26/05/11

seperti para penyair

sejak dulu, saya ingin mengarang cerita, satu saja. niatan saya itu belum pernah kesampaian. entah karena angin apa, ketika saya termenung sendirian di kamar kos, saya ingin mengetik. dan jadilah untai kalimat di bawah ini. barangkali himpunan kalimat ini akan saya ramu menjadi sebuah cerpen monolog. semoga, kelak, entah kapan, saya bisa menyambung halaman rumpang ini.



Tidak, tuan. Tidak, nyonya. Saya tidak begitu. Saya lahir di lingkungan di mana tata krama dan sopan santun dijunjung tinggi. Saya menghormati yang lebih tua yang rendah hati. Saya mengapresiasi yang lebih muda yang percaya diri. Adapun bila saya terlihat ugal-ugalan dan urak-urakan, ceplas-ceplos semau-gue, bertampang preman plus gelandangan, itu hanya demi menebar dan menabur tradisi ilmu dan tradisi spiritual. Tanpa kemerdekaan yang cukup, ilmu dan spiritual tak akan tumbuh subur, justru mungkret, dan layu, dan mati. Kemerdekaan merupakan bensin bagi keberanian. Keberanian adalah prasyarat terciptanya kritik. Dengan kritik, ilmu dibangun. Dengan kritik pula, budaya dikembangmajukan. Dengan kemerdekaan, kita makmur dan bahagia.

Tidak, bapak. Tidak, ibu. Kata-kata saya tidak terlalu tinggi dan tidak susah dimengerti. Kata-kata saya adalah kata-kata sehari-hari yang amat diperlukan hadirnya dalam kehidupan sehari-hari. Saya pun adalah orang sehari-hari, orang biasa saja, yang tidak pernah jera berbuat salah dan bertindak jahat terhadap orang lain, yang masih suka bernegatif thinking dengan orang lain.

Tidak, saudaraku. Tidak, sahabatku. Saya tidak menginginkan kursi, kehormatan, penghargaan, tepuktangan, dan sebagainya. Ini barangkali naif dan mustahil untuk jaman yang sudah gemblung ini. Tetapi saya, karena ketakutan, kecemasan, dan kewajiban tertentu, harus mencobanya, harus mencobanya. Jika saya tidak mencobanya, batin saya bergolak. Saya tidak tenteram dengan golakan batin itu. Bila ada yang tidak memercayai saya dan bila tidak ada yang memercayai saya, toh wajar-wajar saja. Saya lebih suka dikira sombong dan bohong daripada dikira rendah hati dan jujur. Pujian bagi saya adalah pintu bencana dan marabahaya. Sedang kritik bagi saya adalah jembatan berkah dan harapan.

Tidak, kawan, tidak. Saya tidak ingin berpolitik. Saya telah sebisa mungkin melepaskan diri dari ambisi politik. Saya tidak sedang memburu untung. Saya tidak ingin meraih kedudukan apa pun. Kedudukan adalah tanggungjawab untuk memimpin. Sementara batin saya lemah sekali. Saya gampang tergoda oleh puji dan puja. Saya mudah marah karena cela dan hina. Saya tidak percaya diri, tidak konsisten, dan mudah sekali merajuk dan putus asa. Saya tidak pantas menjadi pemimpin. Saya masih belajar mengendalikan diri dan menetralisir kepentingan pribadi. Kepentingan bersama atawa republik atawa kemaslahatan umat adalah istilah-istilah yang tidak bisa dijangkau akal saya. Saya tidak punya kesaktian untuk memandang jauh ke depan, menapaktilas ke masa lampau, dan menganalisa kondisi saat ini. Saya pemecahbelah dan bukan perekat. Saya orang yang setengah-setengah dan bukan penengah yang arif. Saya tidak mahir berkomunikasi dan selalu kesulitan memahami orang lain. Bahkan saya belum bisa memahami diri sendiri, dan oleh karena itu, saya belum adil terhadap diri sendiri, apalagi orang lain.

Saya lemah dan tidak dapat merancang rencana-rencana, program-program, planning-planning. Pikiran saya cetek. Saya bodoh dan polos. Saya pasrahkan laju hidup ini pada yang Empunya saja. Ia perintah ke kanan, saya bergerak ke kanan. Ia perintah ke kiri, saya bergeser ke kiri. Ia perintah saya untuk merayap, saya akan dengan senang hati merayap. Ia perintah saya naik ke angkasa sekadar membelah bulan atau memetik bintang, saya akan mengerjakannya dengan senyum. Ia panggil saya untuk  beruzlah dalam gua, saya akan tafakur di dalamnya dengan tenang. Ia panggil saya untuk menanam padi dan menyemai bibit, saya akan melakukannya dengan sukarela. Ia suruh saya berjualan di pasar, saya akan berjualan dengan gembira. Tetapi dengan bertindak demikian, saya tidak sedang mencuci tangan dari salah dan dosa. Di dalam diri saya terdapat setan-setan. Bahkan kerapkali saya anggap diri saya ini setan yang bakal membawa Tuan dan Nyonya ke jurang malapetaka, ke lembah dukalara yang kelam.

bersambung...

23/05/11

suluk si salik

mihrab itu putih
padahal bapak wanita hitam:
     haram

sajadah itu suci
padahal tubuh serdadu darah:
     haram


jogja, 23 mei 2011

19/05/11

grusa-grusu





SEKIAN lama saya menyadari bahwa menulis, seperti halnya membaca, tidak seenteng bernapas. Namun nahasnya, sekian lama pula saya menampik kesadaran yang bermanfaat itu. Akibatnya gampang ditebak: hampir sebagian besar kerja intelektual saya terasa sia-sia dan lewat-lewat begitu saja, tidak terlalu membekas baik pada perkembangan kepribadian dan cara berpikir saya, lebih-lebih pada perubahan evolutif lingkungan sosial di sekitar saya.

     Selama ini saya membaca dan menulis bagai orang makan pisang goreng di pagi hari setelah letih mendangir rumput di huma. Makan dengan begitu lahap dan cepatnya, tanpa benar-benar menikmati rasa, gurih, dan hangatnya, tanpa mengunyahnya hingga lumat sehalus-halusnya.

Seharusnya saya memakan pisang goreng itu dengan niatan yang masak, kunyahan yang sabar, dan telanan yang tulus. Seharusnya saya membaca dan menulis dengan niat, kesabaran, ketelitian, dan ketulusan yang dalam, serta tentu, dengan sangkan-paran intelektual yang jelas.

Saya kembali merefleksikan hal ini setelah membaca, masih dengan kekemrungsungan dan kegrusa-grusuan yang fatal, beberapa esai Nirwan Ahmad Arsuka, pengasuh halaman Bentara Kompas, yang beberapa hari lalu saya unduh dari situs blog pribadinya. Yang paling memikat saya adalah “Dari 100 Suara Pinggir ‘Kata, Waktu’”, esai yang ditulisnya sebagai kata pengantar panjang untuk “Kata, Waktu: Esai-esai Goenawan Mohamad 1980-2001”.

Saya belum sekali pun membaca buku Goenawan Mohamad tersebut. Pada rak buku seorang kawan yang kini telah menjadi penyair di Jambi, saya pernah melihat sepintas lalu bagaimana tebal dan seramnya buku berat yang dikarang oleh salah satu pemikir raksasa Indonesia itu. Saat itu, saya belum memiliki perangkat intelektual yang memadai untuk mengakses lika-liku teoritis yang secara sekelumit ataupun secara panjang-lebar diuraijabarkan di sana. Saya, jujur saja, demi melihat buku itu, merasa mender bin keder.

Baru beberapa semester kemudian, dengan keberanian yang dihidup-hidupkan, dan karena mengalami dahaga pengetahuan, saya mulai membaca tulisan-tulisan Goenawan dalam enam jilid Catatan Pinggirnya dan dalam website pribadinya. Saya sedikit demi sedikit memahami biografi intelektualitas Goenawan: dari eksistensialisme Albert Camus menuju apa yang kini sering disebut sebagai posmodernisme atau cultural studies.

Saya salut dengan sikap kecendekiawanannya yang menaruh apresiasi tinggi terhadap kehidupan unik sang liyan, sembari, pada saat yang bersamaan, menolak kekerasan ilmiah yang mereduksi kenyataan dan melupakan eksistensi subaltern. Saya mengamati bagaimana ia bertidaksepaham dengan semboyan sastra-untuk-politik, dan bertidaksepakat dengan pola pembangunan sentralistik Orde Baru yang memajalkan kreativitas masyarakat. Pandangan Goenawan yang meletakkan perbedaan di atas penyeragaman, keraguan di atas kepastian, pinggiran di atas pusat, kebebasan di atas ideologi, dan (mungkin juga) pertanyaan di atas jawaban, mendorongnya menemukan bentuk penulisan prosa baru: Catatan Pinggir. Di dalamnya, anehnya, puisi lebih memainkan peran komunikatif daripada prosa.

Dengan Catatan Pinggirnya, kepada saya Goenawan mengenalkan luasnya perbendaharaan sastra dunia dan tingginya kualitas sastra tradisional kita, apalagi bila kanon sastra tradisi tersebut diberi penafsiran-penafsiran baru. Goenawan, dengan kalam “pada mulanya adalah kata”-nya, mengajari saya untuk mengenal kata-kata lebih intim, bukan saja karena mereka mengandung relasi kuasa yang pekat dan sering mematikan, namun juga karena hanya dengan mereka saya bisa menapaktilasi jatidiri, lalu menganyam jalan ke mana pinisi hidup ini hendak dilayarlabuhkan.

Namun rupanya, dalam hal membaca, termasuk membaca jejak kepenyairan Goenawan, saya masih belum apa-apa ketimbang Nirwan Ahmad Arsuka. Kemampuan saya hanya seujung kuku kelingking Nirwan. Toh, walau demikian, saya tidak begitu minder, karena saya maklum, rentang waktu penjelajahan intelektual Nirwan lebih lama daripada saya yang baru kemarin sore mulai mengelana di dunia pengetahuan. Maka wajar saja jika pembacaan Nirwan atas Goenawan lebih cermat, detail, dalam, dan luas dibanding saya, lebih sabar dalam observasi, dan lebih jelas dalam orientasi dan perspektif.

Setelah membaca esai-esai Nirwan saya kepingin tobat dari cara membaca dan menulis yang kemrungsung dan grusa-grusu. Saya jadi ingat pesan bapak saya: “mbok ojo grusa-grusu koyo ngono”, “jangan terburu-buru begitu”. Hampir tiap hari ia sasarkan kalimat itu ke telinga saya yang budek ini. Saya juga jadi ingat sebuah hadits, atau kata bijak, yang diajarkan ustadz ramlan, guru tafsir hadits saya di asrama dulu. “Al-‘ujalah minasy-syaithon”, “ketergesa-gesaan berasal dari setan,”serunya berulangkali. Sayangnya, hampir tiap ia mengulang kalimat itu, saya selalu sedang dilanda kantuk yang maha, terkadang justru sedang bermain-main di alam mimpi. Untung saja, Nirwan, dengan esai-esainya yang padat dan rancak, kembali mengingatkan saya dengan kata bijak itu.

(Meraba-raba) Eskapisme Sastra Cyber



Luka dan bisa kubawa berlari /Berlari//Hingga hilang pedih dan peri//Dan aku akan lebih tidak peduli
(Chairil Anwar, dalam “Semangat” atau “Aku”, Maret 1943)


Tak tertahankan lagi/remang miang sengketa di sini//Dalam lari/Dihempaskannya pintu keras tak berhingga
(lagi-lagi Chairil Anwar, dalam “Pelarian”, Februari 1943)


I

Pernah saya jumpai sebuah buku, judulnya: Eskapisme Sastra Jawa. Saya kurang ingat siapa pengarang dan penerbitnya, apalagi tahun dan tempat terbitnya. Saya mencoba mereka-reka bahwa buku itu bercerita tentang sastra Jawa yang merupakan bentuk pelarian dari kenyataan sosial yang begitu menyekik dan pahit. Lalu kata-kata pun menjelma sebagai bulan yang dirindukan si punguk. Saking rindunya pada bulan, si punguk sampai-sampai lupa makan, dan lupa pula kalau ia lagi dimakan waktu dan ruang.

Namun baru saja sebuah pertanyaan datang pada saya: tetapi sastra, tidak hanya dalam Bahasa Jawa, selalu merupakan tempat pelarian diri dari kenyataan, bukan? Betul juga.

Sastra bisa jadi jalan eskapik. Buktinya, banyak sastrawan yang lahir dari kalangan kelas menengah ke bawah, kondisi mana membuat mereka begitu susah cari makan dan susah cari kerja, begitu menderita, lalu begitu pandai bermimpi, lalu begitu suka berimajinasi, lalu begitu piawai menuangkan harapannya pada helai-helai kertas. Saat menulis, ia tengah membawa dirinya keluar dari dimensi ruang dan waktu, dan memasuki dimensi bahasa. Dalam dimensi bahasa, ia mendapatkan kebahagiaan yang selama ini diidam-idamkannya.

Sastra bisa juga jadi jalan keselamatan yang semu dan sesaat. Setelah orang letih menghadapi kenyataan sehari-hari yang masih tak henti-henti menghimpit, sastra, seperti seorang pendeta, menawarkan surga, atau cara mencapai surga. Bila kita perhatikan, kitab suci agama-agama dan petuah orang suci yang dibukukan, selalu memiliki kadar sastra relatif tinggi.

Baik sastra sebagai jalan eskapik maupun sastra sebagai jalan keselamatan yang semu dan sesaat, barangkali adalah tanda ketakutan kita dalam menghadapi kenyataan yang buas dan lapar. Sangat romantik. Sastra, jika demikian, kadangkala menyerupai agama. Agama, kata Feurbach dan Marx, adalah candu. Agama, kata Freud, adalah gejala gila.

Sastra, seperti agama, adalah candu yang membius dan mematikan. Sering terjadi orang menulis puisi atau merangkai narasi seperti sedang mengalami ekstase atau trance. Tidak dipedulikannya lagi keadaan sekitar. Andrea Hirata bahkan mengakui bahwa ia menulis Laskar Pelangi dalam keadaan trance. Banyak penyair mistik yang asyik menggunakan kata-kata seperti “mabuk”, “tuak”, “sake”, “anggur”. Kata-kata itu jelas merujuk pada pengalaman spiritual ekstasis. Para penyair itu, dengan memasuki dunia sastra, memperoleh kenikmatan yang memuaskan.

Sastra, sekali lagi seperti agama, adalah gejala gila. Lu Xun, sastrawan Cina modern, pernah mengarang Catatan Harian Orang Gila. Dun Quixote, mungkin tokoh novel abad renaissance paling berpengaruh, adalah potret orang gila. Majnun digilakan oleh Syaikh Nidzami. Pada kemunculan pertamanya dalam dunia sastra, Chairil Anwar dicibir sebagai orang gila. Dalam Gadis Pantai, novel besutan Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia yang angkat topi pada Lu Xun, terdapat seorang tokoh figuran: pengangguran pendendang syair; masyarakat kampung mengejeknya sebagai gila.

Meski demikian, kita boleh memerdebatkan fungsi sosial sastra ini. Kepada saya, Anda bisa memaparkan fungsi sosial sastra dari segi-segi positifnya, dan dengan begitu, menolak “sastra sebagai candu”, “sastra sebagai jalan eskapik”, “sastra sebagai gejala gila”, “sastra sebagai jalan keselamatan yang semu dan sesaat”. Tetapi apa Anda mampu menolak kenyataan, dan menghindar serta lari darinya? Karena saya manusia, saya tidak mampu. Anda manusia?


II

Kehadiran Facebook, Twitter, dan jejaring sosial lainnya, saya kira, adalah angin sejuk bagi banyak orang di Indonesia. Akses jejaring sosial yang cukup murah, memberi kita ruang curhat bagi permasalahan hidup sehari-hari, ruang artikulasi opini pribadi, bahkan ruang resistensi politik bagi kelompok sosial yang tergusur dan terusir. Jejaring sosial, wabilkhusus Facebook, telah jadi ruang publik dalam arti sebenar-benarnya.

Hari ini saya dengar berita: Indonesia memperoleh ranking nomor dua pemakai Facebook terbesar di dunia. Wow! Jadi, bisa dibayangkan bagaimana peran Facebook dalam kehidupan sehari-hari kita. Tua-muda, laki-wanita, pekerja-pebisnis, pelajar-penganggur, semua berduyun-duyun ngeklik Facebook, entah sekadar mengisi status yang merayau, chatting dengan orang tak dikenal,  gonta-ganti avatar, belajar hacking, mengisi waktu kosong, memudahkan bisnis, mengoleksi relasi, dan ....

Mereka berfacebookria karena beragam alasan: jaga gengsi, nunut trend, mengatrol rating sosial-budaya, belajar, menumpahkan rasa dan pikir, mencari ruang kebebasan dan pembebasan, dan seterusnya. Banyak facebooker yang serius dan mendayagunakan Facebook seoptimal mungkin. Banyak pula facebooker yang iseng dan main-main dengan Facebook seoptimal mungkin. Penyair, atau siapa saja yang kepingin jadi penyair, tentu termasuk dari “banyak orang” itu.

Untuk apa mereka nongkrong di beranda Facebook? Saya punya akun Facebook. Beberapa sastrawan adalah teman Facebook saya. Saya perhatikan tingkah polah mereka di jejaring sosial tersebut.

Ada yang disiplin mengupdate status saban hari, bahkan saban setengah hari. Ada yang malas mengupdate status. Ada yang statusnya berupa kritik budaya, kritik sosial, kritik politik. Ada berupa puisi, fiksimini, pantun, pepatah, kata mutiara. Ada berupa pujian terhadap pemerintah, ada berupa makian, pisuhan, celaan, ludahan, bahkan keluhan. Ada yang menulis status dengan gaya realis, ada pula dengan gaya metaforis bertabur andai, bila, jika, kalau.

Di halaman “catatan”, ada yang menulis ulasan sastra, puisi, pantun, cerpen, penggalan novel, resensi buku, ulasan teater, ulasan seni musik, ulasan seni rupa, dan seterusnya. Sebagian ada juga yang tak kapok-kapok menulis undangan acara sastra ini dan itu. Ada yang pantang menyerah memromosikan antologi puisi atau antologi cerpennya. Ada yang menulis ada-ada saja, misalnya curhat makan apa hari ini, atau habis melancong ke mana kemarin, atau besok mau mengenakan baju apa warna apa.

Dalam ruang publik maya itu, tampaknya para sastrawan kita mendapat dunia baru. Di sana mereka memperoleh ruang untuk, meminjam Taufik Ismail, mengutuksumpahi jaman. Dengan menulis sastra di ruang maya, mereka mendapat kebahagian, kenikmatan, dan kepuasan yang kemungkinan besar tidak didapatkan dalam kenyataan hidup sesungguhnya. Fenomena aktivitas sastra di ruang maya, mudahnya kita sebut saja fenomena sastra cyber, “jangan-jangan” adalah gejala eskapisme. Facebook dan sejenisnya menjadi tempat melarikan diri di mana di dalamnya para sastrawan merayakan kebebasan dan pembebasan. Hiruk-pikuk sastra di ruang maya, sebab itu, boleh jadi merupakan semacam orgasme massal bagi para sastrawan.

Dalam kenyataan hidup sesungguhnya, masyarakat, lantaran terbelit jerat ekonomi, sering kurang mengapresiasi karya sastrawan. Eksistensi sastrawan limbung, apalagi amat jarang penerbit dan forum yang mau benar-benar memberi kemudahan publisitas dan belajar bagi penyair, lebih-lebih penyair lokal. Perlu diulangi sekali lagi, terhimpit dan tertekan dalam, serta muak dengan, kenyataan hidup sesungguhnya, banyak penyair mencari, menjelajah, dan menghuni dunia baru: cyber.


III

Tentang eskapisme sastra cyber, saya sebetulnya sedang meraba-raba saja, sedang meggores sketsa kasar, dan tidak bermaksud untuk berteori, atau memvalidasi hipotesa apapun. Namun saya pikir, bukan tidak ada teori mutakhir yang bisa membantu kita menjelaskan gejala eskapisme sastra cyber ini.

Baudrillard, teoritikus hyperreality itu, mungkin telah hampir, atau malah benar-benar telah, membicarakan tema ini. Saya tulis “mungkin” karena saya tidak tahu secara mendalam seluk-beluk pemikiran Baudrillard. Yasraf Amir Piliang, budayawan ITB itu, saya yakin, juga sudah lama tersengat oleh, dan mungkin sekali sedang meriset, fenomena sastra cyber. Pandangan mereka bisa dikutil sebagai “kata pengantar” supaya kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa dalam sastra cyber memang muncul gejala eskapisme.

Karena berwatak eskapik, maka sastra cyber, seperti sastra dan agama, adalah jalan keselamatan semu dan sesaat yang mengakibatkan para pemakainya kecanduan dan lupa daratan, mirip orang gila. Jujur, kita kerap melihat orang yang kecanduan Facebook. Satu hari saja tidak membuka akun Facebooknya, ia akan resah, gelisah, dan salah tingkah, selanjutnya ia akan gila sendiri. Tidak mustahil bila beberapa, atau bahkan banyak, penyair terserang penyakit gila Facebook ini.

Jadi, dalam sastra cyber terjadi tidak hanya eskapisme, tetapi eskapisme ganda. Sastra, sebagaimana telah dicoba dijelaskan di bagian awal, kadangkala adalah gejala eskapisme, kendati ada yang tidak setuju terhadap pendapat ini. Dan pada gilirannya, apalagi di Indonesia, eskapisme sastra konvensional atau sastra cetak rupanya belum sungguh-sungguh memberi pembebasan dan kebebasan bagi sastrawan, belum lagi dapat menjamin dirasakannya kenikmatan yang memuaskan. Maka para sastrawan pun berlari mencari dunia baru yang dapat menampung bakat kreatif mereka, yakni dunia cyber. Tersisa pertanyaan: sastra cyber akan mampu memenuhi hasrat literer mereka?


IV

Eskapisme sastra cyber sebenarnya sangat-sangat menarik untuk dikaji. Sadar akan hal itu, awalnya saya berniat mengarang buku tentang tema ini. Saya khayalkan buku itu akan berjudul: Eskapisme Sastra Cyber: dengan Irrasionalitas, Mengejar Irrasionalitas di Tengah Irrasionalitas.

Akan tetapi, kemudian saya membatalkan “niat buruk” tersebut. Menulis buku begituan sudah bisa diramalkan akan membuang-buang waktu dan bikin capek saja. Lebih baik saya mengisi waktu dengan tidur-tiduran sambil mendengar lagu Melayu atau Campursari. Lebih baik saya menghabiskan jam dengan walking-walking ke mana saya suka, mejeng di tepi jalan protokol sambil plirak-plirik cewek Indonesia yang semakin semok, seksi, dan telanjang, atau ngota di warung kopi sampai pagi sambil klepas-klepus menyedot rokok ketengan, atau utak-atik Facebok hingga teler bin mendem, atau corat-coret kaligrafi Arab di pintu kamar kos, atau, atau, atau-tau-tau ....

Jogja, 4-5 Mei 2011

18/05/11

Di negeri “X”, pada suatu hari

(Mungkin Menjelang Kiamat)

Sungsang. Negeriku sudah jungkir-balik. Orang jahat dipuja-puja, disanjung-sanjung. Orang baik dicaci-maki, ditendang-tendang. Raja turun ke langit naik ke bumi, bukan naik ke langit turun ke bumi. Pejabat mengharap hak yang dioverdosiskan dan melupakan kewajiban, rakyat melupakan hak  dan dikejar-kejar kewajiban yang dioverdosiskan. Tuhan dihantu-hantukan, hantu dituhan-tuhankan. Orang tua jadi anak-anak, anak-anak jadi orang tua. Laki jadi perempuan, perempuan jadi laki. Jongos jadi bos, bos jadi jongos. Anak mengasuh ibu, ibu menyusu anak. Rendah hati dikira rendah diri, rendah diri dikira rendah hati. Beragama dianggap ateis, ateis dianggap beragama. Berilmu disangka goblok, goblok disangka berilmu. Guru pandir dibilang pandai, murid arif dibilang iblis. Imam dituduh preman, preman disebut imam. Garong dikerubuti bagai wali, wali dikucilkan bagai garong. Dan waduh, anjing pun takut pada kucing, kucing pun takut pada tikus.

Mengalami kenyataan-kenyataan itu, saya ingin menulis cerita tentang segala hal yang terbolak-balik. Saya sudah menyiapkan beberapa ide cerita. Berikut saya deretkan ide-ide tersebut.

1.    Ayam-ayam ngorok sepanjang pagi hingga senja. Ketika petang datang, mereka bangun, dan berkukuruyuk sahut-menyahut. Semalam suntuk mereka begadang mencari makan.

2.    Kupu-kupu menganyam kepompong  lalu meringkuk di dalamnya. Sedetik kemudian ia bermetamorfosis menjadi ulat. Semenit kemudian bermetamorfosis lagi jadi telur. Sejam kemudian hilang tersapu angin. Tak berbekas.

3.    Orang-orang berjalan dengan kepala. Melihat dengan dengkul. Berpikir dengan perut. Berak dengan mulut. Makan dengan kaki. Minum dengan hidung. Nyemil dengan telinga. Berbicara dengan ketiak dan selangkangan. Mereka berjalan mundur dalam tidurnya. Mereka termimpi-mimpi dalam jaganya. Mereka bernapas dalam kematian. Mereka membangkai dalam kehidupan.

4.    Matahari terbit di barat, terapung-apung bingung mengarungi langit yang koyak, oleng terserimpung puting beliung, dan tenggelam di timur. Kasihan  betul itu matahari. Entah bagaimana nasibnya kini. Mungkin mati.

5.    Laut pun kering. Sebab air terbirit-birit melarikan diri kembali ke sungai, ke lereng, ke gunung. Gunung pun kelebihan muatan, dan meledak, memuntahkan lahar dingin. Banjir datang. Tapi laut keburu merajuk. Ia tak sudi rujuk dengan hukum alam. Ia ingin tetap kering. Ia lebih suka kering karena dengan begitu bisa terbebas dari kewajiaban menjaga harmoni alam.

6.    Talas berbunga meniru teratai, teratai berumbi meniru talas. Bakau tumbuh di pegunungan. Cemara tumbuh sepanjang pantai. Gabus berenang di air asin. Cakalang berenang di air tawar. Penguin bermain-main di sahara. Beruk dan kera bersukaria di kutub utara.
 
7.    Ular terbang, menggantikan peran burung dan kelelawar. Siulnya aduhai merdunya. Ia sudah pensiun dari tugas merayap dan mendesis. Seperti kolibri, ia kini menjadi vegetarian penghisap madu. Indah sekali pemandangan itu sehingga keponakanku yang baru berumur tiga tahun ingin mengelus-elus kepalanya, menciumi bibirnya, menjilati lidahnya, meraba-raba taringnya, dan merengek minta difoto bersamanya.

8.    Awan haus. Kerongkongannya kerontang. Ia segera meminta tanah untuk menguntal setitik dua rintik hujan, sekadar obat dahaga. Ia berdoa moga-moga hujan cepat jatuh ke langit. Namun, siapa sangka hujan juga ternyata sedang kehausan.

9.    Api terlalu dingin seperti salju, sementara salju terlalu panas seperti api. Maka orang-orang berlomba menjadi ibrahim untuk bermain api. Mereka tak terbakar, karena barangkali mereka setan yang berwujud ibrahim. Barangkali. Barangkalau.

Ada yang berniat menyumbang ide lainnya? Dipersilahkan. Akan diterima dengan sedih hati, dengan dada yang sempit sekali.

Pengakuan Pelajar Biasa

Kali ini saya beri bocoran. Kali ini saja.

Dalam hal intelektual, saya dibesarkan, alhamdulillah, oleh komunitas yang membahas isu-isu demokrasi dan berusaha mengamalkan demokrasi. Karena didikan komunitas tersebut, saya kagum dengan semboyan liberte, egalite, fraternite yang pernah menggema dalam Revolusi Perancis. Saya terkesima dengan Abraham Lincoln yang meletakkan azaz demokrasi, “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”, dalam konstitusi Amerika. Saya juga mesti berkecap-kecap menonton betapa hebat perjuangan demokrasi para founding father Indonesia dan negara dunia ketiga lainnya.

Dan saya lebih terpesona lagi dengan gerakan demokratisasi yang dipimpin oleh Muhammad. Gerakan itu, menurut saya, menglimaks pada: pertama, percobaan pembentukan negara urban-rural di Yatsrib; Negara ini kemudian diberinama al-madinah al-munawaroh (enlightened state); kedua, pada masa-masa awal setelah fathul makkah, sebelum muhammad menghembuskan nafas penghabisan; berbeda dengan revolusi yang pernah kita kenal dalam sejarah dunia, fathul makkah adalah revolusi tanpa kekerasan, revolusi yang bukan saja revolusi damai, tetapi juga revolusi yang memimpikan perdamaian abadi; kita ingat, akar kata “islam” adalah “S-L-M”, artinya damai yang tak termakan waktu-ruang, karena “islam” berbentuk mashdar, bukan fi’il. Gambaran-tak-utuh dari prosesi fathul makkah dapat kita saksikan pada revolusi tibet yang sudah dan sedang terjadi saat ini. 

Memang gampang bicara demokrasi, namun mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari alamak sulitnya. Banyak di antara kita hanya bisa nyerocos soal demokrasi dan mengritik bahwa si anu belum demokratis, tanpa menyadari tindak-tanduk keseharian diri-sendiri yang kurang demokratis, tak terkecuali komunitas yang membesarkan saya tersebut.

Menyaksikan fenomena itu, sebagai pemuda yang sedang dalam masa perkembangan jiwa, saya mengalami guncangan eksistensial berupa kekecewaan, frustasi, dan putus asa. Harapan besar yang sudah saya letakkan kepada komunitas itu, kontan patah seketika. Saya pun terpuruk dalam pesimisme yang agak panjang. Setelah memertimbangkan ini-itu, akhirnya saya memutuskan untuk resign dari komunitas tersebut, tanpa memutus silaturahim dengannya, lalu bergiat dalam komunitas mahasiswa jambi-jogja. Sejak itu, saya mulai menaruh harapan baru kepada mahasiswa jambi di jogja.

Namun pada komunitas mahasiswa jambi, saya menemukan alangkah banyak keganjilan, terutama berkenaan dengan pemaknaan dan pengamalan demokrasi. Maka berulangkali harapan saya patah, dan berulang kali pula, dengan susahpayah, saya sambung kembali harapan itu. Meski Keluarga Pelajar Jambi Yogyakarta (KPJY), organisasi induk mahasiswa jambi di jogja, telah berdiri sejak 1950-an, tradisi demokrasi tak kunjung terbentuk di dalamnya. Idealnya, semakin tua umur organisasi, ia akan semakin banyak belajar dan semakin demokratis.

Akan tetapi, harus saya akui, KPJY tidak ideal, demikian pula organisasi mahasiswa jambi lainnya, termasuk organisasi di mana saya bergumul kini, Swarnabhumi. Terus terang, ini menyebabkan kepercayaan saya kepada organisasi luntur, sehingga saya lebih suka bermain sebagai single-player daripada bergabung dalam himpunan (saya insyaf, ini merupakan sikap yang keliru).

Saya kadang bertanya-tanya, saya percaya dengan kecerdasan mahasiswa jambi, tapi kenapa kami susah betul memahami demokrasi secara praktis. Dari bangku kuliah, kami telah mengenal konstitusi, warga, pancasila, pluralisme, negara, hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, dan seterusnya, tapi anehnya, mengapa kami masih belum bisa sepenuh hati bersikap apresiatif dan toleran kepada the other, serta memosisikan rasionalitas di atas kepentingan pribadi dan kekerasan fisik, psikis, maupun bahasa?

Seorang kawan saya, juga mahasiswa jambi, dirundung pertanyaan serupa. Karena sampai sekarang ia kepayahan menjawab pertanyaan itu, ia pun, dengan nada pesimistis, menyimpulkan: mahasiswa jambi selalu berada dalam abad pertengahan yang suram, konsisten hidup dalam dark age, dan tidak mau menyonsong aufklaerung. Mendengar celetukannya, saya tertawa pahit dalam hati.

Tanpa tradisi demokrasi yang matang, kami, mahasiswa jambi, akan sukar bergerak, apalagi bergerak maju.


Tanpa tradisi demokrasi yang matang, kami, mahasiswa jambi, akan sukar bergerak, apalagi bergerak maju. Sejarah eropa mengajarkan: kemajuan dan demokrasi sudah semenjak kelahirannya selalu berjalan seiring. Demokrasi membuahkan kemajuan, dan kemajuan akan membuahkan kehidupan yang kian demokratis, demikian seterusnya.

Jadi, jika ditanya bagaimana supaya mahasiswa jambi pada khusunya, dan provinsi jambi pada umumnya, segera bergerak maju? Maka untuk menjawabnya, mau tidak mau kita “terpaksa” terlebih dahulu memahami demokrasi, tidak cukup secara teoritis, namun juga secara praktis dalam kehidupan sehari-hari.

Inilah alasan, mengapa saya, dalam tiap tatap muka kelewat cerewet berkotek soal demokrasi dan memberi dorongan untuk tidak bosan memelajarinya. Ini bukan berarti saya lebih pandai dan lebih demokratis daripada mahasiswa jambi lainnya, sebab saya sendiri juga sedang belajar demokrasi, sedang belajar islam. Apa yang saya lakukan adalah untuk melunasi kewajiban dan mengamalkan sedikit sekali ilmu yang kebetulan dititipkan kepada saya. Itu saja.






SHALLI WASALLIM

By: CNKK

shalli wasallim da-iman alahmada 2X
(shalawat dan salam semoga selamanya terlimpah pada ahmad)
wal aali wal ashabi man qod wahhada 2X
(juga pada keluarga serta sahabatnya yang teguh bertauhid)

Sayang, sayang, sayang kita nggak tahu ke mana pergi
tak sanggup kita dengarkan suara yang sejati
langkah kita mengabdi pada nafsu sendiri
yang bisa kita pandang hanya kepentingan sendiri

sayang, sayang, sayang orang pinter tak mau ngaji
kepala tengadah merasa benar sendiri
semua dituding-tuding dan dicaci-maki
yang lainnya salah, hanya ia yang suci

sayang,sayang, sayang, orang hebat tinggi hati
omong demokrasi pidato berapi-api
ternyata karena menginginkan kursi
sementara rakyat kerepotan cari nasi

loyang disangka emas, emasnya dibuang-buang
kita makin buta, mana utara mana selatan
yang kecil dibesarkan, yang besar diremehkan
yang penting disepelekan, yang sepele diutamakan

allah, allah, allah betapa busuk hidup kami
dan masih terus akan lebih membusuk lagi
betapa gelapnya hari di depan kami
mohon ayomilah kami yang kecil ini

17/05/11

Narayana

Adalah Arswendo yang pertama kali mengenalkan saya dengannya. Ia tidak hitam, tidak pula biru, apalagi putih. Ia bujangan berambut panjang. Orang sekampung takut dengannya. Tapi keluarganya tidak. Malah keponakannya yang baru TK sangat suka berdekat-dekat dengannya, merasa kesepian bila sang paman satu hari saja tidak berada di sampingnya. Waktu itu, namanya begitu ganjil di telinga awam saya: Narayana.

Saya tidak mengerti mengapa Narayana, si semau gue yang gemar timpak-timpuk orang itu, memanjangkan rambutnya. Akan tetapi saya tahu betul: setelah merasa terbebas dari beban psikologis yang pekat, ia memelontos rambutnya. "Plong sekali," katanya, "lapang sekali," sambungnya.

Lama saya bertanya-tanya siapa sebenarnya Narayana. Belakangan, Romo Mangun, memberikan jawaban. Narayana tidak lain tidak bukan adalah Krisna, tuhan yang menitis pada ksatria berkulit hitam-legam, sais kereta Arjuna dalam mahaperang di padang Kurusetra.

Orang Jawa, sebagaimana tertampil pada wayang purwa, menggambarkan Krisna dengan kulitnya yang hitam. Dalam kamus mistik Jawa, demikian Romo Mangun, bukan putih, tetapi justru warna hitam yang merupakan lambang pencapaian makrifat. Oleh karena itu, jika kita mengamati-amati batik Jawa, akan terlihat bahwa hitam adalah warna dominan.

Sementara itu, oleh orang India, dari mana kisah Mahabarata berasal, Krisna digambarkan sebagai dewa berkulit biru. Bagi saya biru adalah tanda haru dan baru. Saya sendiri tidak tahu bagaimana persepsi orang India terhadap biru.

Krisna adalah dewa kontroversial. Ia disanjung sebagai guru pandawa dan pelestari damai. Di lain sisi, ia dicela sebagai penghasut dan provokator. Krisna adalah pelatuk pecahnya perang Mahabarata yang berujung kesia-siaan dan dukaderita. Krisna selalu mengangin-angini Pandawa agar membalasdendam pada dan melumat habis Kurawa, padahal, kita tahu, Krisna mengajarkan ilmu langit pada Arjuna. Sebagai guru dan ilmuan, Krisna tidak konsisten memertanggungjawabkan ilmunya.

Maka, sempurna sudah kemunafikan Krisna. Ia tidak putih saja, ataupun hitam saja. Ia hitam-putih, kadangkala hitam, kadangkala putih, putihnya untuk menutupi kehitamannya, kehitamannya menggerakkan putihnya.

Namun, oleh karena tidak bisa dikutubkan pada hitam saja atau putih saja, jiwa Krisna mengalami perkembangan. Ia tokoh yang hidup. Sebagai tokoh, Krisna jujur dengan kekurangan dan kelebihannya. Sebagai wayang, ia berdarah dan berdaging.

Dengan demikian, tidak aneh bila kemudian Narayana yang berambut gondrong itu memelontos kepalanya. Wataknya berubah drastis. Sebelumnya ia kurang mengenal kasih, sayang, cinta. Setelah botak, ia mengenal kemungkinan-kemungkinan positif dalam kehidupan sehari-hari. Ia pun kembali percaya pada tuhan, mulai memercayai keluarga dan sahabat-sahabatnya dengan tulus, dan lebih percaya diri. Kini ia lebih yakin dan beriman.

Terima kasih kepada Arswendo yang telah mengenalkan saya kepada Narayana, juga kepada Romo Mangun yang sudah membabarkan jatidiri Narayana yang sebenarnya. Ternyata, Narayana juga manusia...


Pengakuan Orang Hutan

Jogja, 13 Mei 2011

kalian lihat, kami besar di rimba belukar. tetapi lihat, kami bukan rengas panas atau srigala lapar. kami cendrawasih berbulu belas kasih. kami anggrek macan yang menguncup karena ungunya malam, yang mekar karena kuningnya bulan. kami juga berhak hidup, berhak hijau, berhak biru, berhak baru.

kami lihat, kalian tumbuh di taman bunga tempat rama bertapa. tetapi lihat, kalian rengas yang merampas sinta dari rama. kalian srigala yang mengoyak tubuh sinta di tepi kali, yang mengunyah hati cinta di puncak candi. kalian juga berhak hidup, berhak hijau, berhak biru, berhak baru.

15/05/11

hijab

banyak keluhan. ada yang bilang, cintaku terhalang adat, lalu kisah kasih kami kandas. ada yang bilang, cintaku terserimpung perbedaan agama, lalu kami pun berpisah dengan hati yang merintih. ada yang bilang, cintaku terhambat perbedaan kelas sosial, ras, marga, tingkat pendidikan, usia, blablabla, maka kami pun hikshikshiks.

Ini tidak "hanya" setumpuk keluhan klise belaka, namun saya yakin, dialami tiap orang, dengan kadar yang berbeda-beda. mungkin karena dialami tiap orang, hampir tiap sastrawan mengabstraksikan "halangan cinta" sampai ke taraf paling sublim. di antara mereka ada james joyce. melalui buku tebalnya yang baru-baru ini terjemahannya terbit di Indonesia, joyce menyimpulkan bahwa halangan cinta tidak berasal dari luar, tetapi berakar dari dalam diri si pencinta itu sendiri. halangan cinta hadir dalam dua rupa, pertama, pride, dan kedua, prejudice.

saya kurang setuju bila pride diterjemahkan sebagai sombong atau congkak. lebih kena bila pride dipersamakan dengan "muruwah" arab badui pra-islam. bisa pula diterjemahkan sebagai "istikbar", sikap mental yang khusus dimiliki oleh "kafir". jadi, tidak diragukan lagi bahwa pride adalah penghalang cinta yang tumbuh di hati si pencinta. celakanya, entah karena malu atau ragu, ia sering tidak mengakui penyakit kronisnya tersebut. maka sebagai konsekuensi malu dan ragunya itu, habislah ia terjerembab dalam lara cinta yang berkepanjangan dan terkurung dalam dunia angan-angan yang tak putus-putus. jadilah ia punguk yang dikutuk untuk selalu hanya mampu merindukan bulan, tanpa bisa berkencan mesra dengannya. kacian. setelah penderitaan akibat cinta tak kesampaiannya memuncak, lalu ia mencoba mencari kambing hitam sebagai obat penenang batin. maka ia menyalahkan adat, agama, komposisi sosial, dan seterusnya.

saya kurang sepakat juga bila orang menyamakan prejudice dengan prasangka. tampaknya lebih tepat jika prejudice kita maknai sebagai ideologi atau idola. ideologi yang saya maksud di sini adalah ideologi tertutup karena mana si pencinta tidak dapat menalar secara arif dan mengambil sikap secara objektif. standar-standar ideologis yang tertanam di kepalanya membelenggunya untuk menjadi lugu dan gila, dua senjata yang dibutuhkan dalam menggapai dan menjaga cinta. sedangkan idola merupakan pemekaran dari idol (berhala). namun dalam hal ini, saya memahami idola sebagai idola francis bacon. sama seperti ideologi, idola menghalangi si pencinta berpikir objektif, bersih dari pengaruh-pengaruh eksternal. dan prejudice sebenarnya, sekali lagi, tidak mengepung si pencinta dari luar dirinya, namun ia adalah virus yang dengan kecepatan tinggi menyebar dari hati ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah.

dengan mengetahui pride and prejudice sebagai penghalang manifestasi cinta, apa si pencinta sudah bisa bahagia dan sembuh dari derita-ruangnya? entah. yang jelas, itu ruh harus terlebih dahulu menyatu dengan itu tubuh.


14/05/11

lagu lugu



sudah, tuhan, cukup.
cukup sudah pahala-pahala itu.
anugrahi kami dosa-dosa saja.
sebab kami mau surga.

sudah, tuhan, cukup.
cukup sudah ilmu-ilmu itu.
beri kami bodoh dan tolol saja.
sebab kami ingin arif.

sudah, tuhan, cukup.
cukup sudah harta-tanah itu.
izinkan kami miskin-fakir saja.
sebab kami mau makmur.

sudah, tuhan, cukup.
cukup sudah iman-islam itu.
jadikan kami iblis dan setan saja.
sebab kami mau sujud padamu.

sudah, tuhan, cukup.
cukup sudah kami memanusia.
jadikan kami binatang atau tumbuhan saja.
sebab kami ingin mencintaimu
dengan jujur dan apa adanya.

sudah cukup, tuhan, cukup sudah.

jogja, 13 mei 2011

12/05/11

azan

dadadada
dudududu
dadudadu
dadadudu

dededede
dodododo
dedodedo
dededodo

dadidu
dadidu
dadedo
dadedo


jogja, 12 mei 2011

10/05/11

the mystery of bantul

Bantul. Bagi saya kabupaten itu terlalu banyak menyimpan misteri, terlalu wingit. Pada gempa Jogja 2006 silam, Bantul adalah dareah yang mengalami kehancuran paling parah. Banyak sekali nyawa bergelimpangan. Aura wingit Bantul pun bertambah.

Di Bantul terdapat titik pertemuan tiga sungai keramat di Jogja. Kalau tidak salah ketiga sungai keramat itu adalah Kali Code, Selokan Mataram, dan Kali Gajah Wong. Sering, pada malam-malam tertentu, para penganut kebatinan Jawa mandi kungkum di titik pertemuan tersebut. Konon, ada pula yang asyik bertapa di tepiannya.

Di Bantul juga bermukim, menurut hemat saya, kelewat banyak seniman. Beberapa pusat kebudayaan terletak di sana. Ini sangat aneh. Kenapa para seniman itu, entah sengaja atau tidak, harus terkonsentrasi di Bantul?

Tiap kali jalan ke Bantul, saya seperti sedang memasuki kompleks keraton Solo. Saya merasakan aura wingit yang sama antara Bantul dan kompleks keraton Solo. Dua wilayah ini sangat puitik, sepuitik lereng Merapi, Segara Kidul, Borobudur, dan mungkin percandian Ratu Boko. Saya katakan "mungkin" lantaran saya belum pernah berkunjung ke percandian Ratu Boko. Tetapi foto-foto yang menggambarkan panorama percandian Ratu Boko selalu menggoda saya untuk menulis puisi.

Ah, itu sih mistik? Bukan. Bukan mistik biasa. Namun mistik yang misterius dan karenanya selalu mengundang pertanyaan dan selalu meminta dikelanai. Saya percaya puisi lahir dari misteri semacam ini.

Saking ingin tahu seluk-beluk Bantul, saya sempat bertanya kepada seorang kawan yang kuliah di jurusan sejarah.

"Ada tidak buku yang menjelaskan sejarah Bantul?"

Karena heran, dia balik tanya. "Kenapa tiba-tiba ingin membaca sejarah Bantul? Setahu saya tidak ada buku seperti itu."

"Ah tidak. Bantul hanya terlalu misterius buat saya."


08/05/11

soliluqoy rindu

I

ada saatnya ketika seakan-akan aku lepas dari tubuhku dan bahkan mampu, dari suatu atas yang tinggi, melihat tubuhku yang diam atau bergerak, persis seperti dalam mimpi. tapi aku lupa kapan saat itu, sebab sepertinya saat memang tak berlaku pada momen itu.

ada saatnya ketika seolah-olah aku terpelanting ke hari yang lampau atau hari yang akan datang dan merasa aku sedang mengawasi tubuhku sendiri bagai harimau yang mengawasi rusa. tapi aku lupa kapan saat itu, sebab sepertinya saat memang tak berlaku pada momen itu.

ada saatnya ketika aku sungguh-sungguh tersedot habis oleh suasana malam: oleh angin yang mengirim dingin, oleh air yang menawarkan gemericik, oleh daun yang memberi hijau, oleh tanah yang menagih lemah, oleh jengkerik yang menyiar musik. aku tidak lupa kapan saat itu, tapi saat itu aku menginginkan detik yang kekal, sekekal alif-lam-mim atau nun.

aku bertanya-tanya:
apa saat itu adalah puisi?
apa saat itu adalah seni?
apa saat itu adalah agama?

jika benar saat itu adalah agama, mungkin itu sebabnya agama-agama besar selalu menciptakan metode transendensi-imanensinya sendiri. zen menciptakan tai-chi. hindu menciptakan yoga. buddha menciptakan tapa. islam menciptakan salat. tapi Rumi ingin mereguk lebih daripada sekadar spiritualitas salat, dan ia menggubah tarian terkenal itu, whirling dervish. gerak tubuh atawa bahasa tubuh kadangkala membuat kita lepas dari tubuh sendiri, dan terbang ke wilayah entah berentah. kadangkala, tidak mesti selamanya (?) 


II

oleh karena bayi yang baru keluar dari rahim ibunya menangis, maka ia diberi air susu dan bukan sekresek apel yang dibeli dari supermarket terdekat. sebelum itu musik adzan dan iqomat bergantian menyelusup masuk ke dua telinganya, lalu ia pun dininabobokkan dalam box bayi. dan lama setelah itu, melalui jalan bahasa ia mulai menghuni rumah percakapan antarmanusia, dan ia semakin diatur-atur bapaknya, dan ia semakin jauh dari belai ibunya. dan bayi yang kini meningkat remaja itu tambah suka menangis, dalam tiap keramaian yang ribut, apalagi dalam tiap kesepian yang suwung.

ini mungkin cerita kuno yang seringkali diulang-ulang. tapi sepertinya masih banyak di antara kita yang menyukai cerita yang sangat biblikal dan eropais ini, padahal bagi kita kontradiksi justru adalah tangga bagi tercapainya uni-kum.

kita tidak harus menempati salah satu di antara dua ruang ini: hitam-putih, langit-bumi, tuan-budak. tetapi dalam perantauan--saya lebih suka memakai "perantauan" daripada "perjalanan", "pengembaraan", "pengelanaan", "petualangan", ataupun "proses menjadi"--yang baru tutup buku (sekaligus, ironisnya, buka buku) setelah sampai ambang 'pati', kita bergerak berpindah-pindah antara hitam-putih lalu membaurkannya dalam warna, antara langit-bumi lalu membaurkannya dalam suasana, antara tuan-budak lalu membaurkannya dalam kreasi.

konsistensi dan komitmen tidak lagi merupakan keteguhan dalam memegangi hanya hitam selama-lamanya atau hanya putih selama-lamanya, hanya langit selama-lamanya atau hanya bumi selama-lamanya, hanya tuan selama-lamanya atau hanya budak selama-lamanya, namun konsistensi dan komitmen ada pada alif: keluwesan yang amat sangat plastis untuk dan supaya tetap tegak dalam proses perantauan itu sendiri, dengan kata lain dalam proses kreatif dan atau proses pembaruan.

pertanyaan sulitnya, dari mana kita mendapatkan energi untuk bergerak berpindah-pindah itu? saya ingin mengutip bagian sebuah sajak sapardi, di dalam diri kita, ada pohon yang bernapas.

02/05/11

blablabla

kularung tubuhku dari tepian paling pantai. ia kemambang, mengimbak-imbak terhela-hela ombak. ia mencair menyatu dalam biru, biru sebiru-birunya. dan tubuhku adalah laut di mana harapan dan mimpiku berenang. namun laut itu, karena populasi hujan kian surut, kini pelahan mengasang.