14/03/13

Terjemahan 3



Kurikulum yang Bermakna

Oleh: A. Chaidar Alwasilah

Bila ada yang tak beres dalam masyarakat, orang segera mengarahkan perhatian pada pendidikan. Masalah sosial yang terjadi berulang-kali seperti tawuran pelajar, konflik antaretnis atau antaragama, korupsi, dan kemerosotan moral dianggap menunjukkan kegagalan sistem pendidikan.

Akhir-akhir ini, beberapa orang, termasuk pejabat pemerintah bersemangat mengusulkan supaya antikorupsi, pembentukan karakter, pembangunan berkelanjutan, kepanduan, seni bela diri tradisional, dan bahkan sepak bola harus dimasukkan sebagai materi pelajaran. Pendeknya, orang ingin memasukkan apa pun yang bernilai ke dalam kurikulum.

Perlu disadari, semua materi pelajaran tambahan itu akan membuat kurikulum menggelembung dan tak dapat dikelola. Orang tua mengeluh anaknya terbebani sejumlah materi pelajaran dan jam belajar yang bertambah panjang. Ini membawa kita pada isu materi pelajaran vs tujuan pendidikan. Kebingungan bermula saat orang mengacaukan keduanya.

Pendidikan umumnya bertujuan untuk membuat manusia jadi lebih manusiawi, membuat dia mampu memahami kodrat manusia dan alam semesta. Tanpa pendidikan yang layak, orang jadi merasa tak bermakna dan pasti gagal dalam hidup.

Karena makna itu abstrak dan tak terbatas sedangkan waktu dan ruang belajar itu terbatas, kurikulum harus disusun secara efektif. Karena itu, pendidikan harus dijalankan atas dasar pengetahuan akan kodrat manusia, aktualitas, potensi, dan kemungkinan yang dimilikinya dalam suatu kebudayaan tertentu.

Philip H. Phenix, dalam Realm of Meaning, mengidentifikasi enam kelas makna, dengan memaparkan ragam pemahaman umum yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai anggota masyarakat yang beradab. Adapun ragam pemahaman umum tersebut yaitu makna simbolis, empiris, estetik, sinoetis, etis, dan sinoptis. Orang mesti mengkritik kurikulum ketika kurikulum tersebut gagal menanamkan makna. Maknalah, dan bukan materi pelajaran, yang jadi soal.

Siswa mengembangkan makna lewat materi pelajaran atau disiplin sekolah. Makna itu beragam. Suatu mata pelajaran selalu mengandung makna yang beragam. Karya sastra, sebagai contoh, dapat digunakan  untuk mengajarkan beragam makna—baik itu makna simbolis, empiris, atau estetis.

Klasifikasi makna penting untuk memfasilitasi belajar siswa dan untuk mengalokasikan mata pelajaran. Berbicara secara praktis, penyampaian makna ada di tangan guru. Berikut dijabarkan enam kategori makna yang diidentifikasi oleh Phenix.

Siswa diajari makna empiris lewat mata pelajaran bahasa dan matematika untuk memampukan mereka menggunakan simbol penuh makna dalam komunikasi. Membaca dan berhitung adalah dasar bagi kehidupan manusia. Karena itu, bahasa dan matematika, bersama dengan sains, merupakan mata kuliah inti pada sekolah-sekolah di seluruh dunia.

Pada level elementer yang lebih rendah, dimana pengajaran berbasis permainan sesuai untuk digunakan, tidak ada keperluan untuk memisahkan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), walaupun keduanya bermanfaat untuk mengajarkan makna empiris. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mulai tahun ini, mendefinisikan ulang kedua mata pelajaran itu. Dari sudut pandang pedagogis, pengajaran pada level elementer harus berfokus pada penanaman makna daripada mata pelajaran.

Siswa diajari estetika melalui musik, seni musik, seni gerak, sastra, dan lain-lain, untuk memampukannya menangkap makna estetis dalam hidup. Estetika menajamkan perasaan dan kepekaan siswa. Fokus pengajaran musik bukan melatih siswa menjadi musisi tapi membangun kepekaan musikal. Akhir pengajaran seni adalah apresiasi seni, bukan mendeskripsikannya.

Makna sinoetis ialah pengetahuan batin, lawan dari pengetahuan eksplisit. Berbeda dari makna simbolis yang abstrak, makna sinoetis adalah makna personal yang didasari oleh pengalaman. Lewat sastra, psikologi, dan agama, guru membentuk dalam diri siswa makna eksistensial kehidupan siswa itu sendiri.

Makna etis membantu siswa membuat keputusan yang tepat untuk melakukan sesuatu. Ia lahir dari persepsi obyektif, sedangkan makna estetis muncul dari persepsi subyektif. Siswa mungkin secara pribadi punya komitmen aktif terhadap jenis tari tertentu yang mengorbankan makna etis. Dalam etika, aktivitas dilakoni dalam rangka partisipasi publik, karena publik cenderung berbagi intersubyektivitas terhadap apa yang benar dan yang salah.

Lewat pendidikan agama, kewarganegaraan (PPKN), dan Pancasila, guru menanamkan ajaran moral pada siswa. Hasilnya bukan pengetahuan eksplisit siswa mengenai mata pelajaran itu, melainkan penerapan nilai moral dalam praktik nyata. Pendidikan olah raga juga bisa digunakan untuk mengajarkan nilai moral seperti keadilan, keolahragawanan, kerja tim, dan penghormatan aturan main.

Makna sinoptis atau sinopsis menyarankan fungsi pemadu semua makna yang dijabarkan di atas.  Sejarah dan agama adalah mata pelajaran utama yang mendukung makna sinoptis. Mengajar sejarah bukan menyuruh menghapal peristiwa yang telah lalu tetapi mendorong pemaknaan terhadap peristiwa sejarah tersebut dalam suatu cara yang padu. Pada akhirnya, belajar sejarah berfungsi untuk memperbaiki keadaan masa kini dan masa depan.

Kami telah menjabarkan tujuan pendidikan umum—yaitu membekali siswa dengan enam makna untuk memahami dirinya sendiri dan alam semesta—namun, kita tidak dapat memasukkan segala yang terpuji dan yang diinginkan ke dalam kurikulum.

Keenam makna tersebut dapat ditanamkan lewat beragam materi pelajaran. Tentu saja siswa pada tingkat dasar, menengah, dan tinggi membutuhkan level pemahaman yang berbeda. Kurikulum harus dirancang secara sesuai.

Mata pelajaran yang diajarkan mengandung makna apa dan diajarkan pada level pendidikan mana merupakan keputusan kurikuler yang vital untuk dibuat. Yang paling penting adalah guru yang dapat menguasai kelas dalam rangka penanaman makna.

Penulis adalah profesor pada Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

06/03/13

Terjemahan 2



Soal Guru, Bukan Kurikulum

Oleh: A. Chaidar Alwasilah

Kurikulum baru 2013 yang segera dikenalkan tidak menjamin teratasinya masalah pendidikan bangsa saat ini. Kurikulum baru selalu merupakan gagasan yang baik. Akan tetapi, masalah selalu muncul dalam implementasi. Jadi, yang penting bukan mengganti kurikulum, tapi mengimplementasikannya.

Secara sederhana, implementasi kurikulum berarti memberlakukan kurikulum sebagaimana dimaksudkan, termasuk memberlakukan seperangkat sistem untuk menilai efektivitasnya. Proses penilaian memberi umpan-balik bagi proses pengembangan, dimana data digunakan untuk perbaikan kurikulum. Kurikulum pendidikan membutuhkan perbaikan yang berkelanjutan, bukan pergantian yang berkelanjutan.

Perbaikan kurikulum tidak harus mengganti kurikulum lama; seringkali dilaksanakan pada saat kurikulum lama masih dijalankan. Perbaikan kurikulum seperti itu biasanya dimulai dengan mengganti bagian kurikulum lama tertentu, dengan metode trial-and-error, sebagai alternatif praktik yang sedang dijalankan. Data evaluatif berguna untuk mengamati kurikulum lama yang sedang dijalankan dan berharga untuk memperbaikinya.

Kurikulum 2013, sebagaimana dikatakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh, adalah perbaikan atas kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi dan kurikulum 2006 yang berbasis sekolah. Sementara itu, guru masih belajar bagaimana menjalankan kurikulum 2006.

Sayangnya, kebanyakan guru dan publik pada umumnya tidak diberi tahu apa yang sesungguhnya salah dengan kurikulum 2006. Pemerintah harus mempublikasikan data evaluatif untuk mengidentifikasi aspek mana dalam kurikulum tersebut yang bermasalah. Data seperti itu akan membuat pergantian kurikulum lebih dimaklumi.

Organisasi seperti Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) harus menghasilkan praktik-praktik pengajaran terbaik tidak untuk komunitasnya masing-masing saja, tetapi juga untuk profesi guru secara keseluruhan. MGMP tampaknya lebih bekerja dalam konteks yang spesifik, diprakarsai oleh guru, dan diarahkan untuk kebutuhan jangka menengah.

Merupakan kerugian bagi MGMP bila kita gagal meneliti efektivitas program MGMP yang tengah dilaksanakan dan mengabaikan hasil yang telah dicapainya. Mekanisme seperti itu memerlukan pengembangan profesi berkelanjutan (PPB) untuk guru.

Perbaikan kurikulum, bukan pergantian kurikulum, difokuskan pada aspek tertentu yang bermasalah. Jadi, perbaikan kurikulum lebih ekonomis dan berbasis masalah. Perlu diulangi, apa yang esensial bagi guru adalah PPB, yaitu suatu proses karir jangka panjang dimana guru memperbaiki pengajarannya untuk memenuhi kebutuhan siswa. Yang memperoleh manfaat terbesar dari PPB adalah siswa. PPB langsung menangani gaya mengajar guru—jalan untuk mengoptimalkan hasil belajar siswa.

Mempertimbangkan jumlah guru yang besar, hambatan pelaksanaan PPB adalah kurang dapat diaksesnya peluang pengembangan profesi. Peluang pengembangan profesi tidak dapat diperoleh oleh seluruh guru. Saat ini hanya 1 juta dari 2,9 juta guru yang telah tersertifikasi.

Namun demikian, kajian baru-baru ini oleh World Bank tentang dampak sertifikasi guru mengungkapkan bahwa sertifikasi memperbaiki standar hidup guru tapi gagal meningkatkan kualitas kinerjanya. Guru gagal memotivasi siswa untuk belajar. Jelaslah bahwa persoalan kebanyakan ada pada guru, bukan kurikulum.

Keterangan berikut dapat menjelaskan kenapa Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), program mutakhir yang diprakarsai pemerintah, gagal meningkatkan profesionalisme guru.

Pertama, tidak semua guru merupakan individu yang berbakat dan berjiwa mengabdi, yang berkomitmen untuk mengajar. Perekrutan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan guru gagal membedakan calon guru yang berbakat dan tidak berbakat.

Kedua, guru yang satu dengan yang lain berbeda dalam penguasaan pengetahuan teoritis dan profesional dan dalam jenjang karir. Sekarang ada 10 universitas pendidikan negeri dan lusinan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) negeri dan swasta. Sumber daya semua lembaga pelatihan guru tersebut bervariasi, dan ini dapat menjelaskan kesenjangan kualitas para lulusannya.

Ketiga, program profesi belum tentu sesuai dengan kebutuhan dan motivasi guru, sehingga mereka tidak mengembangkan rasa-memiliki terhadapnya. Beberapa guru tidak punya penguasaan yang baik atas materi pengetahuan yang diajarkan, pengetahuan pedagogis secara umum, dan pengetahuan kontekstual. Jadi, materi program profesi harus disesuaikan dengan kebutuhan dan motivasi guru.

Keempat, beberapa guru secara sederhana menganggap pengembangan profesi sebagai kewajiban administratif, bukan sebagai ikhtiar karir jangka panjang. Ketika program rampung, guru kembali pada cara mengajar mereka yang dulu. PPB sejati bertujuan untuk mendorong bangkitnya faktor-faktor penyebab kesuksesan semua guru dan siswa.

Kelima, pengembangan profesi guru terpisah dari keseluruhan budaya dan iklim sekolah. Program PPB akan berefek terhadap belajar siswa jika melibatkan pengetahuan tentang proses belajar mengajar dalam sekolah yang terlibat. Keberhasilan program PPB tidak diukur hanya dengan mempertimbangkan faktor-faktor individual dalam program.

Efek program PPB diketahui dengan memeriksa bagaimana berbagai faktor dan stakeholder berinteraksi satu sama lain. Pengembangan profesi harus terhayati dalam rutinitas kerja sehari-hari mereka. Pendeknya, PPB harus berbasis sekolah.

Supaya efektif, pengembangan profesi guru harus dikembangkan dengan memenuhi kriteria yang disarankan oleh Diaz-Maggioli dalam bukunya Teacher-centerd Professional Development (2004) sebagai berikut: (1) pengambilan keputusan secara kolaboratif, (2) pendekatan yang diarahkan pada pertumbuhan, (3) pembangunan program secara kolektif, (4) ide yang ilmiah, (5) teknik yang sesuai, (6) metode penyampaian yang bervariasi dan tepat waktu, (7) sistem pendukung yang memadai, (8) program dengan konteks yang spesifik, (9) penilaian proaktif, dan (10) instruksi yang berpusat pada orang dewasa.

Penetapan kurikulum baru selalu disambut dengan keraguan dan sinisme. Gurulah yang akan bertanggung jawab jika kurikulum baru itu gagal berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Sekaranglah saatnya mengubah paradigma dari prakarsa pemerintah dan kurikulum dari atas ke bawah, diganti jadi paradigma berpusat pada guru dan pengembangan profesi berkelanjutan yang berbasis sekolah sebagai bagian dari perbaikan kurikulum, bukan pergantian kurikulum.

Penulis adalah profesor di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

04/03/13

Terjemahan 1



Merancang Pendidikan Menuju Modernitas

oleh: A. Chaidar Alwasilah

Dalam bukunya yang provokatif, The New Asian Hemisphere: The Irresistible Shift of Global Power to the East (2008), Kishore Mahbubani percaya bahwa jutaan penduduk Asia sekarang sedang bergerak menuju modernitas. Pada abad ke-21, Asia bakal termodernisasi.

Itu hanya soal waktu. Sebagai seorang idealis yang optimistis, bagaimana pun, Mahbubani mengingatkan kita akan tujuh pilar modernitas Barat, yakni ekonomi pasar bebas, sains dan teknologi, meritokrasi, pragmatisme, budaya damai, penegakan hukum, dan pendidikan.

Di antara tujuh variabel itu, pendidikanlah yang memainkan peran paling vital. Teori modal manusia menekankan pentingnya investasi dalam meningkatkan kapasitas tenaga kerja melalui pelatihan pada umumnya, dan melalui pendidikan formal pada umumnya. Dengan kata lain, pendidikan merupakan bagian paling esensial untuk membangun jalan menuju modernitas.

Esensi ekonomi pasar bebas adalah kompetisi dan kewirausahaan. Sebenarnya, kompetisi juga penting dalam kesuksesan politisi, profesional, dan intelektual. Masyarakat yang kompetitif mendorong orang untuk mengeksplorasi dan mengembangkan potensinya baik demi kemajuan individual maupun kemajuan kolektif.

Meritokrasi penting untuk merangsang kreativitas dan kemajuan dalam masyarakat. KKN, khususnya dalam urusan layanan publik, bertentangan dengan kemajuan. Menjadi pragmatis secara sederhana berarti bahwa tidak ada metode tertentu yang diklaim lebih unggul daripada metode-metode yang lain. Itu artinya, menjadi pragmatis adalah membuat keputusan tepat yang praktis lagi menguntungkan.

Budaya damai adalah prasyarat bagi terselenggaranya pembangunan yang berkelanjutan. Di negara berkembang, kemajuan sering dihalangi oleh konflik yang berulang-ulang.

Gejala semacam ini sekarang tak banyak ditemui di Eropa, tetapi masih marak di negara berkembang. Konflik seperti itu sering disebabkan oleh hambatan psikologis laten yang susah dihilangkan.

Aturan hukum memandu orang bagaimana harus bertingkah laku dalam masyarakat. Penegakan hukum penting dalam rangka merawat kemajuan. Di sebuah negara dimana hukum tidak sepenuhnya ditegakkan, buah pembangunan berada di tangan sekelompok kecil masyarakat. Akibatnya, tidak ada kepemilikan kolektif terhadap pembangunan.

Mencermati tesis Mahbubani tentang modernitas Asia yang akan segera terjadi, pendidik dan guru perlu bertanya apakah kurikulum yang ada cukup efektif untuk mengimplementasikan tujuh pilar modernitas di negara ini. Bagaimana cara agar pilar-pilar itu menjadi bagian dari kurikulum dan terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari?

Pendidikan mengajari siswa sains dan teknologi, tapi itu belum cukup untuk mengembangkan modernitas. Mengembangkan pilar-pilar tersebut berarti menanamkan nilai-nilai sains dan teknologi yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Universitas kerap dikritik karena melulu mengajarkan teori kepada mahasiswa, mengabaikan kenyataan bahwa teori tersebut segera menjadi usang dan tak relevan.

Konsekuensinya, keterampilan yang diajarkan kepada mahasiswa harus dapat difungsikan dalam situasi yang selalu berubah. Guru dan profesor akan gagal jika mereka menggunakan proses belajar yang tidak berdampak sepanjang hayat.

Mengajar pada abad ke-21 adalah membekali siswa/mahasiswa keterampilan dan nilai dasar untuk hidup dalam masyarakat berbasis pengetahuan.

Empat prinsip masyarakat berbasis pengetahuan adalah sebagai berikut. Pertama, pembelajaran sepanjang hayat. Seorang muslim akan langsung setuju dengan prinsip ini karena sejalan dengan sabda nabi Muhammad, orang harus belajar sejak masa buaian hingga liang lahat. Pendidik mesti mengajari siswanya rasa ingin tahu yang sejati untuk terus belajar hal-hal baru selama hidup.

Kedua, belajar mandiri. Siswa harus diajari memikul tanggung jawab pribadi dalam pendidikannya. Keterampilan berpikir kritis dan kreatif adalah krusial dalam belajar mandiri. Orang yang kritis cenderung mengantisipasi datangnya masalah baru dan mencari tahu bagaimana mengatasi masalah tersebut.

Ketiga, pembelajaran berbasis masalah. Kehidupan kita dibanjiri oleh masalah-masalah baru. Pendidikan tradisional disibukkan dengan teori, sementara pada kenyataannya, kehidupan di luar sekolah lebih menawari kita masalah daripada teori. Kurikulum harus dirancang ulang untuk membekali siswa keterampilan berpikir dan menyelesaikan masalah.

Pendekatan berbasis masalah terhadap kurikulum, juga berbasis pengalaman. Belajar lebih merupakan mediasi-oleh-pelatih daripada arahan-dari-guru. Siswa lebih merupakan pemecah masalah daripada penyerap pengetahuan.

Jelasnya, peran guru bukan mengantarkan pengetahuan, tetapi berkolaborasi bersama siswa menciptakan pengetahuan. Dengan kata lain, siswa diperlakukan sebagai pembangun pengetahuan yang masih pemula.

Keempat, belajar dari berbagai sumber dan dengan berbagai sumber daya. Secara tradisional, guru biasanya menjadi sumber pengetahuan yang utama dan berwenang. Guru harus menyadari bahwa sekarang siswa belajar dengan lebih cepat dari berbagai sumber. Sumber tersebut tak terbatas jumlahnya. Kerja utama guru hari ini bukan membekali pengetahuan, melainkan membantu siswa menyaring pengetahuan yang terhampar di depannya.

Lembaga pendidikan ditantang untuk menggeser paradigmanya dari “menerapkan model teori” ke model berbasis masalah.

Saat ini, calon guru dibekali teori dan cara mengajar melalui PPL atau program pengalaman lapangan. Guru magang dalam kebanyakan kasus merasa tidak siap mengajar di kelas.

Normalnya, di Indonesia mahasiswa mengikuti PPL pada semester kedelapan selama tiga hingga empat bulan. Waktu sependek ini sangat tidak cukup untuk secara penuh memahami masalah sekolah sehari-hari.

Sebagai perbandingan, di Inggris dan Jepang calon guru menjalani PPL lebih dini, yaitu pada semester pertama atau kedua. Manfaatnya, mereka merasakan budaya sekolah dalam jangka waktu yang lebih lama dan karenanya tahu bagaimana cara menghadapi masalah sekolah.

Pendidikan adalah cara paling efektif untuk memodernisasikan bangsa. Kita butuh guru yang menguasai tidak saja materi pelajaran (pedagogi), tetapi juga yang punya kemampuan menanamkan nilai dan karakter untuk hidup dalam masyarakat yang selalu berubah. Karena itu, program pendidikan guru harus secara kritis ditinjau untuk terus diperbaiki secara berkelanjutan.

Penulis adalah profesor di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan pengarang Pokoknya Rekayasa Literasi (2012)