30/09/10

Lenin, Padamu Cinta dan Benciku

KEMANUSIAAN, kemanusiaan, dan kemanusiaan adalah pengandaian paling dasar dalam pemikiran Marxisme yang pada awal abad ke-20 berkembang menjadi gerakan komunisme internasional melalui tangan Lenin dan Tortsky. Kebahagiaan bagi seluruh umat manusia, kerajaan kebebasan Engelsian, penghapusan penghisapan manusia atas manusia lainnya, dan egaliterianisme merupakan tujuan puncak kontemplasi dan abstraksi Karl Marx.

Tetapi barangkali Marx sendiri tak pernah menyangka kalau buah pikirnya justru menciptakan sistem politik yang paling otoriter sepanjang sejarah umat manusia: Uni Soviet. Bukan emansipasi proletariat, bukan pembebasan manusia, yang terjadi malah pembelengguan kebebasan bertindak, berpendapat, dan berpikir. Sejak Revolusi Oktober (1917) hingga jatuhnya Khmer Merah (!979) lebih dari seratus juta nyawa manusia dikorbankan atas nama komunisme atau sosialisme. Di masa kepemimpinan Lenin saja sekitar 20 juta nyawa manusia melayang sia-sia.

Setahun paska Revolusi Oktober, 1918, Lenin membubarkan Konstituante hasil pemilihan umum Rusia sebelumnya. Selanjutnya ia juga melarang eksisnya partai komunis lain di Rusia seperti Mansheviki dan Partai Sosial Revolusioner, menyangkal kebebasan pers, melarang pembentukan fraksi di internal partai komunis Bolshevian, melarang diskusi bebas di dalam partai, membubarkan dewan-dewan buruh independen, penindasan terhadap agama-agama, pengawasan masyarakat oleh polisi rahasia, serta mendirikan berbagai kemp konsentrasi a la Gulag.

Pertanyaan besarnya, sebagaimana menjadi tesis sentral dalam buku ini yang sekaligus dijadikan tajuk bab penutupnya yakni “Mengapa hal itu bisa terjadi?” Apakah semata-mata hanya karena faktor psikologi pribadi pemimpinnya—misalnya demoralitas Stalin—atau sejak awal telah bersemayam biji-biji otoriterianisme di dalam sistem politik Uni Soviet yang dikembangkan Lenin? Siapa yang salah atau siapa yang paling bersalah: Lenin atau Stalin? Tak ada jawaban pasti. Di tubuh kelompok Marxis pun berlangsung berdebatan tentang hal ini.

Satu kelompok menyimpulkan yang bersalah adalah Stalin, Lenin tidak. Karena “perilaku menyeleweng” Stalin, Komunisme berubah menjadi sistem politik otoriter. Oleh kelompok ini Stalin dianggap sebagai seorang diktator perumus ideologi Marxisme-Leninisme yang “sakit jiwa”, “gila kekuasaan”, dan “akan memanfaatkan segala kesempatan untuk menjadikan diri seorang Tsar Merah, yang mirip dengan Ivan the Terrible”. “Leninisme adalah baik” dan “Stalinisme bukan merupakan perkembangan sah dan “logis” dari Marxisme”. Stalinisme menyalahi pokok-pokok pemikiran Lenin. Mereka yang tergabung dalam kelompok pembela Lenin ini antara lain Leon Tortsky, Roy Medvedev, dan pemikir grup Praxis Yugoslavia seperti G. Petrovic, M. Markovic, S. Srojanovic, serta Pedrag Vranicki.

Jika Lenin tak memberi andil dalam otoriterianisme Uni Soviet, kenapa kebijakan-kebijakan Lenin sesudah Revolusi Oktober cenderung merampas hak politik bahkan hak hidup rakyat? Mereka menjawab: kebijakan tersebut hanya ekses komunisme perang belaka. Sebab, kemenangan gerakan komunisme pada Revolusi Oktober masih terancam oleh gempuran kapitalisme dari dalam dan luar negeri.

Kelompok kedua yang diwakili Karl Korsch berpendirian lain. Tak hanya Stalin, Lenin juga tidak luput dari kesalahan. Sitem politik Uni Soviet yang dirumuskembangkan Lenin merupakan akar sejarah otoriterianisme komunisme abad ke-20. Stalin pada dasarnya memang otoriter dan rakus kekuasaan. Namun tanpa infrastruktur politik Uni Soviet yang sebelumnya telah dirancang Lenin, Stalin tetap tak akan mampu berbuat seotoriter itu.

Diktator proletariat, partai revolusioner, sentralisme demokratik, dan politbiro komite sentral partai yang diformulasi Lenin menyediakan peluang bagi Stalin bertindak otoriter. Ini juga menjelaskan mengapa di era kepemimpinan Lenin situasi politik Rusia sangat tidak demokratis.

Frans Magnis Suseno, dalam buku ini menginferensikan: sistem politik Uni Soviet mengarahkan pemimpinnya agar mengutamakan pragmatisme kekuasaan dalam gerakan politik proletariat. Pragmatisme kekuasaan lahir dari pandangan Lenin tentang ketidakniscayaan sosialisme dan penentangannya terhadap determinisme ekonomi.

Karena sosialisme tak akan datang tanpa ada gerakan aktif dari proletariat, maka sudah seharusnya kaum proletariat “merebut kekuasaan” dari tangan borjuasi dengan jalan revolusi. Untuk mempertahankan dan menuntaskan revolusi sosialis, prolatar tidak bisa tidak mesti mempertahankan kekusaannya dengan mendirikan diktator proletariat.

Dalam proses merebut dan mempertahankan kekuasaan ini, pragmatisme kekusaan berkelindan. Orang semisal Stalin tentu tidak membuang celah ini. Ia memanfaatkan kerenggangan demokrasi tersebut demi memuaskan ambisi politik pribadinya.

Pragmatisme kekuasaan itu kian diperkental dengan karakter saintifik, ilmiah, dan objektif Marxisme. Marx sendiri menegaskan: materialisme historis tak ternodai oleh subjektivitas dan moralitas. Setia terhadap Marx, Lenin menolak sosialisme etis. Jadi apapun yang dilakukan oleh Lenin dan Stalin sebagai pemimpin gerakan komunisme, apapun titah partai komunis, apapun keputusan politbiro komite sentral partai, sepenuhnya semata objektivitas sejarah. Tak ada ambisi politik dan pretensi pribadi-golongan dalam kebijakan-kebijakan tersebut.

Bahwa Lenin membunuh 20 juta manusia dan Stalin mencabut nyawa 15 juta manusia tidak lain kecuali kehendak objektif sejarah. Maka menghapus kebebasan pers, mendirikan kemp konsentrasi a la Gulag, dan melarang Islam dan Buddha adalah rasional belaka—sejalan dengan harapan kemanusiaan. Dan baik Lenin maupun Stalin samasekali tak memiliki kepentingan politik pribadi dengan semua itu.

Di Liga Pemuda Komunis pada 2 Oktober 1920 Lenin pernah berpidato: “Kami tidak percaya akan adanya moralitas abadi, dan kami menelanjangi penipuan yang disebarkan tentang moralitas melalui segala macam dongeng... kami mengatakan bahwa moralitas kami sama sekali diabdikan pada perjuangan kelas proletariat... bermoral itu berarti: segala apa yang mendukung penghancuran masyarakat lama para penghisap dan (memajukan) persatuan kaum buruh”. Dengan demikian, secara tak langsung Lenin mau mencuci tangan atas segala kebijakan Uni Soviet yang menyimpang dari kemanusiaan; berkedok objektivitas sejarah, Lenin menutup mata sekaligus melepas tanggung jawab atas seratus juta nyawa yang dikorbankan demi mewujudkan sosialisme.

Determinisme ekonomi, objektivisme materialisme historis, penolakan terhadap sosialisme etis, perampasan kebebasan berpikir-bertindak, kevandalan diktator proleteriat ialah tema-tema umum yang dikecam oleh Tortsky, Lukacs, Korsch, Gramsci, dan Tan Malaka—lima pemikir Marxis paska Lenin yang dipaparkan dalam buku ini. Kelimanya, meskipun diketahui umum sebagai pembantah-pembatah bahkan musuh-musuh politik Lenin dan partai komunis, namun sebetulnya mereka menyimpan butir-butir kekaguman terhadap pemikiran dan gerakan politik Lenin. Dan inilah benang merah yang menyatukan mereka: belum kuasa melepaskan diri dari “bayang-bayang Lenin” secara filosofis.

Tortsky misalnya. Kendati ia terang-terangan keluar dari Internasionale III dan mendirikan Internasionale IV, mengkritik kediktatoran proletariat, dan mencanangkan apa yang disebutnya sebagai revolusi permanen, tetapi Tortsky sungguh belum mampu keluar dari mainstream Leninian. Gagasan revolusi permanennya menunjukkan kesepakatannya dengan teori imperialisme Lenin.

Lebih-lebih Tan Malaka. Pejuang pergerakan nasional berdarah Minangkabau ini, setelah konfrontasinya dengan Lenin soal Pan-Islamisme dan setelah kegagalan pemberontakan PKI 1926 memang lantas keluar dari keanggotaan PKI. Ia pun mendirikan dua partai baru—PARI dan MURBA—yang hampir seluruh sendi-sendinya bertolak belakang dengan andaian-andaian revolusioner Lenin. Tapi Madilog—novum organum Tan Malaka—berisi elaborasi epistemologi Leninian yang dikondisikan dengan objektivitas mode produksi Indonesia. Di dalamnya Tan Malaka menyanjung pointer-pointer materialisme dialektik. Teori imperialisme Lenin dijadikannya sandaran bagi analisis kolonialisasi Indonesia oleh negara-negara utara.

Bagi yang keranjingan dengan semua hal tentang Marxisme, buku ini tentu tak mampu memuaskan dahaga intelektual mereka. Banyak pemikir-pemikir Marxian lainnya yang mengagumi Lenin namun juga menolak praktek-prakter kediktotarannya tidak dibahas dalam buku ini. Dan kekurangan ini diakui oleh Frans Magnis Suseno.

Tetapi, setidak-tidaknya buku ini dapat memupuskan ketaklidbutaan mereka terhadap Marxisme, Marxisme-Leninisme, Komunisme, dan Sosialisme dan segala sesuatu berbau kiri. Sebagai idealisme huministik, Marxisme memang mampu memberi pengharapan surga dunia bagi kelompok subordinat. Namun sebagai praktek politik, Marxisme dan terutama Marxisme-Leninisme Internasionale III meupakan biang keladi bagi permunculan neraka dunia yang merenggut ratusan juta nyawa manusia tak berdosa.

Demikianlah, buku ini menyisakan uneg-uneg bagi kita: tepatkah keputusan etis kita menganut Marxisme tanpa pertimbangan rasionalitas kemanusiaan sebelumnya? Dan mungkinkah Marxisme berwajah manusiawi terwujud? Untuk tidak mengulangi kesalah demokratik fatal Marxisme-Leninisme, maka Anda bebas menjawab pertanyaannya ini sebebas-bebasnya.

Dan Marah pada Jawa Bertahta


Pramoedya Ananta Toer (PAT) hanya bisa terbakar amarah sendirian di usia senjanya. Setelah berjuang puluhan tahun, ia merasa terasing di negerinya sendiri, negeri yang amat dicintai dan dibanggakannya: Indonesia.

Ia menyadari, perjuangan literernya puluhan tahun menasihati bangsanya agar tidak terus dan terus terperosok dalam jurang kehancuran kebudayaan tidak dihargai oleh bangsanya. Naskah-naskahnya dirampas angkatan darat, lalu dibakar. Perpusatakaannya yang memuat ribuan manuskrip dan dokumentasi historis langka, juga dibakar. Melalui mulut Kejaksaan Agung, Soeharto melarang diterbitkannya karya-karya PAT.

Sastrawan kelahiran Blora ini selama 10 tahun disekap di kemp konsentrasi Buru tanpa proses pengadilan apapun. Bahkan PAT tak tahu apa sebetulnya kesalahaannya. 34 tahun lamanya sejak peristiwa kudeta 1965 ia menjadi tahanan politik. Di kemp konsentrasi Buru, PAT sempat mau dibunuh. Tapi eksekusi tak jadi dilaksanakan karena ada tekanan politik terhadap Seoharto dari masyarakat internasional.

Yang menghargai PAT justru Amerika, negara yang ironisnya amat dibenci oleh PAT terutama karena peristiwa kudeta 1965 dan penaklukan Timor-Timur. Ironisnya lagi, penggagas buku “Saya Terbakar Amarah Sendirian” ini adalah wartawan berkebangsaan Amerika, Andre Vltchek.

Sejak Desember 2003 hingga Maret 2004, Andre Vltchek menyusun buku ini bersama Rossie Indira, seorang arsitek dan analis bisnis yang aktif menulis di The Jakarta Post, Gatra, dan Geograficky Magazin Kokteijl. Andre awalnya khawatir kalau-kalau
PAT menolak diwawancarai dalam rangka penyusunan buku ini.

Tetapi kemujuran memihak Andre: “Boleh saja,” kata PAT menyutujui usul Andre. Meski demikian, PAT tak bisa menyapu seluruh kecurigaannya terhadap wartawan Amerika tersebut. PAT benar-benar memendam kebencian dan amarah yang besar terhadap Amerika. Tapi kecurigaan tersebut tidak sedikitpun mengurangi kebernasan buku ini. Sebaliknya, kecurigaan itu malah mampu menggambarkan sikap tegas PAT terhadap Amerika.

Jasa Penjajah

Namun, PAT tak mau menimpakan seluruh kesalahan atas kehancuran Indonesia pada Amerika semata. Tidak pula pada Belanda semata atau Jepang belaka.

Amerika memang berkonstribusi besar dalam peristiwa kudeta 1965, sebuah peristiwa politik yang menelan 8 ratus hingga 3 juta rakyat Indonesia, peristiwa yang mengubah haluan ekonomi-politik Indonesia menjadi pendukung kapitalisme, peristiwa yang memotong proses nation dan character building yang tengah digalakkan Soekarno. Tanpa komando Presiden Eishenhower dan CIA, Soeharto dan gengnya tak mungkin mampu menyingkirkan Soekarno dan PKI.

Terhadap penjajahan Belanda dan Jepang pun, PAT tak mau melihatnya hanya dari lensa hitam-putih. Benar bahwa kedua negara imperial tersebut telah mengeksploitasi kekayaan alam dan keringat-darah rakyat Indonesia. Tetapi jasa-jasa Belanda dan Jepang terhadap kemajuan bangsa Indonesia tidak bisa seenaknya dilupakan.

Belanda-lah yang menyatukan bangsa-bangsa di Indonesia. Tanpa jasa Belanda “tidak akan ada yang namanya Indonesia. Suku-suku lokal masih akan terus berperang sendiri, sampai sekarang”. Indonesia mengenal administrasi, pemerintahan, pers, hukum, dan pendidikan dari Belanda. Bahkan tanpa andil Belanda, sukar membayangkan nasionalisme Indonesia.

Dan tanpa politik bahasa yang dilancarkan Jepang, Bahasa Indonesia tidak akan seberkembang sekarang. Untuk menancapkan kuku-kuku ideologisnya, Jepang mendirikan Komisi Istilah di Indonesia, suatu badan kebudayaan yang tugas pokoknya membahasa-indonesiakan istilah-istilah asing.

Gejala Jawanisme

Dalam penglihatan PAT, sejatinya bukan Belanda atau Jepang atau Amerika yang menjadi biang-keladi penjajahan nusantara selama berabad-abad. Biang-keladinya adalah Jawanisme. “Jawanisme”, papar PAT “adalah taat dan setia kepada atasan, yang pada akhirnya menjurus pada fasisme. Kita namakan fasisme Jawa saja ya, dan sistem ini tumbuh dan berkembang dengan sangat subur pada masa Soeharto”.

Belanda dapat dengan enteng masuk ke dan menjajah Pulau Jawa karena Jawanisme. Raja-raja Jawa berkolusi dengan Belanda. Melalui tangan raja-raja Jawa, Belanda menjajah nusantara.

Setelah menerima suap dari Belanda, raja-raja tersebut memerintahkan pada rakyatnya untuk bekerja memproduksi rempah-rempah demi keperluan ekonomi Belanda. Dan rakyat menuruti saja segala yang diperintahkan rajanya, tanpa pembangkangan, tanpa perlawanan, tanpa reserve-revolt, kendati mereka mengetahui bahwa rajanya korup dan amoral. PAT memberi contoh praktik Jawanisme lainnya:

“Ketika di abad ke-16 awak kapal dari Belanda datang untuk menjarah kekayaan bangsa, para kepala desa diberi emas dan perak sebagai sogokan atau kompensasi sehingga mereka tidak protes atau melawan. Dan rakyat desa juga tidak berani melawan karena menghormati atasannya. Jawanisme! Dengan demikian seluruh bangsa dijarah, dan pihak-pihak yang diuntungkan adalah penjajah asing dan kaum elit.”

Tidak saja di masa penjajahan Belanda, di era kependudukan Jepang Jawanisme sangat dapat dipersalahkan sebagai biang-keladi kehancuran dan penindasan. Adalah Jawanisme yang menyebabkan terjadinya pembiaran atas hilang dan matinya para romusha ketika itu.

“Tentara Jepang memberi perintah kepada kepala desa, tapi mereka tidak pernah benar-benar mengambil otoritas. Kemudian para kepala desa itu mengirimkan ratusan orang desa untuk kerja paksa (romusha), baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Banyak yang mati sewaktu kerja paksa ataupun yang tidak pulang lagi ke kampungnya. Tetapi orang masih saja nurut sama kepala desanya, walaupun kepala desa itu menerima sogokan dari tentara Jepang,”

Berkuasanya Orde Baru selama lebih dari 32 tahun juga disebabkan Jawanisme. Awalnya, intelektual, seniman, dan agamawan pada takut menggugat atasannya. Mereka tidak berani mempersoalkan korupsi Soeharto dan keluarganya. Mereka terlalu pengecut untuk mengorganisir pembangkangan politik melawan Soeharto. Hanya PAT dan beberapa gelintir orang saja yang sejak awal tercacaknya Orde Baru konsisten dan kontinyu mengadakan perlawanan politik terhadap Soeharto.

Karena Jawanisme, terjadi kolonialisasi Jawa atas provinsi lainnya, atas Aceh, atas Papua, atas Maluku, atas Ambon, atas Timor-Timur, atas hampir seluruh provinsi di nusantara. Pada lain matra, Jawanisme menyuburkan penghisapan elit politik atas rakyatnya sendiri.

Bahkan setelah Soeharto lengser keprabon, Jawanisme bukan segera lenyap, melainkan semakin parah. Reformasi, dalam pandangan PAT tidak bisa menghapus Jawanisme ini.

Lantaran Jawanisme, budaya korupsi saat ini merambah ke mana-mana. Dalam Jawanisme, golongan masyarakat terbagi dua: a) golongan yang tidak pernah bekerja, tidak pernah berproduksi, dan tidak pernah berkreasi tetapi berharap mendapat uang, kekuasaan, dan prestige sosial. Sudah pasti, uang hanya mereka dapatkan melalui korupsi dan pemanfaatan kedudukan. Golongan ini cenderung opurtunis, menjilat, dan hipokrit; b) golongan yang selalu hanya bekerja dan bekerja, tapi sedikit bahkan tidak mendapat upah sepeser jua dari pekerjaannya. Mereka sangat takut dan tunduk pada atasannya. Tak berani mereka mengungkit-ungkit kesalahan atasannya. Harapan terbesar golongan ini adalah bisa seperti atasannya yang tidak bekerja tapi kaya, terpandang, dan dihormati. Pada golongan atas yang lazim disebut priyayi atau elit ini, korupsi membudaya dan menjadi perilaku keseharian. Dalam Gadis Pantai, PAT dengan panjang lebar membabarkan kebusukan Jawanisme tersebut.

Selain korupsi, Jawanisme juga dituduh PAT sebagai biang-keladi dari budaya konsumtivisme dan deintelektualisme bangsa ini. Jawanisme hanya mendorong orang untuk mengkonsumsi tanpa berproduksi, mendapat uang tanpa bekerja, dan berjaya tanpa berkreasi. Pendidikan formal dan pendidikan di keluarga kita tidak mengajarkan budaya produksi sejak anak kecil. Dan karenanya, kreativitas anak bangsa pun mati. Budaya dokumentasi dan mengarang, yang digolongkan sebagai kerja kreatif mengalami kemerosotan.

Akibatnya jumlah karyatulis sangat sedikit dan Bahasa Indonesia masih juga miskin. Akibat lainnya, budaya membaca tidak pernah sungguh-sungguh membahana di Indonesia. Anak-anak Indonsia lebih suka menonton televisi daripada membaca, daripada menambah pengetahuan. “Mereka tidak lagi punya budaya membaca, mereka lebih senang menonton televisi... Mereka hanya menonton televisi, dan tidak punya keinginan untuk menambah ilmu,” keluh PAT.

Konsumtivisme yang dipicu dan dipacu oleh Jawanisme juga menyurutkan nasionalisme rakyat. Menurut PAT, mayoritas rakyat Indonesia lebih bangga mengkonsumsi segala yang berbau asing. Demikian pula, para intelektual Indonesia lebih suka dan lebih bangga memakai istilah-istilah asing ketimbang bersetia terhadap Bahasa Indonesia. Dengan sinis, PAT menyindir mereka: “Intelektual macam apa itu!”

Tetapi yang terburuk, sudah sejak abad ke-16 Jawanisme mengerdikal mental rakyat Indonesia. Mereka menjadi demikian penakut dan pengecut. Kepribadian, identitas, dan individualitas raib dari diri mereka. Keberanian mereka baru muncul saat tergabung dalam kelompok-kelompoknya. Ini yang menjadi biang-kerok tradisi tawuran, vandalisme, dan barbarisme yang mentradisi di Indonesia. Selain itu, Jawanisme menjadikan bangsa ini bermental inferior, pengemis, pesuruh, tukang, budak, kuli. Maka bisa dimaklumi jika saat ini Indonesia tercatat sebagai salah satu negara pengeskpor tenaga kerja terbesar di dunia.

Kebusukan-kebusukan Jawanisme tersebut menurut PAT menghancur-totalkan kebudayaan kita. Kebudayaan kita menjadi sangat miskin karenanya. Bahkan PAT sampai-sampai bertutur seperti ini’: “...Kebudayaan Indonesia sangatlah miskin. Mana yang disebut budaya Indonesia? Budaya Indonesia yang sebenarnya belum lahir...”

Dalam buku ini PAT melihat bahwa Soekarno memiliki wawasan yang cukup dalam tentang Jawanisme. Oleh karena itu, Seokarno melancarkan proyek kebudayaan nation dan character building yang dipandang amat idealis oleh PAT. Tetapi, kudeta 1965 yang disetir Soeharto mengagalkan proyek kebudayaan tersebut. Dan hasilnya, sampai sekarang Jawanisme bertambah subur, subur, dan subur.

Revolusi Total

Gara-gara suburnya Jawanisme ini, Indonesia kini mengalami kehancuran total, lebih-lebih secara kebudayaan. Untuk mengobati kehancuran tersebut, hanya satu jalannya: revolusi total.

PAT tidak lagi percaya bahwa reformasi atau pemilu mampu mengobati kehancuran total Indonesia. Reformasi cuma me-reform Orde Baru dan membentuk versi baru Orde Baru. “Sekarang sudah rusak sekali, reformasi apapun tidak akan berpengaruh,” tegas PAT.

Proses pemilu juga tidak akan menghasilkan perubahan berarti. Para calon presiden yang mengikuti kontestasi pemilu tidak mempunyai wawasan ke-Indonesiaan. “Apa yang bisa kita harapkan dari mereka? Kayak badut saja”. PAT bahkan tidak mementingkan lagi siapa yang akan berkuasa, siapa yang terpilih sebagai presiden. “...tidak penting siapa yang jadi penguasa, kondisi Indonesia yang sudah sangat memprihatinkan ini tidak akan berubah”.

Lagi-lagi satu-satunya obat hanya revolusi total. Dan PAT membebankan tugas tersebut pada angkatan muda. Sebab, “sejak tahun 1915 sejarah Indonesia dibuat oleh angkatan muda”. Untuk kesekian kali PAT menegaskan: “Saya rasa, Indonesia sudah tidak bisa tertolong lagi, kecuali dengan perubahan yang radikal. Dan ini harus dipimpin oleh angkatan muda. Jangan banyak bicara, harus langsung bertindak! Obatnya hanya revolusi, tidak ada yang lain.”


Namun PAT melihat kekurangan yang diderita angkatan muda Indonesia. Di matanya, mereka belum juga melahirkan para pemimpinnya sendiri. Lain dari itu, PAT merasa angkatan muda tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan revolusi yang sungguh-sungguh; revolusi yang tak sekedar menaik-turunkan penguasa dan mengganti sistem politik dan ekonomi, revolusi yang tak melulu me-reform, tetapi revolusi yang berambisi membumihanguskan Jawanisme dan melahirkan kebudayaan Indonesia yang baru.

Dan begitulah, karena tumpukan masalah yang dihadapi Indonesia tersebut, karena kehancuran total kebudayaan yang tengah dialami Indonesia, karena angkatan mudanya belum secara sungguh-sungguh bangun menggerakan dan memimpin revolusi total, dan karena Indonesia belum mau menghargai pikiran-pikirannya, Pramoddya Ananta Toer, sastrawan agung yang merindukan kejayaan Indonesia, menjadi “terbakar amarah sendirian”, sendirian, sendirian. Tetapi dengan diterbitkannya buku ini, semoga angkatan muda Indonesia dapat menangkap fibrasi kemarahan PAT itu, lalu mematerialkannya dalam gerakan revolusi total yang sungguh-sungguh.


Judul : Saya Terbakar Amarah Sendirian;
Pramoedya Ananta Toer dalam Perbincangan dengan
Andre Vltchek & Rossie Indira
Penyusun: Andre Vltchek dan Rossie Indira
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Cet. Ke : I, 2006
Hal. : xxix + 131

Hikayat Haji Komunis

Judul : H.M. Misbach: Kisah Haji Merah
Penulis : Nor Hiqmah
Penerbit: Komunitas Bambu
Cet. : I, September 2008
Hlm. : xxxviii + 122 hlm

Orde Baru, dengan jurus rekayasa sejarahnya, mem-perang-kan Islam dan Komunisme. Akibatnya, komunis dicitrakan kafir dan wajib digenosida. Akibat lainnya: banyak tokoh pergerakan komunis Indonesia yang namanya tak masuk sejarah resmi, salah satunya Haji Misbach.

Berkebalikan dengan strategi politik Orde Baru yang mengkonfrontir Islam dan Komunisme, Haji Misbach menyerukan bahwa Islam dan komunisme merupakan sejoli yang memiliki kesaman prinsipil: melawan setan kapitalisme. Seruan itu, dengan bentuk linguis berbeda-beda, juga dintrodusir oleh Tjokroaminoto, Soekarno, Tan Malaka, dan Hatta.

Haji Misbach awalnya penganut Muhammadiyah Surakarta yang berpendidikan pesantren. Memasuki usia matangnya, ia merasakan adanya diskriminasi sosial-ekonomi di Hindia-Belanda.

Politik stratifikasi sosial pemerintahan kolonial menurunkan derajat bumiputera hingga kasta paling rendah: budak. Rajanya ialah Belanda Totok. Suasana egaliterianisme sungguh tak terasa saat itu.

Kesenjangan ekonomi amat lebar. Kekayaan terkonsentrasi pada orang-orang Eropa. Bumiputera sendiri menempati urutan buncit secara ekonomi. Di lain sisi, masuknya modal asing ke Hindia-Belanda dalam skala besar sejak 1870-an semakin mamaksimalkan penghisapan ekonomistik bumiputera.

Sistem pengkastaan pun hadir di dunia pendidikan. Pendidikan formal, yang dikhutbahkan pemerintah kolonial sebagai balas budi terhadap bumiputera, malah melanggengkan diskriminasi sosial-ekonomi.

Di tengah situasi itu Haji Misbach memutuskan masuk Sarekat Islam (SI) dan Inlandsche Journalisten Bond (IJB). Di kedua organisasi tersebut, ia bertukar pikiran dengan Semaoen dan Marco Kartodikromo yang terkenal tulen paham komunisnya. Haji Misbach kemudian melanjutkan perjuangannya memakai baju SI.

Pada 1917 meledak revolusi Rusia. Revolusi tersebut merayu Haji Misbach untuk lebih setia pada garis perjuangan komunisme. Namun, kesetiaan itu tidak segera mengubur keimanan islaminya. Sebaliknya, ia memandang bahwa kesetiaan pada komunisme adalah pengamalan ajaran Islam yang sejati.

Menurutnya, tiap bumiputera yang mengaku muslim harus menganut komunisme. Muslim yang menolak komunisme berarti ia munafik, berati ia kapitalis. Dalam pemahaman Haji Misbach, kapitalisme adalah fitnah zaman modal; adalah setan yang harus segara dilumat. “...orang jang mengakoe dirinja Islam tetapi tida setoedjoe adanja kommoenisme, saja berani mengatakan bahoewa ia boekan Islam jang sedjati atau beloem mengerti betoel tentang doedoeknja agama Islam,” tulis Haji Misbach dalam sebuah artikel di surat kabar Medan Moeslimin berjudul “Islam dan Kommonenisme”.

Kontra Tjokro

Setelah masuk dan tersebarnya gagasan komunisme di SI Semarang sejak 1916, terjadilah penajaman faksionalisasi di tubuh SI. SI mulai terbelah secara ideologis menjadi dua blok, blok Tjokroaminoto yang secara ideologis Islam dan blok Semaoen yang secara ideologis komunis. Faksionalisasi ideologis tersebut memuncak pada kongres SI tahun 1919. Di dalamnya Tjokroaminoto dan Semaoen berdebat sengit.

Musuh kaum pergerakan, tandas Tjokroaminoto dalam kongres tersebut, adalah “kapitalisme yang berdosa” atau “kapitalisme yang jahat”. Tjokroaminoto membagi kapitalisme jadi dua: “kapitalisme yang jahat” dan “kapitalisme yang baik”. Yang pertama adalah sarekat pengusaha Eropa dan pengusaha non-Islam, sedang yang kedua ialah sarekat pengusaha bumiputera. Kaum pergerakan, dalam pandangan Tjokroaminoto, dilarang memerangi pengusaha bumiputera.

Semaoen menolak posisi teoritis-ideologis Tjokroaminoto itu. Semaoen menegaskan, kaum pergerakan harus memerangi kapitalisme, entah yang baik apalagi yang jahat. Soalnya, menghasilkan laba semaksimal mungkin adalah prinsip kapitalisme yang paling telanjang. Prinsip tersebut berujung pada penindasan dan penghisapan umat manusia. Atas alasan ini, Haji Misbach membela pemikiran Semaoen.

Nor Hiqmah dalam buku ini mengamati bahwa pembagian tipe kapitalisme oleh Tjokroaminoto bermuatan ideologis. Tjokroaminoto sebenarnya ingin melindungi elit pedagang muslim bumiputera yang tergabung dalam SI. Haji Misbach menembak sisi ideologis Tjokroaminoto tersebut.

Dalam kacamata Haji Misbach, muslim yang melindungi kapitalisme karena ketakutan dan demi memperkaya diri adalah seorang munafik; Islamnya bukan Islam sejati, tapi sebatas Islam Lamisan. Maka jelas, Haji Misbach menggolongkan Tjokroaminoto sebagai munafik.
Meninggalkan Muhammadiyah
Haji Misbach memang berasal dari keluarga Muhammadiyah. Ia dididik dan dibesarkan secara Muhammadiyah. Tapi, hal itu tidak serta merta membuatnya bersikap fanatik dan dogmatik terhadap Muhammadiyah.

Haji Misbach justru akhirnya memutuskan keluar dari Muhammadiyah dan menjadi anggota PKI. Karena, di PKI-lah ia mendapat semangat Islam; semangat untuk bergerak dan tidak diam atau a-politis saat rakyat sedang terjajah oleh kolonialisme Hindia-Belanda.

Semangat ini tidak ia dapatkan di Muhammadiyah. Muhammadiyah, yang ketika itu digawangi Agus Salim dan Fachrodin, kukuh untuk tidak mencebur ke politik praktis memperjuangkan penuntasan penjajahan.

Sikap a-politis Muhammadiyah, menurut Haji Misbach, bukanlah ekpresi Islam Sejati. Islam Sejati tak boleh melupakan dimensi politik; sebaliknya, ia harus berkubang dalam medan politik. Singkatnya, Islam mesti berpolitik!

Islam = Komunisme

Haji Misbach melihat Islam dan Komunis bukanlah dua kubu yang seharusnya diperlawankan. Keduanya memiliki banyak persamaan dan sedikit perbedaan: sementara Komunis lebih berorientasi “surga dunia” yang material, Islam mengajarkan umatnya untuk tak sekadar mengejar “surga dunia” namun juga “surga akhirat” yang kekal dan transenden.

Menurut Haji Misbach, maksud Islam adalah maksud komunis; begitu pula sebaliknya. Keduanya saling melengkapi dan mengarahkan. Pemahaman Islam Sejati akan membawa seorang muslim pada pergerakan komunisme. Pengertian komunisme yang jernih bakal membawa seorang komunis pada ketinggian Islam.

Kapitalisme, Islam dan Komunisme

Persamaan mutlak dan utama antara komunis dan Islam adalah permusuhan keduanya terhadap kapitalisme. Kapitalisme berpijak pada riba dan maksimalisasi keuntungan pribadi.

Dalam rangka efisiensi dan peningkatan keuntungan, kapitalis menggunakan teknologi. Teknologi, naasnya menyingkirkan peran buruh. Maka, banyaklah buruh yang dipecat yang berdampak pada surplus pengangguran. Surplus pengangguran memudahkan kapitalis mengontrol, mengendalikan, dan menyeleksi calon baruh.

Nilai jual buruh pun semakin murah. Biaya hidup kian tak terjangkau, sampai-sampai makan sehari-hari saja sukar. Konsekuensinya: pencurian, penjarahan, dan tindak kriminal lainnya merebak.

Menambah jam kerja buruh adalah cara lain kapitalis memaksimalkan keuntungan. Bertambahnya jam kerja bakal melipatgandakan keletihan, mengurangi waktu senggama dengan keluarga, dan tragisnya memangkas waktu seorang buruh muslim beribadah. Karena tuntutan pekerajaan, ia bahkan lalai menunaikan ibadah wajibnya dan lupa mengamalkan ajaran Islam.

Jadi, akar dekadensi relijiusitas ialah kapitalisme. Maka dari itu, Islam wajib menghapus sistem kapitalisme. Ini sejalan dengan arah gerak komunisme. Kapitalisme merupakan musuh bersama Islam dan komunisme.

Pada perjalanannya, maksimalisasi keuntungan pribadi akan menimbulkan situasi chaos dan anarkis dalam diri kapitalisme itu sendiri. Seorang kapitalis baku hantam-saling tikam dengan kapitalis lainnya untuk meraih keuntungan. Keadaan tersebut akan menyebabkan “crisis”. Haji Misbach kemudian menyebut crisis tersebut dengan “da’i”.

“Crisis” kapitalisme berakibat pada pemecatan buruh, pengangguran massal, dan kemiskinan absolut. Seluruhnya bermuara pada demoralisasi. Artinya, kapitalismelah yang menyebabkan kefakiran, kekafiran, dan kemunafikan. Oleh sebab itu, sekali lagi, tugas Islam sebagaimana juga merupakan tugas komunisme, adalah meruntuhkan sistem kapitalisme.

Di titik inilah Haji Misbach dengan lugas dan gemilang berhasil mempertemukan Islam dan Komunisme. Tepatnya bukan mempertemukan, tapi mengingatkan kembali kaum pergerakan bahwa Islam dan Komunisme pada dasarnya tidak kontradiktif. Islam dan Komunisme merupakan spirit penggerak membebaskan rakyat dari penjajahan.

Namun, pikiran brilian Haji Misbach ini tergusur oleh arus historiografi mainstream bentukan Orde Baru. Bahkan, peran penting Haji Misbach dalam pergerakan nasional disingkirkan dari wacana dominan. Syukurlah ada orang-orang seperti Nor Hiqmah, penulis cum aktivis yang mau mengangkat dan meninggikan dia yang terhapus dari penulisan sejarah resmi: Haji Misbach, si haji komunis.

Manifesto Ekonomi "Indonesia Merdeka"

:: review buku "Manifesto Ekonomi Kerakyatan" karangan Revrisond Baswir

Di Belanda, suatu hari pada Juli 1922, M. Hatta dan Tan Malaka berdebat sengit tentang partai revolusioner dan diktator proletariat Lenin. Keduanya memiliki pandangan demokratis yang sama: tak sepakat dengan praktik otoriterianisme Lenin. Namun tentang hal ini, Hatta lebih radikal. Menurutnya, sosialisme yang sejatinya demokratis, tak boleh dicapai melalui jalan otoriter seperti yang dipraktikkan Lenin.

Sejak berdebat dengan Tan Malaka itulah, Hatta lebur dalam kontemplasi-kontemplasi sosialisme yang lebih mendasar. Nanti, kontemplasi tersebut akan membuahkan bangun pemikiran otentiknya yang bertujuan mengoreksi sistem kehidupan kolonial di Hindia-Belanda. Segala sektor kehidupan kolonialistik mesti dihapus. Politik kolonial harus diganti dengan politik kontra-kolonial. Demikian pula hukum, pendidikan, budaya, sosialitas, dan terutama ekonomi.

Sistem ekonomi kolonial yang berorientasi ekspor dan tidak berpihak pada bumiputera harus diganti dengan sistem ekonomi sosialisme yang bercorak keindonesiaan. Hatta menyebutnya sebagai sistem ekonomi terpimpin. Mubyarto mengistilahkannya sistem ekonomi Pancasila. Sedang Revrisond Baswir, penulis buku ini, menamainya sistem ekonomi kerakyatan.

Tujuan jangka pendek sistem ekonomi kerakyatan adalah demokrasi ekonomi, sedang tujuan jangka panjangnya demokrasi sosial-politik. Maksudnya, ekonomi kerakyatan mau menyetarakan kedudukan seluruh rakyat Indonesia secara ekonomi, sosial, dan politik.

Kesenjangan ekonomi antara the have dan the have not hapus. Kesenjangan sosial, entah karena latar belakang status, ras, agama, atau ideologi pupus. Ketaksetaraan akses dan partisipasi politik rakyat hangus. Sebab, penyebab kesenjangan dan ketaksetaraan sosial-politik rakyat adalah perbedaan akses ekonomi. Siapa kaya, ia yang punya status, dan akhirnya ia yang punya kuasa politik.

Melihat jejak sejarah ekonomi kerakyatan, nyatalah bahwa ia bukan barang baru sebagaimana keliru pandang sementara orang terhadapnya. Bahkan, dalam Pancasila, dan tentu juga UUD 1945, terkandung muatan ekonomi kerakyatan. Atau justru, ekonomi kerakyatan dan Pancasila tak terpisahkan dan identik. Karena itu, ekonomi kerakyatan tak sebatas jargon politik yang artifisial, temporal, dan tendensius.

Ekonomi kerakyatan telah dipersiapkan jauh-jauh hari oleh Hatta. Dan pasal 33 UUD 1945, yang dirumuskan Hatta, yang terancam dihapus saat amandemen MPR paska reformasi, adalah referensi subtil dan padat terkait sendi-sendi ekonomi kerakyatan.

Upaya penghapusan pasal 33 UUD 1945 yang digagalkan oleh Mubyarto merupakan bentuk subversi agen neo-liberal—musuh utama ekonomi kerakyatan—agar rezim pasar bebas dapat sepenuh-penuhnya memonopoli aktivitas ekonomi di teritorial nasional RI. Sebenarnya masih banyak upaya-upaya subversif neoliberal-neokolonial lainnya di Indonesia.

Agresi militer I dan II yang menyeret RI ke Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 adalah subeversi neokolonial pertama kali terhadap RI. Hasil keputusan perundingan tersebut sangat merugikan pihak RI. Neokolonial merepresi RI agar bersedia mempertahankan eksitensi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia, mematuhi ketentuan-ketentuan IMF, dan melunasi hutang warisan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Revrisond Baswir dalam buku tipis ini juga menyebutkan bahwa pemberontakan PRRI/Permesta, sandiwara politik-militer menggulingkan Soekarno, dan penandatanganan MoU RI-IMF pada krisis 1997-1998 oleh soeharto termasuk bentuk subversi neokolonial yang paling vulgar.

Demikianlah, dengan sederet aktivitas subversif itu, neokolonial ingin mengintegrasikan ekonomi indoensia dalam jejaring tata ekonomi global. Neokolonial bermaksud mengambalikan kondisi keterjajahan Indonesia pra-proklamasi; atau jika bisa lebih parah ketimbang itu. Dan kini, paska-reformasi, tampak jelas bahwa sistem ekonomi-sosial-politik Indonesia mirip dengan kondisi pra-proklamasi.

Corak ekonomi nasional saat ini berorientasi ekspor bahan mentah, impor bahan jadi dari negeri-negeri industri maju, dan fungsi Indonesia tak lain sebagai tempat sirkulasi kapital asing. Kasta sosial begitu terasa. Rakyat Indonesia masih jadi budak di negerinya sendiri karena akses ekonominya selalu terhadang oleh blokade casino capitalism (grup neoliberal) dan croni capitalism.

Penggusuran lahan rakyat bertabir sertifikasi tanah, biodisel-global warming, atau pembangunan jalur transportasi berlangsung di mana-mana. Daya jual buruh kian murah lantaran deregulasi massif yang dipersembahkan untuk perusahaan dan investor asing.

Demikian pula, demokrasi politik bagi rakyat Indonesia masih jauh panggang dari api. General election, yang didewakan oleh World Bank, IMF, dan Amerika justru memiskinkan dan mensemukan akses, hak, dan partisipasi politik rakyat. Partai politik dan anggota DPR bukan representasi rakyat. Tapi melalui mekanisme rekruitmen politik yang dimanipulir agar seolah-olah bernada suara rakyat, partai politik dan anggota DPR hanya berfungsi sebagai boneka kelompok-kelompok kepentingan. Kesimpulan dari semua kondisi nasional tersebut adalah Indonesia hingga detik ini masih terjajah, terkolonialisasi, dan belum merdeka.

Tepat pada kondisi seperti itulah, sistem ekonomi kerakyatan menjadi sangat urgen, relevan, dan wajib implementasi. Tapi,masih adakah harapan bagi ekonomi kerakyatan ketika neokolonilisme-neoliberali
sme begitu kokoh bercokol di Indonesia? Masih, jawab Revrisond Baswir. Mencuatnya perlawanan terhadap hegemoni Amerika, polarisasi kekuatan geopolitik-geoekonomi global, krisisnya kapitalisme sebab kredit macet perumahan 2007-2008, dan menajamnya gap sosial-ekonomi rakyat Indonesia, adalah beberapa faktor potensial yang mendorong pemangku kebijakan agar mau menerapkan sistem ekonomi kerakyatan di Indonesia.

Karena urgensi dan relevansi sistem ekonomi kerakyatan tersebut, maka buku “Manifesto Ekonomi Kerakyatan” ini pun bernilai amat penting. Apalagi bagi intelegensia, aktivis LSM, dan aktivis mahasiswa yang menerima mandat sejarah membumihanguskan mode kehidupan kolonialistik di Indonesia. Membaca seksama buku ini, pasti Anda akan berkesimpulan: iya, ya. Indonesia belum merdeka!

Selamat membaca dan bergerak merealisasikan isinya demi “Indonesia Merdeka”.

Kala Engineer Berteologi


:: Kelana Teologi Asghar Ali Engineer

Industrialisasi mengakibatkan perubahan peradaban maha dahsyat baik di Timur lebih-lebih di Barat. India, yang saat itu lagi merajut kesejahteraan juga terlanda perubahan-perubahan akibat industrialisasi. Maka riuhlah di India ide-ide pencerahan khas industrialisme: liberalisme, sosialisme, feminisme, dan sebagainya sebagai jalan keluar dari penindasan struktur masyarakat kapitalisme yang bercumbu dengan feodalisme.

Infrastruktur ekonomi kapitalisme yang merupakan saudara kandung industrialisasi juga tak luput meriuhkan sosialitas India, dari teknologi serta rasionalitas sasarannya, media dan kepiawaiannya mengarahkan arus massanya, hingga kesadaran uang sebagai orientasi hidup yang begitu mencolok.

Sementara, agama dan politik justru melegitimasi keadaan kapitalistik itu. Situasi kian tak karuan, ketika feodalisme juga turut melegitimasikan dan memperparah bangunan masyarakat kapitalistik.

Seharusnya, menurut Asghar Ali Engineer, agama Islam mampu menggemakan kekuatan spiritualistiknya untuk mengemansipasikan masyarakat miskin dan subordinat India ketika itu. Karana itulah fitrah agama: sebagai praksis liberatif.

Namun agama Islam saat itu bukan membebaskan. Agama Islam malah menghanyutkan dan melanggengkan situasi ketertindasan, kemiskinan, ketakadilan distributif, dan kesenjangan gender. Menyitir ungkapan Marxian, agama Islam menurutnya menjadi candu; opium sebagai pelipur lara kaum miskin dan tertindas, serta pelayan aliansi elite kapitalis-feodalis.

Agama Islam telah ingkar dari misi sucinya sendiri sebagai ideologi pembebasan. Dalam rangka mengembalikan kesadaran agama Islam akan misi sucinya tersebut, Asghar Ali Engineer menyusun paradigma teologi pembebasan (Islam). Paradigma ini hampir persis seperti teologi pembebasannya Gustavo Guiterres dan Juan-Luis Segundo di Amerika Latin.


Di Salumba, Rajasthan, dekat Uidapur pada 10 maret 1939, Asghar Ali Enginer lahir sebagai anak seorang muslim taat penganut sekte Syiah Ismailiyah Daudi Bohras yang berpusat di Bombay, India. Oleh orang tuanya, Engineer diberi pendidikan agama ketat. Tapi ia juga diberi pendidikan barat.

Setelah mencapai taraf kematangannya, ia diangkat sebagai da’i Daudi Bohras. Status da’i pada sekte ini memiliki tingkat prestisius yang tak tanggung-tanggung. 94 prasyarat harus terpenuhi agar seorang menjadi da’i.

Tetapi bukan dalam hal ini kehebatan Engineer. Ia hebat karena mampu mentransedensikan dirinya melampaui dan melawan konservatisme teologi Islam konvensional. Untuk itu, Engineer menggunakan Marxisme yang dipadukan dengan paham Mu’tazilah, Syi’ah Ismailiyah Qoromithoh, dan Khawarij sebagai sepaket epistemologi Islam liberatif.

Engineer juga penulis produktif. Puluhan buku ia karang. Profesinya sebagai wartawan merangsang dia menulis hampir di seluruh media cetak India. Di antara karangan babonnya: Islam and It Relevance in Our Age (1984), Religion and Liberation (1989), Liberation Theology in Islam (1990), Right of Women in Islam (1992), Rethinking Issues in Islam (1998), dan Rational Approach to Islam (2000).

Pada masa tuanya, Engineer terus melanjutkan aktivitas pergerakannya sambil mengajar di seluruh universitas India secara bergantian. Ia kerap diundang sebagai dosen tamu di berbagai universitas negara-negara islam.

Teologi Pembebasan

Renungan praksiologis teologi pembebasan Engineer beranjak dari ketakkaruan kondisi masyarakat kapitalisme feodal India. Mengikuti doktrin Marxian, agama Islam menurutnya telah menjadi candu yang menyokong status quo; telah menjadi teologi konvensional yang begitu konservatif dan menyimpang dari misi sucinya sebagai pembebas dengan spirit revolusionernya. Karena itu, ia kembali merekonstruksi, merevitalisasi, dan mengkontekstualisasi paradigma liberatif yang terkandung dalam Islam. Sayangnya, situasi kemapanan mengubur paradigma liberatif Islam tersebut.

Menurutnya, Islam sebagai teologi pembebasan itu: a) mesti dimulai dengan melihat [relasi] kehidupan manusia di dunia dan akhirat; b) anti status quo yang lebih melindungi golongan kaya (the have) ketimbang golongan miskin (the have not) dan anti kemapanan agama dan politik; c) membela golongan tertindas dan tercerabut hak miliknya, serta memperjuangkan kepentingan mereka dan membekali mereka dengan senjata ideologis yang kuat untuk melawan para penindas; d) mengakui relasi saling melengkapi antara konsep metafisika takdir (teosentrisme) dan konsep kebebasan manusia (antroposentrisme).

Dengan teologi pembebasannya, Engineer mengkritik teologi konvensional. Teologi konvensional, demikian Engineer, terlampau berpihak pada status quo dan sarat dengan kekaburan metafisik. Justru dengan kekaburan metafisik tersebut teologi konvensional memosisikan dirinya sebagai pelayan status quo. Jika secara metafisik terang, tak ada peluang memosisikan teologi sebagai pelayan status quo.

Salah satu kekaburan metafisik dalam teologi konvensional adal konsep jabr (paham fatalis/pre-deterministic) yang dianut oleh mayoritas aliran kalam dalam Islam. Dengan paham jabr tersebut, otoritas politis memanfaatkan agama Islam sebagai alat meneror, membatasi, dan menindas rakyatnya sendiri. Agar status quo tak terancam, bertopengkan normativitas al-Qur’an, otoritas politik mengharamkan paham teologi kebebasan (Qodr/ free will) yang dibawa oleh Mu’tazilah, Khawarij, dan sekte-sekte lainnya.

Dan menurut Engineer, kontroversi paham fatalis dan kebebasan ini malah digunakan otoritas politik sebagai pengekal kekuasannya. Akhirnya, teologi konvensional lupa dengan tugas suci liberatifnya. Teologi konvensional hanya sibuk dengan perdebatan skripturalis antar blok jabr dan qodr yang tak habis-habisnya.

Engineer kemudian merekonsilisasi perdebatan tersebut dengan argumentasi apik. Blok Jabr ada benarnya, demikian pula blok qodr tak seutuhnya kafir. Blok jabr benar ketika mengatakan tuhan Mahakuasa. Namun kemahakuasaan tuhan tidak lantas menilap kebebasan manusia. Tuhan maha kuasa untuk memberi kebebasan kepada manusia memanfaatkan alam sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Tiada yang kontroversial antara kehendak tuhan dan kehendak manusia. Keduanya saling melengkapi.

Tidak seperti para teolog konvensional yang mengandaikan al-Qur’an cuma berdimensi normatif. Engineer menyatakan al-Qur’an berdimensi ganda: normatif sekaligus pragmatis.

Teks al-Qur’an tergelatak dalam ruang-waktu historis dan tak bisa keluar dari kehistorisan tersebut dengan berputar-putar pada obrolan sintaksis, morfologis, dan leksikal. Teks al-Qur’an harus diberi makna baru, ditafsir ulang berdasarkan kondisi masyarakat kapitalisme feodal india. Normativitas al-Qur’an harus bersentuhan dan berdialog dengan pragmatisme ide-ide pencerahan, seperti liberalisme, sosialisme, egaliterianisme, feminisme, dan seterusnya.

Epistemologi liberatif ini membuat syari’ah dipahami tak lagi sebagai benda statik. Namun syariah adalah peristiwa tersendiri yang berevolusi menempuh horizon sejarah, baik spasio maupun temporal. Syariah adalah peristiwa yang dinamis.

Prinsip yurisprudensi ijtihad, dalam hal ini, berguna sebagai katalisator dinamika syari’ah. Artinya, kebebasan –karenanya ijtihad menjadi mungkin—justru mendinamiskan syariah; menghidupkan obor hidup syari’ah setelah teologi konvensional memadamkannya.

Kehendak bebas manusia, berkebalikan dengan justifikasi para teolog konvensional, tidak bertentangan dengan kehendak tuhan atau agama. Kehendak bebas manusia membuat agama Islam menjadi agama Islam sebagaimana diwahyukan.

Sebagai studi kasus penenerapan prinsip dinamis yurisprudensi ijtihad, Engineer mengintrodusir: normatif Islam dalam perkara posisi ontologis wanita perlu ditafsir ulang berdasar kondisi kapitalisme feodal India. Masyarakat India berbada dengan masyarakat Arab zaman nabi. Lingkung historis wanitanya juga tak sama.

Sementara itu, industrialisasi dan perkembangan teknologi serta transportasi mengimpor paham feminisme liberal ke India. Industrialisasi, demi kepentingan kapital menuntut wanita lebih bebas dari keadaan pra-industrialisasi. Wanita, tak lagi berkutat pada ruang domestik rumah tangga. Pabrik pun membutuhkan wanita. Wanita dinilai lebih menguntungkan ketimbang laki-laki. Maka, Wanita dituntut pula bekerja pada sektor publik, sama seperti laki-laki. Oleh karena itu, hak wanita juga harus disetarakan dengan hak laki-laki agar kemanusiaan tetap terjaga. Pacu kesadaran feministik ini beriring bersama penaikan kualitas pendidikan para wanita India.

Ketika penghargaan masyarakat terhadap wanita meningkat, lebih-lebih ketika kaum wanitanya telah bercita-cita emansipatif, pandangan teologi konvensional yang menomorduakan wanita, tak lagi bisa diimplementasikan. Teologi mesti menyokong ide emansipasi wanita dari cekalan struktur patriarki masyarakat. Ia menjadi elemen ideologis dalam rangka egalitarianisasi gender.

Berpatok perspektif ini, teologi hendaknya menutup pintu bagi aplikasi hukum rajam bagi pezina wanita. Sebab, persekutuan antara feodalisme dengan kapitalisme memojokkan posisi wanita sebagai objek seksual subordinat.

Feodalisme melegitimasikan hirarikisitas gender: pria lebih tinggi ketimbang wanita; secara pekerjaan, fisik, dan cara berpikir, pria lebih unggul daripada wanita. Feodalisme juga membenarkan ide poligami. Para feodalis menganggap wanita tak lebih dari sekadar pelayan pria. Pria tuannya, sedang wanita budaknya.

Kapitalisme, di lain pihak, dengan tipikal budaya industrialnya, dengan infrastruktur media dan iklannya, menjadikan tubuh wanita sebagai objek tontonan penglaris barang dagangan, bahkan mengkomodifikasikan tubuh wanita. Kesan objektifikasi wanita lahir.

Perseketuan bias gender antara feodalisme dan kapitalisme menjalangkan pandangan pria terhadap wanita, dan mengarahkan pria agar mengeksploitasi tubuh wanita. Sering wanita, entah telah menikah atau belum, berzina karena paksaan keadaan, atau karena birahi pria yang kelewat setelah terangsang pencitraan tubuh wanita di media.

Belum lagi kemiskinan juga mendorong para wanita menjual dirinya, melacurkan dirinya di tepi-tepi jalan. Para wanita itu melacur sebab terdesak kebutuhan makan, baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya. Artinya, kejahatan perzinaan wanita bisa saja disebabkan oleh kebutuhan mendesak.

Inilah salah satu model kejahatan yang disebutkan Engineer. Tipe kejahatan lainnya yakni kejahatan yang disebabkan kepongahan. Biasanya subjek kejahatan ini adalah mereka yang berada di puncak piramida hirarkisitas struktur feodal dan mereka yang minoritas dalam struktur kapitalisme (the have).

Mencermati kondisi tersebut, amat tak adil menerapkan hukum rajam bagi wanita pezina. Pula, jika praktek rajam diterapkan, dunia internasional yang menyunggi benar-benar hak azazi manusia pun akan bereaksi, resisten, dan mengecam Islam sebagai agama anti-kemanusiaan. Padahal Islam sendiri merupakan agama kemanusiaan, agama revolsuioner yang membebaskan manusia dari kondisi infrahuman-nya.

Lantaran keadaan masyarakat kapitalisme feodal India ini jugalah, Engineer meneriakkan bahwa hudud teologi konvensional tak relevan untuk diaplikasikan. Feodalisme menyingkirkan egaliterianisme dan kebabasan manusia. Kapitalisme menciptakan pemisah begitu menganga antara the have dan the have not dengan proporsi yang njomplang: the have sebagai minoritas sedang the have not sebagai mayoritas.

Di tengah tiadanya keadilan itu, penerapan hudud teologi konvensional malah akan melahirkan ketidakadilan-ketidakadilan baru dan manusia kian terdehumanisasi. Contohnya, kasus rajam dan gender di atas.

Namun, hudud tak selamanya kena larangan penerapan. Suatu nanti, ketika keadilan distributif telah terealisir dan kesetaraan antarjenis kelamin telah tampak, hudud bisa diterapkan; pada saat itu hudud menjadi institusi kelegalan yang adil. Keadilan distributif engineer tak semata berkutat pada area sosial-budaya, tetapi juga menjajagi area politik dan ekonomi, misalnya manajerial zakat yang berprinsip keadilan distributif.

Lewat pemikirannya, Engineer mengajak kita melakukan eksplorasi lebih dalam terhadap relasi antara Islam dan kapitalisme. Kapitalisme merupakan pusat ketakadilan distributif. Maka, Islam harus turut serta dalam gerakan besar menghapus kapitalisme hingga akar-akarnya. Dari sini, tercapailah kesalingpahaman dan persaman persepsi serta orientasi antara Islam dan Marxisme: pensistesisan yang banyak kalangan menganggapnya mustahil.

Lagi-lagi kita melihat kehebatan dan kejeniusan Asghar Ali Engineer, muslim pemikir besar India yang telah menggoncang sendi-sendi Islam, feodalisme, dan kapitalisme

Depolitisasi Mahasiswa: Wajah Otoriter Kampus

Oleh: MW

Nugroho Notosusasnto, setelah dilantik sebagai Rektor Universitas Indonesia (UI) pada 1982, tanpa panjang pikir, memanggil para aktivis mahasiswa UI dan sejumlah pengurus dewan eksekutif mahasiswa di tiap fakultas. Dalam pertemuan ‘darurat’ tersebut, Nugroho “memberi petuah”: mahasiswa mesti memikirkan niat awal ia kuliah.

Mahasiswa masuk UI buat belajar, bukan buat bermain-main di “arena” politik. Meniru gaya Soekarno kala “memberi petuah” pada tentara, mahasiswa tidak boleh ikut-ikut politik. Otak mahasiswa harus steril dari virus dan kuman politik.

Nugroho berargumen ihwal petuahnya itu: Dalam masyarakat perlu ada pemisahan tugas antara masyarakat ilmiah dan masyarakat politik. Sebab, masing-masing tipe masyarakat itu memiliki fungsi sendiri-sendiri. Bila keduanya saling sokong, saling intervensi, dan bercampur, bakal berekses tak karuan.

Nugroho ‘memberi petuah’ seperti itu, mungkin lantaran sudah mendem dengan polah mahasiswa UI sejak zaman Grup Diskusi Universitas Indonesia (GDUI). Telah masyhur, pada era ’60-an grup itu didirikan dan dipionoiri oleh Soe Hok Gie. Dan lawan intelektual sekaligus politik grup diskusi itu adalah kelompoknya Nugorho-Harsya.

Grup diskusi yang berawal dari diskusi ‘pojok kampus’ ini menggoyang lalu menjungkir demokrasi terpimpin Soekarno. Tak berhenti di situ, GDUI memproduksi generasi-generasi ‘mahasiswa-politisi’ baru melalui tangan seorang Sjahrir yang ekonom itu paska wafatnya Gie. menurut beberapa referensi, di antara ‘mahasiswa-politisi’ produksi GDUI adalah Hariman Siregar.

Hariman Siregar salah seorang mahasiswa UI yang tak setuju dengan proyek Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Keluhnya itu cuma memboroskan dan menguras ekspenditur negara. Sedang, mengutip sajak Rendra, ketika itu “Delapan juta kanak-kanak menghadapi satu jalan panjang/tanpa pilihan/tanpa pepohonan/tanpa danau persinggahan/tanpa ada bayangan ujungnya”. Karenanya menjadi jelas: program ekonomi pertumbuhan-pembangunan yang digulirkan Soeharto tak menyentuh realitas kerakyatan.

Soeharto hanya membangun dan membangun. Akan tetapi, pemerataan kesejahteraan dalam pemenuhan kebutuhan dasar terlupakan, terkelambui gedung-gedung pencakar langit dan sehimpun mega proyek. Salah satu mega proyek itu adalah TMII.

Hariman, pada 1974, lantas mengorganisir mahasiswa turun jalan. Dalam kondisi terdesak demikian, mahasiswa dituntut berpolitik aktif-praktis.

Di saat itulah, ketika mahasiswa turun jalan mengutuk mega proyek TMII, tulisan rekan Muhammadun AS bertajuk “Cendikiawan dan Pribumisasi Ilmu Pengetahuan” dalam SLiLit edisi 16 Agustus 2009, menunjukkan wajah kongkritnya. Artinya, pribumisasi ilmu pengetahuan sungguh-sungguh termanifes dalam diri seorang mahasiswa yang aktif berpolitik mulai dari area ‘politik’-nya sendiri: kampus.

Jarak menganga antara keabstrakan pengetahuan langit mahasiswa dengan realitas distorsi hak ekonomi-politik rakyat terleburkan. Dalam hal ini, makna ideologis mahasiswa yang pemuda sebagai pemutar turbin sejarah terealisasikan.

Mahasiswa demikian, tak berasa puas menekuni endapan teori, tapi ia mampu melakukan fungsi praksis komunikatif-emansipatorisnya; tak berasa puas mendengar ceramah retoris pendidik, tapi ia mau melebur bersama derap derita anak jalanan atau pedagang kecil di sekitar kampusnya misalnya; tak berasa puas terpekur di ruang kelas, tapi ia mau mendidik iklim sosial-politik yang tak demokratis.

Rendra, dalam “Sajak Sebatang Lisongnya” merangkum makna ideologis mahasiswa ini dengan demikian atos-nya. "Kita", tutur Rendra "mesti ke luar ke jalan raya/ke luar ke desa-desa/menghayati sendiri semua gejala/dan menghayati persoalan yang nyata". Sebab, tutup Rendra di ujung sajak yang ia deklamasikan di ITB Agustus 39 tahun lalu itu: "Apalah artinya berpikir/bila terpisah dari masalah kehidupan/kepadamu aku bertanya".

Dengan turun jalan, Hariman hendak jadi mahasiswa begituan. Karena mencoba menggoyang politik Soeharto, kisah Hariman tak berakhir bahagia. Ia dikambinghitamkan, diadili, lalu dibui. Segala usaha politis mahasiswa ini kandas dan TMII tetap dibangun dengan mengorek anggaran negara triliyunan rupiah.

Namun, mahasiswa-politisi bak Hariman tak bisa disapu bersih. Mati satu tumbuh seribu.

Setelah hariman dibui, teriakan politik-ekonomi mahasiswa bereskalasi. Hampir seluruh kampus di Jawa terserang demam politik mahasiswa. Sampai-sampai pada 1978, mereka memaksa Soeharto turun tahta. Usaha politik mahasiswa lagi-lagi kandas.

Bukan soeharto tamat. Sebaliknya, gerakan politik mahasiswa coba dikhatamkan dengan mengalirnya regulasi kemahasiswaan. Isinya, singkat saja, mengerem, mengurung, atau meminjam Pram, merumahkacakan gerakan politik mahasiswa. Ungkap seorang kawan saya, mahasiswa saat itu didepolitisasi.

Libido politik mahasiswa dikanalkan dalam bentuk kegiatan minat dan bakat mahasiswa. Dalam poltik depolitisasi mahasiswa itu, sumbu-sumbu pemisahan antara intelektual dengan politik mulai dinyalakan. Pribumisasi ilmu pengetahuan mulai dihapus, bahkan dianggap abnormal.

Sebab sejarah politik mahasiswa itu, tak nggumun jika Nugroho setelah terpilih sebagai Rector UI "memberi petuah" agar mahasiswa belajar dengan manut saja; agar mahasiswa kembali ke kampus. Belum lagi kalau kita menghitung sentimen kelompok Nugroho terhadap GDUI.

***

Entah lantaran angin apa, saat saya membaca berita saudara Widodo “Rektorat Intervensi OPAk 2009” juga di SLiLit edisi yang sama, saya jadi berpikir: kok "seperti" ada kesamaan antara yang terjadi di UI pada 1982 itu dengan yang terjadi di UIN Sunan Kalijaga saat ini.

Dalam berita itu disebutkan, sewaktu UIN masih IAIN, para petingginya resah terhadap aktivitas politik mahasiswa IAIN yang "terlalu". Mahasiswa IAIN cenderung politis timbang akademis; masyarakat kampus IAIN lebih sejalan dengan konsep civitas politica timbang civitas academica.

Barangkali, kala itu mahasiswa IAIN serusuh dan sememusingkan Sjahrir atau Hariman. Mengutip bahasa staf Building Management UIN, mahasiswa cuma bisa jadi trouble maker, tapi tak pernah bisa jadi problem solver--sampai-sampai kampus pun tak friendly jadinya.

Bukannya amat aneh, mahasiswa berperangai seperti Hariman atau Sjahrir disetereotip troble maker. Padahal, mahasiswa seperti itu justru jadi problem solver buat pelik kompleks problem ekonomi-politik negaranya.

Aksi politik mahasiswa IAIN yang "terlalu" itu, saat ini, ketika IAIN telah berubah jadi UIN, juga didepolitisasi dengan cara yang lain. Jika dulu depolitisasi terhadap mahasiswa ’80-an dengan mengkanalkan libido politik mereka, di UIN depolitisasi itu dieksekusi dengan cara yang sedikit lunak melalui event-event seperti OPAk, SOSPEM, dan seterusnya, dan seterurnya.

Di dalam event-event ideologis tersebut, libido politik mahasiswa baru coba diantisipasi dengan menceramahkan mitos assertivitas. Mitos assertivitas ini diadopsi dari teori psikologi positif.

Dalam aplikasinya, psikologi positif jelas mematikan naluri politis. Sebab, analisa politik jarang, bahkan tak pernah menggunakan psikologi positif.

Analisa politik demokratik manjur dan akan lebih manjur jika berdasar perspektif psikologi sosial protes. Maka, dengan mitos assertivitas tersebut mampus sudah libido politik mahasiswa UIN. Dan depolitisasi mahasiswa pun sukses.

***

Perkaranya bukan kesuksesan atau kegagalan depolitisasi mahasiswa UIN. Tetapi perkaranya, benarkah depolitisasi mahasiswa tersebut telah menyelesaikan masalah? Hemat saya, di tengah sakitnya kondisi sosial-politik dan ekonomi-politik Indonesia sekarang ini, depolitisasi itu tak tepat sasaran.

Pemisahan ruang politis dan ruang akademis justru menumpuk-numpuk persoalan, demikian Gramsci dalam Prison Notebooks juga Habermas dalam The Scientization of Politic and Public Opinion. Menurut Habermas, terpisahnya dua ruang itu meng-involusikan kekuasaan sampai pada taraf irrasionalnya. Agar rasionalisasi kekuasaan terbentuk, dituntut pengilmiahan politik.

Pengilmiahan politik dimaksud Habermas bukan dominasi akademisi (expert) atas politisi dalam mengambil kebijakan publik (public policy); bukan pula pen-teorian politik atau politik yang sok ilmiah—yang disimbolkan dengan slogan-slogan saintifik. Yang pertama malah akan memperkuat kontrol rasio atas alam. Dan yang kedua selain mempertebal selubung ideologis, juga mengabsurdkan perilaku sosial-politik, baik masyarakat politik maupun masyarkat sipil.

Pengilmiahan politik adalah institusionalisasi suara politik model pragmatis. Prinsip politik model pragmatis adalah komunikasi intersubjektif yang argumentatif antara akademisi dan politisi dalam merumuskan kebijakan publik.

Rasionalisasi kekuasaan dengan model politik pragmatis ini sendiri tak memuaskan Habermas. Komunikasi intersubjektif yang berlangsung di dalamnya bersifat elitis.

Rakyat tak bisa berbicara langsung dalam model politik itu. Ia diwakili oleh para akademisi dan politisi. Sederhanya, aspirasi rakyat tersekat kaidah demokrasi representatif.

Uraian njlimet Habermas itu menegaskan ruang akademik dan ruang politik mesti dikomunikasikan dan tak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, depolitisasi mahasiswa, sekali lagi bukan solusi.

Bila mahasiswa sebagai intelektual (expert) dipisahkan dari "arena" politis, tak akan pernah terjadi rasionalisasi kekuasaan. Yang terbentuk justru model politik desisionis yang begitu irrasional.

Demokrasi merupakan musuh model politik desisionis. Model politik desisionis teraktualisikan dalam otoritarianisme-otoritarianisme tradisional.

Lalu, bila kekuasaan Indonesia akan datang menjadi irrasional karena pemisahan antara intelektual dan politisi, bagaimana nasib berjuta kanak-kanak Indonesia yang disajakkan Rendra di atas? Yang kedua, di mana sesungguhnya fungsi universitas yang, di Indonesia, seharusnya menjadi mata air rasionalisasi kekuasaan? Kepadamu aku bertanya.

***

Keputusan mendepolitasi mahasiswa, dengan argumen apa pun, tak dapat diterima nalar dan "aneh". Eksklusi kultur politik mahasiswa, malah kontradiktif dengan demokratisasi yang coba dirintis di Indonesia.

Demokratisasi, dalam makna pembukaan ruang-ruang aspirasi dan penyerapan aspirasi itu, akan tergusur bila mahasiswa didepolitisir; di suruh meneng dan ayem dalam ruang kelas. Bukan depolitisasi mahasiswa yang tepat, melainkan meruangkan politik mahasiswa dalam format yang berbeda. Gagasan Habermas tentang ruang publik dan opini publik bisa dijadikan sebagai landasan idiil-teoritik dalam peruangan ini.

Sampai sekarang setelah 5 tahun konversi UIN, ruang publik semacam itu belum pernah terinstitusionalisasikan. Bahkan, barangkali belum atau emoh atau jangan sampai dipikirkan. Padahal semua juga tahu, paradigma integrasi-interkoneksi keilmuan UIN beralas, di antaranya teori kritis Habermas.

Tapi, mengapa gagasan ruang publik dan atau demokrasi deliberatif sebagai kulminasi pemkiran Habermas justru tak pernah terinstitusionalisasikan di UIN? Saya tak menuduh terjadi inkonsistensi gagasan atau pembusukan paradigma. Namun, realitaslah yang menuduh.

Tak usah ruang publik, salah satu syarat yang sangat menentukan dalam demokrasi kampus: transparansi tata kelola operasional UIN masih sangat tabu dan tak bisa disentuh.

Di Lebak, sebuah kabupaten yang baru dimekarkan jadi kabupaten setahun lalu, Rencana Anggaran Pengeluaran Anggaran Daerah (RAPBD) ditempel di warung kopi-warung kopi. Tujuannya, biar ada kritik dan masukan dari masyarakat warga. Lha, di UIN berapa jumlah hutang UIN saja, siapa mahasiswa yang tahu?

Tentang ruang publik yang tak berwujud di UIN itu, sederhana saja faktanya. Kita tak pernah menyaksikan, dengan inisiatif otonomnya Rektor UIN dan segenap jajarannya lesehan bareng mahasiswa berdialog intersubjektif—tanpa distorsi representasi DEMA/SEMA—merumuskan bagaimana UIN seharusnya dijalankan.

Jika depolitsasi mahasiswa dan tiadanya ruang publik dihubungkan ke paham demokrasi, sah bagi kita mengutuk otoritarianisme “pihak sebelah atas sana”. Sebab, hak politik mahasiswa UIN ditebas. Demikian pula, sah bagi kita menyatakan tata kelola UIN telah sangat irrasional, entah karena apa.

Mungkin karena tekanan ideologis, tekanan ekonomik, atau mungkin karena keegoisan politis. Tapi, kemungkinan-kemungkinan itu sepatutnya tak memisahkan ruang politis dan ruang akademis mahasiswa, tak mendepolitisir mahasiswa, tak menjinakkan mahasiswa.

Dan sebagai mahasiswa, kita tak bisa pasif dan naif berdo’a: “semoga ada perubahan!”. Tak bisa pula diam menunggu kepastian sejarah seperti Marxian Ortodoks

Potensi Demokrasi Deliberatif

Demokrasi deliberatif dicetuskan Habermas guna mengatasi keringnya rasionalisme Barat dalam masyarakat kapitalisme-renta. Dalam kapitalisme renta, rasio hanya bermakna dominatif melalui kerja yang berharsrat ekonomik dan naluris.


Sementara itu, wajah rasio yang lain, sebagaimana terlacak dalam tulisan Hegel “The Phenomenology of Mind” tak hanya rasio kerja (sosial) sebagaimana menjadi landasan pemikiran Marx. Wajah lain dari rasio: komunikasi. Rasio kerja berwatak dominatif, sedang rasio komunikasi berwatak komunikasi bebas dominasi menuju konsensus (mundigkeit).

Rasio komunikasi ini tak muncul-muncul dan tak kunjung dieksplorasi oleh rasionalisme Barat atau saintisme dalam lingkung teori-teori sosialnya. Dan sebab itu, masyarakat kapitalisme-renta Barat mengalami krisis yang sekarang berpuncak pada krisis ekonomi.

Habermas menjelaskan, dunia-kehidupan (lebenswelt) dianeksasi oleh sistem. Implikasinya relasi yang tercipta dalam masyarakat kapitalisme-renta Eropa Timur atau Amerika adalah relasi yang tak bebas dari dominasi. Ini yang disebut oleh Horkheimer sebagai rasio instrumental dan Adorno sebagai pemikiran identitas (dialektik der aufklarung) serta disebut oleh Marcuse sebagai rasio teknologis (one-dimensional man), atau dalam diskursus yang lagi ngetrend di kawan-kawan KMPD sebagai eksistensi periferal (sorot mata). Yach, reifikasi-lah dalam bahasa Lukacs.

Berbeda dengan posmodernis yang terperasuk dalam eksistensialisme relatif dengan paralogi atau disensinya, Habermas optimistis masyarakat kapitalisme-renta memiliki jalan ke luar. Habemas, dalam hal ini, menolong sekaligus melanjutkan proyek generasi pertama Mazhab Frankrut yang terbentur lingkar setan aporia.
Menurut mereka, kemungkinan-kemungkinan negasi dari jebak sistem kapitalisme-renta sudah tak ada dan tak bisa lagi. Mereka pesimistis, manusia modern dapat ke luar dari lembah kebangkrutan paradigma filsafat kesadaran.

Tapi Habermas tetap optimistis. Menurutnya, senior-senior Mazhab Frankfurt-nya itu tersesat dalam kekeliruan epistemologis. Lalu ia menjelaskan dalam salah satu esainya—Sorry, saya lupa judulnya—ihwal konsep rasio terpendam dalam Phenomenology of Mind-nya Hegel di atas.
Generasi pertama Mazhab Frankfurt, melalui Marx, memahami rasionalisasi hanya sebagai praksis kerja. padahal, Hegel sendiri membagi praksis jadi dua bagian: kerja dan komunikasi.
Nah, menurut Habermas, jalan ke luar dari, meminjam Lyotard kondisi postmodern, adalah komunikasi yang mengemansipasikan manusia (kemanusiaan universal). Komunikasi yang bukan tuan-budak, tapi setara-sejajar; bebas dari dominasi.

Habermas mengkrongkitkan komunikasi kemanusiaan itu dalam yang ia sebut sebagai ruang publik. Demokrasi deliberatif adalah derivasi konsep ruang publik dalam teori politiknya.
Sederhananya, dalam demokrasi deliberatif seluruh komponen masyarakat, tanpa pandang bulu, diberi ruang buat curhat, usul, atau kritik agar sisi kemanusiaan secara ekonomi-politik-sosial-kulturalnya dapat diserap sistem politik-ekonomi atau ekonomi-politik. Dunia-kehidupan coba dimasukkan ke dalam sistem.

Solusi Habermas ini, tentu hanya cukup-diri bagi masyarakat kapitalisme-renta Eropa Timur atau Amerika. Bagaimana kemungkinan diterapkannya di Indonesia?

Jika kawan-kawan membaca Tempo edisi minggu ke tiga bulan Agustus, terlihat bagaimana demokrasi deliberatif a la Indonesia sedikit demi sedikit teraktualisasikan.

Di Kebumen ada TV Ratih yang menyelenggarakan acara “Selamat Pagi Bupati”. Telanjang mata, kita dapat melihat bagaimana komunikasi bebas dominasi terealisasikan. Tapi, tak tahulah di belakang. Bisa jadi itu cuma citraan media.
Namun kabarnya, warga Kebumen banyak yang puas dengan acara itu. Banyak perubahan sejak acara itu tayang perdana pada 2001.

Di Lebak, sebuah kabupaten yang baru setahun dimekarkan, RAPBD-nya ditempel di warung kopi-warung kopi: biar bisa dikritik warga dan dapat masukan dari warga. keinginan ekonomi-politik warga biar terserap. Walaupun, kesangsian akan distorsi proseduralisme* menggelayuti kemurnian praktik demokrasi itu.

Dua contoh di atas, di Indonesia, pasti hanya kasuistik. Lebih banyak yang ngelantur, ketimbang yang ngetop.

Melihat kedua contoh tersebut, maka seberapa besar kemungkinan-kemungkinan demokrasi deliberatif diterapkan di Indonesia. Satu lagi, kemungkinannya diterapkan di UIN?

__________________________________
* Prosudarelisme di sini bukan yang dimaksud Habermas. Habermas mengaitkan proseduralisme dalam etika diskursus guna menghindari keteledoran utopianisme paradigma filsafat kesadaran sejak Platon hingga Marx dan pengikut-pengikutnya. Prosuduralisme di sini memiliki makna seperti apa yang kita pahami sehari-hari: formalisme birokratik.

Pekik Negeri Megalitik


“Mereka sempat tertinggal,
tetapi punya cita-cita untuk berkembang maju”

Agustus 2007, 13 jurnalis dan seorang fotografer terbang ke Papua. Seperti gawaian jurnalis lazimnya, misi mereka tak lain daripada memburu berita. Tak seperti gawaian jurnalis lazimnya, tugas mereka kali ini lumayan berat.

Mereka harus menyingkap realitas pulau tertimur Indonesia itu cuma dalam tempo tiga pekan. Waktu yang sibuk, sesak, dan terbatas untuk mengosek-osek Pulau Cendrawasih.

Hutan sabana yang meranggas di sana sini, jalan pegunungan mendaki-menurun terjal yang berliuk-berkelok, sarana transportasi yang payah dan mahal menjadikan tugas itu bertambah berat saja. Untunglah, dengan segala kekurangannya perburan berita yang dilabeli “Ekspedisi Tanah Papua” itu kelar juga.

Ekspedisi tersebut kemudian ditulis sebagai laporan jurnalistik SKH Kompas. Laporan itu terbit dari 18 agustus 2007 sampai 24 september 2007 di Harian itu.

Sebelumnya, SKH Kompas telah melakukan dua kali ekspedisi serupa. Ekspedisi Bengawan Solo pada juni 2007 selama dua pekan adalah yang pertama. Sedang yang kedua: ekspedisi 200 tahun Anjer-Panaroekan. Ekspedisi tanah Papua sendiri terhitung yang ketiga. Belakangan, giliran Kali Ciliwung yang diekspedisi.

Dari berbagai ekspedisi jurnalistik tersebut, “sejumlah temuan persoalan tersingkap,” tulis Bambang Sukartino, Pemimpin Redaksi SKH Kompas. Karena itu, hasilnya “teramat sayang jika tidak dikumpulkan dan dibukukan”. Dengan alasan ini SKH Kompas-pun menerbitkan tetralogi ekspedisi itu dalam bentuk buku.

Memang ekspedisi-ekspedisi itu teramat sayang untuk tidak dibukukan, mengingat temuan-temuan baru yang ada. Tapi, temuan itu tak kan bisa jadi opini public bila tetralogi itu dibandrol dengan nominal yang ampun deh.

Ketika opini publik tak terbentuk secara legitimate, demokrasi hanya sebatas wayang bagi kelompok politik-ekonomi dominan tertentu. Padahal, sekian di antara temuan yang tersaji dalam tetralogi ekspedisi itu menyuarakan kebutuhan akan demokrasi; kebutuhan tersampaikannya aspirasi pinggiran masyarakat warga yang bermukim di daerah-daerah ekspedisi tersebut. Jadi, perubahan yang diidam, belaka teraktualisasikan sejauh ia dilamunkan.

Otonomi Khusus Cidera

“Jika kita melihat orang Papua memang mengenaskan kecuali para elite yang menikmati permainan antara “M” (merdeka) dan “O” (otonomi), atau elite dan pejabat lokal yang pro dan kontra pemekaran. Di situ bercampur baur antara pertarungan etnis, kekuasaan jabatan, dan uang; bukan bagaimana memperbaiki layanan umum,” tulis Ikrar Nusa Bakti mengomentari real politic Otonomi Khusus (Otsus) Papua.

Maksud Otsus, seperti pengembangan ekonomi rakyat, pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastrukturr tak pernah tertunaikan. Bahkan, maksud terselubungnya guna mengerem separatisme, hingga kini pun tak sampai-sampai. Otsus di lapangan justru jadi komoditas politik kleptokrat lokal dan nasional.

Petinggi lokal, seperti kelakuan kebanyakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia, mengiklankan separatisme, kemiskinan, kehancuran lingkungan, kelaparan, kebodohan, dan kesakitan penduduk asli Papua sebagai sumber pemasukan pribadi. Pasalnya, anggaran Otsus dari pusat— yang tak mungkin dibilang sedikit—membikin liur tertetes.

Borok lapangan Otsus ini diperbusuk dengan simtom pemekaran wilayah. Imbasnya, anggaran Otsus bukan untuk menyejahterakan penduduk asli Papua. Anggaran itu dialokasikan untuk membangun pusat kota dan pemerintahan baru, menggaji pegawai-pegawai tinggi baru.

Sementara, sumber daya manusia yang bakal menjalankan roda pemerintahan belum siap. Pembangunan, pemekaran wilayah tak efektif dan terlalu boros, demikian kritik banyak kalangan. Menurut mereka, lebih baik tak ada pemekaran wilayah.

Anggaran Otsus, usul mereka, secara total harus diprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan dasar semacam kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan sebagainya. Standar kebutuhan dasar tersebut hingga kini belum dinikmati penduduk asli Papua.

Kesehatan Sakit

Mengintip sektor kesehatan di Papua: rupanya tenaga kesehatan di sana sukar ditemui. Sarana-prasarananya a la kadarnya, bahkan terbilang kurang. Di salah satu puskesmas distrik, alat pengukur tekanan darah tak ada. Kerap kali rumah sakit atau puskesmas kehabisan stok obat ringan dan vaksin.

Puskesmas dan rumah sakit yang sarwa minus itu pun jauh sangat dari tempat tinggal warga. Untuk ke puskesmas distrik saja mereka harus menempuh perjalanan hingga lima sampai delapan jam.

Tak heran jika seorang Mama—sebutan ibu-ibu Papua penjual hasil bumi—yang tengah hamil tua memutuskan bersalin di tengah hutan pada dukun beranak. Dan tak heran bila penyakit endemik langka Dunia Ketiga semisal frambusia, busung lapar, kaki gajah, dan malaria masih mewabah di tanah emas dan koteka itu.

Maka, lumrah kalau Papua jadi daerah rangking kedua di Indonesia yang penduduknya positif terinfeksi HIV/AIDS. Ranking pertama ditempati Jakarta.


Pendidikan Bangkrut

Tingkat pendidikan di Papua tak kalah bangkrut timbang kesehatannya. Seorang guru perempuan di Papua yang telah mendidik sejak zaman Belanda berkomentar tukas: baginya lebih maju pendidikan di zaman Belanda daripada sekarang.

Di zaman Belanda dulu, kisahnya, guru profesional benar dan punya jiwa pengabdian tinggi. Mereka selalu diawasi pemerintah. Guru yang tak becus mengajar atau berleha-leha saat mengajar, seketika dipecat pemerintah Hindia Belanda.

Selain itu, dulu kesejahteraan guru terjamin. Gaji dan tunjangan hidup berlibeih-lebih. Karenanya mereka betah dan menikmati profesi mendidik.

Kini di Papua, dengan gaji ngepres banyak guru tak kerasan mengajar. Guru desa lari ke kota, menjauhi profesi yang mereka anggap kutukan: guru. “Guru terbang”, itulah gelar yang mereka peroleh dari penduduk asli Papua.

Di kota mereka cari proyek yang lebih basah. Sementara guru-guru tersebut sibuk dengan proyeknya sendiri, selama berbulan-bulan sekolah kosong guru; para siswa pun kembali merengkuhi pendidikan rimba.

Jelas saja guru-guru itu berlari ke kota. Gaji mereka kecil dan tunjangan tak cukup buat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kadang beras saja tak terbeli bila mengandalkan gaji dan tunjangan sebagai guru. Belum lagi murid rimba mereka sukar diatur.

Agar proses belajar mengajar di semester awal bisa dimulai, para guru di Papua mesti menjemput puluhan murid-muridnya ke pedalaman rimba. Rimba di sana terkenal buas. Banyak Buaya dan ular besar berbisa yang selalu mengintai.

Setelah sampai di tempat tinggal para murid, sering di antara murid itu enggan diajak kembali bersekolah. Tiap semester dan tiap tahun ajaran baru, para guru terpaksa melakoni ritual itu.

Di Papua, sebagian guru juga dihantui maut. Pernah ada guru yang diancam dipanah oleh seorang wali murid.

Soalnya, menurut si wali murid: guru itu payah. Anaknya tak diluluskan di Ujian Nasional (UN). Hampir panah itu menusuk tubuh sang guru. Untunglah si wali murid bisa diajak berdamai.

Dengan segala resiko dan konsekuensi profesi guru di papua, tak salah bila mayoritas dari mereka terbang ke kota. Karena tingkah para guru terbang itu, di banyak sekolah, paling mujur tinggal seorang dua guru yang masih setia “meng-abdi”.

Guru yang setia, karenanya mau tidak mau mengajar enam kelas sekaligus di Sekolah Dasar (SD) atau tiga kelas sekaligus di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bahkan, sebagian guru harus mengajar sekaligus jadi kepala sekolah. Mati sudah: profesi yang berpeluh setelaga.

Praktik pendidikan demikian tentu berefek pada rendahnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia. Di Papua, problem ini jadi titik api pemicu stagnasi pembangunan dan penyejahteraan penduduk asli.

 Etika Megalitik Terpinggir

Setumpuk problem Papua, dari pendidikan hingga kesehatan, tambah disesaki oleh polah dan pongah P.T. Freeport Indonesia (PTFI). Masuknya PTFI dengan restu dari Soeharto pada 1960-an tak semata merusak ekosistem dan adat di sana.

Lebih dari itu, mode produksi sampai mode komunikasi berubah drastis. Budaya penduduk asli Papua tak urung terseret arus perubahan.

Sebelum PTFI mengeksplorasi mineral Papua pertama kali, corak kehidupan masyarakat di sana tak ubahnya bak di zaman megalitikum. Perilaku tersebut konon bersumber pada peradaban Dongsong di Filipina.

Kala itu mereka menggantungkan hidup pada alam secara subsisten. Bila lapar, mereka berburu, meramu, atau menangkap ikan.

Mereka hidup nomaden mengandalkan sistem bercocok tanam yang sangat sederhana. Boro-boro perdagangan, sistem ekonomi uang, bahkan cara bercocok tanam yang agak modern sedikit saja mereka tak mengerti.

Masuknya PTFI menggusur semua tatanan itu. Hutan dibabat. Tanah dijarah.
Padahal hutan itu merupakan tempat mereka bermukim dan mencari makan. Di hutan itu juga roh leluhur mereka beresemayam. Hutan yang ugahari nan teratur dan tenang adalah rujukan nilai penduduk asli Papua secara simbolik.

Dampak negatif ulah PTFI pun, bak bola salju terus menggelinding kencang. Sungai-sungai sumber air bersih tercemari tailing. Tailing adalah limbah kimia penambangan emas yang dialirkan dari pabrik.

Dan Binatang-binatang buruan di hutan kehilangan habitatnya. Ikan-ikan mati keracunan. Sedangkan tanah sudah tak lagi bisa ditanami sagu lantaran terembesi tailing.

Lalu, ke mana lagi mereka menghilangkan rasa lapar? Kondisi tersebut membuat mereka resisten pada PTFI. Karena tekanan warga akar rumput dari bawah dan tekanan masyarakat global dari atas, PTFI pun sedia menerapkan Corporate Social Responsibility (CSR) dengan berbagai variannya.

Penghibahan dana merupakan salah satu di antara mekanisme penyaluran CSR. Orang asli papua, Orang Komin, menyebut dana CSR itu dengan “Dana Satu Persen”. Sebab, besarnya dana hibah itu sepersennya keuntungan PTFI tiap tahunnya.

Sayang, mekanisme dan tata kelola dana tersebut buruk. Dana langsung dibagi pada penduduk. PTFI memberi ikan, tidak memberi kail dan tidak pula mengajari penduduk bagaimana menggunakan pancing.

Inilah awal malapetaka itu. Masyarakat asli Papua yang hidup subsisten tak pernah berlimpah uang, tak pernah diberi jutaan rupiah per kepala. Kepanikan psikologis pun niscaya. Mereka kaget: uang sebanyak itu bakal buat apa?

Di lain sisi, masyarakat asli Papua memiliki tradisi seks bebas. Justru di waktu, tempat, dan kelompok umur tertentu tradisi itu diposisikan sebagai kewajiban. Artinya, bagi mereka seks bebas bukan barang antik yang ditabukan. Sebaliknya, ia telah sedemikian mengakar dalam rutin harian mereka.

Nah, pada dekade 1990-an gelombang imigran dari Thailand berduyun-duyun mendatangi Papua. Kebanyakan dari mereka adalah wanita penjaja seks komersial. Berbaur dengan tradisi seks bebas Orang Komin, sejak itu seks bebas di Papua kian cepat berkembang.

Pada tradisi seks bebas tersebut, uang hibah dana satu persen tercurahkan, dan kadang tanpa sisa. Selain itu, hibah tersebut mereka belanjakan untuk membeli napza atau miras.

Bukan buat usaha produktif dan padat karya, sebab rendahnya kualitas system pendidikan, uang hibah tersebut disalurkan secara murni pada usaha konsumtif atau dalam istilah yang popular belakangan ini untuk “meningkatkan permintaan”.

Lama-kelamaan tradisi itu atau tepatnya ritual kekagetan itu menjadi habituasi yang mencandu. Orang Komin sukar sekali lepas dari: atau seks bebas, atyau miras-napza.

Seperti implikasi wajarnya, melalui seks bebas HIV-AIDS dan penyakit kelamin lainnya menular tanpa kontrol; mewabah dengan cepat. Orang Komin sendiri, naasnya, masih enggan berobat ke dokter, puskesmas, atau rumah sekit.

Kepercayaan adat yang kukuh, rendahnya mutu out-put sistem pendidikan, termasuk institusi pendidikan yang hanya mereproduksi inferioritas sosio-kultural adalah sedikit dari penyebab keengganan tersebut. Belum lagi sangat terbatasnya jumlah tenaga medis dan jauhnya jarak puskesmas atau rumah sakit dari pemukiman mereka, tambah mempertebal keengganan itu.

Wabah HIV-AIDS di papua tak sesimpel yang dibayangkan. Pada akhir Juli 2007. sekitar 3.377 penduduk Papua mengidap HIV-AIDS. Jumlah ini versi pemerintah. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Papua mencatat 24.300 jiwa penduduk papua terinfeksi HIV-AIDS.

Anak muda, menurut mereka, yang paling rentan menderita penyakit itu. Pendapat mereka beralasan. Sebab di papua banyak bocah berumur sepuluhan tahun mengaku telah mencicipi seks bebas (wah, saya saja yang sudah bongkok seperti ini belum pernah. Bagaimana dengan anda? Mau?).

Buncah Separatisme

Bertujuan meredam separatisme dan membangun ekonomi, pelaksanaan Otsus di Papua justru mengomplekskan problem laten yang tak pernah tuntas. Kini, potensi separatisme Papua, menurut sebagian analis, kian besar.

Ketakpuasan dan barangkali kemarahan terhadap Jakarta, pengasingan orang asli Papua secara ekonomi-politik di tanahnya sendiri, anggaran Otsus yang nyangkut di tangah kleptokrat lokal, termasuk penyulut amplifikasi separatisme.

Belakangan bendera Bintang Kejora berkibar dan teriak kemerdakaan terdengar: “Merdeka atau sudahi derita kami!”

***
Demikianlah, lembar demi lembar, melalui buku ini pembacanya diajak mendengar pekik Papua, negeri megalitik yang lagi sakit kronis, sebuah pulau negara elit G-20. Pembaca dibawa melintasi tema demi tema yang pahit, getir, njengkelin, dan meninggikan darah.

Dengan corak tuturan sastrawi, tiap laporan jurnalistik yang terhidang terasa begitu ringan tanpa mengurangi detail dan keketatan perspektif.

Namun, subjektivitas Kompas tetap ada. Di beberapa laporan, tendensi Katholik-nya sungguh eksplisit. Bukan tak berimbang, tapi mbok ya agama lain diberi ruang dalam penulisan berita.

Atau sekalian saja membidik realitas dari sudut pandang kemanusiaan universal. Toh, kita tak mau melihat Papua yang sakit itu tambah parah sakitnya gara-gara hal yang njelehi tenan: sentimen agama.

Terlepas dari tendensinya, buku ini patut dilahap dan dicerna oleh mereka yang mengaku berkesadaran sosial. Kita orang Indonesia, dan Papua masih menaruh hati pada kata sakral “Indonesia”. Tapi benarkah? Ndak tahulah, saya juga belum pernah ke sana. Tabea!

Khasiat Jamu Cap Hebermas

Judul : Demokrasi Deliberatif;
“Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ’Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Juergen Habermas”
Pengarang : F. Budi Hardiman
Penerbit : Kanisius
Cetakan ke : I, 2009
Tebal : 216 Halaman

Kecewa berharap pada Juergen Habermas. Berbeda dengan Laclau dan Mouffe, ia sama sekali tak mencetuskan teori pergerakan revolusioner. Habermas, sebaliknya, malah seolah menyetujui kapitalisme: ideologi yang oleh seniornya di Mazhab Frankrut dikecam dan dikritik mati-matian.

Dalam Faktizitaet und Geltung, sebuah karya yang amat mendongkolkan kalangan kiri, Habermas mengafirmasi negara hukum (rechsstaat) kapitalisme Eropa. Ia berargumentasi: lewat negara hukum kedewasaan-kebebasan yang otonom (muendigkeit) dari tiap warga dapat terbangun. Sebab, prosedur komunikasi politik demokratis zonder dominasi sesungguhnya telah ada dalam konsepsi negara hukum itu.

Salah Paham Saintifik

Posisi Habermas berseberangan dengan generasi pertama Mazhab Frankfurt: Adorno, Horkheimer, dan Marcuse. Mereka bertiga pesimistis terhadap dampak destruktif modernitas. Manusia modern tak bisa keluar dari jejaring setan alienasi akut dan dehumanisasi kronis yang tanpa sadar mereka alami.

Dialiktik der Aufklarung-nya Adorno dan Horkheimer pun hanya menyuarakan kegelapan, kebuntuan, dan aporia. Manusia modern tak mungkin lepas dari ikatan siklus mitologisasi-demitologisasi-mitologisasi yang senantiasa memodifikasi dirinya sendiri.

Proyek demitologisasi para pemikir Aufklarung justru menjelma sebagai mitos baru. Dan manusia terjebak dalam takdir mitos itu tanpa celah menghirup udara humanistik.

Marcuse tak kalah pesimisnya dari kedua pemikir itu. Rasionalitas sasaran atau nalar positivistik yang telah merasuk pada kesadaran manusia modern menyebabkan mengecilnya bahkan raibnya potensi negativitas. Manusia jadi cuma satu dimensi. Homologi total.

Tapi di tengah kemandegan itu Marcuse menemukan titik cerah, meski samar. Ia menaruh asa melalui apa yang disebutnya sebagai Great Refusal.

Kendati demikian, Marcuse mulanya meragukan potensi Great Refusal. Namun akhirnya, gerakan mahasiswa Perancis 1968 mampu mempertebal asa Marcuse.

Tapi toh kita mencatat, gerakan itu ditebas De Gaulle. Dan kesamaran titik cerah pun menggelap. Jalan keluar lamat-lamat buntu kembali.

Pesimisme Mazhab Frankfurt generasi pertama terjadi, menurut Habermas, sebab kesalahpahaman saintifik. Mereka mengikuti metodologi Marx dalam analisnya, yang ternyata tak lebih baik timbang metodologi positivistik.

Keduanya bertendensi positivistik kuat: rasionalitas sasaran pada positivitik dan teori kerja pada Marxisme. Mazhab Frankfurt generasi pertama, sebagaimana Marx, memaknai praksis humanisasi sebagai kerja belaka.

Padahal Hegel—guru sekaligus rival intelektual-politik Marx dan guru Mazhab Frankfurt—memaknai praksis dalam dua dimensi: kerja dan komunikasi. Dalam terma praksis sendiri telah tersirat status ontologi komunikasi. Dialektika teori dan praktik menghendaki komunikasi yang dinamis antarkedunya.

Kebuntuan Mazhab Frankfrut genarasi pertama dikarenakan pemutlakan praksis yang berdimensi kerja dalam telaahnya. Sementara, dimensi komunikasinya dilewatkan atau barangkali terlewatkan.

Dari kritik terhadap seniornya tersebut, Habermas menemukan pintu keluar dari kebuntuan implikasi negatif modernitas. Pintu itu adalah komunikasi; rasionalitas komunikatif.

Fragmentasi dan diferensiasi yang dihadapai masyarakat post-industrial Eropa atau dalam terminologi Habermas masyarakat kapitalisme renta (spaatkapitalismus), hanya dapat diatasi lewat komunikasi. Komunikasi ini dikondisikan oleh prosedur yang mengorientasikan proses komunikasi otonom tanpa dominasi guna merumuskan konsensus yang legitimate.

Dalam komunikasi macam itu diharapkan terjadi saling-artikulasi kepentingan, saling penyuaraan subjektivitas. Inilah komunikasi intersubjektif yang didiskusikan panjang lebar dalam Theory des Kommunikativen Handelns, magnum opus-nya Habermas.

Dengan pandangan komunikatifnya, Habermas menolak disensi dan anarkisme akibat fragmentasi masyarakat. Justru anarkisme tersebut bisa diantisipasi dengan komunikasi intersubjektif.

Apolegetik Kapitalisme

Prosedur Komunikasi intersubjektif itu, rupanya telah ada dalam negara hukum Eropa yang merupakan anak kandung Kapitalisme. Kebetulan inilah salah satu penyebab Habermas membela Kapitalisme.

Pembelaan Habermas yang tanpa diduga-duga terhadap Kapitalisme ini dikutuk golongan Neo Marxis dan Sosialis. Mereka kecewa lantaran penantian teori revolusioner dari Habermas yang termasuk dalam Mazhab Frankfrut berujung kesiaan. Ia tak menawarkan teori revolusioner apa pun.

Sebagai ganti teori revolusioner, Hebermas menghimbau agar suatu negara hukum hendaknya menjamin terjadinya formasi opini publik dan aspirasi politis seluruh kelompok kepentingan; diskursus demokratis harus terjamin.

Ruang publik berfungsi sebagai pembentuk diskursus demokratis itu. Ia mencontohkan, di antara bentuk riil dari ruang publik dalam negara hukum adalah parlemen dan media.

Di dalam ruang publik semua kepentingan dan ideologi dibebaskan bertarung mengadu rasionalisasi masing-masing, tanpa praktik dominasi dan manipulasi. Agar praktik dominasi dan manipulasi dalam praktik komunikasi tak terjadi, diperlukan etika diskursif.

Etika ini baru muncul bila prosedur komunikasi yang muendig dijalankan. Nah, dalam demokrasi deliberatif negara hukum etika diskursif tersebut tersaji.

Mengapa harus demokrasi deliberatif yang berlandas pada etika diskursif? Jawabnya legitimasi. Tanpa demokrasi deliberatif, di mana seluruh kelompok kepentingan berdialog secara intersubjektif, legitimasi konsensus atau policy tak tercipta. Akibatnya adalah ketakpatuhan warga (civil disobedience) dan yang terekstrem adalah anarkisme golongan; situasi chaos disintegratif.

Indonesianisasi

Tema demokrasi deliberatif, negara hukum, teori diskursus, dan etika diskursif itulah yang dipaparkan Fransisco Budi Hardiman dalam buku ini. Seperti biasanya, pemaparannya disertai banyak catatan dan kritik terhadap pandangan-pandangan Habermas.

Selain itu, Budi Hardiman menganjurkan pula penerapan wawasan Habermasian pada sistem hukum dan politik di Indonesia. Jika tak demikian, sukar membayangkan rasionalisasi masyarakat Indonesia.

Kondisi pluralisme Indonesia rentan terhadap anarkisme golongan dan konflik. Guna menghindari konflik karena produk hukum nir-legitemasi, bahkan anti-legitimasi, upaya internalisasi hingga kulturalisasi demokrasi deliberatif di Indonesia merupakan kebutuhan mendesak.


Habermasian Tulen

Buku ini sungguh sistematik, padat, dan subtil. Mungkin lantaran memang Budi Hardiman menguasai benar wawasan Habermasian. Lihat saja track record intelektualnya.

Tesis Budi Hardiman untuk meraih gelar Magister Atrium di Hochschule fur Philosophie Munchen memberi masukan pada teori diskursus Habermas. Dan di STF Drijarkara, ia pernah mengampu mata kuliah Filsafat Modern. Sementara itu, pada seluk-beluk filsafat modern inilah Habermas memulai refleksi kritisnya.

Kompetensi Budi Hardiman terhadap wawasan Habermasian kian dipertajam dengan penelitian-penelitian beruntunnya. Kritik Ideologi, Menuju Masyarakat Komunikatif, Melampaui Positivisme dan Modernitas, adalah beberapa penelitian Habermasian-nya yang telah diterbitkan.

Karena itu, banyak cendikiawan menganggapnya sebagai komentator sekaligus Habermasian tulen. Jika Frans Magnis menstereotip Habermas sebagai seorang Kantian hingga ke tulang sumsumnya, dengan diterbitkannya buku Budi Hardiman yang satu ini, tak keliru jika kemudian muncul stereotip: Budi Hardiman adalah seorang Habermasian hingga ke tulang sumsumnya.


Deliberasi G-20?

Pada pertemuan terakhir G-20 di Pittsburgh September lalu, negara-negara pesertanya sepakat menjadikan G-20 sebagai pengganti G-8. G-8 dirasai tak mampu lagi menanggung kompleks inflasionik ekonomi dunia, terlebih ketika resesi global menghantam.

Peran negara-negara berkembang diperlukan, terutama tujuh negara emerging economy: Brasil, Rusia, India, Cina (BRIC), Indonesia, Meksiko, dan Turki. Suara negara berkembang harus diikutkan dalam konferensi ekonomi dunia. Sebab, dikehendaki atau tidak, jantung ekonomi negara-negara maju justru sumber daya alam, produksi barang mentah dan properti, dan konsumsi negara-negara berkembang.

Dengan peningkatan status G-20, telah selesaikah diskrepansi ekonomi-politik tata dunia global seperti dipusingkan Andre Gunder Frank, Paul Baran, Immanuel Wallerstain dan kawan-kawannya? Adakah di dalam G-20 nilai suara yang sama-setara, zonder dominasi?

Sederhana. Jika di dalam G-20 diterapkan demokrasi deliberatif dan tiap negara memiliki utopianisme komunikatif, maka terdapat harapan penuntasan diskrepansi ekonomi-politik global. Namun, bila negara berkembang, termasuk Indonesia tak kunjung menanggalkan jiwa membeonya dan negara maju melakukan pseudo manipulasi terus-menerus, harapan tadi pun tenggelam.

Artinya, kesejahteraan global bakal dan hanya bakal lahir melalui pengondisian etika diskursif dalam G-20. Tanpa itu, G-20 menjadi titisan G-8 saja. Dan Indonesia akan begini-begini thok!


Student Disobedience

Konsepsi ketakpatuhan warga (civil disobedience) Habermas dapat pula kita turunkan di ranah kampus UIN. Bukannya sering terdengar adagium kampus sebagai microstate, miniatur sebuah negara? Kampus adalah negara hukum demokratis (rechsstaat demokratie) dalam bentuk yang diperkecil. Civil-nya kampus ya ... student.

Habermas me-monggo-kan bahkan menganjurkan civil disobedience dalam sebuah negara hukum, tentu dengan beberapa prasyarat. Soalnya, ketiadaan civil disobedience tidak saja menyebabkan kerugian politik kelompok tertentu. Namun, lebih jauh lagi legitemasi suatu public policy tak kuat; krisis.

Apalagi bila dalam proses perumusan public policy dan undang-undang tak semua kelompok kepentingan diikutsertakan; tak semua golongan kebagian suara dalam pembentukan formasi opini publik dan aspirasi politis.

Dalam keadaan krisis legitimasi demikian, civil disobedience dibutuhkan. Oleh karena itu, “protes ini [civil disobedience] adalah sebuah tindakan publik yang lazimnya dimaklumkan,” tulis Habermas dalam Die neue Unuebersichtlichkeit.

Disobediensi itu dapat berupa aktivitas simbolik warga yang sengaja melanggar norma-norma hukum. Aktivitas simbolik warga tersebut dimengerti sebagai praksis interpretasi norma-norma hukum nir-legitemasi.

Pertanyaannya kemudian, jika konsepsi disobediensi ini ditarik ke ranah kampus UIN, apakah norma-norma hukum berbentuk regulasi dan kebijakan yang diproduksi rektorat memiliki dasar legitimasi kuat? Absolutely not. Sebab, tak semua kelompok kepentingan diikutsertakan dalam perumusan kebijakan tersebut. Bahkan ironinya, mahasiswa sebagai objek kebijakan tersebut [seakan] tak diberi peluang bersuara.

Kebijakan kode etik mahasiswa, ketentuan limitasi presensi, kerjasama UIN dengan ITB, kenaikan biaya praktikum dan semester pendek, seluruhnya melupakan suara mahasiswa dalam proses perumusannya. Kata kawan saya, tak ada ko-eksistensi intersubjektif antara formasi opini publik masyarakat kampus dengan institusi pemroduksi kebijakan.

Kondisi demikian mamaklumkan tindakan disobediensi, student disobedience. Pelanggaran norma-norma hukum nir-legitimasi adalah halal, kalau bukan wajib demi prinsip demokrasi dan humanistik.

Pelanggaran kode etik, limitasi kurikulum, boikut tak membayar biaya praktikum dan semester pendek, serta protes simbolik mahasiswa lainnya merupakan pengungkapan dari intepretasi terhadap kebijakan nir-legitimasi institusi kampus. Student disobedience adalah demokratisasi sebuah microstate, kampus.

Demonstrasi mahasiswa, aksi mimbar bebas dan theatrical karenanya bukan sebentuk troble. Sebaliknya, ia adalah solving merajut utopianisme demokrasi sekaligus pendidikan demokrasi politik tak langsung bagi masyarakat kampus.

Lha, kalau situasinya kayak di UIN, demonstrasi mahasiswa disingkirkan lantas demokrasi mau diletakkan di mana? Apa di bawah ketiak institusi pendidikan otoriter? Entahlah choy.

Yang jelas, buku Demokrasi Deliberatif-nya Budi Hardiman ini penting dibaca oleh mereka yang menginginkan demokrasi. Sudah dulu choy; sudah capek nulis nih