15/04/13

Apresiasi Cerpen 1



Seribu Kunang-kunang di Manhattan

oleh: Umar Kayam

Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segalas Martini. Mereka sama-sama memandang ke luar jendela.

“Bulan itu ungu, Marno.”

“Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu?”

“Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?”

“Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?”

“Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-ng-u! U-ng-u! Ayolah, bilanglah, ungu!”

“Kuning keemasan!”

“Setan! Besok aku bawa kau ke dokter mata.”

Marno berdiri, pergi ke dapur untuk menambah air serta es ke dalam gelasnya, lalu dia duduk kembali di sofa di samping Jane. Kepalanya sudah terasa tidak berapa enak.

“Marno, Sayang.”

“Ya, Jane.”

“Bagaimana Alaska sekarang?”

“Alaska? Bagaimana aku tahu. Aku belum pernah ke sana.”

“Maksudku hawanya pada saat ini.”

“Oh, aku kira tidak sedingin seperti biasanya. Bukankah di sana ada summer juga seperti di sini?”

“Mungkin juga. Aku tidak pernah berapa kuat dalam ilmu bumi.  Gambaranku tentang Alaska adalah satu padang yang amat l-u-a-s dengan salju, salju, dan salju. Lalu di sana-sini rumah-rumah orang Eskimo bergunduk-gunduk seperti es krim panili.”

“Aku kira sebaiknya kau jadi penyair, Jane. Baru sekarang aku mendengar perumpamaan yang begitu puitis. Rumah Eskimo seperti es krim panili.”

“Tommy, suamiku, bekas suamiku, kau tahu .... Eh, maukah kau memberikan aku segelas ... ah, kau tidak pernah bisa bikin martini. Bukankah kau selalu bingung, martini itu campuran gin dan vermouth atau gin dan bourbon? Oooooh, aku harus bikin sendiri lagi ini ....  Uuuuuup ....”

Dengan susah payah Jane berdiri dan dengan berhati-hati jalan ke dapur. Suara gelas dan botol beradu, terdengar berdentang-dentang.

Dari dapur, Jane mencoba berbicara lagi.

“Tommy, suamiku, bekas suamiku, kau tahu ... Marno, Darling.”

“Yaaa, ada apa dengan dia?”

“Aku merasa dia ada di Alaska sekarang.”

Pelan-pelan Jane berjalan kembali ke sofa, kali ini duduknya mepet Marno.

“Di Alaska. Coba bayangkan, di Alaska.”

“Tapi minggu yang lalu kau bilang dia ada di Texas atau di Kansas. Atau mungkin di Arkansas.”

“Aku bilang, aku me-ra-sa Tommy berada di Alaska.”

“Oh.”

“Mungkin juga dia tidak di mana-mana.”

Marno berdiri, berjalan menuju ke radio lalu memutar knopnya. Diputar-putarnya beberapa kali knop itu hingga mengeluarkan campuran suara-suara yang aneh. Potongan-potongan lagu yang tidak tentu serta suara orang yang tercekik-cekik. Kemudian dimatikannya radio itu dan dia duduk kembali di sofa.

“Marno, Manisku.”

“Ya, Jane.”

“Bukankah di Alaska, ya, ada adat menyuguhkan istri kepada tamu?”

“Ya, aku pernah mendengar orang Eskimo dahulu punya adat-istiadat begitu. Tapi aku tidak tahu pasti apakah itu betul atau karangan guru antropologi saja.”

“Aku harap itu betul. Sungguh, Darling, aku serius. Aku harap betul.”

“Kenapa?”

“Sebab, seee-bab aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan di Alaska. Aku tidak maaau.”

“Tetapi bukankah belum tentu Tommy berada di Alaska dann belum tentu pula sekarang Alaska dingin.”

Jane memegang kepala Marno dan dihadapkannya muka Marno ke mukanya. Mata Jane memandang Marno tajam-tajam.

“Tetapi aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan! Maukah kau?”

Marno diam sebentar. Kemudian ditepuk-tepuknya tangan Jane.

“Sudah tentu tidak, Jane, sudah tentu tidak.”

“Kau anak yang manis, Marno.”

Marno mulai memasang rokok lalu pergi berdiri di dekat jendela. Langit bersih malam itu, kecuali di sekitar bulan. Beberapa awan menggerombol di sekeliling bulan sehingga cahaya bulan jadi suram karenanya. Dilongokkannya kepala ke bawah dan satu belantara pencakar langit tertidur di bawahnya. Sinar bulan yang lembut itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong tiba-tiba terasa merangkak ke dalam tubuhnya.

“Marno.”

“Ya, Jane.”

“Aku ingat Tommy pernah mengirimi aku sebuah boneka Indian yang cantik dan Oklahoma City beberapa tahun yang lalu. Sudahkan aku ceritakan hal ini kepadamu?”

“Aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”

“Oh.”

Jane menghirup martini-nya empat hingga lima kali pelan-pelan. Dia sendiri tidak tahu sudah gelas keberapa martini yang dipegangnya itu.

Lagi pula tidak seorang pun yang memedulikan.

“Eh, kau tahu, Marno?”

“Apa?”
Empire State Building sudah dijual.”

“Ya, aku membaca hal itu di New York Times.”

“Bisakah kau membayangkan punya gedung yang tertinggi di dunia?”

“Tidak. Bisakah kau?”

“Bisa, bisa.”

“Bagaimana?”

“Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa menemukan pikiran-pikiran yang cabul dan lucu. Tapi sekarang tahulah ....”

Lampu-lampu yang berkelipan di bentara pencakar langit yang kelihatan dari jendela mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di sawah embahnya di desa.

“Oh, kalau saja ....”

“Kalau saja apa, Kekasihku?”

“Kalau saja ada suara jangkrik mengerik dan beberapa katak menyanyi di luar sana.”

“Lantas?”

“Tidak apa-apa. Itu akan membuat aku lebih senang sedikit.”

“Kau anak desa yang sentimental!”

“Biar!”

Marno terkejut karena kata “biar” itu terdengar keras sekali keluarnya.

“Maaf, Jane. Aku kira scotch yang membuat itu.”

“Tidak, Sayang. Kau merasa tersinggung. Maaf.”

Marno mengangkat bahunya karena dia tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuat dengan maaf yang berbalas maaf itu.

Sebuah pesawat jet terdengar mendesau keras lewat di atas bangunan apartemen Jane.

“Jet keparat!”

Jane mengutuk sambil berjalan terhuyung ke dapur. Dari kamar itu Marno mendengar Jane keras-keras membuka keran air. Kemudian dilihatnya Jane kembali, mukanya basah, di tangannya segelas air es.

“Aku merasa segar sedikit.”

Jane merebahkan badannya di sofa, matanya dipejamkan, tapi kakinya disepak-sepakkannya ke atas. Lirih-lirih dia mulai menyanyi: deep blue sea, baby, deep blue sea, deep blue sea, baby, deep blue sea ....

“Pernahkah kau punya keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telanjang lalu membiarkan badanmu tenggelam  dalaaammm sekali di dasar laut yang teduh itu, tetapi tidak mati dan kau bisa memandang badanmu yang tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?”

“He? Oh, maafkan aku kurang menangkap kalimatmu yang panjang itu. Bagaimana lagi, Jane?”

“Oh, lupakan saja. Aku cuma ngomong saja. Deep blue sea, baby, deep blue sea, deep blue sea, baby, deep blue sea ....

“Marno.”

“Ya.”

“Kita belum pernah jalan-jalan ke Central Park Zoo, ya?”

“Belum, tapi kita sudah sering jalan-jalan ke park-nya.”

“Dalam perkawinan kami yang satu tahun delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy pernah mengajakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, aku ingat kami berdebat di muka kandang kera. Tommy bilang simpanse adalah kera yang paling dekat kepada manusia, aku bilang gorila. Tommy mengatakan bahwa sarjana-sarjana sudah membuat penyelidikan yang mendalam tentang hal itu, tetapi aku tetap menyangkalnya karena gorila yang ada di muka kami mengingatkan aku pada penjaga lift kantor Tommy. Pernahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”

“Oh, aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”

“Oh. Marno, semua ceritaku sudah kau dengar semua. Aku membosankan, ya, Marno? Mem-bo-san-kan.”

Marno tidak menjawab karena tiba-tiba saja dia merasa seakan-akan istrinya ada di dekat-dekat dia di Manhattan malam itu. Adakah penjelasannya bagaimana satu bayangan yang terpisah beribu-ribu kilometer bisa muncul begitu pendek?

“Ayolah, Marno. Kalau kau jujur tentulah kau akan mengatakan bahwa aku sudah membosankan. Cerita yang itu-itu saja yang kau dengar setiap kita ketemu. Membosankan, ya? Mem-bo-san-kan!”

“Tapi tidak semua ceritamu pernah aku dengar. Memang beberapa ceritamu sudah beberapa kali aku dengar.”

“Bukan beberapa, Sayang. Sebagian besar.”

“Baiklah, taruhlah sebagian terbesar sudah aku dengar.”

“Aku membosankan jadinya.”

Marno diam tidak mencoba meneruskan. Disedotnya rokoknya dalam-dalam, lalu dihembuskannya lagi asapnya lewat mulut dan hidungnya.

“Tapi Marno, bukankah aku harus berbicara? Apa lagi yang bisa kukerjakan kalau aku berhenti bicara? Aku kira Manhattan tinggal lagi kau dan aku yang punya. Apalah jadinya kalau salah seorang pemilik pulau ini jadi capek berbicara? Kalau dua orang terdampar di satu pulau, mereka akan terus berbicara sampai kapal tiba, bukan?”

Jane memejamkan matanya dengan dadanya lurus-lurus telentang di sofa. Sebuah bantal terletak di dadanya. Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar, lalu duduk kembali di sofa.

“Marno, kemarilah, duduk.”

“Kenapa? Bukankah sejak sore aku duduk terus di situ.”

“Kemarilah, duduk.”

“Aku sedang enak di jendela sini, Jane. Ada beribu kunang-kunang di sana.”

“Kunang-kuang?”

“Ya.”

“Bagaimana rupa kunang-kunang itu? Aku belum pernah lihat.”

“Mereka adalah lampu suar kecil-kecil sebesar noktah.”

“Begitu kecil?”

“Ya. Tetapi kalau ada seribu kunang-kunang hinggap di pohon pinggir jalan, itu bagaimana?”

“Pohon itu akan jadi pohon-hari-natal.”

“Ya, pohon-hari-natal.”

Marno diam lalu memasang rokok sebatang lagi. Mukanya terus menghadap ke luar jendela lagi, menatap ke satu arah yang jauh entah ke mana.

“Marno, waktu kau masih kecil ... Marno, kau mendengarkan aku, kan?”

“Ya.”

“Waktu kau masih kecil, pernahkah kau punya mainan kekasih?”

“Mainan kekasih?”

“Mainan yang begitu kau kasihi hingga ke mana pun kau pergi selalu harus ikut?”

“Aku tidak ingat lagi, Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar, aku suka main-main dengan kerbau kakekku, si Jilamprang.”

“Itu bukan mainan, itu piaraan.”

“Piaraan bukankah untuk mainan juga?”

“Tidak selalu. Mainan yang paling aku kasihi dahulu adalah Uncle Tom.”

“Siapa dia?”

“Dia boneka hitam yang jelek sekali rupanya. Tetapi aku tidak akan pernah bisa tidur bila Uncle Tom tidak ada di sampingku.”

“Oh, itu hal yang normal saja, aku kira. Anakku juga begitu. Punya anakku anjing-anjingan bernama Fifie.”

“Tetapi aku baru berpisah dengan Uncle Tom sesudah aku ketemu Tommy di High School. Aku kira, aku ingin Uncle Tom ada di dekat-dekatku lagi sekarang.”

Diraihnya bantal yang ada di sampingnya, kemudian digosok-gosokkannya pipinya pada bantal itu. Lalu tiba-tiba dilemparkannya lagi bantal itu ke sofa dan dia memandang kepada Marno yang masih bersandar di jendela.

“Marno, Sayang.”

“Ya.”

“Aku kira cerita itu belum pernah kau dengar, bukan?”

“Belum, Jane.”

“Bukankah itu ajaib? Bagaimana aku sampai lupa menceritakan itu sebelumnya.”

Marno tersenyum.

“Aku tidak tahu, Jane.”

“Tahukah kau? Sejak sore tadi baru sekarang kau tersenyum. Mengapa?”

Marno tersenyum.

“Aku tidak tahu, Jane. Sungguh.”

Sekarang Jane ikut tersenyum.

“Oh, ya, Marno, manisku. Kau harus berterima kasih kepadaku. Aku telah menepati janjiku.”

“Apakah itu, Jane?”

“Piyama. Aku telah belikan kau piyama, tadi. Ukuranmu medium-large, kan? Tunggu, ya ....”

Dan Jane, seperti seekor kijang yang mendapatkan kembali kekuatannya sesudah terlalu lama berteduh, melompat-lompat masuk ke dalam kamarnya. Beberapa menit kemudian dengan wajah berseri dia keluar kembali dengan sebuah bungkusan di tangan.

“Aku harap kau suka pilihanku.”

Dibukanya bungkusan itu dan dibeberkannya piyama itu di dadanya.

“Kau suka dengan pilihanku ini?”

“Ini piyama yang cantik, Jane.”

“Akan kau pakai saja malam ini. Aku kira sekarang sudah cukup malam untuk berganti dengan piyama.”

Marno memandang piyama yang ada di tangannya dengan keraguan.

“Jane.”

“Ya, Sayang.”

“Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur di sini malam ini.”

“Oh? Kau banyak kerja?”

“Eh, tidak seberapa sesungguhnya. Cuma tak tahulah ....”

“Kau merasa tidak enak badan?”

“Aku baik-baik saja. Aku ... eh, tak tahulah, Jane.”

“Aku harap aku mengerti, Sayang. Aku tak akan bertanya lagi.”

“Terima kasih, Jane.”

“Aku bungkus saja piyamamu!”

“Terserahlah. Cuma aku kira, aku tak akan membawanya pulang.”

“Oh.”

Pelan-pelan dibungkusnya kembali piyama itu lalu dibawanya masuk ke dalam kamarnya. Pelan-pelan Jane keluar kembali dari kamarnya.

“Aku kira, aku pergi saja sekarang, Jane.”

“Kau akan menelepon aku hari-hari ini, kan?”

“Tentu, Jane.”

“Kapan aku bisa mengharapkan itu?”

“Eh, aku belum tahu lagi, Jane. Segera aku kira.”

“Kau tahu nomorku kan? Eldorado.”

“Aku tahu, Jane.”

Kemudian pelan-pelan diciumnya dahi Jane, seperti dahi itu terbuat dari porselen. Lalu menghilanglah Marno di balik pintu, langkahnya terdengar sebentar dari dalam kamar turun tangga.

Di kamarnya, di tempat tidur sesudah minum beberapa butir obat tidur, Jane merasa bantalnya basah.


Diambil dari Seribu Kunang-kunang di Manhattan, Kumpulan Cerpen Umar Kayam (Pustaka Utama Grafiti, 2009) hlm. 1-11.


Apresiasi

Potret Diri yang Retak

Cerpen di atas barangkali merupakan cerpen Umar Kayam yang paling populer, setidaknya paling populer bagi saya. Saat belajar aperiasi dan kajian prosa fiksi, tanpa bosan guru kami merapal judulnya, Seribu Kunang-kunang di Manhattan, menanyakan kepada kami siapa penulisnya, serta menjelaskan isinya serba sedikit. Penggalan cerpen itu muncul dalam soal ujian kami. Anehnya, guru kami itu tidak mengarahkan kami supaya menganalisis sendiri cerpen tersebut untuk kemudian diobrolin bareng-bareng.

Hasilnya bisa diterka: adalah keberuntungan yang lumayan besar bila kami masih ingat judulnya dan siapa penulisnya. Bagaimana pemaknaan kami atas cerpen itu, mohon jangan ditanyakan. Saya jamin, Anda pasti kecewa mendengar jawabannya. Kemusproan, kerugian, dan pemborosan memang acapkali menyelusup masuk ke dalam pengertian belajar.

Realitas pengajaran sastra seperti itu, yang biasanya tejadi di lembaga pendidikan formal, kabarnya sudah merupakan gejala yang jamak dan lazim. Sebab itu, pada beberapa kasus ia menjadi kebenaran yang haram untuk diganggu gugat. Metode pengajaran sastra yang tidak seperti itu, artinya yang bermakna, kreatif, dan produktif, merupakan penyimpangan. Dianggap sebagai masalah. Mesti dibereskan, disingkirkan, dijauhi, ditinggalkan.

Hidup di dalam dunia yang normal yang tanpa penyimpangan memang lebih aman dan nyaman. Akan tetapi, orang yang hidup di dalamnya tampaknya asing dengan istilah “kemajuan” dan “kualitas”. Normalitas pada kenyataannya sering menjadi antonim kebudayaan dalam pengertiannya yang dinamis, sedangkan kebudayaan dan sastra berada dalam medan makna yang sama. Sebagai proses, sastra bertentangan dengan, atau sekurang-kurangnya merupakan kontras dari, normalitas. Lembaga pendidikan formal biasanya mengingkari kenyataan itu.

Di sini saya tidak akan ngomong muluk-muluk soal, dan sok mengkritisi, pengajaran sastra. Saya sadar, saya tidak ahli dalam bidang itu. Sebagai pembaca awam, saya hanya mau mengapresiasi Seribu Kunang-kunang di Manhattan tanpa kerangka kerja yang gamblang dan perangkat teoritis yang rujukannya dapat Anda periksa.

Apresiasi saya ini boleh jadi tak menarik buat Anda. Tidak tertutup kemungkinan, apa yang akan saya kemukakan sudah dikemukakan oleh apresian lain.

Menemukan makna baru cerpen di atas bukan tujuan saya. Sebagai pembaca pemula, tujuan apresiasi saya sederhana dan sepele, yaitu mengakrabi Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Itu saja. Upaya pengakraban tersebut saya lakukan secara subyektif, kadang-kadang dengan kesadaran yang cukup, kadang-kadang tidak. Karena itu, catatan ini sepertinya akan runtuh jika diuji dengan teori menulis yang benar dan baik. Sewaktu-waktu statusnya bisa jatuh menjadi sekadar coretan seorang peracau yang tanpa fokus, penuh kontradiksi, dan tidak tentu ujung pangkalnya.

***

Seribu Kunang-kunang di Manhattan diselimuti hawa konflik. Tetapi konflik tersebut diungkapkan secara halus. Luput dari perhatian pembaca yang tidak cermat. Memang cerpen tersebut terlihat menghadirkan perjumpaan dan harmoni, tetapi itu semu belaka.

Cerpen dibuka dengan perjumpaan yang takpasti, yang sangat renggang dan berjarak, ditutup dengan perpisahan yang hampir pasti. Beberapa kali perjumpaan yang sejati dicoba dibangun. Selalu gagal. Dua tokoh utamanya, Marno dan Jane, terkurung di dalam penjara pikiran yang mereka konstruksi sendiri. Walaupun mereka berinteraksi dan berkomunikasi, pada  hakikatnya satu sama lain tidak saling menyapa.

Konflik yang diungkapkan secara halus itu sudah tercermin dari judulnya, Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Manhattan adalah kota modern yang terletak di Amerika. Kunang-kunang adalah binatang ndeso, yang mewakili identitas tradisi yang dipandang sebagai kuil tempat bersemayam segala yang mistis, irasional, dan kuno.

Jadi, mungkinkah ada kunang-kunang di Manhattan? Rasanya mustahil—khususnya mustahil bagi saya yang belum pernah menginjak Manhattan. Kunang-kunang tidak mungkin melancong ke Manhattan. Kalau ada kunang-kunang yang menyaru pelesir ke Manhattan, itu pasti kunang-kunang yang masih bermental kolonial. Kunang-kunang yang lupa daratan. Jelasnya, di Manhattan tidak ada kunang-kunang, atau diasumsikan tidak ada kunang-kunang. Yang ada hanya benda tak bernyawa yang mirip kunang-kunang: “lampu suar kecil-kecil sebesar noktah”.

Judul cerpen mengandung konflik internal. Mengisyaratkan adanya dua kubu yang baku hantam di dalam sebuah diri. Menyangsikan harmoni dan meragukan perjumpaan. Judul yang berupa kalimat yang secara semantis retak itu mengantar pembaca memasuki konflik panjang yang dihabisi dengan perpisahan. Mungkin perpisahan selamanya.

Nama kedua tokoh utama cerpen turut mengentalkan hawa konflik. Marno dan Jane adalah dua nama dari dua dunia berbeda. Marno dari dunia agraris Jawa, Jane dari dunia metropolis Barat. Namun demikian, pembedaan tersebut relatif sifatnya. Hanya relevan diterapkan pada cerpen ini, tidak dapat dimutlakkan dan dirampatkan. Bisa jadi, ada pula Marno yang lahir misalnya di Paris atau Jane yang lahir misalnya di  Banyumas. Terlepas dari hal itu, pemilihan nama tokoh utama sama fungsinya dengan pemilihan judul, yaitu membangun konflik yang halus.

Konflik yang halus tersebut juga muncul pada paragraf pertama. Umar Kayam memulai Seribu Kunang-kunang di Manhattan dengan paragraf yang maknanya berlapis ganda. Pada lapis luar, Marno dan Jane seolah-olah dipertemukan dan dipersatukan oleh kesamaan-kesamaan. Mereka sama-sama duduk bermalas-malasan di sofa, sama-sama ditemani segelas minuman, dan sama-sama memandang ke luar jendela.

Akan tetapi, makna yang disajikan pada lapis permukaan itu ternyata mengecoh. Bila kita melanjutkan pembacaan menembus lapis permukaan menuju lapis dalam, kesamaan-kesamaan itu menjadi tidak nyata. Pada lapis dalam, tertangkap bayangan konflik yang samar, tetapi tak terbantah. Benar bahwa Marno dan Jane sama-sama ditemani segelas minuman, tetapi Marno ditemani segelas scotch sedangkan Jane segelas Martini. Mereka dipisahkan oleh pilihan yang berbeda. Itu merupakan potensi konflik yang dapat meledak kapan saja, bisa pula merupakan konflik yang tersembunyi, yang tidak diakui baik oleh Marno maupun Jane.

Paragraf pertama diikuti dialog pendek. Konflik tersembunyi pada paragraf pertama sedikit demi sedikit dieksplisitkan melalui dialog tersebut. Dialog itu tidak mencapai titik temu. Hanya dialog semu. Marno dan Jane sesungguhnya tidak bertemu. Tidak ada perjumpaan sejati. Masing-masing tenggelam dalam pikiran dan perasaannya sendiri. Dialog tidak menghapus jarak. Kesenjangan antara Marno dan Jane tambah lebar. Dialog gagal menjadi dialog karena gagal melaksanakan tugas komunikatifnya.

Marno, lebih-lebih Jane, bukan tak menyadari hal ini. Jane, yang tampaknya mabuk, berulang kali berusaha membangun dialog yang berhasil. Usahanya itu justru membuat suasana kian beku dan hampa, bahkan memanas. Masalahnya, Jane mengajak Marno, kekasihnya, untuk mengenang bekas suaminya, Tommy, yang keberadaannya sudah tidak mereka ketahui. Jane mengenang Tommy bersama dan di depan Marno. Masalah selanjutnya, Jane sudah menceritakan hal yang sama tentang Tommy beberapa kali. Tidak hanya bosan, Marno mungkin juga jeleh dan jengkel mendengar cerita tentang Tommy yang itu-itu melulu. Tetapi Marno bertahan menjaga tensi suasana. Dia tidak menyatakan kemasygulannya secara terang-terangan dan garang.

Marno sendiri sebetulnya tidak hadir seutuhnya di sana. Tubuh Marno memang di dalam apartemen Jane yang terletak di Manhattan. Namun, jiwa Marno melayang pulang ke kampung halamannya. Dia terkenang akan kunang-kunang di desanya, jangkerik yang mengerik, dan katak yang bernyanyi. Diam-diam Marno juga terkenang akan isterinya.

Semua itu tidak Marno temukan di Manhattan. Di Manhattan Marno hanya menemukan lampu-lampu listrik, gedung-gedung pencakar langit, scotch dan Martini, dan Jane, perempuan yang bukan isterinya, yang ingin bercinta dengannya tetapi masih mencintai bekas suaminya, yang agaknya membayangkan Marno sebagai Tommy. Di Manhattan Marno hanya menemukan sandiwara, kepura-puraan, kepalsuan, ketidakjujuran, kesemuan. Ini membuat Marno merasa hampa. Perasaan hampa Marno dilukiskan menggunakan narasi yang padat dan kuat.

Marno mulai memasang rokok lalu pergi berdiri di dekat jendela. Langit bersih malam itu, kecuali di sekitar bulan. Beberapa awan menggerombol di sekeliling bulan sehingga cahaya bulan jadi suram karenanya. Dilongokkannya kepala ke bawah dan satu belantara pencakar langit tertidur di bawahnya. Sinar bulan yang lembut itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong tiba-tiba terasa merangkak ke dalam tubuhnya.

Marno berada pada puncak keretakan jiwanya. Dia merasakan daya tarik kampung dan daya tolak Manhattan yang sama luar biasanya. Kampungnya seolah-olah melambai-lambai dari kejauhan, memanggilnya pulang. Manhattan serasa tidak menerimanya, mengusirnya.

Perasaan rindu dan hampa Marno merasuk ke dalam kata-kata yang dilontarkannya kepada Jane. “Kalau saja,” ucap Marno “ada beberapa suara jangkerik mengerik dan bebeapa katak menyanyi di luar sana”. Kata-kata itu mendorong Jane untuk menantang Marno. Oleh Jane Marno dinilai sebagai anak desa yang sentimental. Marno menyalak: “Biar”. Tantangan dibalas serangan. Mulai tercipta situasi perang terbuka. Konflik yang meningkat segera dipadamkan. Marno minta maaf kepada Jane. Jane minta maaf kepada Marno. Maaf yang berbalas maaf itu memang mendinginkan suasana, tetapi tidak mencairkan, malah membekukannya.

Konflik yang dipadamkan itu disambung dengan runtunan konflik halus berikutnya hingga menjelang akhir cerpen, yaitu ketika Marno, yang sedari awal pertemuan berwajah muram, memekarkan senyum pertamanya. Jane menafsirkan senyum tersebut sebagai tanda terbukanya pintu hati Marno untuk menerima ajakan bercintanya.

Tetapi Jane tampaknya masih ragu apakah tafsirannya benar atau prasangka belaka. Karena itu, Jane ingin memastikannya dengan berkata kepada Marno: “Tahukah kau? Sejak sore tadi baru sekarang kau tersenyum. Mengapa?” Mendengar pertanyaan Jane, Marno tersenyum sebelum menjawab begini: “Aku tidak tahu, Jane. Sungguh.” Jane tidak mencecar Marno dengan pertanyaan lagi, melainkan ikut tersenyum, puas dengan jawaban Marno dan dengan dua kali senyum kekasihnya. Senyum pun berbalas senyum.

Mungkin Jane menyimpulkan, saat itu adalah waktu yang cocok untuk rada terang-terangan mengajak Marno bercinta. Jane mengambil piyama yang baru dibelinya, menawarkannya kepada Marno. Sayang sekali, Marno menolaknya.

Ternyata kesimpulan Jane keliru. Marno tersenyum memang, bahkan dua kali. Namun tidak setiap senyum menandakan penerimaan, perdamian, perjumpaan sejati. Senyum Marno adalah senyum seorang ksatria yang merasa plong karena telah berhasil lolos dari keraguannya untuk menceburkan segenap dirinya ke dalam samudera peperangan. Senyum Marno adalah genderang perang terbuka yang ditabuh dengan keyakinan. Sekarang sudah jelas bahwa Marno merupakan lawan atau musuh Jane. Senyum Marno menandai klimaks konflik.

Marno tidak memilih Jane dan Manhattan. Marno tampaknya tidak memberi setetes harapan pun untuk Jane. Marno memilih kunang-kunang, jangkerik yang mengerik, katak yang bernyanyi, isterinya, kampung halamannya. Marno memilih kesejatian. Kini jiwa Marno kembali lengkap menyatu. Retak-retaknya telah direkatkan rapat-rapat. Tetapi Manhattan, tetapi Jane yang ditinggalkannya menjadi tidak pasti nasibnya. Dibelit ketidakpastian dan dililit harapan yang kandas, Jane meminum beberapa obat tidur setelah kepergian Marno. Jane merasa bantalnya basah.

***

Pusat cerita terletak pada Marno, pada jiwa Marno. Kehadiran Jane berfungsi untuk antara lain menguatkan karakter Marno. Jane adalah representasi dari Manhattan. Jane atau Manhattan tidak memberi apa pun kepada Marno selain kehampaan dan kepalsuan yang kemudian menyebabkan Marno mengalami keretakan diri. Gejala keretakan diri ini diungkapkan melalui judul yang secara semantis retak, narasi yang menyimpan konflik pada lapisan dalamnya dan melukiskan perasan hampa dengan padat dan kuat, dan dialog yang sarat dengan runtunan konflik halus yang tensinya naik-turun. Dengan demikian, ketiga hal itu—untuk dinyatakan secara terbalik—merefleksikan keretakan diri Marno.

Atas dasar itu, saya memberanikan diri untuk secara sementara menyimpulkan bahwa Seribu Kunang-kunang di Manhattan merupakan potret diri yang retak. Secara tekstual, diri yang retak tersebut adalah Marno. Tetapi secara metatekstual, rasanya tak salah-salah amat jika saya mencurigai bahwa diri yang retak tersebut adalah sang pengarangnya sendiri, Umar Kayam.

Itulah benang merah yang mampu saya tarik setelah saya mencoba mengakrabi Seribu Kunang-kunang di Manhattan. Benang merah tersebut barangkali menurut Anda polos dan sederhana lagi menyedarhanakan. Sebab itu, bila Anda berkenan menguji kekuatan benang merah saya, saya pasti menyambut ujian yang Anda lancarkan itu dengan tangan terbuka, dada lapang, dan haturan terima kasih.