sendiri untuk membuat kejutan-kejutan eksistensial pada manusia. Juga aku tetap percaya, gadisku, pendampingku nanti adalah cermin diriku. Bila bibirku basah karena shalawat, pendampingku pun pasti demikian. Aku berharap. Alangkah indahnya bila di rumah membandang cahaya Muhammad.

Ya imamar rusuli, ya sanadi
(duhai panglima para utusan, duhai tambatan hatiku)
Anta ba’dallahi mu’tamadi
(setelah Tuhan, dikaulah labuhan jiwaku)
Fabidunyaya wa akhiroti
(duh demi kehidupan dunia dan akhiratku)
Ya rasulullah khudz biyadi
(duhai rasulullah arihlah tanganku, peganglah tanganku, berikan padaku harapan)

Ya rasulullah isyfa lana
(ya rasulullah, sembuhkan kami)
Ya rasulullah isyfa lana
(ya rasulullah, selamatkan kami)
Ya rasulullah isyfa lana
(ya rasulullah, syafa’ti kami)

Srati Kebo Ijo Royo-royo

Syekh Malaya konon adalah orang yang suka dan karib dengan anak-anak. Di mana pun ia beristirahat saat mengelana, anak-anak selalu merubunginya. Syekh Malaya gemar mendongengi mereka, dan sering mengajari mereka menembang. Ia menyelipkan ajaran-ajaran Islam di dongeng dan tembangan itu. Caranya mendongeng membuat anak-anak makin nempel dengannya.

Tiap kali selesai mengajarkan sebuah tembang, anak-anak berlarian pulang ke rumahnya masing-masing. Di rumah mereka tetap menembang, dan para orang tua yang mendengar tembangan mereka bertanya-tanya: dari mana anak-anak mempelajari tembang yang rancak dan bernas itu?

Rasa penasaran rupanya menjadikan para orang tua mengikuti anak-anak mereka merubungi Syekh Malaya. Karena tembangan dan dongengannya bercita rasa seni tinggi, mengena di batin orang Jawa, para orang tua pun selanjutnya tertarik dengan apa yang diajarkan Syekh Malaya melalui karya seninya itu. Baik anak-anak, juga para orang tuanya, akhirnya menerima Islam dengan tangan terbuka.

Kelak barangkali Syekh Malaya menggubah dongengan-dongengan tersebut menjadi lakon-lakon pamungkas Wayang Purwa, dan tembangan-tembangan itu dijadikannya instrumen terandal untuk mempropagandakan Islam.

Syekh Malaya bukan tokoh yang asing bagi kita. Ia adalah Sunan Kalijaga, budayawan Tionghoa-Jawa yang mempromosikan Islam melalui sarana kebudayaan Jawa yang ada, tanpa merusak dan merombaktotalnya, apalagi membid’ah-bidh’ahkannya.

Seorang kawan, suatu kali bertanya sama saya: kenapa Sunan Kalijaga yang mumpuni dan beken banget itu, rela menyediakan waktu untuk berkumpul bersama anak-anak, mendongengi dan mengajarkan tembang-tembang pada mereka? Bukankah akan lebih menghemat waktu dan tenaga bila Sunan Kalijaga berkonsentrasi menerapkan strategi top-down saja, menggaet tokoh-tokoh politik dan budaya Jawa?

Saya kira, untuk mengetahui kenapa ia mengkaribi anak-anak, sebelumnya kita perlu terlebih dulu mereka ulang latar belakang sejarah era Sunan Kalijaga. Banyak literatur historis yang mendedahkan periode ini pada kita, tapi sebagian besarnya cenderung beraroma mistik dan dipenuhi fantasi-fantasi yang tidak rasional. Namun memang ada beberapa penelitian historis yang cukup bisa dipercaya secara ilmiah, misalnya kajian Slamet Moeljana dan Remy Sylado.

Slamet Moeljana sampai pada kesimpulan bahwa era Sunan Kalijaga adalah era transisi kekuasaan politik, dari kerajaan Majapahit-Jawa ke Demak-Tionghoa, yang diliputi kegamangan dan absurditas. Ada lagi cendekiawan lainnya yang mengatakan bahwa era Sunan Kalijaga adalah suatu era di mana masyarakat Jawa mengalami kerusakan moral yang hebat. Ronggowarsito menyebutnya kalabendu, sastrawan Jawa lainnya menamainya zaman edan atau zaman goro-goro.

Dikandakan ketika itu seluruh orde rusak, dunia terbolak-balik, pasak bumi lasak, mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (alam) tak selaras, bencana alam menghantui penduduk, korupsi bersimaharajalela, akhlak hancur. Para elite politik memanfaatkan kekuasannya untuk mengeksploitasi ekonomi rakyat. Guru perangainya seperti anjing, suka menjilat, menyalak, menggonggong, dan kencing berdiri, sudah tidak lagi patut diteladani. Hukum sekarat. Cendekiawan ke mana-mana mengakali orang kecil.

Kepercayaan penduduk terhadap kerajaan Majapahit luluh, dan legitimasi Majapahit (pulung) hilang. Agama konvensional Hindu-Buddha sudah ditunggangi politik, dan tafsirnya sudah dimencang-mencengkan.

Frustasi, keputusaasaan, dan pesimisme hinggap di jiwa penduduk, juga di jiwa orang-orang yang masih menjaga rasa kemanusiaannya. Kerajaan atau negara sudah tidak mungkin diharapkan menjadi ujung tombak stabilisasi sosial, perubah keaadaan, dan insititusi pembenah moral. Pemberontakan atau revolusi tidak akan dapat menyelasaikan permasalahan. Malah people power berpotensi besar dikendarai elite politik lama. Atau mereka akan men-drive orde hasil revolusi untuk kepentingan golongan masing-masing. Membenahi masyarakat dari atas, akan menjadi kesia-siaan ketika itu.

Sunan Kalijaga mungkin frustasi dan putus asa mengalami hal tersebut. Mungkin juga tidak. Tapi yang pasti, Sunan Kalijaga berhasil membuat strategi jitu mengatasi zaman goro-goro dengan tenang, damai, tanpa pertumpahan darah. Salah satu strateginya adalah reforma generasi, memutus rantai sejarah. Maka ia pun mulai menyediakan waktu mendidik dan mendongengi anak-anak kecil. Anak-anak kecil ini, tanduran yang ijo royo-royo, nantinya akan memperbaiki masyarakat. Mereka adalah kader-kader cilik (bocah angon) yang akan merevolusi keaadaan dan membenahi moral. Para elite tua tidak lagi bisa diharapkan.

Penglihatan futuristik Sunan Kalijaga terbukti benar. Sejarah dengan jujur mengakui keberhasilannya. Jawa selamat dari kehancuran total. Sunan Kalijaga sukses memindahkan legitimasi politik (pulung) dari Majapahit ke Demak.

Meski demikian, adalah kurang bijak melebih-lebihkan peran Sunan Kalijaga. Budayawan lain sezamannya pun memiliki peran yang sama pentingnya. Misalnya Sunan Ampel yang berinisiatif memodifikasi ashrama, institusi pendidikan Majapahit, menjadi pesantren. Sebagaimana Sunan Kalijaga, dengan pesantrennya Sunan Ampel juga hendak memutus rantai sejarah, mereforma generasi, dan tidak sekedar mempropagandakan dan menyebarkan Islam.

***

Entah bagaimana caranya, Romo Mangun agaknya mengikuti jejak pergerakan Sunan Kalijaga. Bisa jadi ini karena Romo Mangun mengalami frustasi yang sangat terhadap situasi zamannya, Orde Baru, yang bobrok tak keruan. Sandaran moralitas lapuk. Dan pencerahan bangkrut. Negara sudah tak lagi dapat diandalkan me-reform kekacauan masyarakat dan mengatasi degradasi kebudayaan—sebab negaranya pun tak berbudaya.
Saya tak tahu, apakah Romo Mangun pesimis terhadap revolusi atau tidak. Namun yang masih jelas saya ingat, ia pernah mewanti-wanti, jangan sampai para avan gardis revolusioner ketika mereka nanti memimpin malah menjadi penindas-penindas baru.

Romo Mangun pasti khawatir. Situasi kebudayaan Indonesia, yang rusak terlalu parah, akan menyeret para avan gardis revolusioner itu ke situasi dilematis. Di belakang mereka diburu oleh idealisme pra-revolusi, namun di depan mereka dihadapkan kelezatan pragmatis, kenikmatan opurtunisme, hipokrisi, dan advonturisme (siapa tak tergoda dengan harta dan tahta? Atau masihkah seorang idealis mempertahankan merahnya ketika orang-orang disekitarnya mengabu-abu? Merah yang sendirian akan tergilas mayoritas abu-abu, bukankah demikian hukumnya?).

Dalam situasi kebudayaan seperti itu, apa yang dilakukan Romo Mangun? Persis Sunan Kalijaga, ia memalingkan matanya ke anak-anak, kelompok sosial yang belum tercemar virus kebudayaan korup. Ia memutuskan memutus rantai sejarah, mereforma genarasi. Romo Mangun lalu mendirikan SD Mangunan, pilot project pendidikan alternatif. Siswa-siswa yang dididik di SD ini nanti yang akan membenahi masyarakat, membenarkan kekeliruan moral, dan mensuscikan kebudayaan. Inilah visi revolusi kebudayaan Romo Mangun.

***

Zaman Sunan Kalijaga telah berabad lewat. Era Romo Mangun sudah puluhan tahun berlalu. Tapi zaman bukan kian terang, malah tambah edan. Zaman goro-goro, dengan seluruh watak kurawanya, tampaknya masih akan lama lagi hadir di negeri ini. Saya menduga, bila Romo Mangun masih hidup di zaman ini, ia akan benar-benar pesimis, lebih pesimis ketika ia menghadapi situasi zamannya.

Lalu, whats to be done? Potong sejarahnya, celetuk kawanku berbulan-bulan lalu. Selamatkan anak-anak SMA sebelum mereka terinfeksi virus kebudayaan korup. Hanya mereka yang masih cukup suci untuk dipertahankan.

Kawanku benar, potong sejarahnya, putus rantai historisnya, reforma generasi. Tidak hanya anak-anak SMA, tapi juga pelajar SMP dan SD perlu diselamatkan. Pada mereka kita bersandar. Mereka nanti yang akan membenahi keadaan. Mahasiswa sudah terinfeksi, juga barangkali kita, tanpa kita sadari sedikit pun. Ilir-ilir, ilir-ilir tandure wis sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar. Bocah angon, bocah angon, penekno blimbing kui, lunyu-lunyu penekno kanggo sebo mengko sore. (bukankah muhammad, sosok tersukses dalam menggalakkan revolusi, juga condong pada anak-anak seperti Ali dan Zaid?)

Ya rosulallah ji’na lizziyaroh qosidina
Nartaji minkasy syafa’ah li jami’i hadirina
Kun ma’i ya rosulallah
Kun ma’i ya habiballah
Kun ma’i ya abaz zahroh
Kun ma’i ya jaddal husaini
Kun ma’i ya abal yatimi
Kun ma’i ya abal qosimi
Kun ma’i ...

Multatuli Cadari Gandhi

Hanya orang-orang sosialis yang jujur, pantang kekerasan, dan berhati bersih [yang] akan mampu membangun suatu masyarakat sosialis di India dan dunia.
(Gandhi)

Tumbuh padi tak berisik
(Multatuli)

Sjahrir kontroversial bukan saja karena politik diplomasinya yang terkesan menjual kemerdekaan pada sekutu atau mengerem laju kemerdekaan. Bung Kecil ini juga menjadi sosok kontroversial karena ia mengarang dua pamflet politik: Perjuangan Kita dan Renungan Perjuangan. Barangkali di antara sekian tokoh yang berkelabat di sekitar kemerdekaan, adalah Jenderal Soedirman dan Tan Malaka yang paling muak menatap muka Sjahrir, juga setidaknya Soekarno. Tan Malaka malah sempat menyusun beberapa pamflet balasan, di antaranya Gerpolek, yang menyerang habis-habisan Perjuangan Kita.

Namun Sjahrir tetap tenang, dan dengan konsistensi yang teguh terus melanjutkan langkah politiknya. “Perjuangan kita” bagi Sjahrir adalah dengan kata-kata, dengan diplomasi, dengan berunding selembut-lembutnya agar darah tak tumpah. Rasio, dan bukan bacok-bacokan yang menjadi bancakan kemerdekaan seutuhnya. Rasio adalah ciri khas kemanusiaan, sedang bacok-bacokan adalah watak kebinatangan. Kemerdekaan bukan menjadi binatang, tapi kemerdekaan adalah menjadi manusia semurni-murninya, sesuci-sucinya.

Penggunaan senjata atau bacok-bacokan adalah jalan terakhir perjuangan, ketika kelembutan kata-kata telah kalah. Bacok-bacokan di sini pun berlandas rasio dan pertimbangan batin yang dalam, bukan sekadar bermodal nekad dan berani buta.

Dari drama revolusi yang puspawarna tersebut, remang-remang tampaklah para nasionalis secara umum terbelah menjadi 3 grup: grup merah darah, grup merah mimbar (merah abu-abu), dan grup merah kata. Klasifikasi ini mungkin kikir serta simplistis, dan berpotensi memperparah politik golongan yang diidap Indonesia. Tapi klasifikasi ini berguna untuk memahami sejarah secara lebih dingin dan bening, agar kita dapat sungguh-sungguh belajar dan mengambil hikmah dari sejarah, dari kegagalan maupun keberhasilannya, dari kerjasama maupun seterunya, dari kemanusiaan maupun kebinatangannya.

***

Grup pertama yang memainkan drama revolusi adalah mereka yang mau selekasnya merebut kemerdekaan dan mengusir penjajah dengan bacok-bacokan, dengan bedil, bayonet, parang, dan kelewang. Mereka tidak lagi mempercayai i’tikad baik Belanda yang mengajak bernegosiasi soal kemerdekaan. Mereka meragukan perjuangan perundingan apapun bentuknya, siapapun yang mewakili dan memfasilitasi perundingan, seberapun keuntungannya, bagaimanapun hasilnya. Mereka yakin bahwa Belanda yang penjajah itu selamanya akan jadi penjajah, yang keinginannya hanya mau menginjak, menindas, dan menghisap Indonesia.

Grup ini disponsori oleh hentak-gerak amuk-amukan rakyat yang lahir karena kekecewaan dan frustasi mereka terhadap absurditas situasi. Tan Malaka dan Jenderal Soedirman sudah pasti merupakan proponen yang paling setia dengan strategi kemerdekaan grup “merah darah” ini.

Namun motor paling bertenaga dari grup merah darah adalah Tan Malaka, seorang bangsawan Minang yang pernah mendamprat Lenin dan Stalin, yang memadukan komunisme dan Islam, yang hidupnya terlunta-lunta dari negara ke negara, dari penjara ke penjara, yang darah mudanya abadi menggelegak, yang kehidupannya sehari-hari mirip seorang rashi penganut brahmachraya, yang memosisikan dirinya sebagai guru bagi bangsanya agar rakyatnya cepat mencapai renaissance: kemerdekaan semerdeka-merdekanya, kebahagiaan sebahagia-bahagianya, kebudayaan seberbudaya-budayanya.

Pemimpin komunis yang melegenda ini, pernah beberapa tahun studi di Belanda. Di negeri seribu dam ini ia berkenalan dengan tradisi komunisme, dan mempelajari beraneka pemikiran rasional Barat, di antaranya Marxisme. Di Belanda konon ia juga sempat berdiskusi sengit dengan Hatta, seorang sosial-demokrat pencela Lenin dan pengagum Gandhi.

Sekembalinya dari Belanda, Sema’oen mendaulat Tan Malaka menjadi direktur lembaga pendidikan alternatif yang dipayungi Sarekat Islam (SI) Semarang. Agaknya pada tahun-tahun ini, ia semakin intim dengan pemimpin-pemimpin SI, dan semakin menyerap banyak tradisi SI, terutama SI Semarang “yang merah dan heroistik” itu.

Beberapa pemimpin revolusiner SI, seperti Mas Marco Kartodikromo dan Sema’oen, selain menyerap ide revolusioner dari Inlandsche Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), juga mengembangkan ide-ide Tirto Adhi Soerjo. G. Francis, H. Kommer, Kartini, dan terutama Multatuli atau Douwes Dakker adalah empat inspirator terbaik Tirto Adi Soerjo. Dari penelitian Pramoedya Ananta Toer, kita tahu bahwa Multatuli juga sangat mempengaruhi Kartini.

Sepeninggalan Tirto Adi Soerjo dan Kartini, ide-ide Multatuli tampaknya terus hidup. Master piece-nya, Max Havelaar, terus dibaca oleh anak didik Tirto di Medan Prijaji, Sarekat Prijaji, Poetri Hindia, Indische Partij (IP), dan Sarekat Dagang Islam (embrio SI). Artinya, hampir semua kader pergerakan yang cukup memiliki
kompetensi intelektual pernah membaca Max Havelaar.

Kita bisa membayangkan hiruk-pikuk perbincangan ide-ide multatuli di sekretariat SI Semarang yang secara sengaja atau tak sengaja didengar oleh Tan Malaka. Adalah mungkin bahwa dari situlah kemudian Tan Malaka kepincut dengan Multatuli. Saking apresiatifnya dengan suara hati Multatuli, dalam Madilog Tan Malaka sempat mengutip sebuah ungkapan masyhur Multatuli: Tumbuh padi tak berisik.

Bila ternyata di kemudian hari Tan Malaka mampu dengan sangat berhasil mempengaruhi grup merah darah, kita bisa mengambil kesimpulan kikir bahwa wangi Multatuli juga tersaput di darah-daging para nasionalis yang tergabung dalam grup ini. Biarpun mereka tidak terang-terangan menyebut Multatuli, tetapi semangat Multatulian sudah pasti hidup di kalbu mereka.

***

Grup kedua yang berperan dalam drama revolusi adalah grup merah mimbar atau grup abu-abu. Digelari grup merah mimbar karena grup ini dikomandoi Soekarno, seorang orator ulung yang menyuarakan inisiatif-inisiatif strategi kemerdekaannya dari mimbar ke mimbar. Dinamakan grup abu-abu lantaran komandan grup ini bersikap samar terhadap strategi mencapai kemerdekaan seutuh-utuhnya. Sebagai presiden RI, Soekarno tidak secara langsung mendukung strategi diplomasi Sjahrir, ia tidak secara tegas pula menyokong strategi tempur Tan Malaka. Tetapi Soekarno seolah mau mengumandangkan pada publik bahwa ia adalah seorang yang netral, sambil memungut keuntungan di sana-sini untuk memperkuat posisi dan kans politik pribadinya.

Taktik netral Soekarno menuai hasil gemilang. Setelah seteru Sjahrir VS Tan Malaka berakhir pada peristiwa 3 Juli 1946, Soekarno naik panggung kembali dan secara de facto menjadi penguasa politik tunggal Indonesia. Kekuasaan tunggal Soekarno ini berlangsung beberapa waktu saja sebelum benih gonjang-ganjing pemberontakan PKI 1948 di Madiun meruah.

Saat kecil dan remajanya, Soekarno tinggal di rumah Tjokroaminoto, pemimpin Centraal Sarekat Islam (CSI) yang kharismatik. Di rumah itu, datang dan pergi aktivis-aktivis pergerakan awal, semisal Sema’oen dan Darsono. Oleh karena itu, sejak kecil tentunya Soekarno sudah mengenal wacana dan seluk-beluk pergerakan. Bisa dipastikan bahwa ia juga seringkali mendengar nama Multatuli dan Max Havelaar. Tidak hanya mendengar, bisa jadi ia amat dipengaruhi olehnya, meski Soekarno enggan menunjukkannya pada publik karena jarak waktu yang amat jauh antara eranya dengan era Multatuli, juga karena ketidakkonstektualan content Max Havelaar dengan situasi mutakhir.

Kenyataan ini kiranya memberanikan Pramoedya Ananta Toer meminta pada Soekarno agar ia membangun monumen untuk Multatuli. Alasannya, sudah selayaknya nama dan pengorbanan Multatuli diabadikan. Tanpa Multatuli, kita tidak bisa membayangkan kemerdekaan Indonesia. Tetapi Pramoedya kurang beruntung, Soekarno menolak usulnya, entah karena apa. Penolakan Soekarno ini mengindaksikan bahwa ia amat mengenal Multatuli.


***

Grup ketiga yakni grup merah kata, sekelompok nasionalis yang dikomandoi Sutan Sjahrir dan Hatta. Keduanya memperoleh pendidikan formal di Belanda. Mereka adalah anak kandung rasio. Mereka sama-sama pernah menjadi ‘orang penting’ di Perhimpunan Indonesia. Perhimpunan Indonesia sendiri, selain memiliki karakter sosial-demokrat yang kental, juga terpengaruh oleh paham-paham dasar Gandhi, seperti ahimsa, swaraj, satyagraha, swapraja, non-cooperation, swadhesi, dan seterusnya.

Dengan sangat terang, kita bisa melihat pengaruh Gandhi ini dalam Manifesto Perhimpunan Indonesia, yang lebih masyhur disebut Manifesto 1925. Manifesto ini nantinya mempengaruhi orang-orang semisal Yamin, dan Yamin menggunakannya sebagai landasan Sumpah Pemuda 1928. Sumpah Pemuda selanjutnya menjadi tiang pergerakan nasional dalam rangka kemerdekaan Indonesia. Sumpah Pemuda juga merasuki wadag Pancasila dan UUD 1945.

Sjahrir dan Hatta tidak sepakat dengan diktatur proletariat Lenin, karena meminta tumbal jutaan jiwa. Kedua bangsawan minang ini pun anti-fasis, karena wajah tribalisme, militerisme, dan vandalisme fasis. Mereka tampaknya berikhtiar menjadi rashi atau seorang pertapa seperti Gandhi, yang berpolitik dengan cinta, kasih-sayang, kemanusiaan, perdamian, serta kelembutan kata dan perbuatan. Mereka lebih memilih jalan ahimsa, daripada himsa.

Pandangan politik ahimsa Sjahrir dan Hatta rupanya membenturkan keduanya pada posisi sulit paska proklamasi kemerdekaan. Keadaan menantang mereka untuk tetap yakin dengan jalan ahimsa, atau membuangnya, dan menggantinya dengan pandangan kekerasan: mempertahankan kemerdekaan dan merebut kemerdekaan seutuhnya dengan senjata, dengan jalan kekerasan, dengan himsa.

Tetapi Sjahrir dan Hatta bukan orang sembarangan yang mau dengan mudah mencampakkan keyakinannya. Mereka tetap percaya dengan jalan ahimsa. Daripada mempertahankan kemerdekaan dengan pertempuran tumpah darah, walaupun hal itu terdengar heroik dan efektif, Sjahrir dan Hatta memilih jalan diplomasi. Mereka pun berunding dengan Belanda dengan segala kewaspadaan.

Karena hasil perundingan dianggap lebih menguntungkan pihak Belanda ketimbang Indonesia, kepercayaan publik pada Sjahrir jatuh. Tan Malaka memanfaatkan kekecewaan publik tersebut untuk menggalang dukungan guna memuluskan strategi tempurnya, dan guna melempar jauh-jauh Sjahrir dari otoritas politik Indonesia.

Sjahrir tak bergeming. Dengan muslihatnya di parlemen, ia berupaya mengembalikan kepercayaan publik pada dirinya sembari mengeliminir pengaruh Tan Malaka dari gelanggang perpolitikan nasional. Seteru yang di satu sisi menghabiskan energi dan waktu, dan membingungkan kubu Belanda di sisi lainnya, terus berlangsung hingga berbulan-bulan.

Muslihat politik mengeliminir Tan Malaka tersebut terpaksa dilakukan Sjarir. Karena bagi Sjahrir, yang merupakan representasi Gandhi di Indonesia ketika itu, kemerdekaan seutuhnya baru bisa dicapai dengan jalan ahimsa, dengan jalan pantang kekerasan, dengan jalan perdamaian dan kemanusiaan. Penggunaan strategi tempur atau himsa hanya akan berakibat lebih buruk, akan semakin banyak darah yang tumpah, kemanusiaan akan lebih bangkrut, dan belum jelas pula apakah jalan kekerasan tersebut mampu menghadirkan kemerdekaan yang nyata dan mampu menghadirkan sosok kemanusiaan yang bermartabat dan berbudaya setelah kemerdekaan tercapai.

Sama seperti Gandhi, Sjahrir justru melihat bahwa penggunaan strategi tempur untuk mencapai kemerdekaan seutuhnya adalah cerminan dari sifat kebuasan dan kebrutalan binatang. Lebih-lebih ketika itu rakyat Indonesia sedang mengalami goncangan psikologis yang berat. Rakyat sedang mengalami frustasi dan putus asa parah karena himpitan ekonomi yang menyesaknafaskan kehidupan sehari-hari. Pada kondisi semacam ini, sedikit saja provokasi dan agitasi berpotensi menjadi pemantik yang mengobar-kobarkan semangat membabi-buta massa rakyat.

Langkah rakyat menjadi sangat tidak rasional. Bau anyir fasisme tercium dari keringat dan darah mereka. Goncangan psikologis ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Soekarno maupun Tan Malaka untuk membakar daya gempur massa rakyat, demi strategi dan arah politiknya masing-masing.

Sialnya gerak membabi-buta massa rakyat ini tak terkendali. Di antara mereka ada yang membantai sesama orang Indonesia, ada yang memancung tawanan Belanda, dan ada yang menggorok orang Cina.

Sjahrir, apalagi Hatta, menjadi semakin risau dengan kondisi tersebut. Ini karena selain apa yang diperbuat Soekarno dan Tan Malaka sedikit banyak menyulut aksi-aksi yang condong pada fasisme, juga karena gerak membabi-buta massa rakyat tersebut bakal mengempiskan daya tawar delegasi Indonesia di mata Belanda.

Sjahrir yang tidak lebih hati-hati dan bertenang diri daripada Hatta, lalu mengutuk dan menyumpahserapahi para provokator-agitator massa rakyat yang sedang ngamuk tersebut. Soekarno dan Tan Malaka tak pelak menjadi objek sumpah serapah yang terpahit. Kutukan dan sumpah serapah ini malah mempersulit posisi politik Sjahrir. Kabinetnya semakin mengalami krisis legitimasi. Dan rakyat semakin tidak memercayainya.

Tapi sjahrir adalah tetap sjahrir. Bung Kecil enggan menanggalkan ahimsa. Tidak mau. Diplomasi harus jalan terus. Perdamaian abadi harus terwujud. Visi Gandhi mesti membumi di tanah pertiwi.

***

Walaupun cukup berbeda pandangan, grup merah darah dan grup merah mimbar, bila kita telusuri, memiliki genealogi ide atau tradisi wacana yang hampir-hampir sama. Kedua grup ini sama-sama bernenek-moyang Tirto Adhi Surjo dan sama-sama dipengaruhi dengan sangat mendalam oleh Max Havelaar-nya Multatuli. Ada teriakan-teriakan Multatulian yang tergema dari mulut mereka.

Pada kurun selanjutnya, nama Multatuli kian dikenal secara lebih luas, dan diajarkan di sekolah-sekolah. Citranya kian ditingkatkan. Sejumlah golongan kemudian menyimpulkan bahwa tanpa peran Multatuli, kemerdekaan Indonesia adalah omong kosong belaka.

Namun mainstreamisasi Multatuli pada diskursus historiografi Indonesia ini, ternyata memiliki dampak kurang baik. Seakan-akan satu-satunya inspirator paling berpengaruh bagi lahir dan berkembangnya pergerakan nasional serta bagi tercapainya kemerdekaan Indonesia hanya Multatuli. Padahal, sebagaimana telah kita review pada bagian sebelumnya, masih terdapat inspirator pergerakan nasional lain yang perannya tidak kalah vital dibanding Multatuli. Ia adalah Gandhi.

Paham ahimsa yang disebarluaskan Gandhi menarik hati Hatta. Dan Hatta bersama kawan-kawannya di Perhimpunan Indonesia, menempatkan ahimsa Gandhi sebagai landasan idiil bagi Manifesto Perhimpunan Indonesia. Paham ahimsa Gandhi tersebut oleh Perhimpunan Indonesia (PI) disesuaikan dengan kondisi Hindia-Belanda, dan dipropagandakan melalui Indonesia Merdeka, majalah PI.

Di Hindia-Belanda, Indonesia Merdeka merupakan referensi prestisius, favorit, dan subversif bagi para pelajar. Indonesia Merdeka tambah legendaris karena pola penyebarannya yang illegal dan sembunyi-sembunyi. Adalah suatu kebanggaan luar biasa bagi para pelajar Hindia-Belanda kala itu bila mereka membaca Indonesia Merdeka.

Ahimsa, sebuah gagasan Indonesia Merdeka yang terpenting, dipahami habis-habisan oleh para pelajar tersebut. Sumpah Pemuda II, 1928, lantas menjiplak tandas substansi Manifesto Perhimpunan Indonesia yang terdedah di Indonesia Merdeka. Maka
jadilah Sumpah Pemuda microphone paham ahimsa Gandhi.

Suara paham ahimsa Gandhi terus menyebar dan membumi di Hindia-Belanda saat Sjahrir kembali ke Indonesia dan mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI Baru. Pulangnya Hatta ke Indonesia dan ditunjuknya ia sebagai penandatangan naskah proklamasi, penulis preambule UUD 1945, dan salah seorang penyusun konstitusi menunjukkan bagaimana paham Gandhi telah sangat menyatu dalam jiwa bangsa Indonesia.

Dan pada pungkasannya kita pun maklum bahwa tanpa Gandhi, mustahil Indonesia merdeka. Tanpa kebangkitan India, sukar mengimajinasikan kemerdekaan Indonesia. Suara Gandhi pun didengar oleh orang-orang Hindia-Belanda, tidak hanya suara Multatuli.

Baik Gandhi maupun Multatuli berperan amat vital dalam rangka kemerdekaan Indonesia. Bila Multatuli membuka mata inlander akan keganasan, kebengisan, dan ketidakadilan Belanda, Gandhi tampaknya lebih bijaksana. Selain membuka mata inlander akan kelaliman Belanda, Gandhi mengajarkan jalan terbaik bagi Hatta dan kawan-kawannya untuk mencapai kemerdekaan seutuhnya, dengan perdamian, tanpa menumpahkan darah setetes pun, tanpa letusan bedil, tanpa desingan peluru, tanpa tikaman bayonet dan sabetan parang, atau tusukan bambu runcing.

Maksud kami memperjelas peran vital Gandhi dalam rangka kemerdekaan Indonesia ini bukan untuk melebih-lebihkan atau memuji-muji orang-orang semacam Hatta dan Sjahrir, tetapi untuk mencari tahu bagaimana sebenarnya bentuk kemerdekaan yang diharap-harapkan oleh para pelopor pergerakan. Disisipkannya visi Gandhian oleh Hatta cs dalam rekam jejak pergerakan nasional dan dalam konstitusi mengabarkan bahwa saat ini kemerdekaan sama sekali belum terhirup oleh rakyat indonesia senafas pun. Sebab, visi gandhian merupakan visi perdamaian dan kasih sayang holistik (advaita) yang lebih berciri internasionalisme daripada nasionalisme. Nasionalisme atau kemerdekaan nasional, seperti dikatakan Soekarno, hanya menjadi “jembatan emas” menuju internasionalisme. Visi advaita ini dalam preambule UUD 1945 dibahasakan dengan: perdamaian abadi bagi seluruh dunia.

Visi Gandhian juga bukan berarti pemerataan ekonomi yang berpola komunis, yakni merealisasikan masyarakat tanpa kelas di mana tiada lagi dikotomi kelas secara ekonomi. Visi Gandhian adalah visi ekonomi yang realistis. Ia tak mau menghukum dan memenggal kepala kapitalis, tapi ia ingin menguburkan sistem kapitalisme. Karena, kaya dan miskin merupakan kodrat alam yang tidak akan bisa dihapus. Melalui gerakan satyagraha, civil disobedience, dan non-cooperation Gandhi lebih menganjurkan dan mengajarkan pada si kapitalis agar mau melihat dan memerhatikan buruhnya, dan memberi mereka penghidupan yang layak agar dapat hidup berbahagia dan berbudaya.
Perjuangan Gandhi adalah perjuangan moralitas. Maka kemerdekaan Indonesia pun sebenarnya disusun dan diarahkan untuk mencapai tingkat tertinggi moralitas tersebut.

Dari reflkesi ini, kita perlu bertanya pada diri sendiri, masih perlukah kita memberi jarak antara moralitas atau agama dengan politik? Bukankah berpolitik adalah upaya pantang patah menegakkan moralitas?

Manusia Punakawan: Tenaga Inti Revolusioner

Kita tidak akan mendapati karakter punakawan dalam epos Mahabarata dan Ramayana. Hanya pada Wayang Purwa kita bisa menyaksikan bagaimana keempat punakawan, Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong berpolah kocak sambil kritik sana-kritik sini, atau sekedar menasihati penonton wayang dengan geguyonan segar yang diramu dengan problematika aktual.

Saya mengenal karakter punakawan melalui buku komik Petruk yang dijajakan di pinggir-pinggir jalan, dan melalui program pementasan wayang wong di televisi.
Awalnya saya tidak terlalu suka dengan punakawan. Namun, lama-lama saya menyadari bahwa ada hal yang unik dan misterius dari keempat kawula tersebut. Kenapa rupa, cara berjalan, model berpakaian, dan nama mereka aneh-aneh? Atau kenapa pula pahlawan seagung Arjuna atau Abimanyu mesti terlebih dahulu meminta pendapat Semar sebelum memutuskan perkara-perkara sulit seperti berperang atau bertapa? Sebenarnya, apa fungsi para punakawan dalam lakon Wayang Purwa, sekadar penghibur atau justru punakawan adalah esensi Wayang Purwa?

Lazimnya, para punakawan manggung setelah adegan goro-goro. Goro-goro ialah lambang kondisi chaostic, prahara, absurditas, dan disorderness. Bencana alam datang silih berganti. Moralitas kandas. Dunia terbolak-balik: yang di atas jadi di bawah, yang di bawah jadi di atas; yang baik jadi jahat, yang jahat jadi baik, dan seterusnya. Manusia kehilangan sandaran nilai dan mengalami situasi kehampaan dan kekosongan total, buta terhadap situasi. Al-Qur’an menyebut goro-goro sebagai ‘al-Qori’ah’ atau kiamat, sebuah peristiwa apokalips yang dahsyat. Di saat-saat seperti itu, orang-orang menantikan kedatangan sang juru selamat, yang disebut dengan beraneka nama, ada yang menyebutnya ratu adil, ada yang menamainya satrio piningit, dan ada pula yang menggelarinya dengan satrio pinandito ratu sisihaning wahyu. Juru selamat ini menurut kepercayaan kebatinan Jawa bakal mengembalikan keadaan ke siatuasi gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto rahardjo.

Namun dalam Wayang Purwa, setelah adegan goro-goro atau ‘al-qori’ah’, yang manggung bukanlah tokoh seperti Kresna atau Arjuna. Bukan orang-orang semacam mereka berdua yang berperan sebagai sang juru selamat. Tetapi sang juru selamatnya adalah punakawan, para kawulo alit, para abdi dalem buruk rupa yang menempati posisi agak jauh dari inner circle politic.

Dan ajaib. Goro-goro pun dapat distop dengan banyolan Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Oleh mereka, goro-goro bukan ditakuti, tetapi justru ditertawakan. Goro-goro adalah parodi, tragikomedi.

Para penonton pun ikut menertawakan goro-goro tersebut, seakan-akan goro-goro bukanlah kejadian apokalips yang bakal merenggut nyawa dan meluluhlantakkan bumi. Goro-goro, karena dagelan para punakawan, menjadi peristiwa yang menggelikan dan terkesan ringan.

Keempat punakawan itu seolah mau mengabari penonton untuk bersikap tenang, eling, lan waspodo, untuk bersikap tidak takut, khawatir, dan berduka-lara menghadapi situasi; la takhof wala tahzan, innallaha ma’ana. Yang terpenting, dalam goro-goro sedestruktif apapun adalah tetap menyandarkan diri pada agama, mengingat tuhan, dan mengikuti tuntunan rasulullah. Dan memang, bila orang-orang yang tengah dilanda goro-goro, lalu sigap dan tangkas kembali pada tuhannya, pencerahan pun serta-merta akan mengetuk pintu rumah mereka, dan moralitas akan bangkit kembali. Bangkitnya moralitas adalah pertanda bagi the end of goro-goro.

Pada episode inilah kita menyaksikan kejeniuasan Sunan Kalijaga, kreator Wayang Purwa. Ia mampu mengejawantah metode dakwah bil hikmah wal mau’idzotil hasanah dengan menciptakan karakter punakawan. Ia berdakwah dengan lelucon-lelucon segar. Ia berdakwah tidak dengan cara jalanan, yakni menggalang massa sebanyak-banyaknya untuk ber-people power, namun ia berdakwah dengan cara yang lembut dan halus. Capaian dakwahnya adalah peningkatan kualitas hati masyarakat yang menonton Wayang Purwa. Peningkatan kualitas hati sama dengan pencerahan, concientization. Jika masyarakat telah mampu berpikir secara rasional dan bijak, kebangkrutan politik dan budaya separah apapun akan segera teratasi.

Samir na la khoiron, fatruk ma bagho (pasaklah kebaikan mantap-mantap, dan tinggalkan jauh-jauh segala yang buruk) adalah kalimat yang menginspirasi Sunan Kalijaga hingga ia mengkreasi karakter punakawan. Samir fonemnya berubah menjadi Semar, na la khoiron menjadi Nolo Gareng, fatruk menjadi Petruk, dan bagho menjadi Bagong.

Orang yang telah dapat menginternalisasi nilai-nilai kepunakawanan dalam dirinya, adalah orang yang telah benar-benar moksha, memiliki kualitas hati yang tinggi, dan kepribadiannya adalah cerminan sifat ilahiah. Orang tersebut akan seperti Semar, menjadi pasakbumi, pakubuwono, pakubumi, atau hamengkubumi yang selalu menunjuk ke atas, yang selalu mengingat tuhan tetapi berpakaian dan berupa kawula bahkan berwajah hamba (abdullah). Seperti Semar yang lelaki sekaligus perempuan, orang tersebut memiliki ketegasan (al-karim) dan kedigdayaan (al-aziz) seperti lelaki, serta memiliki kehalusan (al-halim), kelembutan (al-lathif) dan kasih-sayang (ar-rohman—ar-rohim) seperti perempuan, seperti ibu.

Semar merupakan simbolisasi tuhan. Jika seorang telah mencapai taraf men-Semar, ia akan seperti Bagong, hatinya senantiasa tentram dan bahagia, dapat tertawa di mana saja, kapan saja, dan dalam keaadan yang bagaimana saja; ia menempati maqom muthma’innul quluub atau mencapai derajat tuma’ninah. Dan orang begini, yang dari dalam sanubarinya terpendar nur ilahi, akan menyelamatkan masyarakat dari goro-goro, akan kembali men-samir atau memasak bumi dari kelasakan dan keterbolak-balikannya, dan akan menentramkan keadaan.

Kresna, sebagai raja atau presiden tidak mampu berbuat apa-apa. Para satria atau pemimpin politik juga kebingungan menghadapi situasi sekacau dan segawat goro-goro. Tetapi punakawan mendadak hadir dalam realitas, dan membersihkan jagad dari immoralitas dengan cara yang cantik dan aduhai, tanpa menumpahkan darah, justru dengan gelak tawa yang riuh.

Mem-punakawan artinya membersihkan batin dan ber-Islam secara total, substansial, serta sempurna. Mem-punakawan adalah upaya tanpa kenal lelah untuk menggapai level insan kamil. Hanya insan kamil yang mampu menjadi sang juru selamat, setidaknya menyelamatkan dirinya sendiri, keluarganya, dan karibnya. Menjadi insan kamil, membeningkan hati pribadi, atau merevolusi diri adalah juga merevolusi masyarakat, adalah juga merevolusi negara, adalah juga merevolusi agama. Inilah perjuangan (jihad) atau pergerakan sejati.

Neo-Riqob

Asal saja kita tidak berpikir sempit dan terjerat suatu ideologi tertentu, serta kita ikhlas menerapkan paradigma berpikir holistik (advaita) dalam hidup harian, segala persoalan, baik individual maupun sosial, sesungguhnya telah ada solusinya, dan dapat dengan mudah diatasi. Misalkan saja soal perbudakan gaya baru, yakni TKI, TKW, dan trafickking.

Dalam Islam, salah satu mustahiq zakat adalah riqob. Makna klasik Riqob ialah mendistribusikan sebagian zakat untuk membebaskan budak. Namun, banyak ulama’ melihat bahwa riqob di zaman ini sudah tidak relevan. Praktik perbudakan telah sirna dari muka bumi.

Kata siapa perbudakan telah sirna? Lalu, kasus TKI, TKW, dan trafickking yang telah laten dihadapi Indonesia dan lain-lain negara berkembang mau di kemanakan dan mau disebut apa? Anggapan telah sirnanya perbudakan hanya muncul dari orang-orang yang mengalami sempit pikir lantaran terjerat ortodoksi agama. Bila dalam epistemologinya, para ulama’ Islam tidak mendikotomikan antara science dan agama, ia akan menemukan bahwa kasus TKI, TKW, dan trafickking merupakan bentuk perbudakan gaya baru.

Jika kita sepakat bahwa TKI, TKW, dan trafickking adalah perbudakan gaya baru, maka kita perlu memodifikasi makna riqob. Riqob tidak lagi hanya berarti mendistribusikan sebagian zakat untuk membebaskan budak, tapi makna riqob untuk zaman ini adalah mendistribusikan sebagian zakat untuk menghapuskan perbudakan gaya baru, untuk membebaskan dan memberdayakan orang-orang yang diperjualbelikan, dan untuk menyubsidi para TKI dan TKW agar mereka mampu mendirikan unit usaha produksi yang menguntungkan di kampung halamannya sendiri, serta untuk mengondisikan suatu sistem pemasaran lokal berantai distribusi pendek bagi TKI dan TKW tersebut, dan seterusnya.

Tetapi, menerapkan hal ini bukan kerja mudah di negeri korupsi ini, meskipun zakat yang terkumpul begitu banyaknya. Audit badan amil zakat harus diperketat, dan birokrasi amil zakat pun harus diperamping: usulan yang mudah dikatakan, tetapi sangat sulit dilaksanakan.

Takbir Kami, Masuk Angin Lagi

Konon beribu-ribu oncor malam ini tengah mengumumkan gugurnya duka, sucinya tirta, dan nyalanya purnama. Dan bedug yang berdegup-degup sepanjang jalan lara, melagukan kidung gagak yang sekarat, dan garuda yang terengah-engah menjelang pelita yang capai menggelinjang karena tergulung lesus.

Namun mengapa pula laila belum lelah dan kalah? Juga kenapa ratri masih mencari lagi istri-istri bayinya saban hari? Mengalami semua ini, adakah wai yang tak banjir dan lemah yang tak gempa? Benar pula ujaran sang amin: bila kau tahu carut-marutnya dunia, kau akan menangis sejadi-jadinya.

Tempat tinggal kami sesungguhnya adalah kota cahaya. Sekafilah damar datang setiap senja mengancam. Pena ingatan sepertinya selalu menulis mimpi dan menggambar harapan tanpa pernah istirah barang senafas pun.

Tapi entah kenapa, dua tangan kami menjelma sebagai para pembangkang jalang. Mereka enggan menuruti perintah akal kami. Ganas mereka cakar wajah kami, dan buas mereka bongkar bola mata kami. Bah, tangan-tangan sial itu menggunting kuping kami dan menjahit bibir kami dengan benang yang dituturnya dari Pulau Hades. Kami buta, kami tuli, kami bisu.

Maka di kota cahaya ini, kami mendahaga cahaya. Jujur, kami tidak mendengar seretan terompah sekafilah damar yang akan memberi hadiah senar-senar sinar gratis bagi kami. Kami tak dapat membaca mimpi sebaris pun, dan tak bisa menanar gambar harapan yang ditatah pena ingatan. Jangan anda ingatkan kami untuk mengingat kenangan-kenangan pra-sejarah, sebab kami telah menghalau lampau. Percuma saja anda sajikan bersloki-sloki anggur suci dan bercawan-cawan susu salju! Kami makhluk tanpa mulut. Dan musik surgawi yang telah menyihir iblis itu pun tak mampu menadakan nadi kami; tak pula kuasa menarikan kaki kami yang lurus menghunus kubur budaya.

Sampailah salam pada anda, saudaraku. Semoga anda tak hidup dengan melulu menghirup oksigen kematian seperti kami. Semoga oncor dan bedug malam ini lekas manapis polusi yang seakan-akan akan selamanya mengkabuti pagi di bumi.

Al-Fatihah untuk Terry

Dulu Salman Rushdie, seorang pengarang Iran kenamaan, menerbitkan The Satanic Verses. Isi novel tersebut dinilai menodai kehormatan Islam. Tiba-tiba secara kompak dan serempak, hampir seluruh umat Islam di dunia mengutuk dan menghujatnya habis-habisan. Pengusa Iran lalu menghukum mati Salman Rushdie.

Pernah pula seorang karikatur Belanda, mungkin karena ingin ngartis dan ngetop, membuat karikatur Muhammad. Tiba-tiba secara kompak dan serempak, hampir seluruh umat Islam di dunia mengutuk dan menghujatnya habis-habisan. Kabarnya sampai terjadi protes dan demonstrasi di mana-mana. Para ‘demonstran muslim’ membakar, merobek, menginjak-injak bendera negeri van oranje. Kerajaan Belanda pun meradang.

Baru-baru ini, pendeta Terry Jones diberitakan akan membakar al-Qur’an. Dunia panik. Umat Islam marah. Obama dan SBY menyalahkan Terry Jones. Terry dianggap meremehkan dan melecehkan rasa beragama umat Islam. Beberapa pihak menganggapnya sebagai provokator ulung yang sedang akan menyalakan perseteruan laten antara Barat dan Islam. Tiba-tiba secara kompak dan serempak, hampir seluruh umat Islam di dunia mengutuk dan menghujatnya habis-habisan.

Saya heran, umat Islam sedang terserang penyakit apa? Berhak dan pantaskah umat Islam secara reaktif dan membabi-buta menghujat Terry yang hendak membakar al-Qur’an, sementara mereka sendiri tidak sungguh-sungguh membaca dan mengamalkan al-Qur’an? Apa dasar amarah mereka pada Terry Jones: Islam, fasime agama, atau tribalisme berjilbab Islam?

Daripada marah, saya cenderung bersimpati pada Terry. Memang bisa jadi ia adalah seorang pemain lapangan sebuah konspirasi besar yang sedang memprovokasi dunia. Tapi saya melihatnya sebagai penganut Kristen yang frustasi dan marah atas kelakuan umat Islam yang bertolak-belakang dengan ajaran al-Qur’an. Al-Qur’an mengajarkan perdamaian dan kasih-sayang antarmanusia, tetapi umat Islam selalu berperang, baik antarmuslim, atau antara muslim dengan agama lainnya. Al-Qur’an mengajarkan perdagangan dan perpolitikan yang beretika, tapi umumnya umat Islam justru berdagang secara curang dan berpolitik seperti binatang.

Pada akhirnya Terry pun (mungkin) berkesimpulan, tampaknya umat Islam sudah tidak terlalu butuh al-Qur’an lagi. Umat Islam lebih suka memuseumkan, mengkarnavalkan, dan mengkidungkan al-Qur’an saja di masjid-masjid pada tiap-tiap seremoni agama. Atau mereka lebih suka memperdagangkan dan mempolitisir ayat al-Qur’an untuk meraup keuntungan-keuntungan ekonomi dan kekuasaan.

Jadi, al-Qur’an lebih baik dibakar saja deh timbang terus-menerus dicatut sebagai sumber maksiat sehingga dosa tuhan kian menumpuk. Dosa tuhan? Ya dosa tuhan, karena tuhanlah yang mengkalamkan dan menurunkan al-Qur’an, sementara di zaman ini al-Qur’an dipergunakan untuk melegitimasi macam-macam keserakahan, penindasan, kelaliman, pencurian, korupsi, pembunuhan, teror, dan maksiat-maksiat kecil lainnya.
Untuk menghapus dosa tuhan, dan menguras timbunan dosa umat Islam yang telah merendahkan al-Qur’an, Terry berinisiatif membakar al-Qur’an. Siapa tahu dengan membakar al-Qur’an umat Islam segera sadar bahwa al-Qur’an diturunkan untuk dibaca, diamalkan, dan untuk pegangan hidup-mati. Siapa tahu dengan membakar al-Qur’an, umat Islam sudi melihat kembali kitab sucinya itu dan mau mempelajarinya kembali.

Dengan benar-benar mempelajari al-Qur’an, umat Islam akan menjadi manusia-manusia yang cinta damai dan hidup dengan kasih-sayang. Mereka pun tidak lagi suka berperang, tidak lagi mencatut al-Qur’an untuk keuntungan ekonomi-politik pribadi, dan tidak lagi bersikap reaktif terhadap orang-orang yang melecehkan Islam. Umat Islam akan lebih bijaksana dalam melihat perbedaan. Sebelum menyalahkan dan menghakimi orang lain, mereka akan berusaha mengintrospeksi dan memperbaiki diri dulu, sambil memahami mengapa si A atau si B melecehkan dan membakar al-Qur’an.

Maksud Terry Jones hendak membakar al-Qur’an sebenarnya amat mulia. Oleh karena itu, mari kita mendoakannya supaya selamat dunia-akhirat. Semoga Allah melapangkan kuburnya. Mari kita kirim al-Fatihah untuk Terry Jones, keluarganya, serta semua umat Kristiani di dunia yang teguh mengkampanyekan kasih sesama manusia dan tekun mempromosikan perdamaian universal. Al-Fatihah... dan mari sebentar kita beristighfar.

astaghfirullah robbal baroya
astaghfirullah minal khotoya
astaghfirullah robbal baroya
astaghfirullah minal khotoya

ya allah gusti nyuwun pangarsami
sampun dangu kulo ninggalke agami
infaq shadaqoh lan kitab suci
nyuwun tuntunan ilahi robbi

ya allah gusti kang ndamel jagad
kathah bilahi kawulo sambat
pun opo cubo pun opo laknat
istighotsah lan maos shalawat

ya allah gusti kang moho tartil
paringo imam jujur lan adil
negoro aman songko wong jahil
agomo adoh akale kancil

Hantu Televisi

Bagi masyarakat kelas menengah dan kelas atas, televisi bukan barang yang terlampau merisaukan dan mematikan. Kemampuan mengenyam pendidikan bermutu, sedikit-banyak menanamkan filter kebudayaan pada mereka. Filter kebudayaan ini membantu mereka menapis program-program televisi yang potensial merusak kepribadian.

Namun bagi masyarakat kelas bawah, televisi menjelma semacam hantu. Televisi sungguh merisaukan, mengkhawatirkan, dan mematikan. Masyarakat kelas bawah tidak memiliki filter kebudayaan lantaran pendidikan yang rendah. Kurang berpendidikannya mereka, bukan terutama karena terbatasnya akses pendidikan, namun lebih disebabkan pragmatisme ekonomi.

Hal ini nyata terjadi di kampungku. Kampungku bukan tipikal dusun yang jauh dari peradaban. Dari play group sampai SMA ada di sana. Guru-gurunya pun cukup terdidik.
Tapi belakangan ini, banyak anak-anak seusia SMP dan SMA yang enggan meneruskan sekolah, padahal kemampuan ekonomi keluarga mereka sangat mendukung. Anak-anak itu lebih memilih motong di kebun para daripada sekolah, sebuah kegiatan yang membosankan dan seakan tanpa arti. Bagi mereka sekolah tidak memberi masa depan yang pasti.

Berbeda dengan motong. Motong adalah kerja yang pasti, apalagi baru-baru ini harga getah para melonjak. Bayangkan, sehari mereka dapat memanen rata-rata 10 kg getah para cair. Saat ini harga para sekilonya mencapai kisaran Rp 10 ribu. Artinya, pendapatan mereka sekurang-kurangnya Rp 100 ribu sehari. Jika cuaca normal, dalam sebulan mereka menghasilkan Rp 3 juta. Tentu Anda bisa menerka bagaimana perasaan anak kecil berumur sekitar 8-14 tahun menggenggam Rp 3 juta.

Tidak heran jika mereka lantas enggan sekolah. Bahkan di antara mereka ada yang memutuskan nikah di usia amat muda. Ibuku mengabarkan bahwa sepupuku yang baru tamat SD telah menikah. Tetanggaku menikahkan anaknya yang belum lagi tamat SD.
Orang tua mereka, kukira karena kurang berpendidikan, justru senang dengan pilihan anak-anak itu untuk bekerja dini. Setidaknya tanggungan hidup mereka rada mengempis. Orang tua mereka tampaknya bersikap tenang-tenang saja, tidak risau, tidak khawatir dengan masa depan anak-anak mereka.

Justru aku, yang bukan siapa-siapa, merasa khawatir dengan nasib anak-anak itu kelak, terlebih ketika mereka menonton televisi. Televisi, yang tidak terlalu memperdulikan prinsip kebudayaan dan semata-mata mengikuti sabda pasar, akan memberi pengaruh yang buruk sekali pada anak-anak tersebut. Tingkah laku mereka sehari-hari sepenuhnya ditentukan dan dipola oleh televisi.

Lantaran pendidikan yang rendah, orang tua mereka tidak bisa sampai mengondisikan keluarga sebagai elemen inti pendidikan anak-anak. Sementara, anak-anak itu juga tidak sekolah. Di lain pihak citra dan kompetensi pedagogik institusi agama melemah. Jadi, satu-satunya guru kehidupan mereka adalah televisi.

Televisi menjadikan mereka super konsumtif. Fenomena terbaru yang menggejala di kampungku adalah perlombaan belanja. Entah butuh atau tidak, segala barang yang dipromosikan televisi, dibeli oleh banyak penduduk kampungku. Sifat meri, iri, atau gengsian menjadikan mereka lebih super konsumtif lagi. Wabah pragmatisme ekonomi menyebar ke tiap penjuru kampung.

Yang paling memprihatinkan adalah anak-anak. Dengan pola kehidupan demikian, aku tak sanggup menawang bagaimana masa depan mereka. Padahal di pundak anak-anak saja kita menyandarkan masa depan yang lebih cerah, padahal di gigir mereka kita menyandarkan revolusi sejati. Anak-anak adalah satu-satunya harapan kita yang masih tersisa. Tetapi bila televisi mencuci otak mereka dan secara sewenang-wenang mendevolusi kebudayaan mereka, apalagi yang dapat kita harapkan? Terbitkah matahari esok pagi?

Dan anehnya, di kampungku keaadaan ini tidak menyentuh hati para cendekiawan kampus, departemen pendidikan, aktivis LSM, partai, dan ormas agama seperti NU atau Muhamadiyah. Agaknya mereka lebih sibuk dengan urusan perut dan kekuasaannya masing-masing. Jangankan berinisiatif menyelenggarakan media literacy, bahkan melihat ke kampungku pun mereka tidak sudi.

Sebenarnya tiap pihak yang bertanggung jawab dan berkewajiban, baik pemerintah maupun swasta, pasti bisa menuntaskan masalah ini, dan aku yakin mereka mampu berinisiatif mengadakan media literacy. Tapi soalnya, sepertinya mereka tidak punya sedikit pun kemauan dan keikhlasan.

Beginilah nasib kampungku. Secara kasat mata kami cukup makmur, namun secara rohani kami fakir, dan banyak di antara kami yang karena rendahnya pendidikan belum menyadari kefakiran ini. Ada yang mau menolong?

Kasih-Sayangku Mogok

Ia terperangkap perkara gawat. Mantan kekasihnya, pagi tadi memintanya balikan. Dengan sangat spontan dan tanpa berpikir masak, ia sambut harapan mantan kekasihnya itu. Namun seminggu lalu, ia panah seorang gadis. Dan gadis tersebut akan menjawab panah cintanya siang ini.

Apa yang akan diperbuatnya? Poligami, atau menampik gadis yang seminggu lalu dipanahnya? Lalu ia membatin, keduanya tak sehat. Pada prinsipnya ia enggan menyakiti perasaan kedua gadis itu. Dan sebenarnya ia masih sangat sayang pada mantan kekasihnya, dan ingin mematri buhul hati yang serius dengannya.

Dalam keadaan begitu, memang amat payah mengaplikasikan paradigma kasih-sayang antarsesama. Terdapat hanya dua jalan, dan keduanya berpotensi mengurangi nilai kasih-sayang. Jika berpoligami, dan ia merahasiakan hal ini pada kedua gadis itu, artinya ia telah menyakiti hati mereka. Walhasil, apa yang ia lakoni bukan percintaan, tapi pengdinaan; bukan kasih sayang, tapi kasih sakit. Bila pun ia pilih mantan kekasihnya, sembari mengenyahkan gadis barunya, tentu hati gadis itu akan tersilet. Ini juga bukan jalan kasih-sayang, sebab kasih-sayang sejati tak pernah meminta tumbal seorang pun.

Memang demikian. Paradigma kasih sayang adalah nilai yang enteng dipikirkan dan dibibirkan, tetapi angel betul mengaplikasikannya. Karena terlalu angel mengaplikasikannya, al-qur’an sampai memakai konstruksi linguistik khusus untuk mengingatkan manusia agar dengan tabah dan sabar merawat paradigma kasih-sayang dalam jiwa-raganya.

Pertama, dengan menempatkan al-fatihah di posisi pangkal. Kedua, dengan memasukkan sebuah surat berjudul “Ar-rohman” (kasih-sayang). Dan ketiga, dengan mencantumkan “bismillahirrohmanirrohim” (dengan menyebut nama tuhan yang maha ‘pengasih’ maha ‘penyayang’) pada tiap pembukaan surat.

Pijar Terpenggal

Oke, kita telah sampai di suatu kampung tanpa nama dan tanpa tanah. Para penduduknya memiliki muka yang serupa, dan memakai baju yang seragam, juga mengenakan pakaian dalam yang semuanya berwarna api. Manusia yang tinggal di kampung ini bukan lelaki dan bukan perempuan, pun bukan biseksual. Mereka adalah manusia yang tak mempan ditikam belati betara kala. Resam tuhan hingga sekarang belum lagi menulis riwayat mereka. Ini suatu mahaberkah bagi mereka, tapi sekaligus mahabencana. Akan menjadi berkah bila empat mata yang terpasang di perut mereka seluruhnya berfungsi sebagaimana mestinya: sebagai radar makanan, harapan, dan kasih-sayang. Dan akan berbuah bencana jika mereka tempatkan keempat mata berbentuk kotak-kotak itu di tempat yang tepat: sepasang di burit, dan sepasang di ketek.

Bukan karena kufur nikmat kalau mereka secara kolosal memotong telinga mereka sendiri di bawah kolong ambin, sebuah tempat tersembunyi yang acap mereka dekor sebagai ruang latihan memenggal kepala dan menyilet zakar atau vagina. Justru mereka mengartikan upacara potong telinga sebagai sebuah ekspresi sukur paling ikhlas yang ada di dunia. Upacara lainnya yang tak kalah penting adalah pembakaran jari telunjuk. Telunjuk adalah makhluk terkutuk yang menjijikkan bagi mereka. Gara-gara kenakalan telunjuk pernah sekali terjadi, maaf berkali-kali terjadi, kecelakaan hebat yang menyebabkan lidah mereka melepuh kemudian meleleh. Bahkan, selalu di ujung musim gugur, telunjuk mengkelebet kulit wajah mereka, dan menjahitnya di bokong sebelah kiri atau kanan, tergantung selera dan kondisi cuaca, atau meniru trend yang sedang menggejala. Oleh telunjuk sial itu, hidung mereka yang berlubang tiga, dipasang persis di silit. Ih, ngeri. Untung kentut mereka tak berbau telur busuk atau bangkai. Kentut mereka melulu berbau mesiu. Urine mereka bukan wyne yang tersaji dalam suatu jamuan candle night atau susu anyir yang mengalir dari payudara lontemu, tapi air arsenik yang dicampur dengan setengah liter raksa. Dan dengan terpaksa urine berbau kuburan itu mereka minum, karena di kampung itu tiada sungai, tiada mata air, dan air hujan tak akan dapat menembus tirai kaca yang mengkubahi kampung.

Sastra yang (N)dadi

Tidak untuk terkenal kita sebaiknya bersastra. Tidak juga untuk kaya atau mendapat kehormatan sosial. Namun, seperti orang shalat, memderas qur’an, atau melantun shalawat, bersastra adalah untuk menikmati sakau di dalamnya sedalam-dalamnya, mengaksarakan seluruh pengalaman jiwa, dan membentangkannya di mata keluarga kita, kawan kita, atau belahan hati kita. Bersastra, apapun bentuknya, adalah peristiwa kesendirian yang terabsolut, tanpa menghapus kodrat kita sebagai manusia biasa, yang butuh dirindu orang lain. Dengan bersastra, kita mencoba membelai sesama dengan kasih-sayang dan dengan cinta paling murni. Bersastra ialah menjadikan diri sebagai air sungai yang mengalir lugu, atau angin yang berkesiur polos, atau waktu yang merambat tanpa ada yang menyadarinya, menapak, menapak, menapak, hingga lepas hayat usai melewati berbagai sayatan dan hangatan.

Bersastra adalah perburuan air suci yang selalu berlari mengejar detik, tetapi dalam perburuan itu kita tidak akan pernah diburu oleh sesuatu pun, bahkan oleh hasrat, naluri, dan libido sendiri yang tak bisa kita kendalikan. Bersastra kadang hanya tarian libidinal, atau gemuruh naluri, atau ketergesaan hasrat, namun ia kadang, ketika purnama merangkul sekujur tubuhmu, akan menjelma sebagai penari srimpi yang kau peluk intim, dan kita tiba-tiba melayang ke titik tertinggi tanpa sepasang sayap pun. Hampa yang sempurna. Taji yang termanis. Dan teja segala cerita derita. Hanya kita sendiri, hanya kita sendirian, tunggal setunggal-tunggalnya. Bersastra, sebab itu, sangat mahal, dan mata uang mana pun tak dapat membelinya, karena sastra merupakan udara yang menentramkan ketika kita menghirupnya berkali-kali dan menghembusnya berkali-kali.

Bersastra ialah menemani kehidupan kita sendiri yang barangkali lantaran kesibukan, kemalasan, atau kebodohan, kita telantarkan begitu saja, dan kita anggap ia barang murahan. Bersastra adalah upaya dengan daya juang super untuk tidak durhaka pada kehidupan, untuk mencoba sedikit lebih bersyukur, untuk sesering mungkin memahami jalan dan arah perjalanan kita, untuk seintens mungkin menyambangi tuhan yang berumah di kastil tersunyi di kota sukma kita.

Bersastra adalah usaha memberikan kata-kata pada kehidupan, dan menghidupkan kata-kata yang sering mati, entah karena bunuh diri atau dibunuh orang lain untuk memenuhi segala jenis mimpi. Bersastra adalah mengarang biografiku, biografi kehidupan dan kematianku, juga kehidupan dan kematian kita semua. Sebab, kehidupan dan kematian bukan semata-mata perkara wajar dan biasa saja. Kehidupan dan kematian adalah pengalaman paling spesial yang harus diangkat setingi-tingginya ke tahta sastra. Sastra adalah kehidupan, kematian, sekaligus kebangkitan dan keabadianku.

Sastra yaitu lempung dan buah khuldiku, mani dan asiku, lingga dan yoniku, yin dan yang-ku, cinta yang tak tersangkar ruang dan waktu. Ndadi.

Heha-Hehe Wartawan Mahasiswa

Meski clehak-clehek begini, saya punya pengalaman menjadi wartawan, wartawan kampus tepatnya. Mengingatnya kembali, saya geli. Sebagai wartawan, modal saya hanya sedikit memahami jurnalistik, sedikit mengerti isu, selembar kertas, dan sebuah pulpen yang saya pinjam dari teman. Dan satu lagi, persscard dari karton berukuran 4 x 6 cm yang diprint setengah hati. Karena tak saya rawat, maka terlihat lusuh, kusam, keriput, penyok. Pokoknya, kerja jurnalistik saya saat itu super main-main dan super tidak serius.

Tetapi kadang pun saya bangga dengan kerja jurnalistik saya. Berita atau ulasan peristiwa yang saya tulis, kerap menghebohkan kampus. Bahkan ada beberapa tulisan saya yang wacananya sempat menjadi trend. Banyak pihak lantas meng-counter isi tulisan saya. Banyak pula golongan yang mrepet-mrepet.

Sebagai wartawan yang sangat tidak profesional, saya tidak memiliki kompetensi jurnalistik yang baik, tidak mempunyai recorder sebuah pun, tidak membangun komunikasi aktif dan intim dengan para subjek berita, tidak rajin melakukan riset, tidak cermat dalam survei, tidak teliti dalam menulis berita, tidak cakap menulis, tidak mengetahui peta wacana dan peta konflik, dan mengabaikan check and recheck serta fairness. Boleh lah anda menyebut berita saya sebagai propaganda atau sas-sus.

Saya tergolong wartawan yang malas dan kerap menunda-nunda tugas. Ini membuat saya mahir berapologi dan mereka-cipta narasi di hadapan redaktur. Ketika ditanya kenapa terlambat setor berita, saya mulai berfantasi. Dan bila redaktur mendesak terus, saya akan bilang bahwa saya mengalami kesulitan dalam riset atau reportase. Susah dapat data. Bagian administrasi mempersulit saya. Atau narasumbernya sibuk. Hingga sepuluh atau sebelas kali ke kantornya, belum juga saya bisa menemuinya. Dan begitu seterusnya. Hasilnya, di kancah jurnalistik saya lebih banyak belajar merangkai fiksi daripada mengabarkan fakta. Kacau.

Saya mah mending. Beberapa kawan wartawan justru ogah meriset, mereportase, apalagi nulis berita. Bahkan kalau redaktur menginstruksikan agar mendalami lagi materi teknik menulis, di antara mereka ada yang uring-uringan.

Maka bisa dibayangkan bagaimana jadinya sebuah lembaga media bila para wartawannya terserang sakit ogah. Penerbitan rutin tersedak, macet. Finansial tak berputar, seret. Kerugian menumpuk. Seluruh manajemen loyo dan amburadul. Lembaga media saya pun terancam tumbang.

Celakanya, lembaga media saya adalah satu-satunya penerbitan yang masih teguh dan konsisten memantau demokrasi kampus. Jika pemantau demokrasinya terancam tumbang, nasib demokrasi kampusnya lama-lama pun akan roboh.

Ini adalah cerita sedih hampir semua lembaga pers mahasiswa. Tragis. Sempoyongan. Menunggu ajal. Sebenarnya gampang sih solusinya: wartawan kampus yang ogah-ogahan seperti saya harus merubah budaya, dari malas-malasan jadi rajin, dari main-main jadi tenanan, dari asal-asalan jadi sedikit profesional lah. Semudah dan sesedarhana itu kok. Tetapi memang, merubah budaya adalah hal yang sangat sulit.

Narasi Lamur Mbak Linda

Tak ada jalan lain ke Teluk Dalam. Ini satu lagi berita naratif dari Linda Christanty, editor Aceh Feature Service. Ceritanya menarik. Beritanya menggugah. Pedas. Bernas.

Pada narasi tersebut, Linda menggambarkan Nias di masa lalu dan sekarang. Ia mengisahkan asal mula penduduk nias, sejarah gempa nias, perkembangan tradisinya, dan keadaan ekonominya di era orde baru. Linda juga menginformasikan bagaimana kondisi Nias pasca Tsunami 2004.

Bagi penduduk Nias, tampaknya Tsunami membawa berkah. Sebelum tsunami, pemerintah hampir tidak memperhatikan ekonomi mereka. Pemerintah mengabaikan jembatan-jembatan yang rusak, padahal di Nias, jembatan merupakan infrastruktur transportasi vital. Nias masyhur dengan ribuan jembatannya. Ada sebuah jembatan yang menghubungkan lima desa.

Untunglah tsunami datang. Pemerintah menjadi lebih perhatian terhadap ekonomi dan infrastruktur jalan di nias. Banyak lembaga internasional, seperti International Organization for Migration (IOM), membantu penduduk Nias membangun jembatan baru, merehabilitasi rumah-rumah adat, dan membangun sekolah-sekolah.
Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias juga membantu. Tapi tak serius. Seperti biasa, sebagian bahan material di makan orang-orang proyek. Dalam narasi ini, di bagian ini Linda mengkritik pedas pemerintah.

Meski demikian, narasi Linda ini kurang sempurna. Soal data, riset, analisis, dan teknik menulis naratif, ia memang jago. Namun Linda kali ini kecolongan. Ia sedikit melalaikan hal paling dasar dalam teknik penulisan berita: fokus dan angle. Membaca Tak Ada Jalan Lain ke Teluk Dalam, saya bingung. Narasi ini tak berfokus. Tak jelas apa isu utama yang akan didedahkan. Perspektif bertuturnya pun tak jelas. Narasi ini, bagi saya, tak berbenang merah. Lamur. Ia mengisahkan kondisi Nias pasca tsunami, tapi ia terlalu banyak mengutarakan sejarah nias, tradisinya, dan kontribusi Protestan yang memperadabkan penduduk Nias.

Bahkan kadang ia nggeladrah entah ke mana. Di narasi itu, ia sempat menulis tentang buku Slamet Muljana yang dilarang terbit Soeharto. Pelarangan buku ini tak memiliki keterkaitan apapun dengan Nias pasca tsunami atau kondisi Teluk Dalam.

Saya pikir, nggeladrah adalah karakteristik narasi Linda. Pada narasi-narasinya yang lain, di sana-sini ia “sering” menulis informasi yang tidak relevan dengan fokus narasi, bahkan mengganggu kelancaran dan kegamblangan narasi. Barangkali Linda kelewat berhasrat menyuguhkan informasi yang komplit dan komprehensif. Ini membuatnya kurang selektif menapis data-data yang ia peroleh.

Sayang, andai Tak Ada Jalan Lain ke Teluk Dalam jelas fokus dan angle-nya, serta menyuguhkan data secukupnya, narasi ini pasti akan lebih sempurna. Namun bagaimana juga, saya yang amatir ini masih harus banyak berguru pada Linda Christanty.

1001 Kemungkinan Mendongeng

Satu lakon-satu cerita, sudah biasa. Tapi bagaimana bila dalam satu lakon ada dua, tiga, empat cerita? Anton Kurnia dan Linda Christanty suka dengan gaya cerita seperti itu.

Kali pertama menyimak lakon mereka, dua, tiga, atau empat cerita tersebut seakan terserak, pecah, dipungut sembarangan, tidak satu-padu. Tapi di bagian akhir, Anton dan Linda manteg aji: mereka menyatu-padukan beragam cerita tersebut pada satu ending, dengan satu kesimpulan pasti.

Djenar Maesa Ayu pernah mencoba gaya cerita semacam ini untuk menggarap filmnya, Mereka Bilang Saya Monyet. Djenar menyatukan Lintah, Melukis Jendela, dan Mereka Bilang Saya Monyet dalam satu lakon. Tapi gagal. lakonnya menjadi kurang menarik dan membosankan. Saya selalu menguap dan ngantuk menonton film itu.

Deddy Mizwar lain lagi. Berbagai cerita dan beragam tema ia boncengkan pada satu lakon. Para Pencari Tuhan dan Lorong Waktu, dua serial besutannya, memakai gaya cerita ini.

Lakon hanya satu. Tema berganti-ganti merespon situasi aktual. Hampir tiap tokoh mengisahkan ceritanya sendiri. Karakter lakon memang kental. Tapi penyimak sulit menarik kesimpulan, bukan karena pesannya berserak, tapi karena antara satu tema dengan tema lain sering terlalu jauh jaraknya.

Ini justru keunggulan Deddy. Ia menghadirkan kehidupan apa adanya dalam lakon-lakonnya. Tema-tema hidup kita, antara satu dan lainnya, acap tak nyambung. Namun bila direnungi, akan ada kesimpulan utuh, dan kita dapat memetik hikmahnya.

Gaya cerita a la Deddy khas dalam serial bersambung atau novel panjang. Gaya cerita model Anton khas dalam modern short story. Sedang gaya cerita Linda, lazim digunakan dalam New Journalism. Anda pilih yang mana?

Usai Bencana, Damai Bertandang


Bencana, yang alami ataupun rekayasa, adalah metode paling ces pleng untuk meresolusi konflik, khususnya konflik besar yang mencuat karena faktor ekonomi.
Bencana atom Hiroshima-Nagasaki meredakan Perang Pasifik. Konon Perang Pasifik meletus lebih karena soal kelangkaan ekonomi daripada perkara ideologi atau rasial. Pengangguran yang melimpah sebelum dan ketika Perang Pasifik, tersedot dalam program rekonstruksi Hiroshima-Nagasaki. Suasana Jepang pun tentram.
Kita bisa pula melihat tsunami Aceh-Nias dari kacamata ini. Tsunami 2004 rupanya menjadi pondasi resolusi konflik Aceh-NKRI.
Kesenjangan ekonomi mendorong geriliyawan GAM ngokang senjata. Pembangunan Aceh dan Jakarta tak seimbang. Kemiskinan menyelimuti bumi Serambi Mekkah. Sekolah minim. Pelayanan kesehatan dan mata pencaharian, sukar didapat. Penduduk Aceh berposisi sebagai warga kelas dua dalam hal pembangunan.
Alam mendengar tangisan penduduk aceh. Pagi 26 Desember 2004, gempa bumi dan tsunami datang. Aceh luluh-lantak. Bangunan porak-poranda. Jalan rusak. Jembatan ambles. Populasi menipis.
Tak hanya pemerintah Indonesia, bahkan kini dunia memperhatikan Aceh. Bala bantuan membanjiri Aceh. Ekonomi pun tak seret lagi. Program rekonstruksi menawarkan banyak lapangan kerja. Pengangguran terserap. Aceh bangkit secara mental dan ekonomi. Pembangunan digalakkan. Pendidikan ditingkatkan. Kesehatan diprioritaskan.
GAM dan NKRI pun berdamai. Konflik, sedikit demi sedikit, mulai mereda. Suasana Aceh sekarang lebih tentram.