30/11/11

kenapa aku


mata, bacakan kepadanya:
kenapa aku mencintainya
karena aku membencinya.
begawan yang berawan
akan menurunkan hujan
dari langit masa silam:
musuh siang adalah malam
tapi mereka bersama-sama
menyulam harum halimun fajar
menyedu lagu sendu senja

jalan, sampaikan kepadanya:
kenapa aku menerimanya
karena aku memberinya.
putri bulan dipuja-puja
karena membagi cantik dan cahaya
kepada kelelawar dan srigala

jogja, 30 november 2011

nb: puisi ini lahir sesudah saya membaca bait kedua dari Pesan-pesan Pendek Untukmu, sebuah puisi yang digubah oleh Gunawan Maryanto pada 2006. Bunyinya begini: Kenapa aku mencintaimu / baiklah, jika kau butuh jawaban / karena aku mencintaimu.

tugu


/1/
orang bilang
puisi yang hilang
akan menemukan
kita ketika kata-kata
mati: api abadi

/2/
maaf
hidup seribu tahun lagi
dan seratus tahun hening
apa puisi?

/3/
aku batu merindu
belum mencintaimu

/4/
atas merah asmara ini
terima kasih

jogja, 29-30 november 2011

30, 32, 33


Air 30
Karena hujan, manusia menciptakan payung, mantel, dan jas hujan. Karena banjir, manusia meninggikan rumah. Karena keruh, manusia merekayasa teknologi penyaringan dan penyulingan air. Karena kemarau, manusia berduyun-duyun salat minta hujan dan membuat hujan buatan. Karena menerima, terjadi kerjasama yang indah dan terbangunlah hubungan kasih-sayang yang saling memberi. Hujan memang adalah isyarat, atawa jejak. Karena bencana, kita bisa menjadi survivor. Karena dijajah, Indonesia tahu apa itu kemerdekaan dan dia akhirnya bisa merdeka.
Jogja, 28 november 2011

Air 32
Hiduplah seekor guru dengan bakat sok tahu menyundul langit. Barangkali bakat sok tahu itu dia peroleh setelah membaca buku putih yang ditulis oleh profesor dari zaman yang sudah usang. Kepada sungai, dia mengajarkan air, cair, mengalir, juga gemercik, kecipak, dan riak. Suatu hari, si sungai bertanya kepada sang guru: waktu kemarau, boleh saya mengering? Tidak. Haram bagimu mengering. Kalau membanjir? Jangan. Nanti kamu dipanggang di neraka. Neraka itu api. Api itu panas. Kulitmu akan terbakar. Tulangmu akan meleleh. “Sebagai sungai,” sang guru melanjutkan kuliahnya “kamu harus menolong manusia untuk bertahan hidup”.
Beberapa tahun kemudian, sungai lulus sekolah. Sang guru memberi ijazah cum laude kepadanya. Sungai pun pulang kampung untuk mengamalkan ilmunya. Baru sehari di kampung, Pak Kades datang menemui sungai. “Kami petani padi,” terang Pak Kades, “Sawah kami sekarang kering. Kami mohon, Anda sudi mengalirkan diri ke beberapa petak sawah kami. Kami sedang sangat butuh air irigasi.”
Sungai berpikir sejenak. Dia membatin: “Guru menasihati saya untuk menolong manusia bertahan hidup, bukan untuk mengairi sawah. Saya tidak boleh mengalirkan diri ke sawah mereka. Haram. Nanti saya diceburkan ke dalam neraka. Padahal saya kepingin sekali masuk surga, berendam dalam sungai yang mengalir di bawahnya.” Maka dengan tegas dan pasti, sungai menolak permintaan Pak Kades.
Sawah semakin mengering. Para petani gagal panen. Mereka kelaparan, jatuh sakit, sebagian meninggal, yang lain jadi makin miskin.
Seorang musafir yang kebetulan melewati kampung itu merasa prihatin dengan kondisi penduduknya. Dalam hati dia bertanya-tanya: apa di kampung ini tidak ada sungai?

Jogja, 30 november 2011

Air 33
kau air, bakar aku!

Jogja, 30 november 2011

26/11/11

mencintai


Kuntowijoyo, guru besar UGM, adalah penulis yang sangat prolifik. Dia menulis puluhan buku. Barangkali hidup baginya adalah membaca dan menulis, meneliti dan berkontemplasi. Dia tidak bisa dipisahkan dari dunia penelitian dan dunia sastra. Sampai, suatu waktu, dia terserang penyakit langka. Penyakit itu merusak otaknya. Memorinya sedikit demi sedikit hilang. Tidak mungkin lagi baginya membaca, menulis, meneliti, dan berkontemplasi. Untuk mengingat dan bicara saja payah. Apalagi untuk berpikir dan presentasi. Dapat Anda merasakan bagaimana derita Kuntowijoyo? Dia tidak lagi bisa bermesra-mesraan dengan buku dan bercumbu dengan mesin ketik. Gairah sirna. Tak ada gunanya lagi hidup. Tetapi selama beberapa tahun berikutnya Kuntowijoyo terus bertahan dan mempertebal kesabaran. Dia berusaha menerima realitas. Dia kuat. Namun ajal lebih kuat. Walaupun kemudian dia mangkat, dia meninggalkan warisan berharga: daya tahan di tengah penderitaan dan kemauan untuk hidup ketika maut mendekat. Dia berani hidup dan berani mati.
Kita kenal Beethoven, musisi kenamaan dunia. Begitu banyak orang terpesona dan mengagumi karyanya. Dia menaiki tangga karir pelan-pelan. Dia berhasil mencapai puncak keemasan. Tetapi pada saat itu, ketika popularitasnya sedang meroket, dia harus kehilangan pendengaran. Apa jadinya pianis tanpa kemampuan mendengar? Bagaimana mungkin seorang tuli bisa bermain musik? Lebih kurang setahun setelah dia kehilangan pendengaran, Beethoven bangkit. Dia menciptakan keajaiban. Dia kembali bermusik. Dia kian produktif. Dan pada saat-saat inilah dia menggubah dua karya agungnya: fur elise dan simphony IX. Kekurangan dan keterbatasan bukan hambatan. Hanya karena kekurangan dan keterbatasan, kita bisa maju, dan menjadi lebih baik. Kreativitas tidak bersama orang-orang yang mapan dan sempurna sebagaimana tuhan tidak bersama orang-orang yang merasa suci dan beriman.
Borges adalah penyair amerika latin paling gemilang, selain octavio paz dan pablo neruda. Dia memenangkan hadiah nobel sastra. Boleh-boleh saja dia bilang bahwa dia tidak suka membaca dan menulis. Tetapi kita tahu, sahabatnya yang paling setia adalah buku dan pena. Piranti paling penting untuk membaca dan menulis adalah mata dan tangan. Tampaknya dia sangat menikmati berumah dalam dunia sastra. Ketika memasuki usia senja, matanya mulai rusak. Dia buta. Dia hanya bisa memandang kegelapan yang tak terukur, tak terbatas, tak ternilai. Cahaya meninggalkan dirinya. Dia tidak bisa lagi membaca dan menulis. Sastrawan buta, tidakkah itu demikian mengerikan dan menggelikan? Apa arti hidup bagi seorang sastrawan buta? Tapi borges adalah penyair, orang yang sudah terlalu biasa dengan kontras. Menikmati puisi adalah menikmati kontradiksi, tarik-ulur tak sudah-sudah antara perang dan damai. Sebagai seorang penyair, borges akan belajar mencintai kebutaan dan menyayangi kegelapan.
De mello, seorang spiritualis kristen, memberi nasihat kepada sahabatnya yang mendadak buta: belajarlah mencintai kebutaanmu. Awalnya sahabat de mello ini membenci dan menolak kebutaannya. Dia berjuang keras untuk mencintai kebutaannya. Dia berhasil. Parasnya cerah. Dia bahagia.
Cerita serupa banyak kita dengar. Ada pemain sepak bola dunia yang kakinya harus diamputasi. Ada penari balet yang kaki dan tangannya patah. Ada aktris atawa model yang wajahnya tersiram air raksa. Ada pangeran yang dikutuk menjadi si buruk rupa. Ada putri yang disihir menjadi angsa. Ada raja yang kehilangan tahta. Ada jutawan yang perusahannya gulung tikar. Dan sebagainya. Beberapa di antara mereka terburu-buru mengambil kesimpulan dan kehilangan kepercayaan diri, lalu bunuh diri atau membunuh orang lain. Beberapa yang lain mengumpulkan remah-remah semangat, membangun kembali kehidupan yang telah runtuh, dan memupuk mimpi yang tengah sekarat. Mungkin mereka berhasil bangkit. Mungkin juga tidak. Tetapi mereka tidak kehilangan iman dan harapan. Karena bencana, kepercayaan mereka kepada diri sendiri, tuhan, dan orang lain bertambah tambun. Martabat mereka terangkat tinggi, seperti Isa yang diangkat ke langit setelah menerima sekian banyak ujian. Mereka menjadi lilin yang menerangi, sosok yang menginspirasi.
Yogyakarta, 27 november 2011

24/11/11

spasi


I

kita pernah bergandengan tangan
bersai menyisiri tepi sungai:
mengamati angin-angin ungu
hinggap pada bulu mata haru
sejenak menyekap matahari
membanting jam dinding
diam-diam menunggu salju putih
berduyun-duyun turun di batanghari


II

kita pernah bersama memilih nama
memahatnya pada tiap kitab:
tanah kosong yang kasang
kali kadir yang anyir
tali letih yang merintih

namun wahyu tiba-tiba jatuh menghunus:
hari ini tidak ada nabi lagi
hanya bayi-bayi masih lahir
menangis belajar berjalan dan bicara
hanya ibu-ibu masih hadir
menyuguhkan tubuh dan air susunya
pada malam perjamuan
para lupa yang terluka dan berduka


III

selamat jalan. tapi
dalam puisi kita abadi.

november 2011