03/08/15

senja

usia sejarah sudah tua. barangkali dia sekarang tengah berada pada senjakala. berdasarkan kalender masehi, sejarah telah berusia 2015 tahun. sementara itu, berdasarkan kalender hijriah, sejarah telah berusia 1436 tahun, satu setengah milenium. kalau kita menggunakan sistem penanggalan yang lain yang lebih tua, umur sejarah tampak lebih tua pula. belum lagi kalau kita menggunakan teori2 biologi, arkeologi, dan antropologi. tapi, agar tidak terdengar kelewat seram dan mencemaskan, saya berpatokan pada kalender masehi yang dengannya kita tahu bahwa umur sejarah telah dua milenium lebih dan kalender hijriah yang dengannya kita paham bahwa sejarah telah memasuki usia 1436.

jarak waktu sepanjang itu membuat kita telah bearda begitu jauh dari kemurnian teori2 kebudayaan yang diajarkan baik oleh baginda isa--yang kelahirannya menandai permulaan penanggalan masehi--dan baginda muhammad--yang diangkat sebagai dutasuci lebih satu dasawarsa sebelum bermulanya tahun pertama penanggalan hijriah. menggunakan idiom islam, barangkali kita tengah berada pada akhir zaman atau zaman akhir,  senjakala sejarah sebelum matahari kehidupan tenggelam dalam malam peraduannya.

apakah tanda2 yang menunjukkan telah rentanya sejarah? kita dapat menemukan penjelasan tentang hal ini tidak saja dalam kitab2 hadits, melainkan juga dalam pepatah-petitih yang diwariskan leluhur.

orang jawa akrab dengan pitutur arif berikut, sedemikian akrabnya sehingga menjadi lirik sebuah lagu tradisional populer.

yen pasar ilang kumandange, yen kali ilang kedunge;
wong wadon ilang wirange, wong lanang ilang perbawane;
enggal2 tapa lelana, njajah desa milang kori.

lebih-kurang, terjemahan bahasa indonesia pitutur arif di atas adalah sebagai berikut.

apabila pasar hilang kumandangnya, apabila sungai hilang hulunya;
perempuan hilang martabatnya, lelaki hilang wibawanya
segeralah bertapa kelana, menjelajah desa menghitung pintu.

apakah kumandang pasar sekarang hilang? tidak ada jawaban lain kecuali 'ya'. secara harfiah, kumandang pasar memang tidak hilang, malah sebaliknya, semakin riuh dan membahana. cobalah anda berjalan2 mengitari pasar tradisional beringharjo atau pasar modern ramayana, keduanya terletak di jalan malioboro, yogyakarta. di tempat-tempat tersebut, manusia berebut ruang hening untuk memperdengarkan suara. kita sukar sekali menemukan kesenyapan. dengan demikian, kalau kita memahami pernyataan pasar hilang kumandangnya secara harfiah seperti ini, maka jawaban untuk pertanyaan di atas adalah negatif.

akan tetapi, yang dimaksud oleh pitutur di atas bukan pengertian harfiah itu, tetapi pengertian struktural. kapitalisme lanjut (globalisasi) yang melanda negara2 dunia ketiga sejak puluhan tahun lalu telah berhasil, sebagaimana diisyaratkan jurgen habermas, menjadikan seluruh ruang kehidupan sebagai pasar, sebegitu berhasilnya sampai2 bourdeau mengistilahkan relasi sosial dan pencapaian intelektual sebagai kapital, terminologi yang dulunya hanya digunakan dalam pembicaraan ekonomi. jadi, kita telah memandang pergaulan sosial dan dunia ilmiah dengan nalar dagang. kita memperluas jaringan dan belajar di lembaga pendidikan pada akhirnya untuk memperoleh sukses material, satu2nya jenis kesuksesan yang direstui oleh kebudayaan modern.

ruang kehidupan lain yang secara menonjol telah menjadi pasar adalah ruang publik politik, di dalam mana terjadi pertukaran kapital dalam rangka tawar-menawar kekuasaan. contoh konkret, merupakan gejala jamak bahwa dalam pilkada raya 2015 ini hanya kandidat berduitlah yang dapat maju menjadi calon, dan berpeluang besar untuk menjadi, pemimpin daerah. pribadi tulus yang tak berduit sejak pagi buta sudah tersingkir dari gelanggang kompetisi.

itulah yang sesungguhnya terjadi dalam era pasar bebas: seluruh ruang kehidupan telah menjadi pasar. implikasinya, kumandang pasar hilang. sebab, semuanya adalah pasar. tidak hanya mengepung kita, pasar bahkan adalah kita. dalam diri kita terdapat pasar, yaitu nalar dagang yang bersemayam dalam alam bawah sadar kita. sedemikian intim dan manunggalnya kita dengan pasar sampai2 kita tidak mendengar kumandangnya yang menyerbu telinga. kita menjadi bagian dari pasar dan kumandang pasar itu sendiri. situasi ketakberjarakan dari pasar ini dulu, sebelum penyakit kapitalisme mewabah, kiranya tak pernah terjadi. dulu, kita berada di sini, sedangkan pasar berada nun jauh di sana, di suatu lokasi dari mana kumandang pasar kita dengar secara samar2.

akibat dari marketisasi kehidupan ini kita sudah mengerti: kebudayaan luluh-lantak. dari kebudayaan, yang tersisa hanya simbol2nya saja yang celakanya diperjualbelikan sebagai komoditas pariwisata. makna simbol2 itu sendiri tidak hidup lagi. kalau pun hidup, hanya dihayati oleh generasi tua yang tidak lama lagi meninggalkan kita, the lost generation, generasi yang kehilangan jati diri ini. maka, ketika pasar hilang kumandangnya, pada saat itulah berlangsung kondisi darurat budaya. jika tali nafas kebudayaan tidak segera disambung, kita terancam kehilangan akar eksistensial. kita lupa akan masa lalu sehingga gagal melangkah menuju masa depan yang dikehendaki langit. nasib kita sebagai kolektivitas sosial barangkali tidak akan berbeda jauh dari nasib malin kundang; atau nasib hanafi, tokoh durhaka dalam novel Salah Asuhan yang dikarang Abdul Muis.

hilangnya akar eksistensial, saya yakin itulah maksud aforisma kali ilang kedunge, sungai hilang hulunya. meskipun leluhur telah mewanti-wanti untuk menerapkan azaz kontinyuitas sebagai strategi kebudayaan, nyatanya kebudayaan kita pada umumnya berkembang hampir-hampir secara tidak sinambung. buktinya, bagian kecil dari kaum muda kita sekarang berupaya, dengan tertatih-tatih, untuk mengenal dan mempelajari kebudayaan leluhurnya sendiri--tanda gagalnya mekanisme pewarisan kebudayaan, sedangkan bagian terbesar dari kaum muda malah menghamba kepada kebudayaan asing yang diimpor khususnya oleh media. tidak mudah lagi membedakan mana orang eropa dan mana orang indonesia, kecuali bahwa orang indonesia berbicara dengan bahasa yang campur aduk: bahasa indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing--istimewanya bahasa inggris, digado2kan menjadi sebuah bahasa hibrid yang tak jelas bentuknya bahkan strukturnya.

tidak mudah pula membedakan perempuan eropa, korea, dan nusantara. sebab, seiring menggejalanya homogenisasi gaya hidup akibat globalisasi, ketiganya hanya punya sedikit perbedaan dalam gaya hidup. kita kadang mendengar keluhan dari generasi tua bahwa nenek2 kita semasa mudanya dulu begitu menjaga martabatnya, apa yang sukar ditemukan pada perempuan2 masa kini. penjagaan martabat tersebut tidak hanya terbit dari kesadaran sang perempuan, tetapi juga dilakukan oleh dan dijalankan sebagai sistem adat, dalam arti sistem sosial. kebanyakan budaya di nusantara memberikan kedudukan sangat tinggi, mulia, dan terhormat kepada perempuan. kebudayaan buddha di jambi menyimbolkan ilmu spiritual terpuncak--induk dari ilmu2 lain--yang dapat dicapai oleh manusia sebagai perempuan cantik jelita, prajnaparamita. jejak2 penyembahan terhadap dewi sri, perempuan dewi keseburan, masih tersisa di tanah jawa. saya khawatir--semoga kekhawatiran ini difalsifikasi kenyataan, mencermati ke mana arah perkembangan gaya hidup generasi saya, pada masa2 mendatang, martabat akan semakin tidak menjadi identitas bagi perempuan, wong wadon akan benar-benar ilang wirange.

wirang, leksikon jawa satu ini cukup memancing rasa penasaran. ia barangkali berasal dari kata wira', suatu variasi morfologis dari wara'. karena lidah jawa tidak fasih membunyikan wira', orang jawa pun mengucapkan wira' sebagai wirang. kesimpulan pseudo-etimologis ini spekulasi memang, tapi bukan spekulasi yang tak berguna. sebab, wira' dan wirang ternyata punya pertautan semantik. secara sederhana, wira' berarti menjaga diri dari yang halal agar tidak terjerumus ke dalam yang haram. membalas perbuatan jahat yang dilakukan orang lain, boleh-boleh saja. tapi, orang yang wara' tidak bersikap gegabah. dia akan mendahulukan permaafan daripada pembalasan. sebab, pembalasan akan menimbulkan pembalasan berikutnya, yang skalanya bisa dengan mudah membesar dan ukurannya bisa dengan mudah pula memanjang.

agama tidak melarang perempuan berhias selama masih dalam batas2 tertentu. dalam kondisi2 khusus hal itu malah dianjurkan, sebagaimana keterangannya dapat kita temukan baik dalam al-quran maupun hadits. tapi, perempuan wara' sangat membatasi diri dalam berhias dalam rangka menjaga martabat dirinya, dengan demikian juga supaya tidak terjadi tindak kriminal yang menempatkan dirinya sebagai korban. ilustrasi ini menunjukkan bahwa wira' ternyata manifestasi dari sekaligus berorientasi pada wirang. ada hubungan timbal balik yang saling menguatkan antarkeduanya: semakin wara' semakin wirang, sebaliknya: semakin wirang semakin wara'.

pada senjakala sejarah, sementara perempuan kehilangan wara', lelaki kehilangan perbawa atau wibawa. banyak suami tidak ditaati istrinya karena kehilangan perbawa. sebaiknya, ketidaktaatan istri terhadap suaminya tersebut tidak dicari akarnya semata-mata pada pihak istri. sebab, perbawa suami kecil kemungkinannya hilang di mata istri selama sang suami terus berupaya untuk menjaga integritasnya sebagai model dalam kehidupan berkeluarga, di samping selama tidak ada pergeseran filosofis dalam perikehidupan berkeluarga.

mengapa suami gagal menjaga integritas dengan mana otoritasnya sebagai kepala keluarga dapat dipertahankan? kita paham, banyak sebabnya. tapi, sebab yang kiranya cukup primer adalah pendidikan. lelaki calon suami, sebelum menaiki jenjang pernikahan, tidak dibekali atau pun membekali diri dengan pengetahuan-kesadaran berkeluarga. itu terjadi antara lain karena jamaknya gejala nikah usia dini, yang pada gilirannya bermuara pada situasi pasar ilang kumandange. di sisi lain, lembaga pendidikan formal kita pun kurang peduli dengan pendidikan seksual, pendidikan pra-nikah, dan parenting.

kalau tanda2 senjakala sejarah itu telah menghampiri kita, apa yang harus kita lakukan? enggal2 tapa lelana, njajah desa milang kori, segera bertapa kelana, menjelajah desa menghitung pintu. hikmah anjuran tapa kelana sejalan dengan pesan al-quran untuk mengadakan perjalanan di muka bumi dalam rangka mengamati akhir riwayat umat-umat tempo dulu yang tidak percaya akan kenyataan adanya Allah dan hari akhir, faktor kebudayaan yang secara mantap melatarbelakangi tumbangnya eksistensi bangsa2.

tapa kelana adalah salah satu bentuk lelampahan spiritual  dalam tradisi islam-jawa. barangkali, bagi pelampah spiritual, tujuannya untuk mengenali hakikat dirinya sehingga dia kenal pula akan hakikat tuhannya. dengan kata lain, tapa kelana adalah metode untuk menyadari siapa sejatinya aku, dari mana asalnya aku, dan ke mana pulangnya aku. ringkasnya, metode untuk mencari jati diri. 'mencari' adalah kata kerja yang menunjukkan bahwa ada sesuatu yang hilang baik dalam diri pribadi secara mikrokosmik maupun dalam diri kolektif secara makrokosmik.

apakah yang hilang itu? jati diri, identitas, atau karakter, yang dimetaforkan sebagai kumandangnya pasar, hulunya sungai, wirangnya perempuan,  dan perbawanya lelaki. dalam rangka menemukan kembali identitas eksistensial dan makna kebudayaan yang hilang tersebut, pelampah spiritual tidak menjalani sembarang pengelanaan. meskipun secara kasat mata menjalani pengelanaan geografis, pada dasarnya dia lebih menjalani pengelanaan kebudayaan. dia menziarahi desa demi desa, pintu rumah demi pintu rumah, kebudayaan demi kebudayaan, untuk menemukan--meminjam diksi sapardi dan kuntowijoyo--isyarat; untuk menemukan isyarat, tanda, ayat, petunjuk, hidayat jati; untuk pada akhirnya menempuh jalan lurus setelah mengentaskan diri dari ketersesatan dan keterlaknatan.

dari puing-puing pelbagai bangunan kebudayaan yang telah luluh lantak, pelampah spiritual mencari artefak yang tertera padanya aksara bermakna. puing2 dan remah2 makna yang tercecer berserakan itu dihimpunnya dengan sabar untuk merangkai makna holistik yang kelak menjadi kesadarannya.

ini kerja kolektif hermeneutik suci raksasa. itu artinya, harus diterjemahkan menjadi gerakan kebudayaan. suatu jamaah mesti maju ke garis terdepan dalam medan perang untuk menjadi saksi yang bertindak, menjadi ummatan wasathan, yang tidak saja mengkritik, melainkan juga melancarkan koreksi struktural, yang tentu saja dimulai dari kritik ideologi, sebagaimana gerakan kebudayaan yang dipimpin oleh para rasul. apakah mungkin?

menurut saya, secara indivual sikap yang paling realistis adalah menjalani olah budaya dalam rangka tazkiyat al-nafs. kita ingat pesan baginda muhammad. ketika dihampiri tanda2 akhir zaman, kita harus berkhalwat. eskapis? mencari selamat sendiri? tidak sesederhana itu. pengertian khalwat dapat dikembangkan secara lebih plastis sebagai khalwat kebudayaan atau tapa ngrame: senantiasa menjaga jarak dari apa yang disebut oleh para mistikus islam sebagai dunia, justru ketika dunia mengepung kita. pada saat yang sama, sebagai bagian fundamental dari tapa ngrame itu, kita melunasi tanggung jawab sebagai mandataris ilahi di muka bumi. akhirnya, saya merasa perlu untuk mengutip sebuah penggalan ayat suci: bertakwalah, sejauh kemampuan kalian.

sugih

pada umumnya, kita bermimpi untuk hidup kaya raya. dengan kekayaan itu, kita bisa membeli apa saja. makanan lezat sebanyak2nya. pakaian fashionable. rumah mewah. mobil mahal. bahkan, kebahagiaan. dengan kekayaan itu pula, kita dapat menunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah figur sukses, sehingga khalayak ramai memberi penghargaan tinggi kepada kita. kita bermimpi hidup kaya raya pada awalnya dan pada akhirnya untuk menonjolkan eksistensi pribadi. sebab, tidak ada yang diperoleh orang miskin dari khalayak kecuali hinaan, juga sekilas dan sedikit rasa iba yang dipertunjukkan dengan cara menyakitkan hati.

sebegitu besarnya mimpi untuk hidup kaya raya itu sampai2 kita melakukan tindakan2 absurd untuk mewujudkannya. misalnya, rakyat jelata mencuri, pemimpin korupsi. subtansinya sama: mengambil apa yang bukan haknya. karena bermimpi secara melampaui batas untuk hidup kaya raya itulah seorang pemimpin gagal melunasi amanah kepemimpinan. dia gagal menjadi pemimpin karana hatinya penuh dengan ambisi duniawi. dia gagal menjadi pemimpin karena gagal eling, eling asale, eling baline. dia lupa jati dirinya.

saya rasa, inilah topik yang direnungi para guru. 

baginda syuaib menjalankan misi profetik untuk mengingatkan bangsa madyan tentang korupsi yang mereka biasa lakukan dalam lapangan perdagangan. bagi bangsa madyan, korupsi itu lumrah dan dianggap benar2 saja. saat berjual beli, kebanyakan pedagang madyan mencuri timbangan. mereka kapitalis, dan kapitalisme mereka adalah kapitalisme jahat--manalah ada kapitalisme yang baik (!). mereka mengambil apa yang bukan haknya untuk memperoleh sebanyak2nya keuntungan dan sebesar-besarnya kekayaan.

baginda musa memperingatkan hartawan karun untuk menjalankan kewajiban berbagi, tetapi peringatan itu ditolak. mimpi karun untuk hidup kaya raya telah tercapai memang, tetapi mimpi itu ternyata menggelembung. setelah kaya raya, dia ingin lebih dan lebih kaya lagi. berbagi artinya mengurangi jumlah kekayaan, suatu pantangan bagi karun.

baginda isa mengkritik ulama yahudi yang menjual agama demi mewujudkan mimpi hidup kaya raya. perdagangan keji itu menyebabkan mereka menghalalkan apa yang haram dan mengharamkan apa yang halal. karena itulah, baginda isa juga datang untuk menjelaskan kembali mana yang sesungguhnya halal, mana pula yang sejatinya haram. tidak hanya mengkritik ulama yahudi yang melakukan perdagangan keji, baginda isa konon gemar berlaku tirakat. berpuasa adalah adatnya. beliau terbiasa menjaga jarak dari kenyang, apalagi kekenyangan. saya pikir, itu dilakukannya selain untuk berempati kepada mereka yang lapar, juga untuk mengondisikan diri sedemikian rupa sehingga beliau dapat memberi teladan sebagai pemimpin yang amanah, dalam arti pemimpin yang tidak punya ambisi duniawi. 

baginda muhammad melangkah di trayektori yang sama dengan baginda syuaib, musa, dan isa. sebelum dilantik sebagai rasul, beliau terkenal sebagai pedagang jujur. tidak pernah mencuri. tidak pernah mengambil apa yang bukan haknya. saya yakin, beliau tidak bermimpi hidup kaya raya. jika baginda rasul bermimpi demikian, masyarakat mekah tidak menjulukinya sebagai al-amin, pribadi yang dapat dipercaya. siapa yang bermimpi hidup kaya raya, berpotensi tergoda berlaku curang. baginda rasul tidak curang. beliau berkata, cinta dunia adalah pangkal semua kesalahan. ambisi duniawi adalah asal-usul segala dosa. gaya hidupnya sederhana. bantal tidurnya hanya pelepah kurma. makan ketika lapar, berhenti makan sebelum kenyang. sering berpuasa karena tidak ada makanan di dapurnya. kadang menyelipkan batu di antara ikat pinggang dan celananya, untuk mengurangi rasa lapar dan mencegah sakit pencernaan yang diakibatkannya. shalawat salam baginya tercurah selalu...

setelah dilantik sebagai rasul, keras sekali beliau mengkritik perilaku gila dunia bangsawan dan hartawan mekah. saksinya adalah surat al-takatsur, surat al-humazah, dan surat al-maun, ketiganya diturunkan di mekah. berikut terjemahannya.

bermegah-megahan telah melalaikan kamu (1) sampai kamu masuk ke dalam kubur (2). sekali-kali tidak! kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu) (3). sekali-kali tidak! sekiranya kamu mengetahui dengan pasti (4). niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka jahim (6), kemudian kamu benar-benar akan melihatnya dengan kepala sendiri (7), kemudian kamu akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah itu). (Q.S. al-takatsur: 1-7)

celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela (1) yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya (2). dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya (3). sekali-kali tidak! pasti dia akan dilemparkan ke dalam (neraka) hutamah (4) dan tahukah kamu apakah (neraka) hutamah itu? (5) (yaitu) api (azab) allah yang dinyalakan (6), yang (membakar) sampai ke hati (7) sungguh, api itu ditutup rapat atas (diri) mereka (8) (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang. (Q.S. al-humazah: 1-9)

tahukah kamu (orang) yang tidak percaya akan adanya hari pembalasan? (1) itulah orang yang menghardik anak yatim (2) dan tidak mendorong memberi makan orang miskin (3). celakalah orang yang bersembahyang (4), (yaitu) orang-orang yang lalai dalam sembahyangnya (5), yang berlaku pamer (6), dan enggan (memberikan) bantuan (7). (Q.S. al-maun: 1-7).

tidak ada keterangan spesifikasi bantuan yang dirujuk oleh ayat ke-7 surat al-maun di atas. maka, tafsirnya pun bermacam-macam, bisa bantuan pikiran, bantuan tenaga, bisa pula bantuan finansial. bantuan yang paling nyata dan paling terasa adalah bantuan finansial. itu artinya, masih mengandung kebenaran apabila kita menafsirkan 'bantuan' dalam ayat tersebut dengan 'berbagi'. memang, biasanya orang yang enggan berbagi cenderung suka pamer. itulah barangkali sebabnya mengapa surat ini menggandengkan keengganan berbagi dengan perilaku pamer yang merupakan ciri konkret dari kelalaian dalam bersembahyang, ibadah vertikal yang sifatnnya individual dan esoteris. 

surat al-maun mengisyaratkan, manusia yang bersembahyang itu ada dua macam. 

pertama, orang sembahyang yang tidak lalai dalam sembahyangnya. dia berdoa dengan tulus dan sungguh2. ciri-ciri keseharian dari pensembahyang tipe ini adalah (1) tidak menghardik anak yatim, (2) mendorong orang banyak untuk memberi makan kaum miskin--tentu dia punya kebiasaan untuk memberi makan kaum miskin, tanpa kebiasaan itu dorongannya yang berupa kata-kata tidak efektif, (3) tidak pamer, dan (4) gemar berbagi, senang menolong. jadi, kita bisa berkata bahwa siapa yang menghardik anak yatim, dia sesungguhnya belum bersembahyang, walaupun tampak rajin dan rutin mengunjungi rumah ibadah menjalankan formalitas ritual. siapa tidak memberi makan kaum miskin, padahal dia berkelebihan uang dan makanan, sesungguhnya belum bersembahyang. siapa pamer, sesungguhnya belum bersembahyang. siapa yang tidak gemar, lebih-lebih enggan, berbagi dan menolong sesungguhnya belum bersembahyang. 

kedua, orang sembahyang yang lalai dalam sembahyangnya. ciri-ciri keseharian manusia tipe ini berkebalikan dari tipe pertama. kalau ada anak yatim, baik yang dipapasinya di jalan maupun yang mengetuk pintu rumahnya untuk minta bantuan, dia menghardik anak yatim tersebut. dia berpikir, si gelandangan eksistensial bakal menyusahkannya. menurutnya, dia tidak memperoleh upah apa pun dengan menolong anak yatim itu. dia tidak memberi makan kaum miskin, apalagi mendorong khalayak untuk memberi makan orang-orang miskin. dia merasa, kaum miskin tidak punya hak apa pun atas kekayaan yang dimilikinya. segala harta yang dikumpulkannya buah dari tetesan keringatnya sendiri. dalam pandangannya, memberi makan orang miskin yang bukan siapa-siapanya adalah tindakan yang tak tercerna akal. dia suka pamer, bukan hanya pamer sembahyangnya dan kesalehannya, tetapi juga pamer kekayaannya, jabatannya, anak istrinya, kerabat sahabat kenalannya, prestasinya, gelarnya, dan lain-lain. meskipun suka memamerkan segala rupa pencapaian duniawinya, dia enggan berbagi. dia enggan menolong orang lain yang sungguh-sungguh kesusahan dengan kekayaan, jabatan, dan koneksinya. pendek kata, bagi golongan sosial rendahan, perilakunya benar2 bikin hati sakit.

kenapa manusia tipe kedua ini sampai berperangai begitu? sebabnya yang pokok adalah bahwa dia tidak percaya akan adanya hari pembalasan, suatu fragmen dari hari akhir. dia berpikir, dia tidak akan dihukum karena menghardik anak yatim, karena lupa dengan saudaranya yang miskin dan kelaparan, karena pamer, dan karena enggan berbagi. bahkan, dia berpikir bahwa hari akhir itu nonsens, mitos belaka. setelah mati, manusia tidak akan dibangkitkan untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya ketika hidup di dunia. menurutnya, kematian adalah akhir kehidupan, bukan transisi menuju kehidupan berikutnya yang kekal. bersandar pada prasangka eksistensial ini, dia hidup secara bebas. sebab, atas tindakannya yang aniaya, dia tidak bakal dihukum, paling banter dihukum di dunia, itu pun jika ada undang2nya dan jika aparat pengadilan tidak ngiler dengan duit sogokan. kalau hukum murah harganya, mudah saja dia terbebas dari hukuman institusional atas dosa sosialnya.

demikian kira2 makna surat al-maun, satu dari tiga surat--di antara sekian banyak surat--dalam al-quran yang menjadi saksi bahwa baginda muhammad mengkritik keras perilaku gila dunia bangsawan dan hartawan mekah. mereka terkena penyakit gila dunia terutama karena tidak percaya dengan hari pembalasan, hari akhirat, sehingga berlaku sewenang-wenang dan bermimpi hidup kaya raya secara melampaui batas. hidup hanya sekali, karena itu hiduplah secara kaya raya. hidup hanya sekali, karena itu nikmatilah kekayaan yang diperoleh selagi hidup, untuk memuaskan kepentingan dan keinginan pribadi saja. hidup hanya sekali, karena itu kebahagiaan hanyalah kebahagiaan di dunia. setelah kematian, tidak ada apa-apa lagi. maka, bersenang-senanglah, berfoya-foyalah, bermewah-mewahlah, dan bermegah-megahlah selagi kau punya kekayaan berlimpah. berkenyang-kenyang dan berlezat-lezatlah dalam makan ketika mimpimu untuk hidup kaya raya tercapai. 

kita tahu, makna surat ini dihayati betul oleh KH ahmad dahlan, pendiri muhammadiyah. tampaknya, dengan mendirikan muhammadiyah, beliau ingin meneladani dan mengajak orang lain untuk meneladani gaya hidup baginda muhammad, antara lain dengan mengamalkan kandungan surat al-maun. beliau bermaksud meneladani baginda muhammad dalam hal tidak berambisi duniawi. KH ahmad dahlan secara organisasional mengajak orang lain untuk memuliakan yatim, memberi makan kaum miskin, tidak pamer, berbagi, ringan tangan, percaya akan hari akhir, dan pada puncaknya: beribadah dengan ikhlas. itu sebabnya, kenapa rumah sakit-rumah sakit muhammadiyah diberi nama pku, singkatan dari 'pertolongan' kesengsaraan umum. itu pula sebabnya, kenapa secara organisasional KH ahmad dahlan mewariskan perhatian besar terhadap bidang pendidikan. anak yatim bakal hidup mulia dengan pendidikan. kaum miskin akan terjamin pangannya berbekal pendidikan. pendidikan akan menyelamatkan anak2 kelas menengah dari penyakit pamer dan enggan berbagi. berkat pendidikan pula, kita menyadari kepastian datangnya hari akhir dan mengenal apa makna sembahyang yang sejati: ikhlas.

selain KH ahmad dahlan, tentu masih banyak guru islam nusantara lain yang mewarisi misi profetik untuk menyadarkan kita dari bermimpi hidup kaya raya secara melampui batas. di antara guru2 tersebut, ada satu nama yang sangat perlu dikenang, ialah sosrokartono, kakak kartini.

beliau berpesan: sugih tanpa banda, kaya tanpa harta. pesan ini, bagi penggila dunia yang materialistis, di samping lucu, juga tidak masuk akal. mungkinkah kita kaya tetapi tanpa punya harta? siapa tidak punya harta, jelas miskin. apa pesan sugih tanpa banda menunjukkan kebodohan sosrokartono?

sedikit pun tidak. dengan memberi pesan itu, beliau justru menunjukkan kecerdasannya yang di atas rata-rata. beliau mengerti bahwa konsep kaya atau sugih yang populer itu keliru total. penggila dunia memahami sugih semata-mata sebagai sugih materi. akan tetapi, apa yang disebut sugih sebenarnya melampaui materialitas. baginda muhammad menjelaskan, rezeki adalah apa yang kita makan, apa yang kita pakai, dan apa yang kita sedehkan. kebutuhan kita akan pangan dan sandang tidak pernah banyak. yang banyak, bahkan terlalu banyak, adalah keinginan kita akan pangan dan sandang. dengan demikian, rezeki sandang pangan kita itu tidak banyak, seperlunya untuk menghilangkan rasa lapar dan menutup aurat. dilihat dari pemerolehan rezeki pangan sandar berdasarkan kriteria 'seperlunya' ini, kita tidak tergolong kaya, hanya berkecukupan. lantas, apa yang membuat kita sugih? sedekah. berbagi. semakin banyak bersedekah, semakin banyak rezeki hakiki kita, semakin sugih-lah kita, walaupun pada fakta fisisnya kita kelihatan miskin. bukankah ini yang disebut sosrokartono sebagai sugih tanpa banda? 

orang kaya adalah orang yang selain berkarakter puas hati, juga gemar berbagi. dia mengamalkan ilmu kantong bolong. setiap kali dimasuki uang, kantong itu segera kosong kembali karena uangnya disedekahkan, sebagaimana kantong bolong yang dimasuki uang yang segera kosong kembali. pengamal ilmu kantong bolong adalah pribadi yang benar-benar sugih secara metafisis dan spiritual. dia merasa cukup, puas, dan bersyukur dengan apa yang menjadi jatahnya. dia berkata 'tidak' kepada dunia. tidak cemas dengan masa depannya di dunia. tidak punya ambisi duniawi, apalagi gila dunia, apalagi bermimpi hidup kaya raya secara melampaui batas. hatinya adalah kedamaian, zikir, dan doa. dialah sebenar-benarnya guru. dialah pewaris misi profetik para nabi, waratsat al-anbiya. dia jugalah yang diam2 melawan arus kebudayaan zaman akhir. alangkah berat jihadnya. alangkah dirindukannya dia. alangkah dibutuhkannya dia sebagai pasak peradaban, penjaga agama.