29/12/13

Sinopsis Hikayat Negeri Jambi

Berikut kami sajikan sinopsis Hikayat Negeri Jambi (HNJ), sebuah naskah klasik Melayu Jambi yang ditulis pada paruh pertama abad ke-19. HNJ berisi pseudo-sejarah Jambi sejak masa pemerintahan Tuan Talanai, rajanya yang pertama, hingga masa pemerintahan Sultan Mahmud Fakhruddin yang memerintah kesultanan Jambi ketika HNJ ditulis. Sepelacakan kami, sejauh ini HNJ baru dipelajari oleh dua sarjana, Indiyah Prana Amertawengrum dan Sergei Kukushkin. Sinopsis HNJ di bawah ini kami salin dari tesis Amertawengrum, Hikayat Negeri Jambi: Suntingan Teks dan Analisis Struktural (1996), hlm. 2017-217. Selamat membaca.
  

Dusun Muara [Jambi] merupakan tempat asal mulanya kerajaan Jambi. Rajanya bernama Tuan Talanai. Dalam memerintah, ia dibantu oleh lima orang hulubalang. Atas perintah Tuan Talanai, salah seorang hulubalang yang bernama Si Pahit Lidah berhasil membuat sungai mulai dari dusun Muara [Jambi] hingga ke laut dalam tempo satu jam. Oeh karena itu, nagari tersebut disebut Jambi.

Telah beberapa lama Tuan Talanai bertahta, belum juga ia dikaruniai anak. Hal itu membuatnya gundah karena memikirkan siapa yang akan menggantikannya bila ia meninggal. Tuan Talanai dan isterinya berupaya agar mendapat anak, baik dengan mencari obat, pergi ke dukun, maupun minta kepada para dewa.

Tidak lama kemudian isteri Tuan Talanai hamil. Setelah genap bulan kehamilannya, isteri Tuan Talanai melahirkan seorang anak laki-laki yang baik parasnya. Kelahiran bayi tersebut disertai dengan tanda-tanda yang menakjubkan. Guncangan yang ditimbulkannya membuat dukun yang menolong tidak kuasa untuk memegangnya, bahkan papan rumah maupun atap rumah pun patah.

Kelahiran seorang putera yang sangat dinantikannya membuat Tuan Talanai bersuka cita. Akan tetapi, setelah mengetahui kejadian yang menyertai kelahiran puteranya tersebut, Tuan Talanai merasa heran dan sekaligus takut kelak anaknya lebih berkuasa sehingga akan membahayakan nagari Jambi. Untuk mengetahui ihwal anaknya tersebut, Tuan Talanai memanggil 40 orang ahli nujum.

Dikatakan oleh para ahli nujum bahwa anak yang baru dilahirkan itu kelak membawa bencana yang besar bagi nagari Jambi serta menjadikan hidup Tuan Talanai tidak senang. Agar nagari Jambi terhindar dari bencana, maka anak yang baru dilahirkan itu harus dibuang ke laut. Mendengar kata ahli nujum, Tuan Talanai segera memberi perintah kepada hulubalangnya untuk membuatkan peti tujuh lapis untuk membuang anaknya.

Setelah dihiasi dengan pakaian yang indah, sebagaimana layaknya anak seorang raja, anak Tuan Talanai dimasukkan ke dalam peti yang jumlahnya tujuh lapis dan disertakan pula sebuah surat di dalam peti tersebut. Selanjutnya, peti itu dibuang ke laut.

Empat puluh hari empat puluh malam lamanya peti itu dibawa gelombang hingga sampai ke laut Siam dan ditemukan oleh raja Siam. Raja Siam dan isterinya merawat anak itu dengan penuh kasih sayang. Dicarikannya inang pengasuh dan kawan bermain-main buat anak angkatnya itu. Anak itu tumbuh menjadi anak yang sangat ditakuti oleh kawan-kawannya bermain karena jikalau ia marah maka dihempaskannya orang yang membuatnya marah tersebut. Melihat ulahnya yang demikian, kawan-kawannya memperoloknya dengan mengatakan bahwa ia anak yang tidak tentu siapa bapanya, raja Siam bukanlah orang tua yang sebenarnya sehingga pantas apabila perilakunya sangat jahat.

Mendengar olok-olok kawannya, anak angkat raja Siam pun bertanya kepada bundanya tentang orang tuanya yang sebenarnya. Menginjak umur empat belas tahun, anak angkat raja Siam teringat kembali akan perkataan bahwa ia bukan anak raja Siam yang sebenarnya. Ia pun menanyakan kembali hal itu kepada bundanya dan menceritakan tentang mimpinya bahwa sesungguhnya ia adalah anak Tuan Talanai, raja Jambi. Ia bertekad akan bunuh diri bila tidak diberi tahu tentang hal yang sebenarnya. Mengetahui anak angkatnya hendak bunuh diri, raja Siam kemudian memerintahkan orang-orangnya untuk menyediakan kelengkapan berlayar bagi anak angkatnya yang hendak ke nagari Jambi menemui Tuan Talanai.

Sesampai di Jambi, ternyata Tuan Talanai tidak mau mengakui anak angkat raja Siam sebagai anak kandungnya meskipun kepadanya telah ditunjukkan surat dari raja Siam sebagai bukti bahwa anak itu adalah anak kandungnya. Penolakan Tuan Talanai tersebut menyebabkan kemarahan anak angkat raja Siam dan kemudian menyerang nagari Jambi. Dalam peperangan inilah akhirnya Tuan Talanai dibunuh oleh anak kandungnya sendiri. Setelah berhasil membunuh Tuan Talanai, anak angkat raja Siam kembali ke negeri Siam. Sepeninggal Tuan Talanai, negeri Jambi tidak beraja lagi.

Pada pasal kedua diceritakan bahwa pada kurun waktu berikutnya bangsawan dari Turki datang ke pulau berhala dan menjadi raja di pulau ini dan dikenal dengan sebutan Datuk Paduka Berhala. Sebelum meninggal ia berpesan kepada puteranya, Datuk Paduka Ningsun, agar mengantarkan persembahan kepada Sultan Mantaram setahun sekali.

Datuk Paduka Ningsun menjadi raja setelah ayahnya meninggal. Ia menikah dengan seorang puteri Ki Demang Lebar Daun dari Palembang. Pada saat menjadi raja, Datuk Paduka Ningsung berpindah nagari ke Ujung Jabung. Ia dikaruniai empat orang anak, yaitu Orang Kaya Itam, Orang Kaya Pingai, Orang Kaya Pedataran, dan Orang Kaya Gemuk.

Sepeninggal Datuk Paduka Ningsung, Orang Kaya Itam menjadi raja dan kemudian membuat nagari di Muara Sampang yang dikenal dengan sebutan nagari Kota Tua. Pada saat menjadi raja, Orang Kaya Itam tidak mau lagi mengantarkan persembahan kepada Sultan Mantaram sehingga datang surat dari Sultan Mantaram menanyakan hal tersebut.

Orang Kaya Itam, Orang Kaya Pingai, dan Orang Kaya Pedataran pergi ke Mantaram dengan cara menyamar. Sesampai di Mantaram mereka bertiga tiba di tempat membuat keris. Dari tukang keris itu Orang Kaya Itam mengetahui bahwa keris itu milik Sultan Mantaram yang akan digunakan untuk membunuh Orang Kaya Itam jika datang ke Mantaram. Hal itu menimbulkan kemarahan Orang Kaya Itam sehingga ia merampas keris itu kemudian membunuh tukang keris dan mengamuk di pasar.

Sultan Mantaram terdiam tatkala mengetahui bahwa orang yang mengamuk itu adalah Orang Kaya Itam yang berasal dari Jambi. Setelah mengetahui duduk persoalan mengapa Orang Kaya Itam tidak pernah datang ke Mantaram, Sultan Mantaram menyerahkan keris itu kepada Orang Kaya Itam tiga bersaudara. Selain itu, diserahkannya juga sebuah pedang dan dua batang tombak kepada Orang Kaya Itam untuk dibawa pulang ke Jambi. Sejak saat itu Sultan Mantaram memeberikan kebebasan kepada Orang Kaya Itam untuk datang ke Mantaram sesuka hatinya.

Sekembali dari Mantaram, Orang Kaya Itam berhasil menundukkan beberapa dusun hingga sampai ke Muara Tembesi. Orang Kaya Itam meninggal di nagari Kota Tua. Ia tidak memiliki anak sehingga kedudukannya sebagai raja dilanjutkan oleh Orang Kaya Pingai. Sepeninggal Orang Kaya Pingai, yang juga tidak mempunyai anak, Orang Kaya Pedataran menjadi raja. Setelah Orang Kaya Pedataran meninggal, Orang Kayo Gemuk yang berada di Mantaram dan memiliki lima orang anak pun kembali ke nagari Kota Tua. Akan tetapi, tatkala baru sampai di pulau Tungkal, Orang Kaya Gemuk mendadak sakit dan kemudian meninggal. Anak turunan Orang Kaya Gemuk inilah yang selanjutnya mengadakan rukhyat raja di dalam nagari Jambi.

Pada pasal ketiga diceritakan tentang anak keturunan Orang Kaya Gemuk menjadi raja. Sesuai dengan wasiat Orang Kaya Gemuk, kelima anaknya bermufakat untuk mengangkat salah satu di antaranya menjadi raja di nagari Kota Tua. Mereka bersepakat untuk mengangkat Si Bungsu Yang Berujud menjadi raja. Sebelum menyatakan kesediaannya menjadi raja, Si Bungsu Yang Berujud menghendaki adanya kata mufakat dari semua saudaranya itu. Masing-masing kemudian menyatakan kesanggupannya untuk melakukan sesuatu demi kepentingan raja dan nagari sesuai dengan kecakapannya. Mereka membuat nagari di Rangas Pandak sehingga raja yang terpilih diberi gelar Pangeran Rangas Pandak. Saat itulah dimulainya adat penobatan raja.

Sementara itu, Tuan Puteri Pinang Masak, anak raja Minangkabau bermaksud hendak membuat nagari di Jambi yang dikabarkan telah menjadi hutan sejak ditinggal Tuan Talanai. Mendengar berita tentang adanya puteri raja Minangkabau yang menetap di bekas kerajaan Tuan Talanai (Muara Jambi), Pangeran Rangas Pandak mengirim utusan untuk melihatnya. Tuan Puteri Pinang Masak merasa gembira dengan kunjungan utusan Pangeran Rangas Pandak. Pangerang Rangas Pandak menikah dengan Tuan Puteri Pinang Masak dan selanjutnya mereka menetap di Rangas Pandak. Mereka memiliki empat orang anak, yaitu Pangeran Tumenggung Kabul Di Bukit, Pangeran Adipati Tiada Katik Bayang-Bayang, Pangeran Paku Negara, dan Panembahan Di Bawah Sawo. Pada saat Pangeran Rasas Pandak menjadi raja, belum seluruh pucuknya Jambi sembilan lurah kepadanya, kecuali dusun-dusun yang dulu telah ditundukkan oleh Orang Kaya Itam.

Pada pasal keempat diceritakan tentang anak Pangeran Rangas Pandak menjadi raja. Pangeran Tumenggung Kabul Di Bukit bermufakatan dengan saudara-saudaranya hendak membuat nagari terlebih dahulu sebelum menetapkan raja yang baru karena hal itu sudah menjadi kebiasaan bagi raja-raja sebelumnya. Mereka membuat nagari di Malayapura sehingga semua yang ada di Rangas Pandak pindah ke Malayapura.

Selain membuat nagari, mereka juga bersepakat untuk menundukkan pucuknya Jambi sembilan lurah. Setelah berhasil menundukkannya, mereka memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi raja. Panembahan Di Bawah Sawo terpilih untuk menjadi raja. Selain membuat perjanjian dengan orang-orang yang telah ditundukkannya, Panembahan juga membuat perjanjian dengan Yang Dipertuan Balang mengenai batas-batas daerah kerajaan. Setelah itu, mereka kembali ke tempat masing-masing.

Sesampai di muara sungai Tabo, Panembahan berhenti dan menyuruh orang untuk membuat takir sejumlah seratus. Setelah diisi, takir tersebut dihanyutkan hingga sampailah di sebelah ulu Tanah Pilih. Di tempat ini panembahan bertapa selama tujuh hari tujuh malam dan bertemu dengan Cina yang kemudian memberinya bedil yang bernama Si Jimat, gong bernama Si Taming Jambi, dan tombak bernama Si Macan Turu. Di Tanah Pilih inilah akhirnya Panembahan membuat nagari dan mendirikan keraton. Sementara itu, saudara-saudaranya yang lain membuat kampung sendiri pula. Pangeran Tumenggung Kabul Di Bukit membuat kampung yang diberi nama Kadipan,  Pangeran Adipati Yang Tiada Katik Bayang-Bayang membuat kampung yang diberi nama Perabon, dan Pangerann Paku Negara membuat kampung yang diberi nama Kebumen.

Panembahan memiliki dua orang anak, perempuan dan laki-laki. Anak perempuannya, Ratu Mas Juminten, menikah dengan raja Johor. Anak laki-lakinya selanjutnya dinobatkannya menjadi raja dengan gelar Sultan Agung Sri Ingalaga.

Ketika Ratu Mas Juminten meninggal, Raja Johor tinggal bersama Sultan Agung di nagari Jambi. Pada saat Sultan Agung sedang pergi ke ulu, Raja Johor pulang ke Johor dengan melarikan bedil kerajaan yang bernama Si Jimat dan gong yang bernama Si Taming Jambi.

Sekembali dari ulu, Sultan Agung terkejut mengetahui bedil dan gong kerajaan dilarikan oleh Raja Johor. Sultan Agung segera memerintahkan orang-orangnya untuk menyerang nagari Johor hingga akhirnya Johor dapat dikalahkan. Nagari Johor kemudian meminta bantuan dari Palembang dan Jambi pun minta bantuan dari Padang di bawah pimpinan Tuan Petor. Setelah Johor dapat dipukul mundur kembali, Tuan Petor membuat gedung di Pacinan.

Pada pasal kelima diceritakan tentang pembuangan Sultan Agung oleh anaknya. Diceritakan bahwa Sultan Agung mempunyai dua orang anak, Raden Gegadih dan Raden Jumut. Raden Gegadih yang gagal membunuh Sultan Agung meminta bantuan kepada Tuan Petor untuk membuang ayahnya ke Betawi. Mengetahui perbuatan Raden Gegadih, Raden Jumut melarikan diri ke Muara Tabo dan kemudian diangkat sebagai raja oleh rakyatnya dengan gelar Sultan Maharaja Batu.

Niat jahat Raden Gegadih muncul tatkala mengetahui bahwa Raden Jumut telah menjadi raja di Muara Tabo. Ia minta bantuan ke Palembang untuk menyerang Sultan Maharaja Batu. Peperangan ini dapat dilerai oleh Yang Dipertuan Minangkabau. Selanjutnya, mereka pulang ke tempat masing-masing. Meskipun demikian, Raden Gegadih tetap saja berniat jahat kepada Sultan Maharaja Batu. Ia minta bantuan kepada Tuan Petor untuk membuang Sultan Maharaja Batu. Sultan Maharaja Batu tertangkap dan dibuang ke Betawi. Sepeninggal Sultan Maharaja Batu, anak tertuanya diambil oleh Sultan Gegadih dan diangkatnya sebagai raja untuk menggantikannya, dengan gelar Sultan Abdul Mukhyi.

Mendengar kabaar bahwa saudaranya menjadi raja di nagari Jambi, Raden Abdul Rahman, yang juga putera Sultan Maharaja Batu, pergi ke hilir menemui Sultan Abdul Mukhyi dan memaksanya untuk menyerahkan kedudukannya sebagai raja kepada dirinya. Saat itu pula Raden Abdul Rahman menjadi raja dengan gelar Sultan Abdul Rahman Anom Sri Ingalaga. Sementara itu, Sultan Abdul Mukhyi dibuang ke pedalaman.

Di dalam masa pemerintahannya, Sultan Abdul Rahman mengangkat menteri-menteri dan memberi nama serta pangkatnya masing-masing. Seorang menterinya yang bernama Ki Demang Miskin bermaksud memperisteri anaknya, tetapi hal itu menimbulkan kemarahan raja-raja di dalam nagari itu. Mengetahui hal tersebut, Ki Demang Miskin datang kepada Tuan Petor dan menyebarkan fitnah bahwa sultan bersama raja-raja dan menteri bersepakat hendak menyerang Tuan Petor.

Akibat fitnah yang dilontarkan oleh Ki Demang Miskin tersebut, Tuan Petor menyerang negeri Jambi hingga berbulan-bulan lamanya. Dalam peperangan itu banyak rakyat negeri Jambi yang mati. Sultan Abdul Rahman Anom segera menyuruh utusan pergi menghadap Tuan Jenderal di Betawi untuk mengadukan adanya serangan Tuan Petor tanpa sebab yang jelas. Setelah memeriksa perkara itu, Tuan Jenderal memulangkan Ki Demang Miskin ke Jambi serta menyuruh Tuan Petor menetap kembali di Jambi. Selanjutnya, Tuan Petor membangun kota di Muara Kumpeh.

Tatkala Sultan Abdul Rahman meninggal, anaknya yang menjadi pangeran ratu menggantikannya menjadi raja dengan gelar Sultan Ahmad Zainuddin. Pada masa Sultan Ahmad Zainuddin menjadi raja inilah Tuan Petor yang berada di Muara Kumpeh diamuk oleh orang Jambi karena persoalan dalam jual beli lada. Tuan Petor akhirnya melarikan diri pulang ke Betawi.

Selanjutnya hanya diceritakan secara ringkas jurai kuturunan Sultan Ahmad Zainuddin. Sepeninggal Sultan Ahmad Zainuddin, anaknya yang menjadi pangeran ratu menggantikannya sebagai raja dengan nama Sultan Masyhud. Sepeninggal Sultan Masyhud, anaknya yang menjadi pangeran ratu menggantikannya sebagai raja dengan nama Sultan Mahmud Mukhiddin. Anak Sultan Mahmud Mukhiddin yang pertama, Raden Mahmud, dijadikannya pangeran ratu yang kemudian menggantikannya menjadi raja dengan nama Sultan Mahmud Fakhruddin. Tamatlah hikayat ini di dalam Muara Kumpeh pada sanat 1253 dan kepada 27 Rabiulakhir, hari Ahad tamat adanya.

15/12/13

prasangka


SAYA tak pernah berjumpa dengan orang-orang ini: Nelson Mandela, Ahmad Dahlan, Gus Dur, dan Ki Hadjar Dewantara. Anda boleh menyebut saya sebagai pengagum mereka. Tapi tunggu dulu, pengagum mungkin istilah yang muluk dan sentimental. Saya hanya bocah bodoh yang ingin mengenali gagasan mereka. Atau, seorang awam yang tertarik dengan apa yang mereka rasakan, pikirkan, dan lakukan. Itu saja.

Kita berduka karena 5 Desember lalu Mandela meninggalkan kita. Ia mendermakan hidupnya untuk membebaskan rakyat Afrika Selatan dan Inggris dari belenggu rasialisme yang berpilin dengan kolonialisme. Memang Mandela berhasil mengusir Inggris dari benua Hitam. Ia pun berhasil menggerakkan dunia untuk melawan rasialisme. Akan tetapi, rasialisme belum benar-benar hilang. Prasangka rasial sekaligus mental kolonial, yang bagaikan dua sisi sekeping mata uang logam, masih berdiam dalam alam sadar dan alam bawah sadar kita.

Itu pendapat Jean Couteau dalam rubrik Udar Rasa SKH Kompas minggu ini. Adalah hak Anda untuk tak sepaham dengannya. Namun pendapatnya bisa jadi benar belaka. Palestina dan Israel belum merasa lelah dan jengah berperang. Minoritas muslim misalnya di Jerman atau Thailand masih mengalami diskriminasi. Belum pula lekang dari ingatan kita: Farhat Abbas menghina Ahok, wakil gubernur DKI Jakarta yang kebetulan berdarah Cina itu, bukan karena kebijakannya yang barangkali keliru, tetapi lebih karena kecinaannya. Sebagian orang Melayu Jambi tidak bosan-bosannya memandang orang kubu dengan sebelah mata, seolah-olah mereka bukan manusia saja. Atau, memandang orang kubu sebagai setengah manusia, sepertiga manusia, seperempat manusia; persis seperti dulu Londo memandang inlander.

Prasangka rasial Londo terhadap inlander, dan inferioritas inlander ketika berhadap-hadapan dengan Londo, itulah yang dikisahkan Pramoedya dalam tetralogi Buru. Karena itu, dengan menulis tetralogi Buru, Pramoedya juga mau menyampaikan pesan humanitas: manusia pada fitrahnya setara dan sederajat; hukum  dan aparat hukum tidak boleh merestui dan menyokong penjajahan dan penghisapan manusia oleh manusia. Terkadang, kita menggunakan kata “adil” untuk menunjukkan situasi humanitas tersebut. Kita beruntung sebetulnya. Sebab, pesan humanitas yang terus-menerus disuarakan kembali oleh tokoh-tokoh agung sepanjang sejarah telah tersarikan sebagai sila kedua Pancasila: kemanusiaan yang adil dan beradab.

Menempatkan Ahmad Dahlan, Gus Dur, dan Ki Hadjar Dewantara sebagai tokoh agung mungkin merupakan sikap yang agak gegabah dan tergesa-gesa karena sikap seperti itu dapat menumbuhkan dan menyuburkan pengkultusan, sedangkan pengkultusan justru menjauhkan kita dari cita-cita yang mereka realisasikan dan mereka wariskan kepada kita. Namun demikian, bahwa Ahmad Dahlan, Gus Dur, dan Ki Hadjar Dewantara semasa hidupnya telah memperjuangkan cita-cita humanitas dengan begitu gigih, tentu merupakan kenyataan yang tak menemukan penyangkalnya.

Ahmad Dahlan secara luwes bergaul dengan komunitas nonmuslim. Bahkan, ia menyerap ide dan praktik pedagogis misionaris yang sejalan dengan pandangan keislamannya. Ia membuka sekolah Islam modern. Ia mengajar seperti guru eropa mengajar. Tanpa kehilangan identitasnya, Ahmad Dahlan bergerak melampaui batas tradisi dan sekat ideologinya. Pikirannya bersih dari prasangka-prasangka sosial-budaya yang sempit dan dangkal. Gerakan transendentif Ahmad Dahlah itulah yang brangkali disebut Cak Nur sebagai universalisasi Islam, dan disebut Kuntowijoyo sebagai objektivikasi Islam. Dalam dan dengan gerakan transendentif itu, keislaman dan kemanusiaan yang pada hakikatnya memang manunggal, kembali menjadi manunggal.

Patah tumbuh hilang berganti. Ahmad Dahlan pergi, Gus Dur datang dengan cita-cita pluralisme dan kosmopolitanisme Islamnya. Minoritas Tionghoa Indonesia yang terutama pada masa orde baru menjadi korban politik dan budaya nasional, kembali memperoleh hak-haknya ketika Gus Dur menjadi presiden. Kini, pementasan budaya Tionghoa bukan hal yang tabu lagi. Imlek dirayakan dengan sukacita, baik oleh komunitas Tionghoa sendiri maupun oleh kemunitas-komunitas etnis dan agama lain. Klenteng-klenteng tegak dengan gagah dan percaya diri, terbuka untuk umum, juga untuk warga yang berbeda keyakinan. Tionghoa muslim telah menjadi kategori sosial yang tidak asing lagi. Semaraklah dialog lintas budaya, lintas iman, dan lintas ideologi. Indonesia pun pelan-pelan kembali menemukan jati diri kebangsaannya yang hamemayu hayuning manungsa.

Saya kira, kebangsaaan yang selaras dengan kemanusiaan itulah yang menjadi cita-cita sekaligus citra diri Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar ialah keturunan Sunan Kalijaga, ulama yang dengan pendekatan budaya turut mengislamkan tanah Jawa. Akan tetapi, Ki Hadjar tidak menjadikan Islam sebagai identitas pribadi yang dipamer-pamerkan. Islam Ki Hadjar adalah islam yang esoteris, Islam yang sunyi, Islam yang subtantif, Islam yang menjadi jiwa bagi aktivisme politik dan pedagogisnya. Untuk tubuh aktivismenya, ia memilih Indonesia, sebuah universalisasi atau objektivikasi Islam pada tingkatnya yang radikal. Bukan tanpa alasan Ki Hadjar menjalankan gerakan transendentif tersebut.

Ki Hadjar menyaksikan bagaimana Belanda dengan gencar mengadakan klasifikisasi sosial berdasarkan ras dan agama secara ilmiah, politik, dan ekonomi di Hindia Belanda. Islam dipertentangkan dengan nonislam. Etnis jawa dipertentangkan dengan etnis nonjawa. Prasangka rasial dan agama diajarkan lewat pendidikan kolonial yang programatis dan sistematis. Potensi pemersatu dan resistensi yang terkandung dalam agama Islam dikebiri, bahkan ditiadakan. Gerakan kemerdekaan apa pun yang menggunakan Islam sebagai senjata ideologisnya pasti segera berakhir dalam kegagalan. Itulah yang terjadi pada Perang Diponegoro. Itulah pula yang dialami Sarekat Islam pada 1926.

Sementara itu, klasifikasi sosial belanda mematangkan mental kolonial dalam diri inlander. Dan di pihak lain, sistem pendidikan kolonial menyelenggarakan kurikulum tersembunyi yang bertujuan untuk melanggengkan mental kolonial tersebut. Mental kolonial menyebabkan inlander bersikap menjilat ke atas ke londo yang putih kulitnya, menginjak ke bawah ke kawula pidak-pedarakan yang tersia-siakan. Karena mental kolonial itu pula, seorang muslim menjadi mudah tersulut amarahnya hanya karena provokasi remeh-temeh, sehingga dia dengan bangga mengacung-acungkan senjata demi membunuh saudaranya sendiri yang nonmuslim; atau sebaliknya. Dengan gaya bertutur yang memikat, dalam tetralogi Burunya Pramoedya mengisahkan konflik horizontal di Jawa yang antara lain disebabkan oleh mengakarnya mental kolonial dalam diri inlander ini.

Pada kondisi demikian, ketika Islam-dalam-praktik sudah menjadi lawan dari humanitas, Islam tidak mungkin lagi dipakai sebagai senjata ideologis untuk merebut kemerdekaan. Maka, tidak dapat tidak, tinggal kebangsaan yang selaras dengan kemanusiaanlah yang dapat menjalankan tugas itu ketika komunisme telah menampakkan watak dehumanitasnya.

Perlu digarisbawahi, kebangsaan Ki Hadjar adalah kebangsaan yang selaras dengan kemanusiaan. Ia mencela Nazisme, penjelmaan politis dari ide kebangsaan yang sempit, buas, dan ganas, yang bertentangan dengan asas kemanusiaan. Pada titik ini, kita menemukan kesamaan pandangan antara Ki Hadjar dan Nelson Mandela. Namun demikian, kesamaan paling mendasar antara Ki Hadjar dan Mandela adalah cita-cita humanitas yang mereka perjuangkan dengan pengorbanan yang tidak main-main, cita-cita yang juga diperjuangkan dengan semangat jihad yang tinggi oleh Ahmad Dahlan dan Gus Dur. Saya memang tak pernah berjumpa dengan mereka. Saya hanya seorang awam yang tertarik dengan apa yang mereka rasakan, pikirkan, dan lakukan. Itu saja.

30/08/13

tazkiyah


BIASANYA, kata Fazlur Rahman, al-nafs al-lawwamah diterjemahkan menjadi the blaming soul, tukang kritik, tukang protes, tukang tuduh, yang sering berkeluh kesah dan yang suka mengambinghitamkan pihak lain. Dia mempersepsi dirinya sebagai korban. Sebab itu, dia tidak mau menerima fakta keterlemparan atau keterjatuhan yang dialaminya. Kesalahan selalu ada pada orang lain, sementara kebenaran semata-mata miliknya. Dia tidak kerasan tinggal di dunianya saat ini, selalu ingin dan ingin mencari dunia lain yang menurutnya lebih baik dan sempurna, yang disangkanya akan menjadi dunia yang paling sesuai untuknya.

The blaming soul adalah tipe manusia pembangkang dan pemberontak. Kritisisme dan aktivisme memang merupakan karakternya yang dominan, tetapi justru dua sifat itu membentuknya menjadi diktator yang zalim, menjadi seorang “mufsid”, karena apa yang baik dalam pandangannya belum tentu baik dalam pandangan yang lain, lagipula belum tentu sejalan dengan kemaslahatan bersama. Dunia baru yang direkonstruksinya ternyata tidak lebih baik daripada dunianya yang lama. Setelah menumbangkan sang tiran, dia malah menjadi tiran berikutnya yang lebih tiranik daripada tiran sebelumnya.

Kebalikan dari the blaming soul adalah the satisfied soul atau al-nafs al-muthmainnah, jiwa yang sudah menemukan rumahnya, tempat peristirahatannya. Rumah itu ditemukan tidak dengan mencarinya ke mana pun, tetapi dengan bersukur, berhenti, berdiam (wuquf), menerima secara kreatif dunia tempat hidupnya sekarang, bagaimana pun keadaan dunia tersebut.

Namun demikian, the satisfied soul bukanlah fatalis yang pasif karena satisfaction itu adalah kualitas mental yang dibutuhkan agar dia dapat mereformasi dunia yang didiaminya sesuai dengan maksud penciptaan, dengan jalan tanpa kekerasan, dengan berkat dan rahmat Tuhan. Di lingkungan pelaku spiritual, ada keyakinan bahwa ketika kita memperbaiki diri, yakni dengan melatih mental untuk mencapai kualitas the satisfied soul, pada saat yang sama kita sedang memperbaiki lingkungan di sekitar kita, memperbaiki dunia tempat kita hidup. Reformasi dunia menjadi konsekuensi logis dari reformasi diri.

Makna Ikhlas
Tazkiyah al-nafs adalah istilah teknis yang digunakan umat Islam untuk menggambarkan latihan mental tersebut. “Tazkiyah” merupakan konsep klasik yang maknanya sudah dikenal sejak zaman Ibrahim. Waktu merenovasi “rumah Tuhan”, Ibrahim bersama anaknya Islamil berdoa supaya Tuhan kelak mengutus seorang rasul kepada anak cucunya yang hidup di tanah Arab. Salah satu misi yang diemban rasul yang nanti diketahui bernama Muhammad itu adalah misi purifikasi atau tazkiyah.

Tazkiyah dapat ditafsirkan sebagai pembersihan hati dari unsur-unsur selain Tuhan yang Esa. Ketika menempuh laku tazkiyah, kita menjalankan takhlishh, upaya melepaskan atau membebaskan diri dari penyembahan kepada banyak Tuhan atau kepada Tuhan yang salah.

Inilah kiranya makna pokok dari “ikhlas”, nilai yang posisinya termasuk sentral dalam sistem etika Islam. Ini juga menjelaskan mengapa surat terakhir al-Qur’an, yaitu surat Qul Hu, yang berisi doktrin pengesaan Tuhan, juga dinamai surat al-Ikhlas. Akan tetapi, makna “ikhlas” kemudian menyempit. “Ikhlas” sekadar menjadi antonim riya’, perilaku memamerkan kebaikan, keutamaan, kemampuan, prestasi, pencapaian, dan sebagainya, gejala etis yang erat kaitannya dengan kesombongan (takabur).

Riya’ memang tidak menunjukkan keikhlasan karena pelaku riya’ mengerjakan sesuatu tidak untuk, demi, dan karena Tuhan, melainkan untuk memperoleh apresiasi dari manusia atau untuk mendapatkan sesuatu selain ridha Tuhan. Jadi, di dalam hatinya masih bersemayam tuhan-tuhan lain selain Tuhan yang Esa. Tuhan lain itu misalnya pengakuan, pujian, atau keuntungan material, yang jika dirunut lebih cermat semua itu ternyata menandakan adanya egosentrisme, sikap menjadikan diri sendiri sebagai penentu kebenaran mutlak bahkan sebagai kebenaran itu sendiri, sebagai Tuhan.

Karena itu, takhlish juga dapat didefinisikan sebagai upaya untuk mengikis habis egosentrisme dan menjaga jarak dari hal-hal duniawi tanpa menolak dunia itu sendiri. Hasil dari laku takhlish adalah akhlak ikhlas—ini jika ikhlas tidak dimengerti sebagai proses karena pada hakikatnya ikhlas itu adalah suatu proses yang tidak kunjung rampung sehingga “ikhlas” menjadi identik dengan “takhlish”. Orang yang ikhlas memiliki the satisfied soul karena dia tidak pernah resah oleh “pandangan manusia” terhadapnya yang terus-menerus berubah; tidak dikendalikan oleh penilaian publik yang arbitrer, cenderung tidak adil, dan labelling.

Tazkiyah Struktural
Takhlish, sebagai metode tazkiyah yang paling asasi, di samping mengandung aspek individual, juga mengandung aspek sosial. Teologi Islam tidak menerima sekulerisme dan individualisme. Doktrin Islam menuntun umat Islam untuk berpikir global, universal, holistik, integral, dan struktural. Sebagai bukti, berbeda dengan tempat ibadah agama lain, fungsi masjid meliputi urusan dunia dan akhirat, privat dan publik, agama dan non-agama. Pada masa Muhammad, masjid menjadi rumah tempat penampungan yatim-piatu, fakir-miskin, dan gelandangan, sekaligus kantor legislatif, eksekutif, dan yudikatif, markas tentara, lembaga pengajaran, dan lain-lain. Segala aktivitas kehidupan di Madinah agaknya berpusat di masjid. Masjid adalah pusat kebudayaan dalam maknanya yang luas. Karena itu, tazkiyah yang umumnya dipahami sebagai laku personal—jadi disamakan dengan laku mistik dalam spiritualisme Jawa atau kaum teosofi—sebenarnya merupakan gerakan sosial yang memicu terjadinya, atau malah menciptakan, perubahan-perubahan struktural.

Barangkali, kelompok sosial yang melancarkan perlawanan yang paling radikal dan paling masif terhadap kolonialisme Belanda di Indonesia, sebelum bangkitnya perlawanan modern yang dipimpin oleh para intelektual yang memperoleh pendidikan Eropa, adalah komunitas-komunitas tarekat yang dengan intensif mengajarkan laku tazkiyah dalam teori dan praktik. Perang Jawa atau Perang Diponegoro, misalnya, tampaknya merupakan perang yang mengandung maksud tazkiyah, meskipun tujuan itu tidak dieksplisitkan. Sebagian dari para komandan perang yang kelak mengubah wajah Hindia-Belanda ini adalah pemimpin komunitas tarekat, Diponegoro sendiri kabarnya ialah tokoh tarekat yang terkenal dan kharismatis. “Perang tazkiyah” melawan penjajah yang berpola sporadis ini masih berlangsung hingga paruh pertama abad ke-20. Pada saat itu, Jawa menyaksikan kelahiran organisasi-organisasi politik modern, sementara Tungkal, yang mungkin dapat dikatakan sebagai pusat penyebaran tarekat qodariyah-naqsyabandiyah di provinsi Jambi, menyaksikan munculnya Barisan Selempang Merah, sebuah gerakan anti-kolonial berbasis tarekat yang mengadakan perlawanan terorganisir terhadap Belanda.

Demikian pula, rangkaian perang yang dilancarkan oleh umat Islam generasi pertama tentu saja mesti dikategorikan sebagai “perang tazkiyah” melawan kekafiran—bukan melawan orang-orang kafir (!)—dan untuk menumpas kemusyrikan—bukan untuk menumpas orang-orang musyrik (!). Beberapa saat setelah perang Badar, perang terbesar yang mereka hadapi, Muhammad mengingatkan bahwa kita memang baru menyelesaikan sebuah perang besar, tetapi kita sedang akan memasuki perang yang lebih besar (al-jihad al-akbar), yaitu perang melawan diri sendiri, melawan hawa nafsu yang bersarang dalam diri sendiri, perang dalam rangka membersihkan hati, melepaskan tuhan-tuhan lain selain Tuhan yang Esa yang terdapat di dalam hati. Meskipun banyak orang kafir telah tewas dalam peperangan, tetapi kekafiran belum lagi sirna, bahkan diakui atau tidak, virus kekafiran justru terdapat dalam jiwa umat Islam.

Perang bukan satu-satunya jalan untuk melaksanakan tazkiyah struktural, malah perang merupakan jalan terakhir yang baru boleh ditempuh jika jalan-jalan damai dan formatif sudah buntu. Program tazkiyah struktural adalah apa yang disebut Kuntowijoyo sebagai objektivikasi: pelembagaan nilai-nilai universal Islam dalam wujudnya yang objektif yang diterima oleh semua kalangan keagamaan. Amar ma’ruf nahi mungkar adalah ungkapan al-Qur’an yang digunakan untuk menunjukkan upaya pelembagaan nilai-nilai itu.

Dengan demikian, apabila Muhammad mendirikan struktur politik semacam negara di Madinah, maka apa yang dilakukan Muhammad itu jelas merupakan laku tazkiyah dalam arti sosialnya. Negara tersebut memungkinkan umat Islam beribadah kepada Tuhannya yang Esa tanpa diteror oleh pihak mana pun. Negara Madinah-nya Muhammad menjamin kebebasan beribadah. Negara tersebut juga memungkinkan umat Islam menegakkan agamanya yang rahmatan lil alamin, yang memayu hayuning manungsa lan buwana, yang mengayomi umat-umat agama lain, dan yang, karena itu, menjamin pula kebebasan beribadah umat agama lain. Negara tersebut, pendek kata, memungkinkan setiap muslim memiliki akhlak ikhlas karena memang didirikan dan dijalankan untuk tujuan itu.