06/05/17

JALAN CINTA SUNAN BONANG




Maka tempuhlah jalan-jalan (menuju) Tuhan yang dimudahkan
—sebuah penggalan ayat dalam kitab suci—

“Kau,” kata seseorang kepada sahabatnya, “harus menyesal karena belum pernah mendaki gunung.”
Si sahabat menanggapi pernyataan tersebut dengan pertanyaan, “Mengapa aku harus menyesal?”
“Alasannya ada dua. Pertama, kalau kau belum pernah mendaki gunung, kau tidak akan merasakan betapa menuruni gunung—setelah kau mendakinya dengan menguras sekian besar energi dan memeras sekian banyak keringat—terasa mudah, ringan, dan lekas. Seakan-akan jarak dilipat dan waktu disingkat. Rasanya, baru saja kau berada di puncak, tiba-tiba sudah sampai di kaki gunung. Jalan turun gunung jauh lebih mudah daripada jalan pendakiannya.”
“Alasan pertama menarik juga. Lantas, apa alasan kedua?”
“Alasan kedua, jalur turun gunung, sebagaimana jalur dakinya, tidak hanya satu. Untuk mencapai puncak, sebenarnya kita bisa mulai mendaki dari sisi kaki gunung mana saja. Kita bisa mendaki menempuh jalur yang sudah dibuka dan sering dilalui. Tapi, terbuka pula kemungkinan untuk menempuh jalur yang belum lagi ditemukan. Catatannya, jalur itu akan aman menurut perhitungan kita. Catatan selanjutnya, kita memiliki keberanian, pengetahuan, kehendak, dan keyakinan yang cukup untuk menempuh jalur baru tersebut.”
“Ya, ya. Alasan kedua juga menarik. Tapi nanti dulu, Kawan. Mengapa kau yakin bahwa aku akan menyesal karena tidak mengetahui hal itu, bahwa aku pun akan menyesal karena tidak pernah mendaki gunung?”
“Rahasianya akan aku ungkapkan. Hal yang baru saja kujelaskan adalah metafora kecil tentang hidup beragama. Agama adalah jalan untuk mengenal Tuhan. Agama adalah cara untuk berjumpa dengan-Nya. Agama adalah wujud kerinduan terpendam manusia untuk pulang ke pangkuan-Nya.”
“Kawan, kita sering lupa. Kita sering lupa bahwa jalan untuk mengenal Tuhan tidak hanya satu. Ada banyak sekali jalan untuk mengenal-Nya, sebagaimana ada banyak sekali jalan untuk mendaki sebuah gunung dalam rangka mencapai puncaknya.”
“Untuk mencapai puncak gunung spiritual, segolongan manusia menempuh jalur pendakian yang sudah ada dan sudah pernah dilalui. Bahkan, peta jalur pendakian pun sudah dibuat dan dicetak massal. Rambu-rambu sepanjang jalur sudah dipancangkan dengan tulisan yang jelas. Sudah pula diterangkan oleh penjaga jalur tersebut berbagai bahaya yang bakal ditemui dan kesulitan yang bakal muncul saat pendakian.”
“Karena itu, kebanyakan pendaki mengira, inilah jalur yang paling mudah. Maka, dengan keyakinan yang tinggi, mereka pun menempuh jalur ini. Namun, nyatanya tidak semua pendaki mencapai puncak. Malah ada yang sudah berhenti sebelum sampai di pos pertama. Ada yang berhenti di pos kedua, pos ketiga, atau pos keempat, sehinga mereka tidak sampai di puncak. Bahkan, ada yang tersesat karena tidak mengindahkan peta dan rambu. Ada yang terpeleset di tepi jurang sehingga jatuh dan meninggal. Ada yang entah bagaimana hilang selamanya bagai tertelan rimba gunung yang senantiasa misterius.”
“Apa kaitan jalur pendakian yang mudah tersebut dengan hidup beragama kita? Aku belum menangkap makna kata-katamu.”
“Kawan, jangan tergesa-gesa. Sabarlah dalam menyimak penjelasanku. Jalur pendakian yang mudah menuju puncak gunung spiritual ini dalam agama Islam disebut sebagai syariat. Syariat adalah salah satu jalan—ingat, hanya salah satu jalan, bukan satu-satunya jalan—untuk mengenal Tuhan. Kelebihan syariat dibandingkan jalan lain untuk mengenal Tuhan adalah kemudahannya. Jalan syariat sudah sedemikian jelas. Peta sudah lengkap. Rambu sudah lengkap. Informasi tentang bahaya dan kesulitan sewaktu mendaki pun sudah lengkap. Tapi Kawan, satu hal hingga kini masih membuatku ngungun terheran-heran.”
“Mengapa kau terheran-heran?”
“Walaupun merupakan jalan mudah untuk mengenal Tuhan, nyatanya tidak setiap individu dalam umat Islam mengenal siapa Tuhannya. Saksikanlah perilaku keseharian mereka. Mereka mengaku mengenal Tuhan tetapi mengapa mereka tidak peduli dengan saudaranya yang kelaparan, kehausan, dan telanjang? Mereka mengaku mengenal Tuhan tetapi mengapa mereka masih membanggakan kebesaran, kerupawanan, kepandaian, kekuasaan, kemampuan, dan kekayaan dirinya yang palsu dan fana? Mereka mengaku mengenal Tuhan tetapi mengapa mereka masih menderita karena masa lalu dan sengsara karena masa depan? Mereka mengaku mengenal Tuhan tetapi mengapa mereka menjadi budak keinginan? Mereka mengaku mengenal Tuhan tetapi mengapa mereka tidak menanti-nanti datangnya kematian dan justru malah takut menghadapinya?”
“Bukan bagianku menjawab pertanyaanmu, Kawan. Setelah mendengar ceramah dan gugatanmu, aku baru mengerti. Jalur pendakian umum yang sudah dibuka dan sering dilalui memang mudah. Tapi, sayang sekali, tidak semua pendaki sampai di puncak gunung.”
“Kawan, kau berkata apa tadi? ‘Sayang sekali’? Memang sayang sekali. Tapi, ada yang lebih disayangkan lagi. Ada yang lebih perlu dikasihani lagi, yaitu mereka yang menempuh jalur pendakian yang sulit atau paling sulit.”
“Adakah jalur pendakian seperti itu dalam hidup beragama?”
“Sesungguhnya Kau tidak perlu bertanya demikian karena jawabannya telah terang benderang. Jalur pendakian gunung spiritual yang paling sulit adalah jalur akal. Anehnya, walaupun dalam jalur ini medan yang harus dilalui sungguh berat, jalur ini ternyata ditempuh banyak pendaki. Di antara mereka, hanya sedikit yang berhasil sampai di puncak. Karena kelelahan, kebanyakan pendaki berhenti di pos-pos yang terdapat di sepanjang jalur. Sebagian pendaki lain tersesat karena tidak membawa peta atau karena peta yang dibawa menyesatkan. Rambu-rambu memang dipancangkan tetapi tulisannya rata-rata tidak terbaca dengan jelas. Sebagian pendaki lain mengalami nasib yang amat buruk di mata seorang pendaki. Setelah tersesat, secara tidak sadar mereka keluar dari jalur pendakian, berjalan tanpa tahu arah, dan akhirnya justru kembali ke kaki gunung. Bukan hanya sia-sia, pendakian mereka terhitung merugikan. Itulah pendakian yang bodoh.”
“Kau benar. Pendakian begitu memang benar-benar bodoh.”
“Kawan, maukah Kau kutunjukkan bentuk pendakian yang tidak bodoh?”
“Menjadi orang pintar, siapa yang tidak mau?”
“Jalur syariat yang sudah dibentangkan untuk mencapai puncak gunung spiritual memang jalur yang mudah. Tapi, ada jalur yang jauh lebih mudah?”
“Kau tidak sedang berdusta, bukan?”
“Aku tidak mendapat upah dengan menipumu.”
“Jangan tersinggung, Kawan. Aku tidak bermaksud meragukan Kau. Aku hanya ingin menenggak segelas air kepastian untuk memuaskan akalku yang haus akan kebenaran. Apakah jalur pendakian gunung spiritual yang lebih mudah daripada jalur syariat itu?”
“Jalur turun gunung.”
“Kau hendak mencandaiku?”
“Lidahku menampik canda dan gurau. Yang kumaksud adalah, jalur pendakian ini semudah, seringan, dan selekas jalur turun gunung. Ketika Kau menempuh jalur ini, seakan-akan jarak dilipat dan waktu disingkat.”
“Penjelasanmu semakin membuatku tertarik dan penasaran.”
“Itulah tujuanku mencicil penjelasan. Untuk membuatmu tertarik dan penasaran.”
“Kawan, katakanlah segera. Jangan lagi Kau suruh aku bersabar.”
“Jalur yang begitu mudah, juga begitu beragam dan berwarna ini, ditempuh para lebah. Itulah rahasianya mengapa lebah menghasilkan madu. Lebah mengonsumsi yang terbaik untuk memproduksi yang terbaik dengan cara yang terbaik pula. Dia bekerja dan berjuang untuk menyembuhkan dan memberikan kasih sayang bagi manusia. Siapakah manusia bagi lebah? Dialah makhluk yang menghancurkan rumah lebah untuk mengambil madunya. Pada lebah, bukan hanya madunya, sengatannya pun adalah obat. Lebah menyakiti untuk menyembuhkan.”
“Mengagumkan.”
“Kekagumanmu kepada lebah adalah wajar. Tapi, Kau lebih wajar untuk kagum kepada yang menciptakan lebah. Seperti halnya binatang lain, lebah tidak berakal. Sungguh pun demikian, masyarakat lebah jauh lebih baik daripada masyarakat makhluk berakal yang disebut manusia? Ironi kenyataan ini sungguh mengagumkan. Siapakah yang merancangnya?”
“Aku kagum dengan lebah. Kagum dengan ironi kenyataan. Kagum pula dengan pencipta lebah dan perancang ironi kenyataan. Namun Kawan, aku tak kagum dengan caramu menjelaskan. Kau bertele-tele. Kau terlalu banyak bicara tentang keajaiban lebah. Kau telah melupakan tujuanmu semula untuk memaparkan kepadaku jalan mengenal Tuhan yang mudah, ringan, dan lekas?”
“Aku tidak sedang bertele-tele. Aku pun tidak sedang banyak bicara tentang lebah. Setelah mengenal lebah, Kau mengaguminya. Kemudian, Kau pun  mengenal dan mengagumi penciptanya. Inilah jalan yang kumaksud. Inilah jalur pendakian menuju puncak gunung spiritual yang mudah, ringan, dan lekas. Semudah, seringan, dan selekas jalur turun gunung. Apabila Kau menempuh jalur ini, jarak yang memisahkan Kau dengan Tuhan seakan dilipat. Waktu tempuhmu pun disingkat. Jalur pendakian ini banyak jumlahnya, sebanyak jumlah ciptaan. Seluruh ciptaan adalah tanda keberadaan dan isyarat kehadiran-Nya. Seluruh ciptaan adalah bayangan-Nya. Ke arah mana pun Kau memandang, di situ tampak wajah-Nya.”
“Kata-katamu membuat lidahku kaku.”
“Kawan, kata-kataku janganlah membuat lidahmu kaku. Jangan Kau kakukan lidahmu hanya karena kata-kataku. Kakukanlah lidahmu manakala dengan mata hatimu Kau saksikan wajah-Nya di balik seekor lebah. Kuncilah mulutmu manakala dengan mata hatimu Kau saksikan wajah-Nya di balik sebatang pohon. Rapatkanlah kedua bibirmu manakala dengan mata hatimu Kau saksikan wajah-Nya di balik ciptaan paling remeh, kecil, lemah, rendah, hina, buruk, dan jahat sekali pun. Kata-kata, Kawan, akan menyembunyikan kembali kemaha-agungan dan kemaha-indahan-Nya. Kata-kata akan membelenggu kakimu saat Kau melangkah di jalan ini.”
“Karena itu, Kawan, hapuslah seluruh kata-kata yang mengotori lembaran buku pikiranmu. Sucikanlah masjid hatimu dari najis berhala dengan air ilmu. Dan usirlah selaksa raksasa angkara murka yang bersarang dalam dadamu. Tabuhlah genderang perang akbar melawan nafsumu. Maka, saat Tuhan membuka pintu rumah-Nya bagimu, Dia akan menyentuh hatimu. Dia akan memelukmu mesra. Kau akan linglung terhuyung-huyung menatap keindahan-Nya. Kau akan tergetar dan terkesima di mana pun. Di mana pun kau mendengar tasbih dan pujian. Kau pun bertasbih dan memuji di mana pun. Bumi yang terhampar menjadi sajadahmu, tempat kau tersungkur pasrah di bawah kaki keagungan-Nya. Dan air mata syukurmu tumpah tak terbendung lalu mengalir tak henti-hentinya dari mata hatimu.”
“Lanjutkan, Kawan. Lanjutkan penjelasanmu. Aku mau mengerti lebih banyak.”
“Jalan mengenal Tuhan yang paling mudah, ringan, dan lekas ini sudah amat tua usianya. Orang-orang menyebutnya dengan berbagai nama. Ada yang menamainya jalan hikmah. Ada yang menamainya jalan filsafat. Ada yang menamainya jalan cinta. Ada yang menamainya jalan hati. Ada pula yang menamainya jalan rasa. Tapi, nama apa pun yang mereka sandangkan untuk jalan ini, hakikatnya hanya satu. Inilah kiranya jalan menuju Tuhan yang pernah diwahyukan kepada lebah. ‘Dan makanlah,’ titah-Nya kepada lebah, ‘sebagian dari bebuahan. Lalu, tempuhlah jalan-jalan (menuju) Tuhanmu yang mudah.’ Jalan mudah inilah yang ditempuh Sunan Bonang, kekasih-Nya yang mengagumi lebah itu.”
“Sudah, Kawan. Sudahilah penjelasanmu. Aku telah merasa cukup dengan kata-kata. Sekarang aku menghendaki pengalaman, bukan lagi penjelasan.”
Itulah ucapan terakhir dalam percakapan di antara kedua sahabat tersebut. Mereka lalu menyimpan kata-kata ke dalam peti yang tergembok dalam rangka terjun ke dalam lautan pengalaman dan penghayatan. Seluas, sebanyak, dan setinggi apa pun ilmu tentang jalan mengenal Tuhan, kalau ilmu itu tidak diamalkan, apa gunanya?

ajadah dera ngulati kawi
kawi iku nyata ing sarira
punang rat wus aneng kene
kang minangka pandulu
Kresna Jati sariraneki
siyang dalu den awas
pandulunireku
punapa rekeh pracihna
kang nyateng sarira sakabehe ini
saking sifat prakarya

Jangan jauh-jauh Sang Pujangga kau cari.
Sang Pujangga nyata ada dalam diri.
Bahkan, semesta raya pun telah ada di sini.
Pelita yang menerangi penglihatanmu
adalah Krisna Jati dalam dirimu.
Siang malam perhatikanlah
penglihatanmu.
Apa pun wujudnya,
semua yang tampak dalam diri ini
adalah sebagian dari sifat dan perbuatan Ilahi.

(dikutip dari Suluk Wujil, sebuah manuskrip Jawa yang dinisbahkan pada Sunan Bonang)


wallahu al-‘alim wa ‘abduhu al-jahil