24/04/12

Menemukan Kembali Batang Terendam


Jambi pada Abad V-XIV

Judul      : Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi
Penulis   : Prof. Dr. Slamet Muljana
Penerbit : Yayasan Idayu, Jakarta
Cetakan : Pertama, 1981
Tebal      : 356 halaman

JAMBI sebenarnya memiliki sejarah yang gilang-gemilang. Dalam peta perdagangan laut Asia yang berlangsung sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha hingga berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di nusantara, peran dan posisi Jambi sangat strategis dan tak tergantikan. Rekonstruksi sejarah nusantara akan sulit, bahkan tak mungkin, dilakukan tanpa menyebut nama (kuno) Jambi. Saat itu, Jambi yang terletak di pantai timur pulau Sumatra dan langsung menghadap Selat Malaka, merupakan salah satu pelabuhan transito, tempat persinggahan di mana para pedagang transnasional yang berlayar baik dari Cina menuju wilayah India ataupun sebaliknya mengadakan transaksi ekonomi dan, tentu saja, pertukaran budaya.

Akan tetapi, hal ini kurang atau belum diketahui oleh masyarakat luas, termasuk masyarakat Jambi sendiri. Sebabnya, berdasar analisis subjektif penulis, pertama, kajian serius terhadap sejarah Jambi yang benar-benar ilmiah dan berbobot masih boleh dibilang langka; kedua, hasil kajian yang jumlahnya relatif tak banyak tersebut tampaknya dipublikasikan secara terbatas. Masyarakat umum di luar kalangan akademik tidak dapat mengaksesnya dengan mudah untuk, misalnya, digunakan sebagai bahan rujukan dalam diskusi-diskusi informal. Akibat jauhnya, antara lain, peran strategis Jambi dalam sejarah Indonesia, Asia Tenggara, dan Asia cenderung dilupakan dan tidak diberi ruang sewajarnya.
Di tengah-tengah kelangkaan kajian sejarah Jambi itu, Slamet Muljana, filolog dan sejarawan yang tekun meneliti, dan diakui kredibilitasnya dalam kajian, sejarah Siriwijaya dan Majapahit, menerbitkan Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi pada 1981. Ketika menelusuri seluk-beluk sejarah Sriwijaya, tampaknya secara tak sengaja dan tak terduga sebelumnya, ia malah menemukan kebesaran Jambi pada masa lalu.
Mengamati riwayat intelektualnya, buku ini merupakan puncak kajian Muljana dalam ranah sejarah Sriwijaya.[1] Dengan demikian, pandangan-pandangan baru yang ia kemukakan di dalamnya menggugurkan pandangan-pandangan lamanya yang relatif sejalan dengan historiografi resmi nasional.
Dalam kancah ilmu sejarah Indonesia, Slamet Muljana adalah nama yang kontroversial. Ia kerap memaparkan pandangan kesejarahan yang tak lazim dan bertentangan dengan pendapat umum. Pada 1968, ia menerbitkan Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, sebuah buku yang tidak semata-mata menyangkal konvensi mayoritas sejarawan nasional, tetapi juga sempat menggegerkan penguasa Orde Baru. Dalam buku tersebut, Muljana dengan berani mengajukan tesis bahwa sebagian Walisongo adalah para ulama keturunan Cina, berbeda dengan kepercayaan masyarakat yang menganggap Walisongo adalah keturunan Arab. Pemerintah Orde Baru kemudian membreidel buku tersebut karena saat itu sentimen anti Cina sedang marak.[2]  Demikian pula, dalam Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi, Muljana memaparkan pandangan-pandangan kontroversialnya tentang Sriwijaya.
Artikel ini tidak hendak mengkritik pandangan-pandangan kontroversial tentang Sriwijaya tersebut. Sebagai pembaca literatur sejarah yang tidak berkompeten dalam ilmu sejarah, penulis hanya mendeskripsikan ulang beberapa di antara pandangan itu, disertai sedikit perbandingan dengan literatur lain, dengan mengambil fokus sejarah Jambi yang terentang dari abad ke-5 sampai abad ke-14 sebagaimana dijelaskan Muljana dalam buku ini. Selama kurun itu, terdapat tiga kerajaan besar yang mengusai daerah yang sekarang disebut sebagai Jambi. Tiga kerajaan “yang boleh diibaratkan seperti mata rantai bersambungan” itu adalah Kuntala (abad ke-5 sampai abad ke-6), Sriwijaya (abad ke-7 sampai abad ke-8), dan Suwarnabhumi (abad ke-9 sampai abad ke-14).

Mengingat-ingat Kuntala
Keberadaan Kuntala sebagai kerajaan, meski kurang populer di telinga publik, sesungguhnya tidak terlupakan sama sekali. Hanya, para sejarawan—setidaknya sampai buku ini diterbitkan—tampak belum bersepakat mengenai nama asli kerajaan ini. Sebagian dari mereka menamainya Kan-t’o-li atau Kantoli, sesuai dengan toponim yang tercantum dalam berita Cina. Sementara itu, sebagian yang lain menyebutnya Kandari. Muljana sendiri menyebutnya Kandali, kemudian Kuntala.
Robert Cribb, dalam Historical Atlas of Indonesia, hanya memberi sedikit keterangan mengenai Kuntala. Menurutnya, semenjak tahun 441 M, selama sekitar seabad Kantoli menjadi kerajaan perdagangan paling penting di kepulauan (nusantara). Letaknya tak dapat dipastikan, tetapi tradisi Cina mengungkapkan bahwa kerajaan ini merupakan pendahulu Sriwijaya. Kantoli mengalami kemunduran segera setelah pertengahan abad ke-6, barangkali karena perpecahan politik di Cina, yang menghambat proses perdagangan. Posisi Kantoli (dalam peta perdagangan Asia) kemudian diambil alih oleh pelabuhan Moloyu yang terletak di sebelah utaranya.[3]
Buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI), yang pernah dianggap sebagai rujukan sejarah Indonesia paling otoritatif, juga tidak banyak membicarakan Kuntala. SNI hanya menjelaskan, Kan-t’o-li adalah “salah sebuah kerajaan di Indonesia yang mulai mengirim utusan ke Cina sejak tahun 441, tidak mengirim utusan setelah utusannya pada tahun 455. Kemudian pada tahun 518, 520, 560 dan 563. Nampak bahwa Kan-t’o-li tidak begitu sering mengirim utusan ke Cina. Menurut Wolters, Kan-t’o-li adalah salah sebuah dari dua kerajaan Indonesia yang memegang peranan sangat penting dalam perkembangan perdagangan abad kelima. Ia menafsirkan bahwa justru kedudukannya yang kuat dalam perdagangan menyebabkan Kan-t’o-li tidak merasa perlu untuk menunjang perdagangannya itu dengan banyak mengirim utusan ke Cina.”[4]
Dibandingkan dengan dua literatur di atas, buku Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi ini menjelaskan Kuntala secara lebih rinci, argumentatif, dan relatif memuaskan karena di dalamnya Muljana mengidentifikasi letak kerajaan dengan cukup logis, kendati sangat mungkin memicu pelbagai pertanyaan kritis. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa sumber informasi awal—terutama berasal dari berita Cina—mengenai Kuntala memang tidak banyak.
Kuntala mengirim utusan ke negeri Cina pertama kali pada tahun 441, dan terkahir kali pada tahun 520. Sejak itu tidak datang lagi utusan dari Kuntala (hal.7). Pada masa pemerintahan Kaisar Hsiau-wu (459-464), Kuntala mengirim utusan ke negeri Cina dengan membawa upeti untuk kaisar. Raja Kuntala ketika itu bernama Sa-pa-la-na-lin-da (Sri Waranarendra) dan utusannya bernama Ta-ru-da (Rudra). Pada masa pemerintahan kaisar Wu (502-549), Kuntala mengirim utusan beberapa kali (502, 519, 520)[5]. Nama raja dan utusannya mirip sekali dengan nama Sansekerta (hal.12).
Sejarah Dinasti Liang menyatakan Kuntala terletak di salah satu pulau di Laut Selatan. Adat kebiasannya serupa dengan Kamboja dan Campa. Hasil buminya adalah pakaian berbunga, katun dan pinang yang bermutu sangat tinggi. Sejarah Dinasti Ming (1368-1643) menambahkan: san-fo-tsi (Suwarnabhumi) dahulu juga disebut Kuntala (hal.12). Dalam berita Cina lainnya disebutkan bahwa Kuntala terkenal karena obat-obatan dan rempah-rempahnya (hal.15).
Karena informasi awal yang sangat terbatas itu, wajar apabila muncul perbedaan pendapat di kalangan sejarawan ketika mereka berupaya mengidentifikasi di mana letak pusat kerajaan Kuntala. J.L. Moens mengidentifikasikannya di Singkil Kandari, pantai barat Aceh; J.J. Boeles di desa Kantoli, pantai timur Muangthai Selatan; O.W. Wolters di Palembang (hal.15-16); dan G. Coedes di Jambi[6].
Setelah menyangkal identifikasi J.L. Moens, J.J. Boeles, dan O.W. Wolters, Muljana, dalam buku ini, memastikan bahwa pusat kerajaan Kuntala terletak di sekitar hulu Sungai Tungkal (Sungai Pangebuan). Empat belas abad lalu ibukota Kuntala terletak tepi laut di muara sungai. Penelitian geologi Sartono menyimpulkan, garis pantai timur Sumatra empat belas abad lalu berbeda dengan garis pantai zaman sekarang, beberapa puluh kilometer ke dalam. “Tanah muda dari garis pantai sekarang sampai pangkal Sungai Tungkal,” papar Muljana “ialah hasil endapan Sungai Pangebuan selama empat belas abad”. Sebab demikian, pangkal Sungai Tungkal mungkin mengandung benda-benda keramik dari era dinasti Sung. Akan tetapi, hingga Yayasan Idayu menerbitkan buku ini pada 1981, belum diadakan penggalian di tempat itu (hal.18-19).
Adapun kata tungkal dalam “Sungai Tungkal” adalah metatesis dari kuntal. Aslinya, kuntal ditulis kuntala. Dalam komunikasi lisan, huruf a di akhir kata tidak diucapkan. Kata kuntala diucapkan kuntal; gophala diucapkan gophal; sanjaya diucapkan sanjay; sriwijaya diucapkan sriwijay. Berdasarkan penyeledikan Muljana, Kuntala ternyata merupakan nama sebuah wilayah di India Selatan yang pernah dikuasai oleh dinasti Pallawa. Orang-orang dari Suku Kadamba yang mendiami wilayah ini, demikian spekulasi Muljana, kemudian bermigrasi ke hulu Sungai Tungkal.
Untuk menanamkan rasa krasan, mereka menamai tempat tinggal barunya tersebut dengan Kuntala, sesuai nama kampung halaman mereka. Hal ini sudah menjadi kebiasaan para migran. Orang-orang Jawa yang bertransmigrasi ke Lampung, misalnya, menamai pemukiman baru mereka sesuai dengan nama daerah dari mana mereka berasal: desa Purwokerto, desa Kediri, desa Yogya, dan sebagainya.
Orang-orang yang berasal dari Kuntala dan bermigrasi ke hulu Sungai Tungkal tersebut disebut Kuntali, sebagaimana orang-orang yang berasal dari Benggala disebut Benggali. Sebab itu, dalam berita Cina kerajaan Kuntala disebut dan ditulis dengan toponim Kan-t’o-li, tidak dengan nama sebenarnya (hal.17-18).
Jika secara filologis, geografis, geologis, dan arkeologis terbukti bahwa pusat kerajaan Kuntala memang terletak di Sungai Pangebuan, artinya, pertama, Jambi merupakan salah satu titik simpul dalam jaringan perdagangan Asia pada abad ke-5 sampai ke-6, kedua, sudah sejak kurun itu Jambi telah menjalin hubungan diplomatis dengan Cina, ketiga, pertukaran budaya antara Jambi, India, Cina dan kerajaan-kerajaan kuno di kawasan Asia Tenggara telah berlangsung dalam jangka waktu yang sangat-sangat lama, dan keempat, dalam rangka turut serta secara aktif dalam jaringan perdagangan Asia, barangkali pada abad ke-5 Jambi telah mengembangkan teknologi pelayaran, teknik militer, sistem politik, dan sistem ekonomi yang relatif canggih dan telah secara alamiah menyusun konsep kebudayaan yang relatif terbuka dan progresif. Tentu tafsir-atas-fakta yang masih perlu dibuktikan kebenarannya dan dicari kesalahannya secara ilmiah ini dapat membanggakan masyarakat Jambi saat ini.

Menggugurkan mitos Sriwijaya
Pada abad ke-7 hingga ke-8, Sriwijaya menguasai wilayah yang saat ini disebut sebagai Jambi. Masih terdapat perbedaan pandangan yang tajam di antara para sejarawan tidak saja mengenai di mana letak ibukota, berapa lama berdiri, dan seberapa luas daerah kekuasaan Sriwijaya, tetapi juga yang terpenting: dalam berita Cina, Sriwijaya ditoponimkan dengan nama apa. Perbedaan pandangan semacam ini merupakan kelaziman belaka dalam penelitian sejarah kuno. Sebab, sumber informasi awal yang digunakan untuk merekonstruksi sejarah hanya berasal dari teks-teks kuno dan benda-benda arkeologis yang sedikit jumlahnya dan sukar dibaca-tafsirkan.
Nama Sriwijaya mulai dikenal dan diterima oleh kalangan sejarawan ketika G. Cœdès pada tahun 1918 mempublikasikan artikelnya yang berjudul Le Royaume de Çrīvijaya dalam Bulletin de l’École française d'Extrême-Orient.[7] Menurutnya, “Sriwijaya” adalah transliterasi dari toponim Shih-li-fo-shih dan San-fo-tsi yang tertulis dalam berita Cina dan catatan perjalanan I-Tsing. Shih-li-fo-shih dan San-fo-tsi merupakan dua sebutan dari sebuah kerajaan yang sama yang beribukota di Palembang, Sumatra bagian selatan. Dengan identifikasi secara demikian, ditariklah kesimpulan—yang telah menjadi mitos dan dalam buku ini dibantah, digugat, dan digugurkan oleh Muljana—bahwa Sriwijaya berdiri pada abad ke-7 dan runtuh pada abad ke-14.
SNI mengambil dan menerima pandangan Cœdès seputar nama dan tempo kekuasaan Sriwijaya ini.[8] Sartono Kartodirdjo, dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium Sampai Imperium Jilid I, tampaknya juga mengambil pandangan tersebut, meski tak secara utuh dan persis sama. Agak berbeda dengan Cœdès dan SNI, masa keruntuhan Sriwijaya, menurut Kartodirdjo, sudah dimulai sedari abad ke-13. “Sejak serangan dari Cola dalam abad XI dan kemudian terdesak oleh kekuasaan Jawa Timur pada akhir abad XIII,” tulisnya “Sriwijaya merosot sebagai pusat perdagangan dan akhirnya dikuasai oleh bajak laut.”[9]
Muljana sendiri pada awalnya setuju saja dengan pandangan Cœdès itu. Namun demikian, saat itu ia sepertinya masih bertanya-tanya mengapa Sriwijaya dalam berita Cina ditoponimkan dengan dua nama yang berbeda dan mengapa toponim yang pada masa pemerintahan dinasti T’ang ditranskripsikan Shih-li-fo-shih sekonyong-konyong pada masa pemerintahan dinasti Sung ditranskripsikan menjadi San-fo-tsi. Dalam Sriwijaya, bukunya yang untuk pertama kali diterbitkan oleh Percetakan Arnoldus, Ende-Flores pada 1960, dan selanjutnya diterbitkan ulang oleh LKiS Yogyakarta pada 2006, Muljana menulis
Tidak dapat lagi disangkal bahwa San-fo-ts’i terletak di Palembang. Kita ingin mengetahui mengapa kiranya kerajaan Sriwijaya, yang ditranskripsikan dalam tulisan Tionghoa pada masa pemerintahan rajakula T’ang Shih-li-fo-shih, sekonyong-konyong dalam masa pemerintahan rajakula Sung ditranskripsikan San-fo-ts’i.[10]
Karena itu, buku Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi ini penting bukan hanya karena di dalamnya terdapat antitesis positif Muljana terhadap pendapat Cœdès yang telah telanjur dimitoskan, tetapi juga karena dengan diterbitkannya buku ini Muljana meralat pendapatnya sendiri seputar Sriwijaya yang ditulisnya dalam buku Sriwijaya pada 1960.
Dalam Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi ini, Muljana melontarkan pandangan baru: Shih-li-fo-shi dan San-fo-tsi adalah dua nama kerajaan yang berbeda yang pusat pemerintahannya sama-sama berlokasi di Pulau Sumatra. Shih-li-fo-shih adalah transkripsi dari “Sriwajaya” yang beribukota di wilayah Palembang saat ini, sedangkan San-fo-tsi adalah transkripsi dari “Suwarnabhumi” yang pernah untuk masa yang cukup lama beribukota di Kota Jambi saat ini.
Kesimpulan yang diperoleh Muljana ini membawa implikasi logis yang tak tanggung-tanggung: lamanya masa berdiri, masa kekuasaan, dan masa kejayaan Sriwijaya ternyata lebih pendek daripada yang disangka banyak sejarawan sebelumnya. Pada umumnya, sebagaimana telah dipaparkan pada bagian terdahulu, Sriwijaya disangka dan diyakini berdiri sejak abad ke-7 dan runtuh pada abad ke-14. Muljana menyangkal sangkaan dan keyakinan tersebut. Usia Sriwijaya tidak sepanjang itu.
Sriwijaya memang terbukti telah berdiri pada abad ke-7.  Sriwijaya mengirim utusannya yang pertama ke negeri Cina pada 670; sudah berdiri pada tahun 671 ketika I-Tsing sampai dan menetap selama enam bulan di kerajaan tersebut. Namun setelah tahun 742 Sriwijaya tidak lagi mengirim utusannya ke negeri Cina. Karena kaisar Cina hanya menerima utusan dari kerajaan merdeka, boleh jadi bahwa waktu itu Sriwijaya telah merosot dan menjadi daerah jajahan kerajaan lain. Kendati begitu, nama Sriwijaya masih disebut-sebut dalam prasasti Ligor A yang bertarikh 775.
Keruntuhan Sriwijaya disebabkan oleh serangan sebuah kerajaan besar di Jawa yang diperintah oleh wangsa Sailendra, tidak disebabkan oleh serangan Cola dan Majapahit serta masuknya Islam di nusantara. Agar lebih jelas, penulis kutip keterangan umum mengenai Sriwijaya dalam buku ini.
Dalam abad ketujuh dan kedelapan kerajaan di pantai timur Sumatra Selatan yang mengirim utusan ke negeri Cina ialah Kerajaan Sriwjaya yang ditransliterasikan Shih-li-fo-shih dalam berita Cina. Kerajaan Sriwijaya mengirim utusan ke negeri Cina yang pertama kali pada tahun 670; yang paling akhir pada tahun 742. Meskipun nama Kerajaan Sriwijaya masih disebut dalam prasasti Ligor A yang bertarikh 775, kiranya pada waktu itu Sriwijaya sudah merupakan negara bawahan, oleh karena itu tidak lagi mengirim utusan ke negeri Cina. Dalam hal ini, negara induk yang mengirim utusan ke Cina. Adanya prasasti Ligor B pada sisi belakang prasasti Ligor yang menyebut Sri Maharaja Wisnu dari wangsa Sailendra merupakan salah satu bukti bahwa dalam abad kedelapan Sriwijaya ialah negara bawahan raja dari wangsa Sailendra. (hal.7)
Perdebatan lain sekitar sejarah Sriwijaya adalah mengenai di mana letak definitif pusat kerajaan maritim tersebut. G. Cœdès menentukan ibukota Sriwijaya terletak di Palembang. R.J. Majumdar menyanggah identifikasi ini. Menurut Majumdar, Sriwijaya tidak berpusat di Palembang, melainkan mula-mula berpusat di Jawa, kemudian memperluas wilayah kekuasannya ke pantai timur Semenanjung Melayu sampai di Ligor, Muangthai Selatan, tempat ditemukannya prasasti Ligor A dan B. J.L. Moens turut membantah identifikasi Cœdès dengan argumentasi geografis yang solid. H.C. Quaritch Wales tidak menyetujui pendapat Cœdès, dan menyarankan bahwa ibukota Sriwijaya terletak di daerah Chaiya, Muangthai Selatan; kebetulan, di sebelah selatan Chaiya terdapat bukit bernama Sivicay. Berbekal hasil kajian geomorfologis yang dipadu dengan analisis filologis, R. Soekmono menolak Palembang, dan menetapkan Jambi, sebagai ibukota Sriwijaya. Dengan menafsirkan teks yang tertera pada prasasti Kedukan Bukit dan menghubungkannya dengan sumber dan bukti lain, Boechari menyatakan, sebelum tahun 682 M ibukota Sriwijaya terletak di Minanga, yakni di Batang Kuantan, hulu Sungai Indragiri di daerah Riau Daratan (hal.42-64). SNI tampaknya lebih bersepakat dengan, dan mengambil, pendapat Boechari ini.
.... Sriwijaya tidak di Palembang letaknya. Dapunta hyang memulai perjalanannya dari Minanga Tamwan, datang di Matayap (Melayu atau Jambi sekarang), kemudian mendirikan kota yang diberi nama Sriwijaya. Setahun kemudian raja Sriwijaya membangun sebuah taman yang dihadiahkan kepada rakyat di sekitar Palembang (Talang Tuo) dengan disertai kutukan-kutukan terhadap siapa yang tidak tunduk kepada perintah raja. Tentunya kutukan-kutukan itu tidaklah ditujukan kepada rakyat di ibukota kerajaan sendiri. Jadi dengan demikian maka letak Sriwijaya tidak di Palembang. Sedangkan hadiah taman itu dapat diartikan sebagai kebaikan raja Sriwijaya terhadap rakyat daerah yang ditaklukannya. Mungkin sekali pusat Sriwijaya terletak di Minanga Tamwan itulah, di daerah pertemuan Sungai Kampar kanan dan Kampar kiri.
Keadaan ini dapat disesuikan dengan berita dari I-Ts’ing yang dapat diartikan bahwa letak Sriwijaya di daerah khatulistiwa. Hal ini dapat diperkuat dengan penemuan arkeologis berupa bangunan stupa di daerah Muara Takus, yang diperkirakan berasal dari abad ke-7. Sedangkan Palembang sendiri kemudian menjadi penting di dalam sejarah terutama sebagai pusat ziarah pemeluk-pemeluk agama Buddha. Di daerah Telaga Batu banyak ditemukan batu-batu yang bertuliskan Siddhayatra, yang artinya mungkin perjalanan suci yang berhasil. Di bukit Siguntang sendiri ditemukan sebuah arca Buddha dari batu yang sangat besar dan diperkirakan berasal dari abad [ke-]6.[11]
Adapun Anthony Reid, yang terpandang sebagai sarjana sejarah Sumatra paling mumpuni, menulis bahwa ibukota Sriwijaya terletak di Palembang dan Jambi.[12]
Tentang ibukota Sriwijaya, Muljana tidak mengusulkan pendapat baru, setuju dengan identifikasi Cœdès: di Palembang. Dengan argumentasinya yang multidisipliner, ia menyanggah pendapat R. Soekmono. Ibukota Sriwijaya tidak di Jambi. Jambi adalah ibukota Kerajaan Malayu yang terletak di sebelah barat Sriwijaya/Palembang sejauh lima belas hari pelayaran (hal.51-66). Pada tahun 680-an M, Malayu mulai dikuasai oleh Sriwijaya yang tengah melancarkan politik perluasan wilayah (hal.68-69).
Muljana berspekulasi, di antara tujuan Sriwijaya melancarkan politik perluasan wilayah menjelang penghujung abad ke-7 adalah untuk mensejahterakan rakyatnya. Lokasi ibukota Sriwijaya sangat tidak strategis dalam peta perdagangan laut Asia, tersisih dari lalu lintas pelayaran di Selat Malaka. Akibatnya, kerajaan ini dalam bidang kesejahteraan rakyat jauh ketinggalan dengan Malayu (hal.68). Demi menyejahterakan rakyatnya, mengamankan negara dan memperluas kekuasaan, Sriwijaya berupaya menguasai kerajaan-kerajaan penting di Asia Tenggara yang menjadi titik simpul jaringan perdagangan Asia.
Mula-mula Sriwijaya berusaha mengusai Selat Bangka. Keberhasilan Sriwijaya dalam menundukkan daerah ini diabadikan dalam prasasti Kota Kapur yang ditemukan di Kotakapur, sebuah dusun kecil di pesisir barat Pulau Bangka. Selanjutnya, Sriwijaya menyerang Malayu. Tulisan pada prasasti Karang Brahi yang ditemukan di hulu Sungai Merangin menunjukkan keberhasilan Sriwijaya dalam menundukkan Malayu. Ambisi Sriwijaya untuk mengusai Malayu adalah isyarat betapa ketika itu posisi Malayu sedemikian berartinya dalam kancah ekonomi dan politik Asia tenggara khususnya, dan Asia pada umumnya.
Pada 682, Sriwijaya meneruskan politik perluasan wilayahnya dengan menyerang Minanga/Binanga yang terletak di muara Sungai Barumun (Prasasti Kedukan Bukit). Sriwijaya lalu menyerang Kedah. Penyerangan ini diperkirakan terjadi antara tahun 682-685. Setelah berhasil mengusai Tulang Bawang (prasasti Palas Pasemah), Sriwijaya agaknya mengirim ekspedisi menyerbu Tarumanegara, sebuah kerajaan di Pulau Jawa (prasasti Kota Kapur). Sesudah dikuasai Sriwijaya, Tarumanegara tidak mengirim utusan lagi ke negeri Cina. Klimaksnya, Sriwijaya mengirim pasukan yang berhasil menaklukkan Ligor di pantai timur Semenanjung Melayu (prasasti Ligor) (hal.67-81).
Penguasaan terhadap ketujuh wilayah strategis itu menandai kejayaan Sriwijaya. Muljana menggambarkan kejayaan Sriwijaya ini sebagai berikut.
Sebagai negara induk Sriwijaya setiap tahun menerima upeti dari negara-negara bawahan berupa hasil bumi, perak dan emas atau barang lainnya dalam jumlah yang ditentukan. Negara-negara di pantai timur Semenanjung misalnya, setiap tahun diwajibkan mengantar upeti berupa [e]mas, perak dan barang-barang porselen dalam jumlah tertentu kepada raja Sriwijaya. Tidaklah mengherankan bahwa karenanya kekayaan raja Sriwijaya itu berlimpah-limpah. Uraian I-Tsing tentang Sriwijaya memberi kesan bahwa pada akhir abad ketujuh negara Sriwijaya itu makmur sekali. Dikatakan bahwa rakyat memberikan sajian bunga teratai emas kepada arca Buddha; dalam upacara agama tampak perabotan dan arca-arca serba emas. Rakyat dari semua lapisan berlomba memberi sedekah kepada para pendeta. (hal.81)
Akan tetapi, kejayaan ini tidak berumur panjang. Dari penafsiran atas teks yang tertara pada prasasti Ligor, prasasti Nalanda, dan prasasti Kelurak, yang kemudian dikaitkan dengan uraian Sejarah Vietnam, Muljana berasumsi baha Jawa (She-po) pada pertengahan abad ke-8 menyerang dan menduduki Sriwijaya. Serangan ini menyebabkan status Sriwijaya turun menjadi kerajaan vasal dan, oleh karena itu, tidak bisa mengirim utusan ke Cina lagi. Serangan Jawa yang terjadi pada abad ke-8 ini sekaligus menandai keruntuhan Sriwijaya (hal.81-91).
Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa Slamet Muljana, melalui buku Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi ini, memberi sumbangan yang sangat berarti dalam kemajuan kajian sejarah Sriwijaya, yaitu, pertama, membedakan toponim San-fo-tsi dan Shih-li-fo-shih yang disamarakatakan begitu saja oleh Cœdès dan para pengikutnya; dengan demikian, kedua, memastikan masa berdirinya Sriwijaya sebagai kerajaan merdeka hanya selama lebih kurang satu abad; ketiga, menggugurkan—jika tesis-tesis pokok Muljana dalam buku ini dibuktikan benar oleh sejumlah besar sejarawan lain—mitos Sriwijaya yang telah terlanjur menjadi keyakinan historis dan keyakinan politis; keempat, meralat pendapat-pendapat awalnya sendiri tentang Sriwijaya yang tercantum dalam buku Sriwijaya; dan kelima, memperkokoh pendapat Cœdès yang menyatakan bahwa ibukota Sriwijaya terletak di Palembang.
Selain itu, Slamet Muljana memberi sumbangan berarti pula bagi pengembangan kajian sejarah Jambi. Dialah sejarawan yang pertama-tama menemukan kembali dan membangkitkan batang yang telah sebegitu lama terendam di dasar ingatan kolektif masyarakat Jambi: Kerajaan Suwarnabhumi.

Menemukan kembali Suwarnabhumi
Tampaknya hanya Muljana yang dengan mantap menyatakan bahwa Suwarnabhumi adalah nama sebuah kerajaan yang terletak di Pulau Sumatra dan mampu bertahan hidup selama sekitar lima abad. SNI memang menerangkan dan mengakui bahwa Suwarnabhumi ialah nama sebuah negeri atau kerajaan di sebelah timur Teluk Benggala. Namun, penyusunnya tidak menjelaskan dengan tegas dan jelas sejak dan hingga kapan Suwarnabhumi berdiri serta bagaimana kondisi sosial-budaya kerajaan tersebut. Tentang Suwarnabhumi sebagai kerajaan, SNI hanya menulis gambaran ringkas yang masih kurang jelas seperti berikut ini:
Salah satu kitab yang sering disebut oleh para peneliti adalah kitab Jataka. Kitab yang memuat kisah-kisah kehidupan Sang Buddha ini menyebut Suvarnabhumi sebagai sebuah negeri yang memerlukan perjalanan yang penuh bahaya untuk mencapainya. Suvarnabhumi berarti “negeri emas”. Menurut Lèvi, yang dimaksudkan adalah salah sebuah negeri di sebelah timur Teluk Benggala.[13]
Kemantapan Muljana tersebut agaknya berpangkal dari kejelian dan kejernihannya dalam membaca, menafsirkan, dan mengidentifikasi toponim-toponim yang tertera dalam berita Cina dan dalam catatan perjalanan I-Tsing. Sebagaimana disebutkan di muka, Muljana menafsirkan toponim San-fo-tsi secara berbeda dengan para sejarawan lainnya. Dengan konsisten—konsistensinya ini dapat diamati ketika membaca buku ini, ia mempertahankan pendapat bahwa San-fo-tsi tidak sama dengan Shih-li-fo-shih. Unsur fo-shih dan fo-tsi yang terkandung dalam dua toponim ini memang mirip bunyinya, tetapi tidak bisa serta-merta disamakan.
San-fo-tsi bukan transkripsi Cina dari nama Sriwijaya. San-fo-tsi merujuk pada nama kerajaan lain yang menurut Sejarah Dinasti Sung terletak di Laut Selatan antara Kamboja dan Jawa. Kerajaan ini menguasai lima belas negara bawahan. Dalam berita Cina lainnya dikabarkan: raja San-fo-tsi, she-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tiau-hwa (Sri Cudamaniwarmadewa) pada 1003 mengirim dua orang utusan ke Cina. Selain membawa upeti untuk kaisar, utusan ini juga menginformasikan bahwa di negerinya sedang dibangun sebuah candi Buddha di mana orang-orang memanjatkan doa supaya kaisar diberi umur panjang. Berhubungan dengan itu, kepada kaisar mereka meminta nama dan lonceng untuk candi tersebut.
Seperti halnya Kuntala dan Sriwijaya, para sejarawan masih belum memperoleh jawaban kompak ketika dihadapkan pada pertanyaan: di mana pusat kerajaan San-fo-tsi. Cœdès, karena menyamaratakan toponim Shih-li-fo-shih dan San-fo-tsi, jelas menunjuk Palembang sebagai pusat kerajaan San-fo-tsi. Akan tetapi, pendapat ini menemukan penyangkalnya juga. Melandaskan analisisnya dari informasi yang terdapat pada berita Cina dan prasasti Leiden, J.L. Moens menyimpulkan: Kidara atau Kadaram adalah ibukota San-fo-tsi pada abad ke-11.
Tidak sepaham dengan Cœdès dan Moens, Muljana lantas mengidentifikasi: ibukota San-fo-tsi terletak di pantai timur Sumatra Selatan, tepatnya di muara Sungai Batang Hari, Jambi. Identifikasi ini ditunjang oleh hasil kajian geologi Sartono dan uraian dalam Sejarah Dinasti Sung yang menyebut bahwa raja San-fo-tsi bersemayam di Chan-pi (Jambi) (hal.176-188).
Kerajaan San-fo-tsi inilah yang dalam berita Arab-Persi dinamakan al-Zabaj, dalam berita Srilangka-India Selatan disebut Jawaka, dalam prasasti Nalanda disebut Suwarnadwipa, dan dalam prasasti Suwarnabhumi, prasasti Amoghapasa dan prasasti Kepalo Bukit Gombak (Pagar Ruyung I) disebut Suwarnabhumi. Suwarnabhumi juga dikenal sebagai Malayu (Nagarakratagama dan Pararaton), Suwarnapura, Malayur, dan Malayapura. Tanpa mengemukakan alasan tertentu, Muljana kemudian menggunakan “Suwarnabhumi” untuk menyebut kerajaan yang dalam berita Cina dinamakan dengan San-fo-tsi (hal. 176-240)
Suwarnabhumi didirikan pada pertengahan abad ke-9 oleh Balaputradewa yang berwangsa Sailendra setelah ia kalah dalam perang tanding melawan keponakan iparnya, Jatiningrat, yang lebih dikenal sebagai Rakai Pikatan. Perang tanding memperebutkan tahta itu meletus tidak lama sesudah Sri Maharaja Samaratungga, raja Sailendra terakhir Kerajaan Mataram Lama, wafat. Balaputradewa, demikian analisis Muljana, adalah adik kandung Samaratungga, sedangkan Rakai Pikatan adalah menantunya. Keduanya sama-sama merasa berhak atas tahta kerajaan. Kekalahan Balaputra sekaligus merupakan akhir kekuasaan Wangsa Sailendra di tanah Jawa (hal.182-186; juga hal. 165-172).
Selanjutnya, dalam rangka pembinaan kerajaan, Balaputradewa melaksanakan langkah-langkah strategis, antara lain: pertama, memindahkan ibukota dari Palembang ke Jambi; pertimbangannya, posisi geografis Jambi lebih strategis ketimbang Palembang; kedua, mengusai Kedah, yang mana setelah Kanton berhenti sebagai pusat perdagangan, berfungsi sebagai pusat perdagangan pengganti bagi pedagang-pedagang Persi dan Arab; ketiga, menjalin hubungan diplomatik dengan Cina dan Magadha di India (hal.185-188).
Selain mengusai Kedah (Kalah), berita-berita Arab juga menyatakan bahwa Suwarnabhumi (al-Zabaj) menguasai Sriwijaya (Sribuza) (hal.181). Dari sumber Cina (Sejarah Dinasti Sung, Chu-fan-chi, dan Ling-wai-tai-ta) diperoleh informasi: Suwarnabhumi menguasai 15 negara bawahan, yaitu: 1) Pang-fong (Pahang); 2) Tong-ya-nong (Trengganu); 3) Ling-ya-si-kia (Langkasuka); 4) Ki-lan-tan (Kelantan); 5) Fo-lo-an (Kuala Brang); 6) Ji-li-tong (Cerating); 7) Ch’ieng-mai (?); 8) Pa-t’a (Paka); 9) Tan-ma-ling (Tambralingga); 10) Kia-lo-hi (Grahi); 11) Pa-lin-fong (Palembang); 12) Sun-to (Sunda); 13) Kien-pi (Muara Kampe); 14) Lan-wu-li (Lamuri); dan 15) Si-lan (Srilangka) (hal. 185-186). Daftar negara yang bahkan membentang hingga Srilangka ini mengindikasikan bahwa wilayah kekuasaan Suwarnabhumi sangat luas, lebih luas daripada wilayah kekuasaan Sriwijaya.
Di samping wilayah kekuasaan yang sedemikian luas, dalam riwayat kerajaan Suwarnabhumi, ada beberapa hal pokok lain yang layak dicatat, yakni (1) peperangan antara Suwarnabhumi dengan Kerajaan Watu Galuh di Jawa bagian timur (hal.195-205), (2) hubungan Suwarnabhumi dengan India Selatan dan pendudukan Cola (hal.205-219), (3) kepemimpinan wangsa Malayapura—berasal dari Dharmasraya—di Suwarnabhumi dan tersingkirnya wangsa Sailendra dari tampuk kekuasaan (219-228), (4) pemberontakan Tambralingga (hal.228-232), (5) serangan tentara Singasari yang dikenal dengan ekspedisi Pamalayu (hal.233-240) dan (6) pendudukan Majapahit pada era Hayam Wuruk (hal.308-309). Dalam situasi politik yang relatif tidak stabil karena harus menghadapi berbagai serangan dari kerajaan lain secara berturut-turut itu, ibukota Suwarnabhumi sempat beberapa kali dipindahkan dan hegemonnya pun berganti-ganti.
Awalnya, Suwarnabhumi diperintah oleh wangsa Sailendra dan ibukotanya terletak di Jambi. Setelah hubungan antara Cola dengan Suwarnabhumi kian memburuk, dan Cola mengirim eskpedisi militer menyerbu Suwarnabhumi (1017, 1025, 1067), Suwarnabhumi kemudian diduduki oleh Cola dan diperintah oleh keturunan raja-raja Cola. Hingga saat itu, ibukota Suwarnabhumi masih di Jambi (hal.205-219).
Dominasi Cola di Suwarnabhumi hanya berlangsung kira-kira setengah abad. Sebab, Pangeran Suryanarayana, yang termasuk wangsa Malayapura, rupanya menggalang pemberontakan demi menggulingkan dominasi Cola. Ia berhasil mengambil alih kekuasaan Suwarnabhumi dari tangan Cola (prasasti Srilangka) (hal.219-221).
Pada 1275, Sri Kertanegara, Raja Singasari, mengirim ekspedisi Pamalayu, sebuah ekspedisi militer yang mengemban misi menaklukkan Suwarnabhumi. Keberhasilan ekspedisi ini diterangkan pada prasasti Amoghapasa. Ditemukannya prasasti Amoghapasa di Dharamasraya mendorong Muljana untuk menarik kesimpulan bahwa paska ekspedisi Pamalayu ibukota Suwarnabhumi dipindahkan dari Jambi ke Dharmasrya. Sebab, tentara Singasari menduduki Jambi (hal.233-235).
Sinar cemerlang Suwarnabhumi semakin meredup ketika Majapahit menerapkan politik ekspansinya di bawah pimpinan Patih Amangkubumi Gajah Mada. Ia sukses menundukkan Suwarnabhumi. Tampaknya Hayam Wuruk, raja Majapahit kala itu, kemudian menugaskan wakilnya, Adityawarman, untuk memerintah Kerajaan Malayapura di Dharmasraya (prasasti Amoghapasa, 1347).
Politik ekspansi Majapahit ini juga menyebabkan Kerajaan Suwarnabhumi, yang waktu itu wilayah kekuasaan sudah menciut karena pemberontakan Tambralingga dan faktor-faktor lain, pecah menjadi tiga bagian: Jambi, Palembang dan Dharmasraya. Suwarnabhumi pun tidak lagi memegang peranan penting di Asia Tenggara. Akan Tetapi, kerajaan-kerajaan pecahan Suwarnabhumi tersebut masih terus mengirim utusan—barangkali atas nama Suwarnabhumi—ke negeri Cina sampai tahun 1377. Pihak kerajaan Cina menerima utusan itu sebab, menurut Muljana, kaisar masih menyangka Suwarnabhumi adalah kerajaan merdeka (hal.308-310)
 Meninggalnya Hayam Wuruk pada 1389 mengakibatkan pergolakan di Majapahit. Seperti biasa, para ahli waris, dalam hal ini Wikramawardhana (kemenakan dan menantu raja) dan Bhre Wirabhumi (putra tunggal raja yang lahir dari selir), bersengketa memperebutkan tahta kerajaan. Pada 1406, persengkataan itu memuncak menjelma perang saudara (hal.310).
Pergolakan yang terjadi dalam tubuh Majapahit ini dimanfaatkan oleh Parameswara untuk mengadakan pemberontakan. Kata Tome Pires, Parameswara adalah pangeran dari Palembang, seorang bangsawan yang suka berperang. Pemberontakan ini tidak saja gagal, tetapi juga menyebabkan Majapahit, pada 1397, mengirim tentataranya ke Suwarnabhumi dan Palembang dalam rangka menumpas pemberontakan tersebut.
Suwarnabhumi pun jatuh-runtuh. Ibukotanya, yang sesudah peristiwa itu dipindahkan ke Palembang, dikuasai oleh wakil Majapahit. Wakil Majapahit ini ternyata tidak mampu mengatasi segala keresahan yang timbul akibat musnahnya pemerintahan di Palembang. Cerdas menangkap peluang, Liang Tau-ming, bajak laut Cina, mengambil alih kekuasaan Palembang dengan dukungan para pengikutnya.
Adapun Parameswara, setelah pemberontakan yang gagal itu, melarikan diri ke Tumasik. Di sana ia mendirikan Kerajaan Malaka, salah satu kerajaan Islam tertua di nusantara. Saat berusia 72 tahun, Parameswara masuk Islam (pada akhir tahun 1405 atau permulaan tahun 1406), dan mengganti namanya menjadi Iskandar Shah (hal.310-320).
Pertanyaannya, bagaimana nasib Jambi setelah runtuhnya Suwarnabhumi?

Sejarah yang ilmiah
Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi dengan gamblang, jelas dan ilmiah membabarkan betapa Jambi merupakan nama yang pantas diperhitungkan dalam kancah sejarah Asia dan Asia Tenggara. Sejak abad ke-5, Jambi sudah berperan serta dalam jaringan perdagangan kepulauan nusantara. Ditinjau secara geografis, pada abad ke-5 sampai abad ke-14, letak Jambi amatlah strategis. Ini menyebabkan Sriwijaya, Watu Galuh, Cola, Singasari, Majapahit bahkan Tambralingga begitu berhasrat menguasai Jambi. Di samping alasan politis, serangan-serangan terhadap Jambi (Malayu, Suwarnabhumi) mungkin sekali didorong oleh motif ekonomi yang kuat.
Sesuai dengan namanya, Jambi adalah negeri/tanah emas (Suwarnabhumi/Suwarnadwipa), sumber emas, sumber kekayaan-kemakmuran. Menguasai Jambi adalah menguasai lalu-lintas perdagangan laut transnasional. Boleh dipastikan, ongkos perang yang dikeluarkan dalam rangka menaklukkan Jambi nantinya akan terbayar lunas. Bahkan, kerajaan penakluk barangkali akan memperoleh keuntungan berlipat ganda.
Akan tetapi, justru karena letaknya yang strategis ini, Jambi tampaknya hampir tidak pernah beristirahat dari perang, khususnya perang mengamankan dan mempertahankan daerah teritorialnya terhadap serangan yang datang dari arah mana saja. Dan karena faktor ini pula, sejak paling kurang abad ke-13, sedikit demi sedikit Jambi mengalami kemunduran drastis, hingga pecah berkeping-keping setelah politik ekspansi Majapahit, dan redup sama sekali pada 1397.
Selepas tahun yang suram itu, nama Jambi seperti benar-benar hilang dalam percaturan sejarah Asia dan Asia Tenggara, lebih-lebih setelah Kerajaan Malaka menggantikan peran dan posisi yang pernah dimainkan Jambi sebelumnya. Jambi, yang pernah selama paling kurang sembilan abad menjadi subjek-pusat, semenjak abad ke-15 hingga setakat ini statusnya beralih menjadi objek-pinggiran dalam kancah sejarah.
Namun demikian, kesedihan dan penyesalan, juga kegembiraan dan kebanggaan yang berlebihan, yang boleh jadi akan muncul dengan sendirinya setelah membaca buku ini, agaknya perlu ditunda. Sebab, pendapat-pendapat Muljana yang terangkum dalam Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi tokh bersifat ilmiah. Pendapat-pendapatnya terbuka terhadap kritik objektif dan antitesis positif yang datang dari pihak mana pun. “Sejarah,” kata Kuntowijoyo “adalah ilmu yang terbuka”.[14] Kesimpulan-kesimpulan sejarah Muljana terbuka akan kritik, dan karenanya, bersifat sementara dan relatif. Tidak tertutup kemungkinan, kelak barangkali akan ada sejarawan yang dengan argumentasi yang lebih logis-solid-valid menyatakan bahwa Kuntala-Malayu-Suwarnabhumi tidak terletak di Jambi, tetapi di wilayah lain tertentu.
Persoalan rentang masa berdirinya Sriwijaya yang dikritik Muljana melalui buku ini membuktikan adanya sifat terbuka dan sementara dari sebuah kesimpulan sejarah. Muljana sendiri, dengan menerbitkan buku ini, telah memberi teladan yang baik. Sebagai ilmuwan, dia berani dan tidak ragu maupun segan bukan hanya mengkritik teori ahli lain, tetapi juga, hebatnya, mengkritik teorinya sendiri. Sudah dipaparkan bahwa Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi otomatis menggugurkan teori lama Muljana yang ia tulis dan publikasikan pada 1960 dalam Sriwijaya.
Terlepas dari perkara filosofis-metodologis itu, buku yang sudah sukar ditemukan di pasaran dan perpustakaan umum ini sepertinya perlu diterbitkan ulang. Buku ini, apalagi bagi masyarakat (akademik) Jambi, teramat penting untuk dibaca-ditelaah kembali. Tak ragu lagi, siapa pun yang tertarik untuk merambah kajian kejambian, tepat apabila menempatkan Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi sebagai ancang-ancang atau semacam peta perjalanan dalam rangka pengamatan yang lebih spesifik dan mendalam.



Daftar Pustaka

Adam, Asvi Warman. 2005. Walisongo Berasal dari Cina? dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.
Cœdès, George. 2010. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Cribb, Robert. 2000. Historical Atlas of Indonesia. Richmond: Curzon Press.
Kartodirdjo, Sartono, M. Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.). 1977. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.
Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium Sampai Imperium Jilid I. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Manguin, Pierre-Yves. 1989. Naskah dan Dokumen Nusantara VIII: A Bibliography for Srivijayan Studies. Jakarta: EFEO.
Muljana, Slamet. 1981. Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi. Jakarta: Yayasan Idayu.
_____________. 2006. Sriwijaya. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.
Reid, Anthony. 2011. Menuju Sejarah Sumatra: antara Indonesia dan Dunia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia; KITLV-Jakarta.
“Slamet Muljana”. http://id.wikipedia.org/wiki/Slamet_Muljana. Diakses pada 24 April 2012.


[1] Pierre-Yves Manguin, dalam A Bibliography for Srivijayan Study, mencatat, Slamet Muljana telah menerbitkan enam tulisan tentang Sriwijaya sejak 1968-1981, yaitu Kerajaan San-fo-ts’i (1968), Sriwidjaja (1968), San-fo-ts’i (1970), A New Interpretation of I-Ts’ing Statement (1978), Srivijaya’s Territorial Expansion in the 7th and 8th Centuries (1979) dan Kuntala, Sriwjaya dan Suwarnabhumi (1981).
[2] “Slamet Muljana”, http://id.wikipedia.org/wiki/Slamet_Muljana, diakses pada 23 April 2012. Lihat juga artikel Asvi Warman Adam bertajuk “Walisongo Berasal dari Cina?” yang merupakan kata pengantar terbitan ulang buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Buddha dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, hal. ix.
[3] Robert Cribb, Historical Atlas of Indonesia, (Richmond: Curzon Press, 2000), hal. 75-76.
[4] Sartono Kartodirdjo, M. Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), Sejarah Nasional Indonesia Jilid III (Jakarta: Balai Pustaka, 1977), hal. 18.
[5] Perlu diperhatikan, dalam penyajian data angka tahun kedatangan utusan Kuntala ke negeri Cina, terdapat ketidaksamaan antara Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi dan SNI. Muljana menyebutkan, utusan Kuntala datang untuk kesekian kalinya pada 519, dan untuk terakhir kali pada 520. Sementara itu, penyusun SNI menulis, utusan Kuntala datang untuk kesekian kalinya pada 518, dan untuk terakhir kali pada 563.
[6] G. Cœdès, Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2010), hal. 90.
[7] Slamet Muljana, Sriwijaya (Yogyakarta: LkiS, 2006), hal. 12.
[8] Muljana, Sriwijaya..., hal. 54-63.
[9] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium Sampai Imperium Jilid I (Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 1999), hal. 2.
[10] Muljana, Sriwijaya..., hal. 251.
[11] Sartono Kartodirdjo, M. Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), Sejarah..., hal. 53
[12] Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra: antara Indonesia dan Dunia  (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia; KITLV-Jakarta, 2011), hal. 24.
[13] Sartono Kartodirdjo, M. Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), Sejarah..., hal. 4
[14] Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Tiara Wacana: Yogyakarta, 2008), hal. 18.

19/04/12

kisah angsana


dia masih tegak. berdiri dengan gagahnya.
rantingnya sesekali menari, menuruti rayuan angin.
daunnya melambai-lambai, bagai memanggil kekasih.
                        
orang-orang pun mendekatinya, mengharap perlindungannya
dari serangan matahari, atau tusukan hujan yang jatuh tiba-tiba.
setelah mereka pergi melupakannya, mata angsana renta itu
tersenyum dengan ketulusan yang jujur, menyihir
getir dan getih sepi menjadi berlian yang berkilau-kilau.

dia masih tegak di sana. terpejam. sendirian
menempa puisi dengan api yang telah padam jilatnya.

Yogyakarta, 19 April 2012