22/03/11

dan ber-diri dan

Sebelum kiamat tiba
pintu neraka terbuka
Ngeri berkibar,  api berkobar
Ular memanggang, dan nanah
Kalajengking menjepit, dan getih

Malaikat penjaga
beruluk salam, dan berkata:

Masuk saja, agar merasa alangkah dahaga
Merasuk saja, agar mendidih nadi hati
Jangan kembali, tetapi kenali:

Dendang lirih yang demam
dan mengigau tentang pagi dan padi
Burung kolibri yang sakit
dan merajuk minta nektar pada yasmin
dan

jogja, 9 februari 2011

puntadewa

pada suatu kelelawar
di titimangsa tegal terjal
kutebar mawar putih ini:
kuharap kunti dan gendari cepat merpati
agar pedang petang dan perang rembang

jelita mata terlalu berharga
untuk dilupakan begitu saja
dikurbankan pada betara dulu dan lusa
dan diganti-ganti kelamin dan suaranya

rindu biarlah rindu
seperti cinta biarlah cinta
tak ada kembang lalang yang bertandang di kutub selatan
seperti tak ada sakura merah yang pelesir di pantai malaka

“drupadi, jamuan dadu hanya mainan dan hiburan.
maafkan saudara-saudara kita.
sayang tak lah sangkar yang berbenteng sangar:
mengurung aku dalam tempurung ciut
sehingga sabar pudar dan dendam subur.”

“maafkan dan relakan saja.
jika kita, gita yang bernapas.”

jogja, 13 februari 2011

ini bukan puisi

ini bukan puisi yang dikawal dalam kurung kurawal dan tidak gawal. ini bukan puisi yang sibuk dengan tanda seru dan selalu siseteru. ini bukan puisi yang menghapus tanda tanya dan ingin titik. ini bukan puisi yang ditatah empu kata-kata dan berpaling dari perawan kreol yang pipinya tercoreng arang sehingga aura rupanya dilupakan para padri. ini bukan puisi yang mengejar tanda petik karena penciptanya hanya orang biasa saja yang suka kentut sesuka perut, yang sering tertawa ngakak sampai tersedak, yang tergiur paha mulus, payudara indah, dan bibir seksi. ini bukan puisi yang sok suci mengaku beriman hingga dengan pedang dan kelewang membunuh saudaranya sendiri dengan apologi membela nabi dan kitab sucinya. yah, memang ini bukan puisi yang

yogya, 18 februari 2011

awahwah

setiap malam
dalam diam
tanpa kata
tumbuh padi
tak berisik
menyapa pagi
yang akan resik
amin

kakus koskosan, 23 Februari 2011

potret retak seorang patriot

setelah pertigaan yang merayau
bayang seorang pejalan
kaki yang sedang merindu ibu
bisunya, merayap menggelombang di muka
genangan air. kelimun
besi-besi bising melintas.
barisan beringin lesu memelas.

"mendung masih taat berkencing gerimis.
air tawar juga masih suka
bersetubuh dengan serbuk teh, bubuk kopi,
dan butir-butir gula pasir," bunyi surel
yang ibu kirim lewat dingin
yang susu yang amis yang manis--
setarikan napas lalu.

aku malu, ibu
berburu di gurun guru yang jauh:
tidur tanpa baju dan celana
makan tanpa lidah dan lambung
aku mau, ibu
menyuntingmu
menceraimu

jogja, 27-28 februari 2011

bunga randu gugat

RINGKIH  benar bunga randu pemalu yangg harum itu. Angin tipis merampasnya dari ibunya, melarikannya meliuki ribuan pohonan, menjatuhkannya sempoyongan di genangan air keruh di jalanan kampung. Orang, motor, mobil, atau sepeda kecil anak-anak yang lalu-lalang di jalanan itu, dengan suka rela dan tanpa rasa salah, silih berganti melindasi dan menginjaki si bunga randu.

"Harus sebegini kejamkah kehidupan itu?" gugatnya lemah dalam diam dan pasrah.  Ia sudah tak memiliki sedikitpun daya untuk melawan angin, orang, motor, mobil, atau sepeda kecil anak-anak. Ia tak dapat lagi melihat renyut tubuhnya. Napas telah lepas.

"Ya," jawabku "kehidupan harus kejam. Sebab kehidupan yang ringan, ria, dan tanpa halang rintang, tak akan pernah pantas didongeng-renungkan. Bila hidup manis-manis melulu, tak mungkin kita berakal berhati.”

“Oh, lalu aku harus bagaimana? Tegak dan tegap membiarkan begitu saja potongan-potongan tubuhku yang berserakan dicincangpisahkan waktu? Mustahil datang mukjizat, mustahil!”

“Kau indah sebetulnya. Ketika ibu masih menggendong dan menyusuimu, kau penuh pesona. Tikus saja memuji sempurna cantik tubuhmu. Tapi kini indahmu sirna sudah. Angin tipis yang merampasmu itu sungguh hilang jiwa. Dan kau harus bagaimana? Betapa disayangkan, aku orang miskin yang kaya bisu.”

sepertimu

jalan-jalan yang tadi kita tapaki digenangi putih
pohon-pohon yang tadi kita sandari dibasahi putih
pagar-pagar yang tadi kita papasi mandi putih
erangan mobil-mobil dan kentut motor-motor itu bermain bersama putih
ria sekali, meriah sekali. Putih sekali

Aku gelas yang pecah
Tak bisa melawan serasah mahaderas
Tak bisa lari
Aruna, aku hilang kaki, sepertimu
Aruna, aku jadi sais saja, sepertimu

Jogja, 7 februari 2011

catatan yang terlambat

     : untukku, jambiku, indonesiaku

Merah mencatat diri pada darah
Coklat mencatat diri pada tanah
Desir mencatat diri pada angin
Amis mencatat diri pada ikan
Asin mencatat diri pada laut
Keras mencatat diri pada karang
Karat mencatat diri pada besi
Sayat mencatat diri pada pisau
Tusuk mencatat diri pada tombak
Aku mencatat diri pada aku

Namun aku
Baru mau beli
Diari dan jari


Jogja, 6-7 februari 2011

masa emas

Hari telah gelap
Arus listrik putus

Mari berpuisi, Manis
Mari bernyanyi, Lili

Tralala Trilili
Tralala Trilili

Jogja, 8 Februari 2011

jangan jalan-jalan lagi

/1/

Di sepanjang jalan jenderal sudirman
aku hanya bertemu dengan seragam dan senapan
yang menyalak galak. lupa sapa, apa, dan siapa
yang angkuh di hadapan pejalan kaki, tukang becak, dan sebaris angkringan

Di sepanjang jalan kusuma negara
aku hirup bau busuk mayat warga kota:
para pahlawan yang menanti kandil
sambil meminta-minta pahala
berjejer terlalu rapi di trotoar
seperti tentara yang takut pada gertak komandannya
padahal mereka intel yang kepingin mengkudeta juga

Di sepanjang jalan ahmad dahlan
bergerumbul salon, distro, dan papan-papan iklan
merayuku membeli lipstik dan bedak dan wewangian
“Kau akan kudandani agar rupawan
Di sini peragaan busana digelar saban malam
Tinggal melenggak-lenggok saja di atas catwalk
Maka kau bakal jadi pujaan tuan-tuan jutawan,”
kata si pelayan yang benar-benar menawan


/2/

Akan aku perpanjang jalan-jalan ini?


Jogja, 7 Februari 2011

dupa tepi kota

aku duduk di bangku
hampa yang hambar
menonton neon yang merunduk
segan pada kemerling lintang

curut gemuk mengganggu
nyenyak sampah-sampah
sedan merah kusam
berpose di depan serambi
memburiti pagar besi yang ceking
dan jalan kecil yang kering

kusedot rokok
terdengar keresek seret
asap lepas
sebentar melawan angin deras
lalu kalah

sayup raung motor
meningkahi decak cicak
Tivi pun bisu

di rimbun daun pohon mangga
anak kelelawar menggelepak-gelepakkan sayap
jangkrik-jangkrik menyanyi lagu malam
belum juga tidur

sepur sepuh yang pendek lewat
teriak seraknya menelan tangis
lapar orok tetangga
tanah gemetar
rumah menggigil
kaca jendela berdencing
--sesaat saja

aku berdiri lemah
berjalan melingkar
mengunci pintu

tapi siapa setelah berbaring di kasur emas?

Jogja, maret 2011

pesona, pernah satu waktu

setetes gadis
—baju birunya luntur
kerudung merahnya usang
rok panjangnya keriput—
terdampar pada lantai porselin
rata tapi licin

meja-meja berbaris rapi
mirip garis lurus.
Kursi-kursi ceriwis dan separuh sinting
seperti  bayanganku yang berkelok dan goroh
suka roboh

ia menghampiri jazz
yang sumbang dan sember
menyapa melodi arloji perak
yang soak dan  berkarat
tak lagi lumer

ia hilang
mungkin pulang
atau memesan sebotol parfum jeruk nipis
atau bercubitan dengan lelakinya

tawa dan tanya bersisusul
tergesa, terengah

entah siapa jengah
pada garis finis, piala, medali
dan karangan bunga segar
dari para pengunjung

bukan gadis itu. bukan aku.

Jogja, 3-4 maret 2011
ketika pecah
bergelimpangan piring-piring kaca
gugur dari rak kayu yang tinggi
meluncur mulut bulatku

kukunyah segunung nasi tua
kutelan, eh tambah lapar saja...

kususul buaya payau dan ular sanca
memangsa pasar dan dapur
tapi tambah mahal saja
harganya: sejuta sapa pada siapa saja

jogja, maret 2011

yakni prikitiew

puisi yakni ketika kita diare kata  (cretcret)
atau minum segayung wyne (glegekglegek)
atau menghirup umbel yang meler (srutsrut)
atau surat cintaku padamu
yang sedang ditulis putihku
   : prikitiew

jogja, 9 maret 2011

MA(L)U

/1/

bagai gergasi
terbui di pura suci
terendam dalam merah tapi iba
kusimak bisik serakmu
melagu pulau yang galau dan balau

kelepak kelopakmu
ah, betapa pasi, begitu kuncup


/2/

aku, kau tahu,
berjubah lebah belaka
bergaun salju debu busuk


/3/

aku malu
mencintaimu
dengan tubuh lumpuh
dalam pejam dan dendam
cuma bisa bisu dibuai badai.

mataku malu
meraba rupamu


/4/

saban abu-abu,
waktu melata
pada  gang-gang gersang
yang saling silang,
kutanya jalan licin:
apa kau pun sedang
menanam tangan kanan kita?


/5/

aku manusia
aku malu
aku mau


jogja, sabtu, 12 maret 2011

dari rahimmu

/1/

jatuh di bumi
pisah dari langit
gerimis hanya bisa nangis
hanyut dalam duka puisi--
       seperti petang ini
       seperti petang ini

puisi pernah bahagia
kala kita bersama
berteduh di rimbun pohon cinta
saling pasang mata
dalam bisu yang lugu
kagum pada padi yang fakir--
       tapi tidak petang ini
       tapi tidak petang ini

/2/

 bu,
 aku anakmu
 seorang puisi
 lahir dari rahimmu


jogja, 21-22 maret 2011

14/03/11

Kenal



Perkenalkan, namaku kutuk. Aku terlahir tanpawajah. Aku tinggal di kampung kampang, tempat di mana aku menyusu pada susah dan bermain-main bersama malam.  Sukaria nama ibuku. Ia membuangku di simpang nanah beberapa jam setelah aku keluar dari rahimnya. Seorang pelacur, bernama dukalara, menemukan aku yang lapar kasih dan haus sayang. Ia mengangkatku sebagai anak. Pelacur itu tinggal di jalan luka, di sebuah rumah batu yang terlalu pucat. Di belakang rumah itu, tepat di kiri perigi yang selalu kering, tumbuh sepohon beringin. Umurnya setua tanah yang lelah. Ranting-rantingnya kering. Daunnya berwarna gelam. Di dahannya yang lapuk, kalong-kalong bergelantungan memburiti langit. ibu angkatku begitu murah tubuh dan murah hati. Tiap pagi, ketika matahari tenggelam, ia membolehkanku menghisap payudaranya yang berisi bisa. Lalu aku tidur tengkurap, lelap dalam gelap mimpi-mimpi petaka. Suatu kali, aku bermimpi jatuh dalam gendongan jerangkong. Kali lain, aku bermimpi terjepit ketiak wewe gombel. Pernah pula, pada sebuah mimpi, banaspati menginjak tubuhku sampai remuk. Saat ini usiaku 25, namun aku belum juga berjumpa cinta, wanita titisan mawar putih, calon permaisuri kerajaan nestapaku.


jogja, 14 maret 2011

dua garuda



Siang sedang dahaga darah. Bunga-bunga padma padam harumnya. Tanah resah. Pohon-pohon kering gusar mendengar gagak berkoak-koak menyebar warta derita. Di tegalan gersang, bermain-main anak-anak ayam mungil. mereka berkejaran, tertawa, berciat-ciat. Mereka tak sadar, hati ibunya gundah melihat langit yang tambah gelap.

Seekor garuda bermata pisau, berparuh belati, bersayap pedang, bercakar keris, terbang merendah. Dikitarinya tegalan gersang. Diincarnya seekor anak ayam tak berdosa. Lalu secepat kilat ia sambar anak ayam itu. Secepat kilat pula ia terbang menjauh-meninggi mencengkeram anak ayam yang berteriak meminta tolong pada  ibunya.

Dari bumi yang diam, ibu ayam hanya dapat menatap pasrah dan kalah. Keras ia berkotek-kotek cemas. Kemudian tertunduk lemas. Sayang, ibu ayam tak pernah punya air mata... “Sekejam itukah kau garuda? Kau rebut anakku yang tak berdosa untuk kau santap di malam kegagahanmu,” gugatnya dalam hati.

Garuda, setelah menelan anak ayam, mendengar gugat itu. Ia tersenyum menyeringai. Tapi entah kenapa, tak berapa lama kemudian, tubuhnya gontai, dan airmatanya leleh. “Sebenarnya aku tak tega menyambar dan melahap anakmu, duh ibu ayam.  Namun aku bukan dewa burung yang tak kenal lapar. Aku juga lapar, teramat lapar. Sudah hukum alam bahwa ketika aku lapar aku harus mencari mangsa. Dan dari balik awan-awan kulihat anak-anakmu yang gemuk-gemuk. Air liurku jatuh. Dengan nafsu yang maha, aku terbang menukik ke tegalan, menyambar seekor anakmu, memakannya.... Oh, ibu ayam yang rahim, telah berdosakah aku memakan anakmu? Aku akan mati bila tidak melakukan perbuatan itu. Bukankah mencintai kehidupan dan membenci kematian adalah keutamaan juga?”

Garuda membela diri dari gugat ibu ayam. Lama ia terbenam dalam napasnya sendiri. Sampai terdengar satu suara bisu, datang jauh dari kedalaman sukma garuda. “Aku garuda. Aku pernah menolong balatentara kera Ramawijaya saat dililit naga-naga Indrajit. Dengan apakah aku, burung yang lemah ini, dapat menolong Rama saat itu? Tidak. Tidak cukup dengan cinta pada kehidupan dan benci pada kematian. Aku menolongnya dengan daya yang lahir dari kerinduan akan kesempurnaan. Betapa pedihnya merindu. Rindu adalah cerita derita dan telaga ludira. Dalam telaga itu, aku harus mematikan diriku sendiri. Aku harus rela mati, juga mati karena lapar. Bila lapar mematikanku, tak akan kusambar anak ayam itu, tak akan aku memakannya, dan ibu ayam akan bersukacinta bersama anak-anaknya. Kehidupan pun terbit. Kasih sayang pun kumandang.”

“Aku garuda, kau tahu, aku garuda.”

Jogja, 14 maret 2011

07/03/11

Masjid, Universitas, dan Sunan Kalijaga yang Absen

 


SAYA kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Baru beberapa bulan lalu, masjid universitas selesai dibangun. Masjid yang konon berasitektur postmodern ini diberi nama: Masjid Sunan Kalijaga. Masjid gede ini berbeton tebal dan berpagar tinggi. Tepat di luar pagar masjid, ada pos satpam, yang juga bertembok beton tebal.

  Orang yang baru pertama kali datang ke kampus saya, dan menoleh ke sosok masjid itu, barangkali akan mbatin begini: kok rasanya masjid itu angkuh betul, kering sekali, tertutup benar, serem banget.  Angkuh, kering, tertutup, serem. Apa predikat-predikat itu cocok disandang kata “masjid”, apalagi Masjid Sunan Kalijaga yang postmodern?

  Postmodern bagi sebagian orang adalah tengara bagi gaduh, kisruh, dan bising. Namun bagi sebagian yang lain, ia lambang kearifan, keterbukaan, dan kerendahan hati, juga: kehadiran, presensi. Lawannya adalah modern.

  Yang modern mencapai klimaks pada narasi revolusi dan perang dunia dan kamp kosentrasi dan heterofobi. Orang modern adalah subjek yang tak menghargai saat ini, dengan segala keriaan dan kedukaannya. Ia absen pada saat ini. Waktunya habis untuk mengubah sejarah  dan menciptakan masa depan surgawi dengan ilmu pengetahuan yang kemudian bermutasi jadi ideologi.

  Dalam alam modern kita pernah menjadi egois, angkuh, kering dari puisi, do’a, dan mantra. Ilmu pengetahuan yang berkembang menjadi ideologi pernah menjadikan kita tertutup dan serem, senang menyamaratakan, dan karena itu, tak suka pada perbedaan. Sindrom heterofobi tersebar subur. Sindrom ini merusak otak kita hingga file-multitude terhapus darinya. Manusia pun hobi berperang dan membunuh, cinta pada kekerasan dan kematian.

  Masjid Sunan Kalijaga angkuh, kering, tertutup, serem. Artinya, masjid ini masjid yang munafik: parasnya postmodern, tetapi batinnya modern; tangan kanan berjabat pada sang kawan, sedang tangan kiri memegang belati yang siap dihunjam ke perut sang kawan kapan pun perlu; mulutnya dengan lembut mengucap salam dan marhaban, bawah sadarnya menyimpan kehendak-untuk-menguasai, kadangkala juga kehendak-untuk-membunuh.

  Mungkin itu sebabnya universitas saya mencari obat dan terapi untuk menyembuhkan dirinya. Maka ia mengundang Gus Mus untuk berkelakar tentang Islam yang rahmatal lil’alamin, dan mengundang Zawawi Imron dan Cak Nun untuk memperdengarkan puisi dan nyanyi. Maka Masjid Sunan Kalijaga membuka kompetisi penulisan khutbah Jum’at empat bahasa dengan tema, kalau tidak keliru, kerja budaya Sunan Kalijaga, atau semacamnya.

  Setelah menjadi munafik (ambivalen) dan lupa pada Sunan Kalijaga, masjid itu ingin mengingat kembali siapa Sunan Kalijaga sebenarnya. Masjid itu ingin mengkritik-diri.

  Namun apa setelah ia mengkritik-diri, betonnya yang tebal-keras dan pagarnya yang tinggi-lancip itu akan serta merta runtuh begitu saja seperti runtuhnya Tembok Berlin? Tak ada sebuah jawaban pasti.

  Obat kadang berubah jadi racun, dan terapi bisa memperparah kegilaan dan stres. Apapun masih mungkin terjadi. Yang tak mungkin terjadi: Musa Asy’ari,  rektor saya, dengan suka rela, pasti, dan yakin, menyuruh para dosen dan mahasiswanya membongkar pagar tinggi yang mengitari Masjid Sunan Kalijaga, lalu membuka pintu masjid selama 24 jam nonstop, dan membuka gerbang kampus sehari semalam penuh.

  Yang modern, yang heterofobi, selalu takut pada orang asing atau orang luar. Ia perlu pengamanan yang solid dan ketat. Ia butuh security yang disiplin dan canggih. Ia butuh tembok beton yang tebal dan keras. Ia perlu pagar besi yang tinggi dan lancip. Ia menghendaki ketertutupan yang total, tanpa celah untuk keluar-masuk udara segar. 

  Sunan Kalijaga hidup pada transisi antara abad ke-15 dan ke-16. Saat itu belum ada koran, radio, televisi, atau fesbuk. Universitas modern belum berdiri. Mobil dinas belum diproduksi secara massal. Sunan Kalijaga bukan orang modern yang membangun masjid berbeton tembok tebal dan berpagar besi tinggi. Ia mendesain Masjid Demak yang hanya berpilar tatal kayu.

  Ia helatkan pentas Wayang Purwa saban bakda salat Jum’at di serambi depan masjid itu. Dan orang kampung, baik yang bisa baca tulis maupun yang buta huruf, berbondong-bondong datang ke masjid untuk menonton lakon semisal Jamus Kalimosodo atau Dewa Ruci yang ia dalangi. Ah, begitu akrab, begitu dekat, begitu hadir, begitu terbuka, begitu rendah hati, begitu puisi, begitu postmodern, begitu masjid.  

  Tetapi Masjid Sunan Kalijaga tidak begitu.

  Ada yang rindu kehadiran Sunan Kalijaga?

Yogya, 27 Februari 2011

06/03/11

Antara Diktat dan Sajak



  Anjing dan kucing, seperti sastra dan sains, tidak pernah berkencan bersama dan tidak henti-hentinya bersicakar. Cara pandang mereka terhadap sebuah fenomena selalu bertolak-belakang. Si anjing tengok kanan, si kucing tengok kiri. Sastra menghadap ke bawah, sains menghadap ke atas. Tapi apa benar demikian?

   Momen Perpisahan

  Bertrand Russell, filusuf bahasa dari Inggris, melihat adanya ketakakuran abadi antara sastra dan sains. Keduanya memiliki ruang sendiri-sendiri dan jenis kebenaran sendiri-sendiri.

  Sementara sains berambisi mencari kebenaran yang objektif dan transendental, sastra mencukupkan diri menerima kebenaran yang subjektif dan imanen. Sains berupaya mengubah tatanan masyarakat dalam frenkuensi yang mondial. Sastra, sebaliknya, lebih suka mengusahakan, meminjam Karl R. Popper,  piecemeal transformation, perubahan cara berpikir masyarakat sepotong-sepotong saja.

  Malah ada kelompok sastra, seperti kaum Simbolisme Perancis, yang dengan semboyan l’art pour l’art, memimilih menghindari segala pretensi untuk mengubah masyarakat. Sastra, bagi mereka, adalah semacam kemabukan personal yang berfungsi menjaga kelestarian kehidupan imajinasi, utopia, dan harapan.

  Yang lebih ekstrem lagi, mereka menolak segala bentuk fungsionalisme dan kehendak. Bersastra, menulis puisi, adalah tindak yang tanpa tujuan, tidak teleologis. Sebaliknya, sains, dengan karakter progresivitas historisnya, menggunakan analisis kausalitas dalam memandang suatu fenomena, dan karena itu, memiliki rencana dan tujuan yang pasti. Sains adalah Descartes. Sastra adalah Shakespeare.

  Untuk memahami beda antara sains dan sastra, kita juga dapat meminjam kategorisasi ilmu Willhem Dilthey, neokantianis Jerman yang sangat mempengaruhi perkembangan eksistensialisme. Dilthey membagi ilmu menjadi dua: ilmu pengetahuan alam (naturwissenschaften) dan ilmu pengetahuan budaya (geisteswissenschaften).

  Ilmu pengetahuan alam berwatak nomothetic. Ia bermaksud merumuskan hukum-hukum umum yang objektif, universal, dan pasti. Ilmu pengetahuan alam ini lebih kita kenal sebagai sains. Contoh paling jelas dari naturwissenschaften adalah fisika dan biologi.

  Sementara itu, di sisi lain, ilmu pengetahuan budaya berwatak idiographic. Objek kajiannya adalah apa yang disebut Edmund Husserl sebagai lebenswelt, dunia-kehidupan. Dalam dunia-kehidupan, yang berlansung adalah peristiwa-peristiwa partikular kongkrit dengan keunikannya sendiri-sendiri. Peristiwa tersebut hanya terjadi sekali, tidak bisa terulang atau diulang kembali. Bila ilmu pengetahuan alam berusaha menemukan keumuman, objektivitas, universalitas, dan kepastian, maka ilmu pengetahuan budaya berorientasi sebaliknya: memahami keunikan, individualitas, partikularitas, dan ketakterdugaan.

  Karena memiliki orientasi berbeda, sains (naturwissenschaften) dan sastra (geisteswissenschaften) sudah barang tentu juga memiliki metode pengenalan yang berbeda. Metode sains adalah erklaeren (menjelaskan), dengan analisis kausalitas, jadi lebih bersifat telelologis dan linear. Metode sastra adalah verstehen (memahami), intensif membuka diri untuk memahami subjek lain, jadi lebih bersifat fenomenologis. Tidak heran bila verstehen nantinya menjadi cikal bakal metodis bagi hermeneutika, seni menafsirkan teks.

  Dengan demikian, sejatinya, ilmu pengetahuan budaya adalah ranah sastra. Rilke, Chairil Anwar, Tagore, untuk menyebut beberapa nama, adalah mereka yang suntuk menekuni merenungi dunia-kehidupan, yang sibuk mengkaji geisteswissenschaften, yang mau repot-repot secara intensif membuka diri untuk memahami subjek lain. Bahkan, dengan eksplisit, dalam “Di Dunia Ini, Aku Harus Sendiri, tapi Tak Sendiri”, Rilke menulis: Ku mau cerminkan rupamu seluruh / Tak pernah buta atau terlalu tua / Menjaga goyang bayangmu yang wahai / Ku mau tersingkap. Chairil Anwar, dalam “Do’a”, puisi mistikal yang ia garap pada pada 13 November 1943, juga menulis: Tuhanku / Dalam termangu / Aku masih menyebut namamu // Biar susah sungguh / mengingat Kau seluruh.

  Beda antara sains dan sastra akan semakin tampak bila kita memperhatikan dampak sehari-hari dari keduanya. Proponen sains, profesor fisika yang tidak suka seni misalnya, akan cenderung berpikir teleologis dan objektif. Ia mengejar cita-cita yang pasti, bisa dikuantifisir dan dimatrikulasikan, serta kerap menghindari bahaya yang mungkin akan merugikan eksistensi pribadinya. Tapi model berpikir profesor ini sebenarnya mengandung banyak kelemahan, di antaranya ia akan susah memahami isi hati orang lain, dan perlikunya akan cenderung tertutup dan elit. Karena karakter sains selalu mencari hukum-hukum universal, si profesor akan kurang menghargai keunikan individu per individu, dan sebab itu, sulit menerima perbedaan. Maka wajar, bila terkadang kita menemukan profesor yang sulit diajak berinteraksi, killer, kurang memperhatikan mahasiswanya satu demi satu. Sementara itu, di pihak lain, penyair sebagai proponen sastra, lebih lentur dan dinamis dalam berpikir, dengan mudah memahami perasaan orang lain, dan lebih mampu bersikap demokratis. Ia memperlakukan orang lain sebagai subjek yang hidup, sebagai manusia yang unik dan berbakat khas.

  Jadi, ada jarak yang jauh antara cara berpikir si profesor dan cara berpikir si penyair, antara dunia diktat dan dunia sajak. Namun, apa akan selalu demikian?

  Momen Perjumpaan

  Tidak juga. Ternyata banyak profesor yang mahir berpikir literal. Diktat dan sajak pada dasarnya memang berbeda, tetapi bukan tidak mungkin dijalin dialog antarkeduanya.

  Heidegger, eksistensialis Jerman yang pada 1933 diangkat menjadi rektor Universitas Freiburg, sangat meyukai puisi. Bahkan puisi adalah inspirasi bagi telaah ilmiahnya. Ada dan Waktu, karyatama “ilmiah” Heidegger, menyodorkan puisi sebagai satu-satunya perangkat yang dapat membawa manusia pada kemerdekaannya, pada eksitensinya yang paling otentik. Objek kajian “ilmiah” Heidegger sendiri adalah lebenswelt, dunia-kehidupan, di mana manusia merasakan cinta dan kash sayang, harapan dan putus asa.

  Sama seperti Heidegger, Kuntowijoyo, Abdul Hadi W.M., Toety Herati, walau bergelar profesor, mereka sangat cakap berpikir literar. Mereka mudah saja mendialogkan antara sains dan sastra, sebab justru keduanya perlu saling dukung-mendukung.

  Jadi, meski berbeda ruang dan metode, sains dan sastra tidak harus selalu berpisah. Sain dan sastra memang bagai anjing dan kuncing, tapi toh mereka dapat sesekali berkencan bersama, berciuman mesra, bersenggama….

Jogja, 7 maret 2011

04/03/11

Opera van Gagap

   SEJAK pertama menonton Opera Van Java (OVJ), saya sudah tertarik dengan acara itu. Bagi saya OVJ semacam teater postmodern. Ia tak menampik pasar. Ia merayakan artifisialitas, banalitas, dan brutalitas. Ia tak hendak tertib dan rapi seperti acara wayang semalam suntuk yang biasa dihelat di Gedung Sasana Budaya Yogya, atau seperti sinema hollywood dan sinetron keluarga yang menggeruduk malam lengang kita melalui televisi. OVJ tidak sok suci, atau sok mau mencerahkan masyarakat dengan teknologi teater katarsis yang canggih dan berarahtujuan. OVJ jujur: ingin mencari uang dan menghibur. Itu saja.

   Pada OVJ batas antara dalang, pemusik, pelawak, dan penonton amblas. Parto, si dalang yang kadang tak tahu dan tak mau tahu akan arah skenario, seringkali masuk ke panggung, berbincang atau menegur para aktornya, bahkan ia juga memainkan peran dalam narasi-narasi asing yang secara spontan disisipkan. Parto bisa tiba-tiba terlibat cekcok dengan penabuh gamelan atau penggebuk drum, atau guyon dengan dua sinden yang selalu duduk di kanan dan kirinya. Parto pun, pada beberapa episode, duduk di bangku penonton, berjawilan dan bergurau dengan mereka.

   Para pelawak OVJ tak hanya memainkan semata-mata satu narasi tunggal. Sule, dengan kecerdasan dan kreativitasnya, sekonyong-konyong mengganti narasi. Bila episode kali ini bertema Legenda Tangkuban Perahu, dan Sule berperan sebagai Sangkuriang, ia secara sengaja, dengan memanfaatkan properti yang ada, meniru pokal Roma Irama yang asyik menggitar dan mendendang lagu Bujangan. Andre, Nining, dan Aziz, menyambut inisiatif Sule. Maka narasi pun berubah, berpindah, bergerak, dari Legenda Tangkuban Perahu menjadi Balada Roma Irama. Dan kita senang dengan ulah mereka. Dan kita suka dengan tayangan OVJ yang centang-perenang itu.

   Tapi bagi saya, yang paling impresif dan otentik dari OVJ adalah Aziz. Bukan saja karena ia berakting gagap—kegagapan adalah ruh bagi alam postmodernisme, artinya, sukma dari zaman ini—namun juga karena apa yang tak pernah ditampilkan Aziz di atas panggung OVJ: pencarian jati diri, penjejakan makna hidup. Mungkin itu sebabnya ia senang berakting gagap, dan hobi melawak.

   Manusia, dalam hidupnya, akan tersandung berbagai problematika yang menyebabkan perjalanan eksistensinya tak lagi lancar dan fasih. Jalan hidupnya akan gagap, terbata-bata, cedal. Sang pencari jati diri akan merenungi problematika hidup tersebut. Setumpuk problematika yang membikin ia gagap, dapat berujung pada sikap: pesimisme dan sedih yang berkepanjangan, seperti tokoh Mansur dalam salah satu novel Takdir Alisjahbana, Tak Putus Dirundung Malang; optimisme yang heroik, seperti tokoh utama Sampar, novel menumental karya Albert Camus; atau sikap rendah hati yang suka pada tawa, jenaka, lawak.

   Nampaknya, Aziz memilih sikap ketiga. Ia memilih lawak, kerendahan hati, dan menetap dalam kegagapan. Sebab barangkali Aziz tahu, sebagai manusia biasa, ia tidak mampu untuk tidak gagap (dalam menjalani hidup).

   Kerendahan hati bak sebuah kandil yang dapat menerangi rumah jiwa manusia. Kerendahan hati, oleh karena itu, adalah kondisi yang memungkinkan manusia untuk selalu belajar menekuni menyapa isi hati orang lain.

   Husserl memang telah menemukan fenomenologi. Tapi tanpa kerendahan hati, seseorang belum akan bisa mempraktekkan fenomenologi, dan menyelami derita sang korban—mereka yang terus-menerus dikebawahkan dan dipinggirkan. Untuk berempati terhadap sang korban, kita tak perlu capek-capek mempelajari fenomenologi. Yang kita perlukan adalah kerendahan hati. Dan agaknya Aziz Gagap dianugrahi mukjizat itu, sesuatu yang membawanya pada cita-cita membangun lembaga pendidikan alternatif, dan membimbingnya agar tidak terlena dalam popularitas dan keberlimpahan kekayaan.

   Aziz Gagap dan OVJ-nya, oleh para pendukung seni adilihung, atau para akedemikus sastra yang berwatak kepadri-padrian, dilecehkan dan dianggap brutal, suka kekerasan teatral, banal, dan artifisial belaka. Menurut mereka OVJ hanya percik dari kebudayaan massa. OVJ bukan teater modern yang bermaksud menyehatkan masyarakat yang mengidap multipatos.

   OVJ, lebih-lebih Aziz Gagap, membantah tuduhan mereka dengan hanya diam. Ternyata kepada kita OVJ mengajarkan kerendahan hati dan empati, dua sifat yang demikian sukar kita temukan di sanubari para politisi dan negarawan kita saat ini, dua perangai yang jarang muncul dari para pendukung seni adiluhung dan akademikus sastra.

Jogja, 4 Maret 2011

artivisi


padang tengah malam

kuras saja semua unguku, hai pemeras tuba dan tebu. lebih baik aku melagu lupa nada. toh, dengan hanya mendengar gitar yang manyar atau kompang yang elang, aku bisa berdansa di padang tengah malam ini. padang tengah malam?


hutan larangan

dari soliville sampai baskerville, bolak-balik aku mendengus-dengus be(r)kas seperti anjing buru-buru memburu cemburu. liur leler. tetapi kawat kelewat karet: melentur-mengencang, mengendur-menegang. di ujung sana, lubang beranak lubang bercucu lubang bercicit lubang: berkubang di perkabungan.

“juli, kendati kita tidur seranjang, mungkin aku tak akan pernah menyentuhmu. tapi kabari aku: puisi-puisi ini harus kukirim ke mana; kenapa hutan-hutan itu berbicara apa karena siapa?”


perawan kecil

lahir dari rahim teka-teki, pembeli pagi akan tetap terkutuk mencari-cari daki dan kaki dan baki dan

perawan kecil penjaja korek api sedang bimbang: adakah handamnya akan memberi udara dan darah dalam sandi-war(t)a dara-dara? dinding yang ia sandari bersaput lumut, lapuk karena luput. kota tempat ia bermain ingkling dan beling, barbie dan pengantin, telah teng-gelam lagi, kali ini barangkali tak akan kembali. pudar. lama-lama putih di pusaran.

“maria, berapa harga sebatang korek api?”
sorry, tidak jadi. terima kasih. aku mau terus membuta saja.


gunung suwung

namun dalam lorong kosong ada isi yang penuh nun utuh. namun dalam pantai sepi ada ramai yang damai. namun dalam gunung suwung ada cinta yang tertawa sepoi-sepoi. namun dalam kulitmu yang terkelupas dan hidungmu yang lepas, ada tubuh ayu merayuku mendayu-dayu. Namun



jogja, februari 2011

para dara-dara rapuh, puluhan tahun lalu


dari pedagang timbangan, seharga darah, dibeli kerudung suwung ini di kota mata, pukul satu, hari sabtu. ah malang: silet yang kebelet sayat menjerat merak yang sedang mekar. anak-anak daun tersapu puting beliung, leleh ke tanah yang basah nanah sambil memanggul malu dan masygul yang berat, rusak dan berkarat hingga sekarat.

penaku mengaku penat dan litak mencatat jangat-jangat cacat dan tiang-tiang miring. namun kalau pohon melulu beton, atau perdu belum mau merdu, arus situ harus putus supaya rumah-rumah yang pernah ramah akan kembali didiami para dara-dara. semoga.


jogja, 22 Januari 2011


***


Puisi ini adalah resensi atas “Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer” (KPG, 2001). Pramoedya Ananta Toer menulis buku yang berformat surat ini pada 1979 ketika ia menjadi eksil di Pulau Buru. Buku ini adalah catatan, barangkali catatan pertama, tentang sekitar 200 ribu perawan Jawa yang diseksploitasi oleh para serdadu Jepang saat Perang Pasifik. Setelah menyerah tanpa syarat pada sekutu, Jepang menelantarkan mereka begitu saja. Republik Indonesia yang sibuk mempertahankan kemerdekaan yang baru diperoleh, juga menghiraukan mereka. Para perawan itu lalu hidup tersia-siakan dengan menanggung beban masa lalu yang gelap dan berat. Para dara-dara rapuh, puluhan tahun lalu...

Bila pun kini masih menghirup napas, entah bagaimana nasib mereka. Yang jelas, Jepang enggan menuturkan dokumen masa lalunya yang buruk bin busuk ini pada publik dunia. Jepang juga belum digelandang ke mahkamah internasional untuk mempertanggungjawabkannya.

lebih banyak lagi dan akan lebih banyak lagi para perawan Indonesia yang sedang dan bakal mengalami nasib pahit seperti para perawan remaja Jawa itu. Traffickking yang tak pernah diusut serius oleh pemerintah, sehingga seolah-olah menjadi praktek legal dan halal, tiap hari menambah jumlah perawan kita yang terpaksa kehilangan kesucian dan hari esok yang cerlang. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak. Ratna Sarumpaet, melalui Jamila dan Sang Presiden, sebuah film yang mengkritik habis institusi hukum yang mandul, menyinggung-nyinggung soal traffickking ini.

Para dara-dara kita memang terlalu rapuh, bukan hanya pada puluhan tahun lalu, bahkan sampai saat ini ketika kita suka berkicau tentang HAM, keadilan dan demokrasi. Apa kita terlalu sibuk berkicau saja sehingga sempat absen menyimak cerita mereka? Saya tidak tahu. Anda lebih tahu.