28/01/15

Az-Zahrotun, Manunggal, Sebelas Maret


Nama merupakan perkara sangat penting, apalagi nama masjid, rumah kediaman Tuhan. Untuk memberi nama masjid, umat islam sering harus melewati proses yang kompleks. Filosofi di balik nama sebuah masjid, harus dalam, harus pula matang, jangan lupa harus gagah dan mentereng. Dan tentu saja, harus mencerminkan jiwa keagamaan. Jiwa keagamaan ini ditunjukkan dengan dua cara, secara substansial dan secara artifisial.

Karena itu, penentuan nama masjid berpotensi memancing perdebatan alot. Di kampung-kampung, hanya tokoh kharismatislah yang bisa meredakan perdedabatan itu dengan memilih salah satu alternatif nama, menggabungkan alternatif nama yang ada secara serasi ataupun tidak serasi, atau mengusulkan nama yang dirancangnya sendiri.

Masjid-masjid di Yogya, daerah di mana keraton islam-jawa hingga kini masih bertahan, secara kategoris punya nama yang bervariatif. Nama-nama itu diambil dari beberapa bahasa: arab, jawa, Indonesia—yang saya tahu baru tiga itu saja.

Masjid dengan nama arab, saya percaya itu mah biasa. Di mana-mana kita menjumpai masjid dengan nama arab. Tapi di yogya, barangkali juga di banyak tempat di Indonesia, nama masjid yang diambil dari bahasa arab bisa mengundang senyum geli.

Ada masjid kecil, di kampung wonocatur, bantul, yang oleh penduduk setempat diberi nama arab: az-zahrotun—saya tulis apa adanya, sesuai dengan cara penulisan nama masjid tersebut yang terpampang di gapuranya. Maksud muslim setempat memilih nama arab itu barangkali untuk menunjukkan jiwa keagamaannya. Tapi hasilnya, maksud mereka tak kesampaian. Justru karena nama yang pasti terdengar asing bin aneh di telinga penutur arab asli itu, kita jadi mengerti bahwa pemahaman mereka tentang agama islam tidak mendalam, sebagaimana dibuktikan oleh ketidakterampilan mereka menggunakan bahasa arab. Mereka menunjukkan jiwa keagamaan tidak secara substansial, tetapi secara artifisial belaka.

Mengikuti kaidah gramatikal, nama itu mestinya ditulis az-zahrotu, tanpa ‘n’ di ujung kata. Secara praktis mestinya dilafalkan az-zahroh. Pelafalan az-zahrotu biasanya terdengar hanya dalam forum-forum tertentu, misalnya pembelajaran gramatika.

Lepas dari masalah gramatikal itu, masyarakat setempat sesungguhnya pandai memilih nama masjid. Az-zahrotu artinya ‘bunga’, bunga yang itu, bukan bunga pada umumnya. Siapakah bunga itu? Apa mereka melambangkan Tuhan sebagai bunga? Apa mereka membayangkan masjid sebagai bunga padma atau teratai? Ada kemungkinan, bunga itu merujuk pada putri Muhammad, Fatimah az-zahrah, Fatimah sang bunga. Benar demikian?

Saya kurang tertarik menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Saya lebih tertarik membayangkan seandainya konsep nama masjid itu mereka bahasa-indonesiakan saja. Jadi, masjid itu tidak bernama masjid az-zahrotun, melainkan masjid bunga. Bukankah itu nama yang manis dan unik? selain itu, ia bisa mensugesti jamaahnya yang orang Indonesia dan kebanyakan tidak paham bahasa arab untuk mencitrakan islam sebagai agama keindahan. Keren! Masjid bunga. Masjid adalah bunga, setidaknya: masjid itu laksana bunga.

Selain entah berapa banyak masjid bernama arab, di yogya ada masjid yang bernama sangat njawani, yang kebetulan merupakan masjid agung kabupaten bantul. Namanya masjid manunggal. Probosutedjo punya peran besar dalam pembangunan masjid ini. Bukan hanya nama, arsitekturnya pun sangat njawani, lebih ekspresif dan semarak ketimbang masjid gedhe kasultanan.

Pada dinding depan pengimaman, melekat gunungan raksasa berupa kayu yang diukir dengan kaligrafi aksara arab gaya jawa. Gunungan, kita tahu, adalah simbol religiositas orang jawa yang menyembunyikan berlapis-lapis makna. Plafon beranda diukir juga dengan kaligrafi arab. Salah satu materi kaligrafinya adalah beberapa ayat al-quran—persisnya ayat berapa surah apa saya tidak ingat—yang menjelaskan siapa abd al-rahman itu, siapa hamba Yang Maha Pengasih itu.

Ayat ini tampaknya dipilih dengan pertimbangan kebudayaan. Raja-raja jawa hingga sekarang bergelar abdurahman sayidin panatagama khalifatulah ing tanah jawi. Pada gelar itu, terselip frasa abdurahman. Di antara misi profetik orang jawa adalah hamemayu hayuning bawono. Tidak dapat lain, misi ini terlaksana hanya dengan adanya penghayatan yang total dan kompleks akan rasa kasih sayang. Konsep kasih sayang dalam bahasa arab dilambangkan dengan tiga huruf, yaitu r-h-m, yang diturunkan ke dalam banyak kata, antara lain rahman.

Kata ‘manunggal’ sendiri, sebagai nama masjid, sangat mencerminkan nilai-nilai kejawaan (pembahasa-indonesiaan ‘kejawen’) atau islam-jawa. ‘Manunggal’ sering disamakan begitu saja dengan konsep ittihad, hulul, atau wihdatul wujud, tiga doktrin yang sentral posisinya dalam sufisme heterodoks. Tapi bagi saya, ‘manunggal’ lebih cocok dipadankan dengan istilah sufistik lain yang netral: fana’, atau makrifat. Orientasi spiritual orang jawa, katanya, ya manunggal atau makrifat itu, lengkapnya manunggaling kawula gusti, melebur menjadi tunggalnya hamba dan gusti.

Kata ‘gusti’ sengaja tak saya bahasa-indonesiakan. Sebab, kata ini punya tidak hanya satu referensi arti. Ia bisa menunjuk kepada Tuhan, tetapi bisa juga menunjuk kepada raja dan kepada priyayi bukan raja yang diabdi oleh seorang kawula, rakyat kecil. Karena itu, kata ‘gusti’ mengungkapkan bagaimana orang jawa memaknai kekuasaan: Raja atau ratu adalah bayangan tuhan yang memancarkan cahaya ilahiah, dengan sendirinya menyandang sifat-sifat ilahiah.

Itu sebabnya, ada pengamat yang menyatakan bahwa dalam pandangan kejawaan, raja merupakan emanasi tuhan. bahkan, ada yang menggunakan konsep titisan hindu untuk menjelaskan kedudukan raja dalam alam pikiran jawa: raja adalah titisan tuhan, suatu penjelasan yang sulit diterima bagi muslim jawa ortodoks yang menyangkal konsep penitisan.

Untuk bisa memancarkan cahaya ilahiah, raja harus mencapai maqam manunggal dengan tuhan. manunggaling kawula gusti, dilihat dari perspektif sang raja. Manunggaling gusti lan Gusti, dilihat dari perspektif rakyat kecil. Baru ketika maqam ini tercapai, jalan bagi raja untuk melunasi kewajibannya sebagai abdurahman, panatagama, dan khalifatulah terbuka lapang.

Pada saat itulah sang raja benar-benar menjadi pemangku dunia (hamengkubuwono) yang mendapat restu langit untuk membikin indah tatanan dunia (hamemayu hayuning bawono). Kalau raja menjalankan tanggung jawab spiritual politiknya dengan kesungguhan, kerajaan menjadi gemah ripah loh jinawi, berkah tercurah di tanah mana saja, hingga ke pelosok-pelosok negara, hingga ke sudut-sudut kota dan desa.

Jadi, nama masjid agung bantul, manunggal, memang sangat njawani. Demi tujuan manunggal-lah masjid dibangun. Baik muslim yang hanya rakyat jelata, lebih-lebih muslim yang kebetulan adalah raja, harus memiliki hanya satu motivasi ibadah, yaitu manunggal, pulang kepada asal-usulnya, kembali kapada sangkan-parannya.

Tipe nama masjid yang ketiga adalah nama yang diambil dari bahasa Indonesia. Di Yogya tidak banyak. Yang benar-benar bikin penasaran, nama masjid yang terletak di glagahsari, umbulharjo, kota madya yogya. Masjidnya tidak begitu besar. Tidak juga amat luas. Gaya bangunan modern, dengan kubah, tidak dengan atap prismatik tumpang tiga. Berdiri di depan jalan utama. berandanya luas. Halamannya luas. Namanya masjid sebelas maret.

Sebelas maret, apakah maksudnya? Bagi peminat sejarah, sebelas maret mengingatkan pada surat misterius yang mengesahkan kepemimpinan soeharto, surat perintah ‘sebelas maret’, yang secara simbolik oleh kekuasaan diakronimkan menjadi super semar. Semar yang biasa-biasa saja, yang tidak super, mampu menaklukkan dewa-dewa yang serba di atas manusia, apalagi semar yang super.

Itu artinya, membereskan keadaan negara yang centang-perenang, bagi super semar atau semar super adalah urusan gampang, juga bagi seoharto yang menerima surat sakti itu. Sebagai monumen, masjid sebelas maret di jalan glagahsari itu dibangun untuk mengekalkan ingatan kita tentang hal inikah? Apa masjid sebelas maret merupakan bagian dari seperangkat besar mitologi politik orde baru, persis fungsi monumen supersemar yang menyempil tapi menonjol di ujung selatan jalan malioboro? Mungkin begitu. Tapi mungkin tidak.

Nama sebelas maret untuk masjid tersebut boleh jadi tidak ada kaitannya sedikit pun dengan super semar. Murni gagasan warga setempat yang tidak bertendensi politik. Karena mulai dibangun pada sebelas maret entah tahun berapa, masjid itu pun dinamai masjid sebelas maret. Memang, tanggal sebagai nama bangunan, termasuk masjid, kedengaran tidak lumrah. Namun, ketidaklumarahan itu adalah bentuk kreativitas yang justru menggoreskan kesan yang dalam, yang memudahkan kita mengingatnya dan melestarikan ingatan tersebut.

Apapun latar belakang pemberian nama untuk masjid itu, nama sebelas maret menggoda saya untuk mengembangkan pikiran analogis yang nakal. Gedung-gedung universitas yang kadang diberi nama tokoh intelektual—tidak hanya ditandai dengan huruf, angka, atau gabungan keduanya—sepertinya menarik jika kita beri nama tujuh belas agustus, satu suro, dan… ini dia: empat belas februari. Ngepop banget.

Tujuh belas agustus nama untuk gedung fakultas ilmu politik. Satu suro untuk gedung jurusan filsafat, teologi, dan antropologi yang ditaruh dalam satu kotak keilmuan. Empat belas februari untuk gedung fakultas humaniora. Universitas yang memiliki gedung dengan nama-nama ini, tampaknya akan cepat populer. Saya perkirakan, gedung tujuh belas agustus akan menjadi arena bagi para mahasiswa beradu keras suara megafon. Gedung satu suro bila malam akan digunakan sebagai tempat pertapaan. Mahasiswa fakultas tersebut bisa ngangsu kawruh langsung kepada ahlinya. Adapun gedung empat belas februari pada malam minggu akan merupakan lokasi kencan favorit.

Khayalan ini masih kurang nakal. Khayalan yang lebih nakal: tanggal sebagai nama manusia. Kepada saya, seorang perempuan cantik memperkanalkan diri. Namaku, katanya, lima juli. Apa saya terkejut ketika mengetahui namanya yang unik itu, dari mulutnya sendiri? Seorang pemuda yang gagah, dengan semangat berkobar-kobar, cita-cita melangit, dan bahasa Indonesia yang baik dan benar, berkenalan dengan dengan saya. Ia bilang, namaku dua puluh delapan oktober. Mendengar nama itu, saya, yang bahasa Indonesia-nya memble, kontan merasa seperti disambar petir.

Kalau benar ada pemuda bernama dua puluh delapan oktober, saya akan mengusulkan kepada balai bahasa untuk menunjuknya sebagai duta bahasa Indonesia. Dalam forum-forum kebahasaan, dia tak perlu banyak bicara. Cukup hadir dan diam. Keberadaannya sudah merupakan kritik atas sikap berbahasa Indonesia kita.

Nama memang bisa dimaknai sebagai kritik, selain sebagai harapan sebagaimana pada umumnya nama, contohnya nama masjid agung bantul tadi, manunggal. Az-zahrotun barangkali juga nama dengan muatan harapan yang tinggi, tetapi, bagi saya, ia lebih berfungsi sebagai sarana ekspresi ketimbang lambang harapan. Lain halnya nama sebelas maret. Fungsi terbesarnya adalah untuk mengabadikan kenangan, mengekalkan ingatan.

Begitulah, masjid-masjid yogya punya beragam nama. Masing-masing nama mengandung latar belakang, filosofi, dan fungsi yang khas. Mereka menyembunyikan maknanya tersendiri yang kadang lupa kita usut asal-asulnya. Padahal, nama-nama itu adalah kunci untuk membuka pintu gudang pengetahuan yang menjelaskan siapa sebenarnya kita.