06/05/19

Membaca The Alchemy of Happiness (1)



AL-GHAZALI mengawali buku The Alchemy of Happiness dengan ajakan untuk merenung. Sebagai makhluk, apakah manusia diciptakan secara iseng, kebetulan, dan tanpa tujuan tertentu? Sesungguhnya, apa makna hidup ini? Hidup ternyata adalah tangga untuk naik ke langit rohani tertinggi. Hidup adalah jalur pendakian yang harus ditempuh untuk mencapai puncak gunung spiritual. 
 
Langit rohani tertinggi atau puncak gunung spiritual itulah yang digambarkan sebagai surga. Di sana, manusia menikmati kabahagiaan yang tak palsu, yang tak semu, yang tak sementara, yang tak berakhir pahit padahal pada mulanya manis. Kenikmatan yang dialaminya di surga bukanlah kenikmatan jasmaniah rendahan, melainkan kenikmatan rohaniah yang ultim dan sublim. Di surga, manusia berjumpa dengan Keindahan Abadi (al-Jamil al-Baqi) yang dicarinya dengan susah payah sejak ia dieksiskan.

Secara implisit, al-Ghazali mengisyaratkan bahwa surga lebih dari apa yang selama ini terbayang dalam benak kita. Kita masih membayangkan surga sebagai himpunan puncak-puncak kenikmatan jasmaniah.

Di sana, disediakan bidadari cantik yang siap melayani lelaki gagah tampan. Di sana, berdiri istana-istana emas yang megah, yang di sekitarnya mengalir sungai susu, madu, dan anggur. Di atas sungai-sungai lezat itu, tumbuh pepohonan anggur dan kurma yang amat rindang, yang akarnya di atas dan buahnya menggelantung ke bawah. Penghuni surga duduk santai di atas dipan berkasur sambil menikmati minuman yang dituangkan ke dalam gelas kristal.

Apakah kondisi surga sejasmaniah itu, padahal yang jasmani bersifat fana sedangkan kehidupan surgawi bersifat kekal? Demi tujuan komunikatif, al-Quran memang menggambarkan surga secara demikian. Tapi, sebuah hadis menyatakan, hakikat surga tidak dapat dilihat mata, tidak terjangkau daya pendengaran telinga, dan tidak pernah terlintas dalam pikiran al-basyar (manusia sebagai makhluk biologis).

Surga memang digambarkan secara jasmaniah. Tapi, surga jauh lebih tinggi daripada apa yang sekadar jasmani. Kenikmatan surga adalah kekal. Keindahan surga juga kekal, berbeda dengan keindahan di dunia ini yang sementara. Untuk mencapai keindahan surgawi yang kekal itulah manusia diciptakan. 

Manusia diciptakan tidak untuk terpesona dengan keindahan duniawi, lalu betah hidup di alam dunia dan terikat kepadanya. Alam dunia adalah terminal transit dalam sebuah perjalanan panjang menuju Keabadian dan Kesejatian.

Manusia diciptakan tidak untuk memanjakan dan mengumbar nafsu. Tujuan hidup bukan untuk memburu fasilitas duniawi sebanyak-banyaknya, kemudian menikmati fasilitas fana tersebut sepuas-puasnya. Justru sebaliknya, manusia diciptakan untuk terus-menerus berjuang melawan nafsunya demi mencapai surga, demi tenggelam dalam perenungan akan Keindahan yang kekal.

Al-Ghazali menyebut metode untuk mencapai Keindahan Kekal atau kebahagiaan sejati tersebut sebagai kimiya-us sa’adah, the alchemy of happiness, atau ramuan kimiawi kebahagiaan. Alchemy ini adalah the philosopher’s stone yang secara ajaib mengubah batu dan logam menjadi emas murni, yang secara menakjubkan mengubah tangisan menjadi senyuman, penderitaan menjadi kebahagiaan, kejelekan menjadi keindahan, dan kerendahan budi pekerti menjadi keluhuran akhlak. Bila diringkas sepadat-padatnya, rumus/resep alchemy ini berbunyi: “melepaskan ikatan hati dari yang duniawi dalam rangka berjalan menuju Ilahi”.

Semua manusia, lebih-lebih manusia yang hidup pada zaman kalabendu ini, sesunggunya setiap hari jungkir balik mencari kebahagiaan sejati. Tapi, kenapa kebahagiaan itu belum juga ditemukan? Jawabannya: kita mencari kebahagian bukan di tempat yang seharusnya. Kita mempelajari ilmu kebahagiaan bukan dari sumber yang tepat. Seperti Abu Nawas, kita mencari kunci di luar rumah. Padahal, kunci itu jelas-jelas terjatuh di dalam rumah.

Sumber ilmu kebahagian (kawruh begja) yang tepat adalah para nabi. Sepanjang sejarah, menurut sebuah hadis, telah diturunkan 124 ribu nabi. Tugas mereka adalah mengajarkan kepada umat manusia resep the alchemy of happiness. Mereka membimbing umat manusia dalam perjuangan rohani (mujahadah) mengobati hati dari segala macam penyakit hati. Jihad paling besar bukan perang melawan kaum kafir, melainkan jihad melawan nafsu, yang boleh ditafsirkan sebagai perang melawan kekafiran pribadi. Setelah para nabi pergi, amanat untuk membimbing umat diwariskan kepada para ulama, ahli “hikmah”, filosof sejati, atau bijak bestari.

Tujuan kedatangan para nabi, yang masing-masing risalahnya membangun sebuah identitas keagaman tersendiri, pada dasarnya adalah untuk membahagiakan manusia. Ajaran agama dirancang untuk membuat manusia bahagia. Agama hadir tidak untuk membuat manusia menderita dan kesusahan. Agama ada tidak demi menciptakan permusuhan (‘adawah) dan keonaran (mafsadah). Sebab, dari segi psikologis, substansi semua agama yang dibangun, dijaga, dan dikembangkan para nabi adalah the alchemy of happiness.

The alchemy of happiness tersusun dari empat senyawa kimiawi yang sekaligus merupakan empat kategori ma’rifat (kearifan). Pertama, mengenal jati diri (ma’rifat al-nafs). Pertanyaan dasarnya: siapa manusia itu sebenarnya? Mengapa manusia diciptakan? Apa makna kehidupan dan kematian? Apa tugas manusia saat hidup di alam dunia? Kedua, mengenal Ilahi (ma’rifatullah). Pertanyaan dasarnya: siapa Tuhan itu sesungguhnya? Bagaimana relasi fitri antara manusia dan Tuhan? Ketiga, mengenal hakikat dunia (ma’rifat al-dunya). Sejatinya, apa hakikat dunia yang sekarang kita tinggali ini? Apakah dunia menyuguhkan kesejatian dan keabadian? Keempat, mengenal hakikat akhirat (ma’rifat al-akhirah). Apakah alam akhirat itu dan bagaimana sifat-sifatnya jika dibandingkan dengan alam dunia? Mengapa akhirat perlu ada?

Apakah Anda sudah lelah dengan kesedihan yang seakan tak berujung? Apakah Anda sudah letih dengan perasaan menderita yang tak henti-hentinya merundung? Apakah Anda menginginkan kebahagiaan? Kalau Anda juga mencari kebahagiaan, sebagaimana saya, marilah kita membaca buku The Alchemy of Happiness karya al-Ghazali lebih lanjut. Marilah kita menjelajahi gagasan, tuntunan, dan nasihat sang ulama lebih jauh.


NB: Saat saya mulai menulis catatan tentang The Alchemy of Happiness ini, kebetulan K.H. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) juga sedang mengadakan pengajian pasanan yang membedah kitab Kimiya-us Sa’adah. Jika Anda ingin mendalami kitab bagus dan penting ini, silakan buka YouTube untuk menonton video pengajian tersebut di Channel Gus Mus. Gus Mus adalah ahli yang memiliki otoritas, baik kerohanian maupun keilmuan, untuk menguraikan isi kitab tersebut. Sementara itu, saya hanya awam yang bodoh tetapi sok pamer wawasan tentang isi kitab The Alchemy of Happiness.