03/08/15

senja

usia sejarah sudah tua. barangkali dia sekarang tengah berada pada senjakala. berdasarkan kalender masehi, sejarah telah berusia 2015 tahun. sementara itu, berdasarkan kalender hijriah, sejarah telah berusia 1436 tahun, satu setengah milenium. kalau kita menggunakan sistem penanggalan yang lain yang lebih tua, umur sejarah tampak lebih tua pula. belum lagi kalau kita menggunakan teori2 biologi, arkeologi, dan antropologi. tapi, agar tidak terdengar kelewat seram dan mencemaskan, saya berpatokan pada kalender masehi yang dengannya kita tahu bahwa umur sejarah telah dua milenium lebih dan kalender hijriah yang dengannya kita paham bahwa sejarah telah memasuki usia 1436.

jarak waktu sepanjang itu membuat kita telah bearda begitu jauh dari kemurnian teori2 kebudayaan yang diajarkan baik oleh baginda isa--yang kelahirannya menandai permulaan penanggalan masehi--dan baginda muhammad--yang diangkat sebagai dutasuci lebih satu dasawarsa sebelum bermulanya tahun pertama penanggalan hijriah. menggunakan idiom islam, barangkali kita tengah berada pada akhir zaman atau zaman akhir,  senjakala sejarah sebelum matahari kehidupan tenggelam dalam malam peraduannya.

apakah tanda2 yang menunjukkan telah rentanya sejarah? kita dapat menemukan penjelasan tentang hal ini tidak saja dalam kitab2 hadits, melainkan juga dalam pepatah-petitih yang diwariskan leluhur.

orang jawa akrab dengan pitutur arif berikut, sedemikian akrabnya sehingga menjadi lirik sebuah lagu tradisional populer.

yen pasar ilang kumandange, yen kali ilang kedunge;
wong wadon ilang wirange, wong lanang ilang perbawane;
enggal2 tapa lelana, njajah desa milang kori.

lebih-kurang, terjemahan bahasa indonesia pitutur arif di atas adalah sebagai berikut.

apabila pasar hilang kumandangnya, apabila sungai hilang hulunya;
perempuan hilang martabatnya, lelaki hilang wibawanya
segeralah bertapa kelana, menjelajah desa menghitung pintu.

apakah kumandang pasar sekarang hilang? tidak ada jawaban lain kecuali 'ya'. secara harfiah, kumandang pasar memang tidak hilang, malah sebaliknya, semakin riuh dan membahana. cobalah anda berjalan2 mengitari pasar tradisional beringharjo atau pasar modern ramayana, keduanya terletak di jalan malioboro, yogyakarta. di tempat-tempat tersebut, manusia berebut ruang hening untuk memperdengarkan suara. kita sukar sekali menemukan kesenyapan. dengan demikian, kalau kita memahami pernyataan pasar hilang kumandangnya secara harfiah seperti ini, maka jawaban untuk pertanyaan di atas adalah negatif.

akan tetapi, yang dimaksud oleh pitutur di atas bukan pengertian harfiah itu, tetapi pengertian struktural. kapitalisme lanjut (globalisasi) yang melanda negara2 dunia ketiga sejak puluhan tahun lalu telah berhasil, sebagaimana diisyaratkan jurgen habermas, menjadikan seluruh ruang kehidupan sebagai pasar, sebegitu berhasilnya sampai2 bourdeau mengistilahkan relasi sosial dan pencapaian intelektual sebagai kapital, terminologi yang dulunya hanya digunakan dalam pembicaraan ekonomi. jadi, kita telah memandang pergaulan sosial dan dunia ilmiah dengan nalar dagang. kita memperluas jaringan dan belajar di lembaga pendidikan pada akhirnya untuk memperoleh sukses material, satu2nya jenis kesuksesan yang direstui oleh kebudayaan modern.

ruang kehidupan lain yang secara menonjol telah menjadi pasar adalah ruang publik politik, di dalam mana terjadi pertukaran kapital dalam rangka tawar-menawar kekuasaan. contoh konkret, merupakan gejala jamak bahwa dalam pilkada raya 2015 ini hanya kandidat berduitlah yang dapat maju menjadi calon, dan berpeluang besar untuk menjadi, pemimpin daerah. pribadi tulus yang tak berduit sejak pagi buta sudah tersingkir dari gelanggang kompetisi.

itulah yang sesungguhnya terjadi dalam era pasar bebas: seluruh ruang kehidupan telah menjadi pasar. implikasinya, kumandang pasar hilang. sebab, semuanya adalah pasar. tidak hanya mengepung kita, pasar bahkan adalah kita. dalam diri kita terdapat pasar, yaitu nalar dagang yang bersemayam dalam alam bawah sadar kita. sedemikian intim dan manunggalnya kita dengan pasar sampai2 kita tidak mendengar kumandangnya yang menyerbu telinga. kita menjadi bagian dari pasar dan kumandang pasar itu sendiri. situasi ketakberjarakan dari pasar ini dulu, sebelum penyakit kapitalisme mewabah, kiranya tak pernah terjadi. dulu, kita berada di sini, sedangkan pasar berada nun jauh di sana, di suatu lokasi dari mana kumandang pasar kita dengar secara samar2.

akibat dari marketisasi kehidupan ini kita sudah mengerti: kebudayaan luluh-lantak. dari kebudayaan, yang tersisa hanya simbol2nya saja yang celakanya diperjualbelikan sebagai komoditas pariwisata. makna simbol2 itu sendiri tidak hidup lagi. kalau pun hidup, hanya dihayati oleh generasi tua yang tidak lama lagi meninggalkan kita, the lost generation, generasi yang kehilangan jati diri ini. maka, ketika pasar hilang kumandangnya, pada saat itulah berlangsung kondisi darurat budaya. jika tali nafas kebudayaan tidak segera disambung, kita terancam kehilangan akar eksistensial. kita lupa akan masa lalu sehingga gagal melangkah menuju masa depan yang dikehendaki langit. nasib kita sebagai kolektivitas sosial barangkali tidak akan berbeda jauh dari nasib malin kundang; atau nasib hanafi, tokoh durhaka dalam novel Salah Asuhan yang dikarang Abdul Muis.

hilangnya akar eksistensial, saya yakin itulah maksud aforisma kali ilang kedunge, sungai hilang hulunya. meskipun leluhur telah mewanti-wanti untuk menerapkan azaz kontinyuitas sebagai strategi kebudayaan, nyatanya kebudayaan kita pada umumnya berkembang hampir-hampir secara tidak sinambung. buktinya, bagian kecil dari kaum muda kita sekarang berupaya, dengan tertatih-tatih, untuk mengenal dan mempelajari kebudayaan leluhurnya sendiri--tanda gagalnya mekanisme pewarisan kebudayaan, sedangkan bagian terbesar dari kaum muda malah menghamba kepada kebudayaan asing yang diimpor khususnya oleh media. tidak mudah lagi membedakan mana orang eropa dan mana orang indonesia, kecuali bahwa orang indonesia berbicara dengan bahasa yang campur aduk: bahasa indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing--istimewanya bahasa inggris, digado2kan menjadi sebuah bahasa hibrid yang tak jelas bentuknya bahkan strukturnya.

tidak mudah pula membedakan perempuan eropa, korea, dan nusantara. sebab, seiring menggejalanya homogenisasi gaya hidup akibat globalisasi, ketiganya hanya punya sedikit perbedaan dalam gaya hidup. kita kadang mendengar keluhan dari generasi tua bahwa nenek2 kita semasa mudanya dulu begitu menjaga martabatnya, apa yang sukar ditemukan pada perempuan2 masa kini. penjagaan martabat tersebut tidak hanya terbit dari kesadaran sang perempuan, tetapi juga dilakukan oleh dan dijalankan sebagai sistem adat, dalam arti sistem sosial. kebanyakan budaya di nusantara memberikan kedudukan sangat tinggi, mulia, dan terhormat kepada perempuan. kebudayaan buddha di jambi menyimbolkan ilmu spiritual terpuncak--induk dari ilmu2 lain--yang dapat dicapai oleh manusia sebagai perempuan cantik jelita, prajnaparamita. jejak2 penyembahan terhadap dewi sri, perempuan dewi keseburan, masih tersisa di tanah jawa. saya khawatir--semoga kekhawatiran ini difalsifikasi kenyataan, mencermati ke mana arah perkembangan gaya hidup generasi saya, pada masa2 mendatang, martabat akan semakin tidak menjadi identitas bagi perempuan, wong wadon akan benar-benar ilang wirange.

wirang, leksikon jawa satu ini cukup memancing rasa penasaran. ia barangkali berasal dari kata wira', suatu variasi morfologis dari wara'. karena lidah jawa tidak fasih membunyikan wira', orang jawa pun mengucapkan wira' sebagai wirang. kesimpulan pseudo-etimologis ini spekulasi memang, tapi bukan spekulasi yang tak berguna. sebab, wira' dan wirang ternyata punya pertautan semantik. secara sederhana, wira' berarti menjaga diri dari yang halal agar tidak terjerumus ke dalam yang haram. membalas perbuatan jahat yang dilakukan orang lain, boleh-boleh saja. tapi, orang yang wara' tidak bersikap gegabah. dia akan mendahulukan permaafan daripada pembalasan. sebab, pembalasan akan menimbulkan pembalasan berikutnya, yang skalanya bisa dengan mudah membesar dan ukurannya bisa dengan mudah pula memanjang.

agama tidak melarang perempuan berhias selama masih dalam batas2 tertentu. dalam kondisi2 khusus hal itu malah dianjurkan, sebagaimana keterangannya dapat kita temukan baik dalam al-quran maupun hadits. tapi, perempuan wara' sangat membatasi diri dalam berhias dalam rangka menjaga martabat dirinya, dengan demikian juga supaya tidak terjadi tindak kriminal yang menempatkan dirinya sebagai korban. ilustrasi ini menunjukkan bahwa wira' ternyata manifestasi dari sekaligus berorientasi pada wirang. ada hubungan timbal balik yang saling menguatkan antarkeduanya: semakin wara' semakin wirang, sebaliknya: semakin wirang semakin wara'.

pada senjakala sejarah, sementara perempuan kehilangan wara', lelaki kehilangan perbawa atau wibawa. banyak suami tidak ditaati istrinya karena kehilangan perbawa. sebaiknya, ketidaktaatan istri terhadap suaminya tersebut tidak dicari akarnya semata-mata pada pihak istri. sebab, perbawa suami kecil kemungkinannya hilang di mata istri selama sang suami terus berupaya untuk menjaga integritasnya sebagai model dalam kehidupan berkeluarga, di samping selama tidak ada pergeseran filosofis dalam perikehidupan berkeluarga.

mengapa suami gagal menjaga integritas dengan mana otoritasnya sebagai kepala keluarga dapat dipertahankan? kita paham, banyak sebabnya. tapi, sebab yang kiranya cukup primer adalah pendidikan. lelaki calon suami, sebelum menaiki jenjang pernikahan, tidak dibekali atau pun membekali diri dengan pengetahuan-kesadaran berkeluarga. itu terjadi antara lain karena jamaknya gejala nikah usia dini, yang pada gilirannya bermuara pada situasi pasar ilang kumandange. di sisi lain, lembaga pendidikan formal kita pun kurang peduli dengan pendidikan seksual, pendidikan pra-nikah, dan parenting.

kalau tanda2 senjakala sejarah itu telah menghampiri kita, apa yang harus kita lakukan? enggal2 tapa lelana, njajah desa milang kori, segera bertapa kelana, menjelajah desa menghitung pintu. hikmah anjuran tapa kelana sejalan dengan pesan al-quran untuk mengadakan perjalanan di muka bumi dalam rangka mengamati akhir riwayat umat-umat tempo dulu yang tidak percaya akan kenyataan adanya Allah dan hari akhir, faktor kebudayaan yang secara mantap melatarbelakangi tumbangnya eksistensi bangsa2.

tapa kelana adalah salah satu bentuk lelampahan spiritual  dalam tradisi islam-jawa. barangkali, bagi pelampah spiritual, tujuannya untuk mengenali hakikat dirinya sehingga dia kenal pula akan hakikat tuhannya. dengan kata lain, tapa kelana adalah metode untuk menyadari siapa sejatinya aku, dari mana asalnya aku, dan ke mana pulangnya aku. ringkasnya, metode untuk mencari jati diri. 'mencari' adalah kata kerja yang menunjukkan bahwa ada sesuatu yang hilang baik dalam diri pribadi secara mikrokosmik maupun dalam diri kolektif secara makrokosmik.

apakah yang hilang itu? jati diri, identitas, atau karakter, yang dimetaforkan sebagai kumandangnya pasar, hulunya sungai, wirangnya perempuan,  dan perbawanya lelaki. dalam rangka menemukan kembali identitas eksistensial dan makna kebudayaan yang hilang tersebut, pelampah spiritual tidak menjalani sembarang pengelanaan. meskipun secara kasat mata menjalani pengelanaan geografis, pada dasarnya dia lebih menjalani pengelanaan kebudayaan. dia menziarahi desa demi desa, pintu rumah demi pintu rumah, kebudayaan demi kebudayaan, untuk menemukan--meminjam diksi sapardi dan kuntowijoyo--isyarat; untuk menemukan isyarat, tanda, ayat, petunjuk, hidayat jati; untuk pada akhirnya menempuh jalan lurus setelah mengentaskan diri dari ketersesatan dan keterlaknatan.

dari puing-puing pelbagai bangunan kebudayaan yang telah luluh lantak, pelampah spiritual mencari artefak yang tertera padanya aksara bermakna. puing2 dan remah2 makna yang tercecer berserakan itu dihimpunnya dengan sabar untuk merangkai makna holistik yang kelak menjadi kesadarannya.

ini kerja kolektif hermeneutik suci raksasa. itu artinya, harus diterjemahkan menjadi gerakan kebudayaan. suatu jamaah mesti maju ke garis terdepan dalam medan perang untuk menjadi saksi yang bertindak, menjadi ummatan wasathan, yang tidak saja mengkritik, melainkan juga melancarkan koreksi struktural, yang tentu saja dimulai dari kritik ideologi, sebagaimana gerakan kebudayaan yang dipimpin oleh para rasul. apakah mungkin?

menurut saya, secara indivual sikap yang paling realistis adalah menjalani olah budaya dalam rangka tazkiyat al-nafs. kita ingat pesan baginda muhammad. ketika dihampiri tanda2 akhir zaman, kita harus berkhalwat. eskapis? mencari selamat sendiri? tidak sesederhana itu. pengertian khalwat dapat dikembangkan secara lebih plastis sebagai khalwat kebudayaan atau tapa ngrame: senantiasa menjaga jarak dari apa yang disebut oleh para mistikus islam sebagai dunia, justru ketika dunia mengepung kita. pada saat yang sama, sebagai bagian fundamental dari tapa ngrame itu, kita melunasi tanggung jawab sebagai mandataris ilahi di muka bumi. akhirnya, saya merasa perlu untuk mengutip sebuah penggalan ayat suci: bertakwalah, sejauh kemampuan kalian.

sugih

pada umumnya, kita bermimpi untuk hidup kaya raya. dengan kekayaan itu, kita bisa membeli apa saja. makanan lezat sebanyak2nya. pakaian fashionable. rumah mewah. mobil mahal. bahkan, kebahagiaan. dengan kekayaan itu pula, kita dapat menunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah figur sukses, sehingga khalayak ramai memberi penghargaan tinggi kepada kita. kita bermimpi hidup kaya raya pada awalnya dan pada akhirnya untuk menonjolkan eksistensi pribadi. sebab, tidak ada yang diperoleh orang miskin dari khalayak kecuali hinaan, juga sekilas dan sedikit rasa iba yang dipertunjukkan dengan cara menyakitkan hati.

sebegitu besarnya mimpi untuk hidup kaya raya itu sampai2 kita melakukan tindakan2 absurd untuk mewujudkannya. misalnya, rakyat jelata mencuri, pemimpin korupsi. subtansinya sama: mengambil apa yang bukan haknya. karena bermimpi secara melampaui batas untuk hidup kaya raya itulah seorang pemimpin gagal melunasi amanah kepemimpinan. dia gagal menjadi pemimpin karana hatinya penuh dengan ambisi duniawi. dia gagal menjadi pemimpin karena gagal eling, eling asale, eling baline. dia lupa jati dirinya.

saya rasa, inilah topik yang direnungi para guru. 

baginda syuaib menjalankan misi profetik untuk mengingatkan bangsa madyan tentang korupsi yang mereka biasa lakukan dalam lapangan perdagangan. bagi bangsa madyan, korupsi itu lumrah dan dianggap benar2 saja. saat berjual beli, kebanyakan pedagang madyan mencuri timbangan. mereka kapitalis, dan kapitalisme mereka adalah kapitalisme jahat--manalah ada kapitalisme yang baik (!). mereka mengambil apa yang bukan haknya untuk memperoleh sebanyak2nya keuntungan dan sebesar-besarnya kekayaan.

baginda musa memperingatkan hartawan karun untuk menjalankan kewajiban berbagi, tetapi peringatan itu ditolak. mimpi karun untuk hidup kaya raya telah tercapai memang, tetapi mimpi itu ternyata menggelembung. setelah kaya raya, dia ingin lebih dan lebih kaya lagi. berbagi artinya mengurangi jumlah kekayaan, suatu pantangan bagi karun.

baginda isa mengkritik ulama yahudi yang menjual agama demi mewujudkan mimpi hidup kaya raya. perdagangan keji itu menyebabkan mereka menghalalkan apa yang haram dan mengharamkan apa yang halal. karena itulah, baginda isa juga datang untuk menjelaskan kembali mana yang sesungguhnya halal, mana pula yang sejatinya haram. tidak hanya mengkritik ulama yahudi yang melakukan perdagangan keji, baginda isa konon gemar berlaku tirakat. berpuasa adalah adatnya. beliau terbiasa menjaga jarak dari kenyang, apalagi kekenyangan. saya pikir, itu dilakukannya selain untuk berempati kepada mereka yang lapar, juga untuk mengondisikan diri sedemikian rupa sehingga beliau dapat memberi teladan sebagai pemimpin yang amanah, dalam arti pemimpin yang tidak punya ambisi duniawi. 

baginda muhammad melangkah di trayektori yang sama dengan baginda syuaib, musa, dan isa. sebelum dilantik sebagai rasul, beliau terkenal sebagai pedagang jujur. tidak pernah mencuri. tidak pernah mengambil apa yang bukan haknya. saya yakin, beliau tidak bermimpi hidup kaya raya. jika baginda rasul bermimpi demikian, masyarakat mekah tidak menjulukinya sebagai al-amin, pribadi yang dapat dipercaya. siapa yang bermimpi hidup kaya raya, berpotensi tergoda berlaku curang. baginda rasul tidak curang. beliau berkata, cinta dunia adalah pangkal semua kesalahan. ambisi duniawi adalah asal-usul segala dosa. gaya hidupnya sederhana. bantal tidurnya hanya pelepah kurma. makan ketika lapar, berhenti makan sebelum kenyang. sering berpuasa karena tidak ada makanan di dapurnya. kadang menyelipkan batu di antara ikat pinggang dan celananya, untuk mengurangi rasa lapar dan mencegah sakit pencernaan yang diakibatkannya. shalawat salam baginya tercurah selalu...

setelah dilantik sebagai rasul, keras sekali beliau mengkritik perilaku gila dunia bangsawan dan hartawan mekah. saksinya adalah surat al-takatsur, surat al-humazah, dan surat al-maun, ketiganya diturunkan di mekah. berikut terjemahannya.

bermegah-megahan telah melalaikan kamu (1) sampai kamu masuk ke dalam kubur (2). sekali-kali tidak! kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu) (3). sekali-kali tidak! sekiranya kamu mengetahui dengan pasti (4). niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka jahim (6), kemudian kamu benar-benar akan melihatnya dengan kepala sendiri (7), kemudian kamu akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah itu). (Q.S. al-takatsur: 1-7)

celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela (1) yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya (2). dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya (3). sekali-kali tidak! pasti dia akan dilemparkan ke dalam (neraka) hutamah (4) dan tahukah kamu apakah (neraka) hutamah itu? (5) (yaitu) api (azab) allah yang dinyalakan (6), yang (membakar) sampai ke hati (7) sungguh, api itu ditutup rapat atas (diri) mereka (8) (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang. (Q.S. al-humazah: 1-9)

tahukah kamu (orang) yang tidak percaya akan adanya hari pembalasan? (1) itulah orang yang menghardik anak yatim (2) dan tidak mendorong memberi makan orang miskin (3). celakalah orang yang bersembahyang (4), (yaitu) orang-orang yang lalai dalam sembahyangnya (5), yang berlaku pamer (6), dan enggan (memberikan) bantuan (7). (Q.S. al-maun: 1-7).

tidak ada keterangan spesifikasi bantuan yang dirujuk oleh ayat ke-7 surat al-maun di atas. maka, tafsirnya pun bermacam-macam, bisa bantuan pikiran, bantuan tenaga, bisa pula bantuan finansial. bantuan yang paling nyata dan paling terasa adalah bantuan finansial. itu artinya, masih mengandung kebenaran apabila kita menafsirkan 'bantuan' dalam ayat tersebut dengan 'berbagi'. memang, biasanya orang yang enggan berbagi cenderung suka pamer. itulah barangkali sebabnya mengapa surat ini menggandengkan keengganan berbagi dengan perilaku pamer yang merupakan ciri konkret dari kelalaian dalam bersembahyang, ibadah vertikal yang sifatnnya individual dan esoteris. 

surat al-maun mengisyaratkan, manusia yang bersembahyang itu ada dua macam. 

pertama, orang sembahyang yang tidak lalai dalam sembahyangnya. dia berdoa dengan tulus dan sungguh2. ciri-ciri keseharian dari pensembahyang tipe ini adalah (1) tidak menghardik anak yatim, (2) mendorong orang banyak untuk memberi makan kaum miskin--tentu dia punya kebiasaan untuk memberi makan kaum miskin, tanpa kebiasaan itu dorongannya yang berupa kata-kata tidak efektif, (3) tidak pamer, dan (4) gemar berbagi, senang menolong. jadi, kita bisa berkata bahwa siapa yang menghardik anak yatim, dia sesungguhnya belum bersembahyang, walaupun tampak rajin dan rutin mengunjungi rumah ibadah menjalankan formalitas ritual. siapa tidak memberi makan kaum miskin, padahal dia berkelebihan uang dan makanan, sesungguhnya belum bersembahyang. siapa pamer, sesungguhnya belum bersembahyang. siapa yang tidak gemar, lebih-lebih enggan, berbagi dan menolong sesungguhnya belum bersembahyang. 

kedua, orang sembahyang yang lalai dalam sembahyangnya. ciri-ciri keseharian manusia tipe ini berkebalikan dari tipe pertama. kalau ada anak yatim, baik yang dipapasinya di jalan maupun yang mengetuk pintu rumahnya untuk minta bantuan, dia menghardik anak yatim tersebut. dia berpikir, si gelandangan eksistensial bakal menyusahkannya. menurutnya, dia tidak memperoleh upah apa pun dengan menolong anak yatim itu. dia tidak memberi makan kaum miskin, apalagi mendorong khalayak untuk memberi makan orang-orang miskin. dia merasa, kaum miskin tidak punya hak apa pun atas kekayaan yang dimilikinya. segala harta yang dikumpulkannya buah dari tetesan keringatnya sendiri. dalam pandangannya, memberi makan orang miskin yang bukan siapa-siapanya adalah tindakan yang tak tercerna akal. dia suka pamer, bukan hanya pamer sembahyangnya dan kesalehannya, tetapi juga pamer kekayaannya, jabatannya, anak istrinya, kerabat sahabat kenalannya, prestasinya, gelarnya, dan lain-lain. meskipun suka memamerkan segala rupa pencapaian duniawinya, dia enggan berbagi. dia enggan menolong orang lain yang sungguh-sungguh kesusahan dengan kekayaan, jabatan, dan koneksinya. pendek kata, bagi golongan sosial rendahan, perilakunya benar2 bikin hati sakit.

kenapa manusia tipe kedua ini sampai berperangai begitu? sebabnya yang pokok adalah bahwa dia tidak percaya akan adanya hari pembalasan, suatu fragmen dari hari akhir. dia berpikir, dia tidak akan dihukum karena menghardik anak yatim, karena lupa dengan saudaranya yang miskin dan kelaparan, karena pamer, dan karena enggan berbagi. bahkan, dia berpikir bahwa hari akhir itu nonsens, mitos belaka. setelah mati, manusia tidak akan dibangkitkan untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya ketika hidup di dunia. menurutnya, kematian adalah akhir kehidupan, bukan transisi menuju kehidupan berikutnya yang kekal. bersandar pada prasangka eksistensial ini, dia hidup secara bebas. sebab, atas tindakannya yang aniaya, dia tidak bakal dihukum, paling banter dihukum di dunia, itu pun jika ada undang2nya dan jika aparat pengadilan tidak ngiler dengan duit sogokan. kalau hukum murah harganya, mudah saja dia terbebas dari hukuman institusional atas dosa sosialnya.

demikian kira2 makna surat al-maun, satu dari tiga surat--di antara sekian banyak surat--dalam al-quran yang menjadi saksi bahwa baginda muhammad mengkritik keras perilaku gila dunia bangsawan dan hartawan mekah. mereka terkena penyakit gila dunia terutama karena tidak percaya dengan hari pembalasan, hari akhirat, sehingga berlaku sewenang-wenang dan bermimpi hidup kaya raya secara melampaui batas. hidup hanya sekali, karena itu hiduplah secara kaya raya. hidup hanya sekali, karena itu nikmatilah kekayaan yang diperoleh selagi hidup, untuk memuaskan kepentingan dan keinginan pribadi saja. hidup hanya sekali, karena itu kebahagiaan hanyalah kebahagiaan di dunia. setelah kematian, tidak ada apa-apa lagi. maka, bersenang-senanglah, berfoya-foyalah, bermewah-mewahlah, dan bermegah-megahlah selagi kau punya kekayaan berlimpah. berkenyang-kenyang dan berlezat-lezatlah dalam makan ketika mimpimu untuk hidup kaya raya tercapai. 

kita tahu, makna surat ini dihayati betul oleh KH ahmad dahlan, pendiri muhammadiyah. tampaknya, dengan mendirikan muhammadiyah, beliau ingin meneladani dan mengajak orang lain untuk meneladani gaya hidup baginda muhammad, antara lain dengan mengamalkan kandungan surat al-maun. beliau bermaksud meneladani baginda muhammad dalam hal tidak berambisi duniawi. KH ahmad dahlan secara organisasional mengajak orang lain untuk memuliakan yatim, memberi makan kaum miskin, tidak pamer, berbagi, ringan tangan, percaya akan hari akhir, dan pada puncaknya: beribadah dengan ikhlas. itu sebabnya, kenapa rumah sakit-rumah sakit muhammadiyah diberi nama pku, singkatan dari 'pertolongan' kesengsaraan umum. itu pula sebabnya, kenapa secara organisasional KH ahmad dahlan mewariskan perhatian besar terhadap bidang pendidikan. anak yatim bakal hidup mulia dengan pendidikan. kaum miskin akan terjamin pangannya berbekal pendidikan. pendidikan akan menyelamatkan anak2 kelas menengah dari penyakit pamer dan enggan berbagi. berkat pendidikan pula, kita menyadari kepastian datangnya hari akhir dan mengenal apa makna sembahyang yang sejati: ikhlas.

selain KH ahmad dahlan, tentu masih banyak guru islam nusantara lain yang mewarisi misi profetik untuk menyadarkan kita dari bermimpi hidup kaya raya secara melampui batas. di antara guru2 tersebut, ada satu nama yang sangat perlu dikenang, ialah sosrokartono, kakak kartini.

beliau berpesan: sugih tanpa banda, kaya tanpa harta. pesan ini, bagi penggila dunia yang materialistis, di samping lucu, juga tidak masuk akal. mungkinkah kita kaya tetapi tanpa punya harta? siapa tidak punya harta, jelas miskin. apa pesan sugih tanpa banda menunjukkan kebodohan sosrokartono?

sedikit pun tidak. dengan memberi pesan itu, beliau justru menunjukkan kecerdasannya yang di atas rata-rata. beliau mengerti bahwa konsep kaya atau sugih yang populer itu keliru total. penggila dunia memahami sugih semata-mata sebagai sugih materi. akan tetapi, apa yang disebut sugih sebenarnya melampaui materialitas. baginda muhammad menjelaskan, rezeki adalah apa yang kita makan, apa yang kita pakai, dan apa yang kita sedehkan. kebutuhan kita akan pangan dan sandang tidak pernah banyak. yang banyak, bahkan terlalu banyak, adalah keinginan kita akan pangan dan sandang. dengan demikian, rezeki sandang pangan kita itu tidak banyak, seperlunya untuk menghilangkan rasa lapar dan menutup aurat. dilihat dari pemerolehan rezeki pangan sandar berdasarkan kriteria 'seperlunya' ini, kita tidak tergolong kaya, hanya berkecukupan. lantas, apa yang membuat kita sugih? sedekah. berbagi. semakin banyak bersedekah, semakin banyak rezeki hakiki kita, semakin sugih-lah kita, walaupun pada fakta fisisnya kita kelihatan miskin. bukankah ini yang disebut sosrokartono sebagai sugih tanpa banda? 

orang kaya adalah orang yang selain berkarakter puas hati, juga gemar berbagi. dia mengamalkan ilmu kantong bolong. setiap kali dimasuki uang, kantong itu segera kosong kembali karena uangnya disedekahkan, sebagaimana kantong bolong yang dimasuki uang yang segera kosong kembali. pengamal ilmu kantong bolong adalah pribadi yang benar-benar sugih secara metafisis dan spiritual. dia merasa cukup, puas, dan bersyukur dengan apa yang menjadi jatahnya. dia berkata 'tidak' kepada dunia. tidak cemas dengan masa depannya di dunia. tidak punya ambisi duniawi, apalagi gila dunia, apalagi bermimpi hidup kaya raya secara melampaui batas. hatinya adalah kedamaian, zikir, dan doa. dialah sebenar-benarnya guru. dialah pewaris misi profetik para nabi, waratsat al-anbiya. dia jugalah yang diam2 melawan arus kebudayaan zaman akhir. alangkah berat jihadnya. alangkah dirindukannya dia. alangkah dibutuhkannya dia sebagai pasak peradaban, penjaga agama.

10/05/15

lentera

ada metafor romantik yang disematkan pada puisi. dia bagai lentera ketika kita berjalan dalam kepungan kegelapan. dengan cahaya lentera itu, kita dapat melihat berbagai tikungan, simpangan, halang dan rintang dan aral jalanan. kita terjauhkan dari kesesatan, sekurang-kurangnya kembali pada trayektori semula apabila tersesat. tapi tentulah tidak semua puisi merupakan lentara bagi musafir kehidupan.

yang saya temukan, kebanyakan puisi hanyalah kitsch yang digubah tanpa pertimbangan budaya yang matang. puisi yang lentera seumpama mutiara di kedalaman lautan. ada, tetapi sukar diperoleh, terbatas jumlahnya. salah satu mutiara itu adalah puisi berjudul Di Samping Terompah Raden Rama­--selanjutnya disebut Di Samping saja. dia digubah iman budi santosa, penyair sepuh yogya yang berproses kreatif bersama umbu, linus, cak nun dan lain-lain. berikut salinannya secara lengkap.

DI SAMPING TEROMPAH RADEN RAMA
: Pasewakan Agung Ayodya

Kalah janji dengan permaisuri Kekayi
Dasarata kehilangan taji
dan memilih pulang ke alam sonyaruri

Sedang Barata malah menebar teka-teki
pulang dari hutan Dandaka ia meletakkan terompah Rama
di singgasana dan menyimpan mahkota
dalam kamar pusaka

"Aku bukan raja." Suara Barata membahana
dalam pasewakan agung Ayodya
dan ketika narapraja bersujud
ia berpaling melepaskan diri dari kemelut

Sementara singgasana diduduki sepasang terompah
balairung termenung menunggu sembarang titah
"Aku hanya wakil raja, Bunda." Kembali Raden Barata
menghadang keris tombak bicara.
Tiga permaisuri menggangguk
seluruh ponggawa pun diam terduduk

Keraton tenteram, hari bulan tahun teranyam
ketika tak terbelah patembayatan oleh kuasa
yang dipertaruhkan, dibesarkan dalam angan-angan

2010

(Ziarah Tanah Jawa, 2013: 69)

saya membaca puisi ini sebagai semacam renungan atas drama politik yang terjadi di negeri ayodya pada zaman epos ramayana. bukan sembarang renungan, tetapi renungan istimewa yang oleh penyair agaknya sengaja dihadirkan sebagai cermin bagi pembaca tertentu yang istimewa kedudukan politiknya. saya tak tahu pasti dan tak hendak memastikan siapakah pembaca istimewa tersebut. namun begitu, sebagaimana puisi pada umumnya yang bersifat terbuka, tirta makna puisi ini bisa pula disauk dan diteguk oleh kalangan pidak pedarakan seperti saya.

meskipun Di Samping menyebutkan sejumlah tokoh ramayana, figur utama di dalamnya adalah Raden Barata. dia saudara tiri Raden Rama, sebapak, tapi lain ibu. menurut paugeran, pewaris sah tahta ayodya, setelah raja dasarata kelak meninggal, adalah raden rama. namun, hak pewarisan itu goyah manakala sang raja membuat sebuah perjanjian kuasa dengan calon permaisurinya yang baru, ialah kekayi. perawan kekayi rela dinikahi dasarata asalkan sang raja ikhlas menyerahkan ayodya kepada anaknya, bukan kepada raden rama. raja setuju. rara kekayi naik ke pelaminan dengan harapan yang melampaui tinggi bintang. kini dasarata punya tiga permaisuri: ibunda raden rama, ibunda raden lesmana, dan kekayi yang bakal melahirkan raden barata.

menjelang suksesi, saat dasarata memasuki gerbang kehidupan senjakalanya, kekayi menagih janji. dia menekan sang raja agar memberikan kerajaan kepada raden barata. dasarata tercenung di persimpangan jalan. menoleh simpang kanan, dia harus mempertahankan paugeran. menghadap simpang kiri, dia pun harus menepati janji. dia terhimpit di antara dua kebenaran. semua pilihan menuntut resiko besar. salah ambil langkah, kerajaan ayodya remuk-redam diharu-biru perang saudara.

pada kondisi demikian, kekayi malah bertindak sepihak. dia mengusir raden rama sekelurga dari ayodya. ketika raden lesmana mengikuti langkah kakak tirinya untuk memasuki hutan karena diusir, itu tidak meresahkan kekayi. keresahannya muncul saat raden barata juga ingin mengikuti rama. putra kinasihnya ini ternyata begitu menyayangi, menghormati, dan mengagumi sang putra mahkota sejati. kekayi menghadang langkah raden barata, tetapi yang dicegah terus saja menjalankan tekadnya. memikirkan kejadian tak diduga dan tak diharapkan itu, dasarata jatuh sakit, kemudian meninggal dalam penyesalan.

sementara itu, di lain tempat, raden barata berhasil menyusul raden rama; sebetulnya tidak hanya untuk mengikuti langkah sang kakak, melainkan juga untuk mengembalikan tahta kepada siapa yang berhak. entah dewa mana yang merasuk ke dalam dirinya, raden rama memberikan jawaban yang boleh dikatakan bersifat adimanusiawi. dia tidak mengambil hak atas tahta yang diserahkan kembali, malah balik mempercayakan ayodya kepada raden barata. raden barata menolak, sedangkan rama kukuh dengan sikap zuhudnya.

akhirnya, setelah terjadi suatu negosiasi politik yang ganjil--lebih-lebih berdasarkan sudut pandang kita yang hidup pada akhir zaman, raden barata pun menerima mandat raden rama, bukan sebagai raja, tapi hanya sebagai wakil raja. oleh raden rama, raden barata diajari hastabrata, seperangkat ilmu rohani menjadi pemimpin, kemudian kembali ke ayodya dengan membawa sepasang terompah rama. sesampainya di istana, raden barata menggelar pasewakan agung, dan terjadilah apa yang dituturkan puisi ini.

dengan meletakkan sepasang terompah rama di atas singgasana, dengan berkata kepada kekayi, "aku hanya wakil raja, ibunda," raden barata telah menghadang keris tombak bicara. berbekal sikap qonaah dan zuhud, raden barata berhasil mencegah perang saudara karena polemik suksesi. tiga permaisuri mengagguk, rukun dalam perdamaian. seluruh ponggawa pun diam terduduk, tidak bersiaga mencabut keris menghunus tombak. keraton tenteram. patembayatan agung tak terbelah oleh kuasa yang dipertaruhkan dan dibesarkan dalam angan-angan. api ketamakan gagal membakar bumi ayodya.

lantas, di manakah kemutiaraan dan kelenteraan puisi ini? ayodya adalah negeri impian, tampaknya juga bagi pendiri kesultanan ngayogyakarta hadiningrat. ada yang berasumsi, secara etimologi kata ngayogya berasal dari kata 'ayodya', negeri yang dipimpin para zahid: raden barata, lalu raden rama. leluhur kesultanan yogyakarta barangkali ingin agar anak-cucunya yang bakal melanjutkan keprabuannya meneladani kezuhudan raden barata dan raden rama, menjalankan lelampahan hastabrata dengan penghayatan yang murni. dia tidak hendak menyaksikan keturunannya berebut tahta.

tapi, kehendak, apalagi kehendak luhur, jarang bertemu dan bertaut dengan kenyataan. sejarah merekam, kesultanan yogyakarta, sebagaimana kebanyakan kesultanan lain di nusantara, tidak benar-benar sunyi dari polemik suksesi. pergantian kekuasaan menentukan hidup mati kesultanan.

yang paling terpukul batinnya karena rebut kuasa itu barangkali adalah rohaniwan yang dalam kehidupan sehari-hari menjelma sebagai pribadi-pribadi umum yang menyandang beragam profesi. boleh jadi, dia adalah kiyai, atau hanyalah pemulung, atau malah pelacur. boleh jadi pula, dia seorang tokoh budaya bernama besar, misalnya penyair.

apakah penyair iman budi santosa yang suara batinnya tersingkap melalui puisi ini juga terpukul oleh rebut kuasa yang saat ini berlangsung di keraton yogyakarta? saya tak tahu. wallahu a'lam. saya hanya merasakan, dengan derajat kepastian yang cukup, bahwa Di Samping Terompah Rama merupakan lentera yang menerangi perjalanan seorang musafir kehidupan. saya merasa beruntung pernah membaca puisi ini.


01/04/15

perubahan sosial di jambi

memang, sejak merantau pada 2007, setiap tahun saya pulang ke jambi untuk berlebaran bersama keluarga, tetangga, dan sahabat. pada setiap kepulangan, saya merasakan bahwa di jambi tidak ada perubahan yang perlu dicatat. bertahun-tahun jambi berjalan di tempat. semua masih sama, kecuali jalan bertambah buruk, lampu lalu lintas semakin sia-sia.

tapi, ketika saya pulang lagi pada 2013 lalu untuk mengikuti suatu diskusi, saya terkejut. jambi sedang berjalan ke arah yang belum bisa diperhitungkan secara pasti. hotel-hotel dan mal-mal baru dibuka, tersebar di sejumlah titik. seiring dengan itu, pemerintah daerah memugar bandara domestik sultan taha. ada jalan protokol yang dirapikan, tetapi banyak jalan lain yang dibiarkan rusak, termasuk jalan lintas antarprovinsi. areal perkebunan sawit kian meluas. tambang-tambang batu bara dibuka.

di pinggiran satu dua jalan penting, kedai-kedai hadir berderetan. menawarkan bandrek dan lain-lain minuman, tongkrongan yang ramai oleh muda-mudi. katanya, ada juga yang membuka angkringan, warung makan kecil dengan gerobak dorong yang berasal dari bayat, klaten, tetapi juga marak di solo dan di yogya. 

plakat nama lembaga-lembaga kedinasan sudah tertulis dengan dua aksara, yaitu aksara latin dan aksara arab melayu. seorang peneliti senior iain sultan taha, dalam diskusi yang saya hadiri, bercerita tentang dua kelompok islam, tradisionalis dan neo-salafi, yang berebut kuasa di sebuah masjid. kaum tradisionalis bersikap defensif saat berhadapan dengan strategi ofensif lawannya, kaum neo-salafi. golongan islam moderat memperoleh teman beradu baru, golongan neo-salafi. konflik baru muncul, sementara konflik lama, antara NU dan Muhammadiyah, belum terdamaikan.

dunia kampus bersalin rupa. baik unja maupun iain, dua kampus negeri di jambi, yang dulu adem ayem, mulai bergerak. ketika saya sedang menuju balai arsip daerah, kesatuan mahasiswa dari beberapa elemen berunjuk rasa di kawasan telanai pura, kota jambi. sejumlah elemen masyarakat lain bergabung bersama mereka. tampaknya aktivis LSM. saya lupa isu apa yang mereka wacanakan, tapi saya ingat, jumlah dan semangat mereka tidak dapat dipandang sebelah mata. metode aksi mereka cenderung anarkis. ada bendera merah berkibar. ketika kembali ke yogya, saya mengikuti perkembangan gerakan mahasiswa di jambi, dengan membaca pemberitaan media lokal secara on-line. elemen gerakan mahasiswa lain pun rupanya sering turun jalan. tidak saja bendera merah, bendera hijau pun berkibar. bahkan, kabarnya bendera hitam juga ikut berkibar. tidak sekadar trend, aksi-aksi mahasiswa berlangsung kontinyu, dengan interval yang tak konstan tentu.

sekarang, ketika pemerintahan jokowi dinilai gagal oleh sebagian kalangan, mahasiswa jambi turun ke jalan. terhadap pemerintah, kritik mereka keras. aparat keamanan merespons hal itu dengan kekerasan. ada mahasiswa, dari sebuah kelompok islam, yang terluka. saya membandingkan situasi di jambi dengan di yogya. yogya merupakan salah satu pusat gerakan mahasiswa. itu terjadi sejak orde baru hingga orde reformasi. sejauh ini, di yogya belum muncul aksi mahasiswa lintas-elemen dalam mengkritik jokowi. kondisi masih relatif tenang. jambi tampaknya lebih radikal daripada yogya. ini gejala sosial yang mengundang pertanyaan. dari mana radikalitas itu berasal? bagaimana proses radikalisasinya? apa sebab dan akibat struktural dari radikalitas tersebut?

bahwa jambi itu radikal, bukan sesuatu yang mengagetkan. jambi bukan tak punya pengalaman perlawanan. semasa kesultanan, rakyat kumpeh telah mengadakan perlawanan terhadap belanda. belanda kemudian dibikin pusing oleh perang jambi, dengan sultan taha sebagai panglimanya. beberapa tahun setelah sultan taha ditaklukkan, rakyat sarolangun mengamuk. perlawanan itu dikenang sebagai pemberontakan sarekat abang. setelah kemerdekaan, ketika soekarno bertindak otoriter, rakyat jambi terlibat dalam pemberontakan dewan banteng. provinsi jambi lahir dari rahim pemberontakan yang kemudian menjelma sebagai PRRI tersebut. setelah PRRI dilumpuhkan, semangat perlawanan, radikalitas orang jambi, tampaknya melempem. 

selama orde baru, jambi begitu patuh. meskpun tidak memperoleh kue pembangunan sepantasnya, bahkan sumber daya alam dan manusianya dirampok oleh perusahaan-perusahaan cendana, jambi tetap patuh kepada jakarta. hingga dasawarsa pertama reformasi pun, semangat perlawanan jambi belum bangkit. 

semangat perlawanan itu tampaknya baru bangkit pada dasawarsa kedua reformasi. barangkali sekarang sedang menuju klimaksnya. 

29/03/15

Keluarga

ada yang mengatakan, kita sekarang mengalami krisis sosial. tingkat kriminalitas meningkat. juga di kalangan remaja dan anak-anak. orang main hakim sendiri, misalnya membakar begal. media sering mengabarkan kasus kekerasan seksual terhadap anak, pengguguran kandungan, pembuangan bayi, pernikahan usia dini, dan perceraian yang tampaknya terjadi hampir di semua lapisan sosial. anak melaporkan ibu kandungnya kepada polisi. lembaga keluarga rupanya juga dilanda krisis. bukan hanya di kota-kota, bahkan juga di desa-desa.

ketika membicarakan masalah pendidikan aktual, khususnya pendidikan karakter, gejala krisis keluarga ini jarang disinggung. lemahnya karakter siswa, menurut kerangka pikir populer, semata-mata disebabkan oleh guru dan dikondisikan oleh lingkungan sekolah. kerangka pikir ini mereduksi pendidikan sehingga pengertiannya tidak lebih luas daripada sekolah. ia mengisolasi sekolah dari lembaga-lembaga pendidikan lain. sekolah dan keluarga, dalam hal pendidikan, dipandang tak berkaitan. tanggung jawab atas kerusakan moralitas anak dan remaja lebih dibebankan di pundak sekolah. akar masalahnya tidak dilacak pada krisis keluarga. 

padahal, kalau kita hitung, sumbangan keluarga terhadap pembentukan maupun pengrusakan karakter anak lebih besar ketimbang sumbangan sekolah. sering, residu krisis keluarga terbawa masuk ke ruang kelas. guru harus menghadapi siswa dengan kenakalan luar biasa akibat keluarganya remuk. ayah dan ibunya bertengkar terus, hampir bercerai, bahkan telah bercerai. mereka adalah tipe orang tua yang waktunya habis terbeli oleh pekerjaan. saudaranya pecandu narkoba. kerjanya keluyuran tak menentu. jarang di rumah. keluarga besarnya terlibat konflik hebat karena rebutan warisan. 

di rumah, siswa tersebut tidak memperoleh cukup perhatian dan kasih sayang. di kelas, dia mencari perhatian dengan berulah nakal. kepada siswa jenis ini, guru tidak bisa berbuat banyak. sukar pula bagi guru untuk mencegahnya menularkan kenakalan kepada siswa lain. jadi, sebenarnya, akar kenakalan anak dan remaja, hulu pangkal kerusakan karakter mereka ada pada keluarga, bukan pada sekolah. maka, pembenahan dan penggantian kurikulum, berapa kali pun itu dilakukan, bukan jalan efektif untuk menurunkan tingkat kerusakan karakter anak dan remaja, apalagi untuk menghilangkannya sama sekali. perbaikan kualitas pedagogik guru, juga bukan jalan yang efektif. 

mau atau tidak, kita harus menoleh pada lembaga keluarga. fungsi keluarga sebagai lembaga pendidikan, khususnya pendidikan karakter, baik karakter yang bersifat individual maupun sosial, harus diperkuat. kita harus kembali menempuh jalan kependidikan yang dibangun ki hadjar.

barangkali, di indonesia, ki hadjar-lah orangnya yang pertama kali memandang pendidikan sebagai gejala sosial. dia tidak mengisolasi sekolah dari lembaga-lembaga sosial lain yang berfungsi pedagogis. sekolah hanya salah satu pusat pendidikan. ada dua pusat pendidikan lain, yaitu keluarga dan komunitas sebaya. keluarga adalah poros ketiga pusat pendidikan yang (semestinya) saling terhubung ini. pengaruh sekolah dan komunitas sebaya terhadap dinamika keluarga tidak sebesar pengaruh keluarga terhadap dinamika sekolah dan komunitas sebaya. dalam salah satu artikelnya, ki hadjar menulis, "keluarga itulah tempat pendidikan yang lebih sempurna sifat dan ujudnya daripada pusat [pendidikan] lain-lainnya" (Ki Hadjar, 1935). 

karena alasan ini, ki hadjar menerbitkan Keluarga, berkala yang berfokus pada masalah pendidikan (dalam) keluarga. tujuannnya, membimbing ibu dan ayah, yang kebanyakan tidak punya pengetahuan pedagogis dan psikologi pendidikan yang cukup, dalam hal parenting. karena hal ini pula, dia merancang sistem pendidikan indigenous, paguron tamansiswa, yang pada dasarnya merupakan perluasan lembaga keluarga. ki hadjar menyebut dirinya sebagai bapak, sedangkan pawiyatan tamansiswa dianggapnya sebagai ibu. dalam "rumah" tamansiswa, guru lelaki tidak lagi disebut Meneer, tidak pula disebut Mr., tetapi dipanggil Bapak dan Ki; guru perempuan tidak disebut Mevrouw atau Juffrow, tidak pula Mrs., tetapi dipanggil Ibu dan Nyi. sebagaimana anak-anak dalam sebuah keluarga, siswa-siswi tamansiswa saling mengasuh, saling mengasah, saling mengasih, saling mengajar dan mendidik satu sama lain. pendidikan berlangsung tidak sebatas di ruang kelas dan selama jam pembelajaran formal. pendidikan terjadi di mana saja dan kapan saja, long life education, kata Unesco; deschooling society, kata Ivan Illich.

kira-kira, demikianlah gambaran pendidikan yang diharapkan ki hadjar, suatu harapan yang tidak mendapat sambutan memadai dari pembuat kebijakan pendidikan saat ini. sekolah kita menerapkan sistem klasikal barat, bahkan sekaligus dengan filosofinya yang darwinistis. keluarga sebagai pusatnya pusat pendidikan hampir diabaikan sama sekali. ketiga pusat pendidikan, keluarga, komunitas sebaya, dan sekolah dimaknai sebagai unit sosial-pedagogis yang terpisah. menteri anis baswedan baru-baru ini saja membentuk dirjen keayahbundaan di bawah naungan departemen yang dipimpinnya. hingga sekarang belum begitu jelas apa kerja dan bagaimana kinerjanya. 

saya terpaksa menyimpulkan, realitas pendidikan kita menyimpang entah berapa jauh dari idealitas ki hadjar. paling banter, kita hanya mengingat tut wuri handayani-nya saja, slogan yang telah klise dan kosong. pandangan kependidikan kita atomistis. tidak ada perhatian besar terhadap keluarga sebagai lembaga pedagogis. jika kukuh dengan pandangan pendidikan tersebut, mungkinkah krisis sosial diatasi secara sistemis dan tuntas? mungkinkah pendidikan memainkan peran luhurnya sebagai ujung tombak revolusi mental?

24/03/15

kenyang itu bid'ah

bid'ah artinya inovasi atau kebaruan. arti kata kerjanya, bada'a--yabda'u, adalah mengadakan sesuatu yang baru, tanpa mengikuti model yang telah ada sebelumnya. yang diciptakan benar-benar sesuatu yang baru. pada tindakan bid'ah, tidak ada kesinambungan antara masa lalu dan masa kini.

tapi arti kata bid'ah yang elementer ini jarang digunakan pendakwah, baik dari kalangan modernis maupun tradisional. khususnya bagi kalangan islam modernis, bid'ah tampaknya bermakna apa pun (1) yang mengada-ada, (2) yang tidak dilakukan baginda rasul dan sahabat-sahabatnya, dan (3) yang menyalahi kaidah tauhid. bid'ah adalah pola, gaya, dan cara ibadah baru yang menjurus pada kesyirikan. ia penyimpangan dari agama islam yang murni.

penyimpangan itu tidak mewujud semata-mata dalam bentuk fikihiyah, misalnya tarawih, halal bi halal, tahlil, talqin, dan qunut. ia rupanya juga mewujud dalam bentuk etika atau tasawuf. imam al-ghazali, dalam ihya', menulis bahwa seorang--barangkali--tabiin pernah berkata bahwa bid'ah yang mula-mula muncul adalah kenyang. masyarakat islam generasi pertama, yang terbimibing langsung oleh baginda rasul, menjauhi kenyang. mereka makan ketika lapar, berhenti sebelum kenyang.

baginda rasul amat berhati-hati dalam hal makan. yasadipura II, pujangga-santri surakarta, dalam serat sasasasunu menulis, baginda rasul terbiasa makan sehari sekali, yaitu pada siang hari, disertai minum tiga tegukan. sebuah hadits menyebutkan, baginda rasul mengatur isi lambungnya, sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk bernapas. bisa kita bayangkan, betapa sedikitnya porsi makan baginda rasul, kira-kira sebungkus nasi kucing, lebih kurang seperlima bungkus nasi padang.

tidak jarang, porsi makan baginda rasul lebih sedikit daripada itu. di pagi hari, ketika tahu bahwa tidak ada persediaan makan di rumah, baginda rasul berpuasa. alasan beliau berpuasa jelas tidak hanya itu. kebiasaan beliau, sebagaimana kebiasaan nabi dan rasul lain, adalah berpuasa sunah. dalam puasanya, baginda rasul tidak selalu bisa bersahur. santapan berbukanya hanya tiga biji kurma, sekitar setengah atau sepertiga bungkus nasi kucing, lebih kurang sepersepuluh bungkus nasi padang. beliau berbuka, beliau makan, sekadar untuk menegakkan punggung. inilah salah satu sunah rasul: lapar.

segera setelah baginda rasul meninggal dan zaman fajar islam berlalu, sunah lapar itu pun perlahan-lahan dilupakan. umat islam menjauhi kelaparan dan mengakrabi kekenyangan. mereka telah menciptakan bid'ah. kenyang adalah perilaku yang menyimpang dari dan tidak sejalan dengan sunah baginda rasul. semakin kenyang, nafsu pun semakin besar, syahwat pun semakin buas, pikiran pun semakin liar. jadi, kenyang merupakan tantangan besar bagi tauhid dan akhlak, bukan? bukankah kenyang itu bid'ah dan hulu pangkal bid'ah-bid'ah yang lain?

menjauhi bid'ah fikihiyah hendaknya dimulai dari menjauhi bid'ah etika, antara lain bid'ah kenyang. ini mudah dikatakan, tetapi sangat sulit dilakukan.

22/03/15

Syariat dalam Sastra Jawa

Clifford Geertz, antropolog dari Universitas Chicago, pada 1960-an mengadakan penelitian di Jawa Timur. Dia menerbitkan laporan penelitiannya dalam bentuk buku, The Religion of Java. Menurutnya, masyarakat Jawa terpilah menjadi tiga golongan, yaitu santri, priyayi, dan abangan. sederhananya, santri adalah kelas pedagang muslim, priyayi adalah kelas bangsawan, dan abangan adalah masyarakat kelas bawah. santri berideologi islam puritan, sedangkan priyayi dan abangan berideologi sinkretis, gabungan unsur animisme-dinamisme, hindu, buddha, dan islam. kerangka berpikir Geertz menkonfrontasi islam dengan non-islam, santri dengan priyayi dan abangan. dalam kerangka berpikir itu, santri dipandang jauh dari dunia wayang; priyayi dan abangan kurang kenal islam, bahkan tidak menyukai agama arab itu.

banyak pihak tidak setuju dengan kerangka sosial yang ditemukan, ditawarkan, dan cenderung dipaksakan Geertz. trikotominya merupakan generalisasi berlebihan. ketiga golongan masyarakat jawa menurut Geertz, pada kenyataannya tidak terpilah secara jelas dan tegas. ada priyayi yang sekaligus santri. dia akrab tidak saja dengan dunia wayang, melainkan juga dengan kitab-kitab klasik agama islam. ada santri yang menyukai wayang dan sastra jawa, bahkan menggunakannya sebagai media dakwah. kaum abangan bukan sama sekali tak kenal syahadat, rukun iman, dan rukun islam. bukan kategori mutlak, tetapi klasifikasi Geertz senyatanya merupakan kontinum perkembangan islam di jawa baik secara individual maupun sosial, yang merentang dari tingkat abangan hingga tingkat santri. sepanjang rentangan itu, kaum priyayi bergerak dinamis.

sebab itulah, kita menemukan priyayi semacam mangkunegara IV yang dalam karya piwulangnya, wedhatama, mengkritik santri dul yang nggubel sarengat. di kutub lain, kita pun menjumpai hamungkubuwono I yang banyak membangun masjid, juga diponegoro yang memimpin perang jihad muslim se-jawa melawan kafir belanda.

pergerakan dinamis kaum priyayi sepanjang rentangan abangan-santri merupakan kesimpulan yang kita petik dari fakta sejarah. fakta sejarah sendiri adalah hasil tarik ulur antara idealitas dengan tantangan kenyataan. maka, pergerakan--katakanlah--ideologis kaum priyayi yang dinamis tersebut merupakan penyimpangan dari ideologi yang semula dirancang. apakah ideologi priyayi yang sebenarnya? apakah ruh kepriyayian itu?

saya tidak bermaksud menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan mengusulkan pendapat yang pasti dan selesai. dalam hal itu, saya tidak punya wewenang dan kemampuan. saya hanya ingin bercerita tentang sebuah karya sastra jawa yang tidak banyak dibicarakan, yaitu serat sasanasunu.

Yasadipura II: Santri-Pujangga Jawa
sasanasunu, kadang disbut sanasunu saja, ditulis yasadipura II, satu dari tiga pujangga bukan-raja surakarta yang paling terkenal dan berpengaruh. dua pujangga lainnya adalah ayahnya, yasadipura I, dan cucunya, ranggawarsita III. sarjana barat menilai, mereka telah melakukan renaissance kebudayaan jawa dengan menyadur dan menulis sejumlah besar karya sastra. mereka meletakkan dasar-dasar bagi perkembangan kebudayaan jawa setelah perang hingga sekarang.

yasadipura II diperkirakan lahir pada 1760 dan meninggal pada 1844, artinya dia menyaksikan dan mengalami perang jawa. bahkan, lebih dari itu, dia ambil bagian dalam perang jawa, sebagai juru tulis surat-surat pakubuwono IV kepada diponegoro. pakubuwono IV diam-diam memihak diponegoro. dugaan saya, yasadipura II juga memihak diponegoro.

Yasadipura II mempelajari baik budaya jawa maupun agama islam. keturunan sultan pajang ini lama nyantri di pesantren tegalrejo, ponorogo, jawa tengah, sebuah lembaga pendidikan islam yang tampaknya berhubungan dekat dengan keraton surakarta. keluarga besarnya merupakan santri yang taat. ayahnya belajar di pesantren kedu. ketika dibuang belanda di palembang, kakeknya, padmanegara, berguru kepada seorang ulama bernama kiyai jaenal abidin.

sebagai pujangga yang mengerti seluk-beluk budaya jawa dan punya wawasan keislaman yang mendalam berkat pendidikan pesantrennya, yasadipura II menghasilkan karya-karya yang berkarakter islam, walaupun karakter itu tidak selalu ditampakannya secara blak-blakan. berapa banyak jumlah karyanya, tidak diketahui pasti. masing-masing ahli menyebut angka yang berbeda. berapa jumlah pasti karya Yasadipura II sukar dihitung karena dia kerap menulis karya-karya tertentu bersama dengan ayahnya. kadang, Yasadipura I menulis bagian pertama sebuah karya, bagian berikutnya dirampungkan yasadipura II; atau sebaliknya, Yasadipura II yang memulai, Yasadipura I yang mengakhiri.

namun demikian, sering dinyatakan bahwa hampir dapat dipastikan, serat dewa ruci, serat sasanasunu, serat bratasunu, serat menak, panitisastra digubah atau pun disadur oleh Yasadipura II. ada pula yang mengatakan bahwa Yasadipura II ambil bagian dalam penulisan serat Centhini, ensiklopedi kebudayaan jawa. dewa ruci dan centhini, di samping wulangreh, wedhatama, dan babad tanah jawi, merupakan karya sastra yang populer di kalangan masyarakat jawa. jadi, yasadipura II, yang santri itu, punya andil besar dan elementer dalam membangun kebudayaan jawa, termasuk, tentu saja, kebudayaan priyayi jawa atau kebudayaan keraton. salah satu karya yang tampaknya sengaja dia tulis untuk menegakkan dan memantapkan islam jawa di lingkungan keraton adalah serat sasanasunu.

Sasanasunu: biografi dan strukturnya
yasadipura II menulis sasanasunu pada 1747 tahun jawa, sekitar 1820 M, 5 tahun sebelum perang jawa meletus. perang jawa memang disebabkan oleh komplikasi faktor struktural. namun demikian, faktor kulural atau masalah moral tidak kurang pentingnya, lebih-lebih dari sudut pandang orang Jawa. periode menjelang perang jawa adalah tahun-tahun kemerosotan moral, bersamaan dengan semakin merasuknya intervensi kolonial ke dalam lingkaran keraton. dinamika kultural berkembang ke arah yang negatif karena adanya pertemuan antara priyayi jawa dengan kebudayaan barat, walaupun pertemuan dua budaya yang berbeda ini tentulah bukan satu-satunya penyebab.

merosotnya moralitas di lingkungan priyayi ternyata sejalan dengan merosotnya moralitas di kalangan rakyat di luar tembok keraton. mabuk, madat, dan berjudi sudah menjadi perilaku rakyat yang gampang ditemui. kematian karena madat, tidak kecil jumlahnya. banyak orang menjadi miskin karena berjudi. aneka masalah sosial ini bergema dalam dan tercermin pada serat sasanasunu, khusunya pada bagian yang membahas tentang syariat.

sasanasunu tersusun dari 4 bagian, dengan 466 bait yang dirangkai menjadi 14 pupuh: 5 dhandhanggula, 3 sinom, 2 kinanthi, 1 asmaradana, 1 megatruh, 1 pucung, dan 1 mijil. bagian pertama, pembukaan, dilanjutkan dengan keterangan tentang sistematika penulisan. bagian kedua, pembahasan. ada 12 masalah yang dibahas. panjang-pendek pembahasan tidak konsisten. ada masalah yang pembahasannya menghabiskan 71 bait, tetapi ada juga yang hanya memerlukan pembahasan sepanjang 3 bait. secara berurutan, kedua belas masalah yang dibahas itu adalah (1) takdir sebagai manusia, (2) anugerah sandang pangan, (3) nafkah, (4) syariat islam, (5) aturan berpakaian dan kegemaran, (6) persahabatan, (7) makan, tidur, dan bepergian, (8) menghormati tamu, (9) adab berbicara, (10) status sosial, (11) susutnya derajat dan berpindahnya wahyu, dan (12) perubahan zaman (zaman kalisengara).

Syariat di Mata Yasadipura II
bagi saya, sesuai dengan topik tulisan ini, masalah yang paling menarik adalah masalah ke-4, yaitu syariat islam, yang dalam sasanasunu disebut sarengat dan/atau sarak. perhatian yang dicurahkan yasadipura II terhadap masalah ini bisa dibilang besar. pembahasan syariat cukup panjang, hingga 45 bait, lebih dari satu pupuh, sepersepuluh isi serat sasanasunu. sarjana yang menyetujui pendapat Geertz bahwa priyayi bukan santri, lebih jauh lagi bahwa jawa kurang islam bahkan tidak islam, pasti terkejut dengan pandangan dan ajaran Yasadipura II tentang syariat. dia memberi syariat harga yang tinggi.

yasadipura II menulis bahwa kita, anak cucunya, wajib memeluk agama islam tidak secara nominal belaka, melainkan hingga melaksanakan sarengat kanjeng rasul. perintah dan larangan harus diingat. semua hukum, harus diperhatikan. bahkan, perkara yang meragukan (mutasyabihat) harus pula dicermati. halal dan haram, harus dimengerti, baik makna lahiriahnya maupun batiniahnya. yang halal lebih dari sekadar yang dibolehkan. halal adalah segala yang termasuk ke dalam kabaikan. hasil dan tujuan kehalalan adalah kesucian hati (tyase suci) dan kesadaran (nora lali). jika itu berhasil dicapai, tidak ada lagi tabir penghalang dan pembatas antara kita dengan Tuhan. tabir itu tidak tersingkap sepanjang kita mengabaikan apa yang haram. sebab, yang haram sesungguhnya tabir penghalang dan pembatas itu sendiri. apabila kita menghindari segala yang haram, segala doa kita pasti diterima. inilah imbalan atas kepatuhan kita dalam melaksanakan syariat.

 secara hierarki laku keagamaan, syariat ada pada posisi yang fundamental. syariat itu laku badaniah (lakuning badan), tarekat itu laku hati (lakuning hati), hakikat itu laku jiwa (lakuning nyawa), sedangkan makrifat itu laku rasa (ing rasa den pakeling). karena itu, sebagi laku keagamaan dasariah, syariat tidak boleh ditinggalkan. kalau ditinggalkan, akibatnya merusak: badan kita tidak sanggup mewadahi kecenderungan spiritual buah dari laku hakikat, tarekat, dan makrifat.

sarengat lakuning badan
tarekat lakuning ati
kakekat lakuning nyawa
makripat ing lakuneki
ing rasa den pakeling
kawruhana lakunipun
nanging aja atilar
ing sarengat lakuneki
yen tilara nora kuwat badanira

(transliterasi oleh sudibjo ZA, 1980: 107)

ternyata, pandangan dan ajaran yasadipura II tentang sufisme tidak heterodoks. itu artinya, jauh dari penilaian umum yang selama ini berkembang, kejawaan pada dasarnya dibangun dengan asas keislaman yang neo-sufistis. kejawaan, khususnya yasadipura II sebagai peletak dasar-dasar kejawaan, bersikap tidak positif terhadap heretisme.

yasadipura II tampaknya memahami bahwa dalam perjalanan spiritual syariat bukan tangga yang apabila pejalan spirtual telah mencapai puncak pengalaman rohani, tangga itu boleh dan bisa dibuang begitu saja. lebih dari sekadar tangga, syariat adalah wadah. syariat bahkan merupakan tata krama. bagi orang jawa, meninggalkan tata krama termasuk perkara tabu. karena syariat adalah tata krama hamba terhadap tuhannya juga terhadap makhluk-Nya, syariat pun tabu untuk ditinggalkan. yang meninggalkan syariat adalah pendurhaka besar yang terlaknat. dia telah dikendalikan setan. dia bakal mendapat murka kangjeng rasulullah, juga murka tuhan. murka kangjeng rasulullah identik dengan murka tuhan karena kangjeng rasulullah sebenarnya merupakan iluminasi (tajali) tuhan.

agar tidak dimurkai tuhan dan tidak menjadi pendurhaka besar yang terlaknat, kita jangan kafir, jangan pula musryik. berbeda dari dosa maksiat, dosa musyrik sukar pemulihannya. pertaubatan dari dosa musysrik, kecil kemungkinan diterimanya. jika tuhan tidak menerima pertaubatan tersebut, kita bakal mengalami berbagai malapetaka (pancabaya). jadi, mengabaikan syariat, itulah penyebab malapetaka dan bencana.

karena itu, jangan mengabaikan syariat. jangan pula meremehkan dan mengolok-olok kitab suci di mana terdapat dalil-dalil syariat. jika tak mampu melaksanakan hukum islam, jangan membantah dan mencelanya. yang menertawai orang yang salat, adalah penjelmaan setan. dosanya berlipat ganda, yaitu dosa meninggalkan salat dan dosa mengolok-olok orang yang salat, sebagaimana berlipat gandanya dosa peminum arak yang menghalalkan arak.

meskipun ada tuntutan keras untuk menjalankan syariat, yasadipura II mengakui, mengikuti dengan sempurna jejak ketaatan nabi (ngepleki sarengat nabi) tidaklah mudah. sekali pun demikian, jika tuhan menghendaki, kita pasti bisa menjalankan syariat secara tuntas sehingga memperoleh gelar mukmin sejati (mukmin kas).

Lima Jenis Mabuk
jika tuhan menghendaki, kita pasti bisa, misalnya, menjauhi minumam keras. minuman keras harus dijauhi dan dihindari karena dua hal. pertama, karena haram. kedua, karena tidak ada manfaatnya. orang yang mabuk, kesadarannya hilang. kehati-hatian (weweka) dan tata krama (subasita) juga hilang. perhatiannya tidak menghadap kepada tuhan lagi (ginggang madhepe mring Suksma). inilah kerugian dan kerusakan akibat mabuk minuman keras.

mabuk memang seringkali disebabkan minuman keras. tapi, karena yasadipura II merumuskan pengertian mabuk yang melampaui batasan fisis fikihiyah, maka baginya mabuk karena minuman keras bukan satu-satunya jenis mabuk--saya kira, dalam wawasan yasadipura II, sebagaimana dalam wawasan Imam Ghazali, fikih merupakan bagian dari tasawuf. menurut Yasadipura II, mabuk ada lima jenis. pertama, mabuk minuman keras. kedua, mabuknya anak muda. anak muda yang rupawan cenderung sombong. merasa paling tinggi dan paling baik. itu indikasi bahwa dia kehilangan kesadaran, artinya dia pada hakikatnya mabuk. mabuk jenis ini, seperti halnya mabuk karena minuman keras, hukumnya haram.

kedua, mabuk kawiryawan. kata kawiryawan sulit dicari padanannya dalam bahasa indonesia. sudibjo ZA, penerjemah serat sasanasunu edisi departemen pendidikan dan kebudayaan (1980), menerjemahkan kawiryawan sebagai kewibawaan, dan menerjemahkan endeming kawiryawan sebagai mabuk kewibawaan atau mabuk akan kesenangan. terjamahan itu tampaknya terlalu jauh. arti harfiah dari kawiryawan adalah kepahlawanan, tetapi dia tampaknya digunakan pula untuk arti yang lebih khusus: kepahlawanan yang berhubungan dengan keprajuritan. prajurit negara yang secara populer dipahlawankan menikmati pencapaian psikologi dan duniawi yang istimewa. pencapaian itu berpotensi membuatnya mabuk.

sederhananya, kawiryawan barangkali dapat dipahami sebagai heroisme, sifat merasa menjadi pahlawan. orang bisa mabuk karena heroisme. dia merasa kuat, hebat, dan menang sendiri. dia selalu ingin memperoleh setinggi-tingginya penghormatan dan sebanyak-banyaknya kesenangan. siang malam ingin merasakan kesenangan. ingin selalu makan enak dan tidur enak. ingin terus hidup dalam kesenangan yang silih berganti. sebagaimana dua jenis mabuk sebelumnya, mabuk karena heroisme tidak dibolehkan. hanya ada satu cara yang realistis untuk menghindari mabuk jenis ini, yaitu membersihkan hati dari heroisme. yasadipura II memang memahami fikih sebagai bagian dari tasawuf.

mabuk keempat, mabuk hawa nafsu. ini jenis mabuk yang membahayakan. pengikut hawa nafsu merasa benar sendiri. baginya, orang lain selalu salah. kalau nafsunya tak terpenuhi, dia bersikap keras dan kasar terhadap orang lain, khususnya orang-orang terdekatnya, antara lain isteri dan temannya. dia mudah kalap karena bermata gelap dan berpikir pendek. dengan dampak seburuk itu, mabuk hawa nafsu dilarang agama. hukumnya sudah jelas: haram. islam menentang perilaku jahiliyah ini.

mabuk kelima, gemar tanpa batas terhadap sesuatu. contohnya, memelihara burung secara wajar, itu tidak buruk; tidak pula dilarang. tapi, gemar memelihara burung secara berlebihan, buruk akibatnya. penghasilan bisa habis hanya untuk membeli dan merawat burung. anak isteri tak terurus. keluarga remuk. ketanpa-batasan pada akhirnya tidak pernah baik. karena itu, dia dilarang. hukum menggemari sesuatu tanpa batas adalah haram.

mabuk karena minuman keras dan keempat jenis mabuk lain haram karena punya satu kesamaan: sama-sama menyebabkan pelakunya lupa kepada tuhan. kebajikan bermakna apa lagi yang dapat kita lakukan kalau kita sudah melupakan tuhan. pondasi kebajikan bermakna, amal saleh istilah quraniknya, adalah kesadaran (eling). orang arab menyebut eling sebagai dzikr. yasadipura II memungkasi pembicaraan tentang mabuk dengan kalimat berikut.

....
kalamun manungsa wis
kanggonan ndem lilimeku
kagem dadya satunggal
tan wurung nemu nisthip
aben-aben katekan bilahi dunya

nora nganggo ing ngakirat
ing dunya bae pinanggih
denya sru karam makaram

sudibjo ZH menerjemahkannya sebagai berikut.

....
jika seseorang telah
ditempati kelima jenis mabuk itu
pastilah akan mengalami kepapaan
bahkan mungkin akan mengalami siksa dunia

tak usah menunggu lagi zaman akhirat kelak
di dunia ini saja sudah ia temui kesengsaraan itu
semua itu disebabkan karena sangat menggemari hal-hal yang haram
....

Hukum Madat dan Judi
setelah membahas keharaman mabuk, yasadipura II menerangkan hukum madat. keputusan fikihiyah yasadipura II tentang madat, tegas. madat itu haram karena memabukkan. syariat mengharamkan apa pun yang bikin mabuk. apabila kita sudah kecanduan opium, kita sebenarnya tidak lagi mengonsumsi opium, tapi sebaliknya, kita malah dimakan opium; dudu wong kang mangan apyun/apyun kang mangan janma. akibat terburuk opium atau madat bagi konsumennya adalah kematian. karena itu, penghisap opium sesungguhnya menganiaya diri sendiri. islam tidak membenarkan penganiayaan baik terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri.

akan tetapi, hukum mengonsumsi opium tidak selalu haram. untuk tujuan pengobatan, opium boleh dikonsumsi dengan kadar dan takaran terbatas. opium halal, dengan sejumlah syarat dan ketentuan. ketika menjelaskan tentang kehalalan bersyarat opium ini, yasadipura II merujuk pada kitab sarahbayan, barangkali teks fikih yang populer di kalangan santri jawa pada masanya. yasadipura II tidak merasa perlu menyebutkan judul asli kitab tersebut dan siapa pengarang dan pensyarahnya.

seringkali, penghisap opium juga penjudi. karena dua hal ini, yaitu madat dan judi, kita menjadi orang yang durjana. perjudian papar Yasadipura II, dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam jurang kehidupan yang hina. itulah sebabnya, syariat mengharamkan perjudian.

lan malih wawaleringwang
nak putu ywa nglakoni
ing penggawe ngabotohan
kalebu nisthaning urip
dhasaring sarakneki
kinaramaken satuhu
laire luwih nistha
dadya lip-alipaneki
wong durjana saking madat ngabotohan

ada lagi laranganku
yang anak cucu tak boleh menjalankannya
ialah berjudi
berjudi itu termasuk pekerjaan hina
menurut asas di dalam hukum syarak
pun diharamkan
secara lahir pun sudah nista
dan hal itu dapat menjadi jalan kesesatan
dasar seorang durjana biasanya karena madat dan judi

(transliterasi dan translasi oleh sudibjo ZA, 1980: 113-4; 17)

Dilarang Percaya Ramalan
selain madat dan judi, percaya terhadap ramalan hasil perhitungan wuku-pun diharamkan. percaya akan hal itu bukan saja tidak baik, tetapi juga meracuni tauhid. pelakunya dinilai kufur oleh syariat. dia menduakan tuhan, sasat ngroro pangeran. gejala yang sejenis dengan wuku, yaitu ilmu laduni, falak, falkiyah, dan nujum, menurut kaul fikih yang kuat (kaul ingkang ekas), juga diharamkan.

tampaknya, yang dimaksud falak (palak) dan falkiyah (palkiyah) oleh Yasadipura II bukanlah astronomi, tetapi astrologi, atau astronomi yang digunakan secara menyimpang untuk tujuan meramal nasib. wuku, laduni, palak, palkiyah, dan nujum adalah kata-kata yang mengacu pada sebuah gejala yang sama, yaitu ramalan.

Yasadipura II, di samping mengemukakan pendapat yang kuat tentang ramalan, juga menunjukkan pendapat yang lemah (kaul langip). ini menunjukkan, dia mengajarkan syariat dengan penuh pengertian dan pemakluman, tetapi juga dengan ketegasan, tanpa terlampau memaksakan suatu pendapat yang kebenarannya dia yakini.

pendapat yang lemah tentang ilmu ramal-meramal menyatakan, yen sira yun uninga ing ngelmu kasab//kang winening ing agama, diterjemahkan dengan: sekirannya engkau ingin mengerti tengang ilmu kasab (ilmu mencari nafkah)//hendaknya mengambil yang dibenarkan oleh agama (sudibjo ZA, 1980: 18). penerjemahan ilmu kasab sebagai ilmu mencari nafkah, dalam konteks ini, saya pikir tidak pas. 

memang, kasab dalam bahasa arab merupakan bentuk turunan dari akar kata k-s-b, yang artinya berhubungan dengan usaha untuk mencari atau memperoleh harta. kalau arti harfiah ini yang dipakai, kita gagal membangun makna satuan teks yang bulat dan menyeluruh. antara keharaman ilmu meramal dengan ilmu mencari nafkah, tidak ada hubungan langsungnya. ilmu kasab dengan arti seperti ini baru dapat kita gunakan jika kita menakwilkan frasa 'ilmu kasab' berdasarkan data-data tekstual yang melingkunginya. artinya, pengertian 'ilmu kasab' diperluas sedemikian rupa sehingga sesuai dengan konteks tektstualnya. dengan begitu, ilmu kasab dipahami sebagai 'ilmu mencari nafkah berlandaskan ramalan' atau 'ilmu meramal yang dimanfaatkan untuk mendukung usaha mencari nafkah'.

namun demikian, kita tak perlu bersusah payah menakwilkan 'ilmu kasab'. sebab, kata 'kasab' pada frasa tersebut boleh jadi diturunkan dari akar k-s-b, tetapi boleh jadi pula diturunkan dari akar h-s-b. lidah jawa sukar mengucapkan h. sebab itu, huruf h sering dibunyikan secara 'kreatif' menjadi 'k'. jadi, 'ilmu kasab' yang disebut Yasadipura II adalah 'ilmu hasab' yang disalah-bunyikan. arti akar h-s-b antara lain menghitung, membilang, menyangka, mengira, dan (kira-kira) cukup. ilmu wuku atau pawukon termasuk ngelmu petungan, ilmu hitung atau matematika klenik. palak, palkiyah, dan nujum, sebagaimana pawukon, mengandung aspek matematis. hanya laduni yang tidak bersifat matematis. barangkali, matematika klenik yang digunakan untuk meramal inilah yang disebut Yasadipura II sebagai ilmu kasab. ilmu laduni digolongkan sebagai ilmu kasab karena identik dengan ramalan.

menurut kaul yang lemah, kita boleh mempelajari ilmu kasab, tetapi tidak semua ilmu kasab, melainkan hanya ilmu kasab yang dibenarkan agama. kendati Yasadipura II membentangkan kepada kita dalam sasanasunu pendapat lemah tentang ramalan atau ilmu kasab, dia tampak tidak bersimpati dengan pendapat ini. kelihatannya, dilihat dari keterangan yang diberikannya untuk pendapat kuat dan pendapat lemah--keterangan tentang pendapat kuat lebih panjang, yasadipura II mengambil pendapat yang kuat. dia memberi tekananan khusus bahwa (percaya) ramalan itu dilarang syariat.

larangan yang datang dari jantung budaya jawa ini mengejutkan. kehidupan masyarakat jawa tidak dapat dipisahkan dari ramalan, khususnya pawukon atau petungan. ramalan bahkan merupakan unsur pembangun kebudayaan jawa. sementara itu, yasadipura II, sebagai peletak dasar kebudayaan jawa, justru melarang pawukon.

Fikih Gamelan
tidak kurang mengejutkan daripada hal itu adalah larangan memainkan gamelan. namun, larangan ini tidaklah mutlak. leluhur jawa, tulis Yasadipura II, melarang anak cucunya memainkan gamelan pada upacara pernikahan. dia tidak menjelaskan apa alasannya.

gamelan dilarang bukan saja kerena leluhur telah melarangnya, tetapi juga karena syariat pun melarangnya. sebenarnya, masalah musik dan nyanyian hingga sekarang masih merupakan polemik fikihiyah. satu pendapat tegas mengharamkannya. pendapat lain cukup toleran. Yasadipura II tidak berpihak kepada pendapat yang pertama.

menurutnya, gamelan boleh dimainkan, asal tidak pada upacara pernikahan. pada upacara khitanan (tetakan) dan nujuh bulan (tingkeban), gamelan boleh dimainkan, walaupun itu tampak kelewat mewah (gegedhen nganggo gamelan). Yasadipura II sadar, hal itu memang sedikit melanggar peraturan (narajang waler sakedhik). tapi, bagaimana pun juga, gamelan telah menjadi tradisi (kalumrahaning urip). lagipula, sudah sepantasnyalah kita, sebagai abdi raja, memainkan gamelan pada upacara khitanan dan nujuh bulan.

tradisi menhendaki kita untuk tetap memainkan gamelan, meskipun itu dilarang leluhur dan syariat. jalan keluar dari dilema ini, sebelum gamelan dimainkan, kita berdoa memohon restu (dan ampun) kepada tuhan. kedua, perlu pula diadakan ritual untuk memohon restu dari leluhur. bila direstui, gamelan dimainkan. restu itu disampaikan melalui mimpi.

Kewajiban Belajar
kalau hukum gamelan masih problematis, hukum belajar tidak. kita harus belajar, dengan sungguh-sungguh. pelajar harus memperhatikan dan menjalankan etika menuntut ilmu.

den kerep nggugulang ngelmi
nggugurua para ngulama
lawan den kerep tatakon
minta waraning sujana
den bisa anoraga
aywa kuminter kumingsun
nadyan silih wusa bisa

api-apia tan bangkit
angarah wuruking liyan
menawa liya murade
kabecikan lan kamulyan
awit saking tumitah
prepteng wusananing maut
kamulyaning sangkan paran

rajin-rajinlah engkau mempelajari ilmu
berguru kepada para ulama
dan bertanyalah sebanyak mungkin
dalam hal minta ajaran para budiman
dan disertai pula dengan sopan santun
sekali-kali jangan sok pintar atau merasa diri paling hebat
meskipun engkau sudah mengetahui sesuatu masalah

lebih baik berpura-pura tidak dapat atau tidak mengerti
dalam usaha mendapatkan pengetahuan dari yang lain
siapa tahu ternyata penjelasannya berbeda
dan ternyata dapat mendatangkan kebaikan dan kemuliaan
duniawi
hingga ukhrawi
yang dapat disebut kemuliaan awal akhir

(transliterasi dan translasi oleh sudibjo ZA, 1980: 118; 21)

Kaifiyat Baca Kitab
kaifiyat atau metode membaca kitab dapat dimengerti sebagai bagian dari etika menuntut ilmu. Yasadipura II mengingatkan, dalam membaca kitab, janganlah kita terlena sehingga melupakan dan tidak mengamalkan ajaran yang dikandungnya. jangan pula terpesona dengan lagu pembacaannya saja. kitab-kitab jawa, termasuk yang ber-genre piwulang, dibacakan dalam forum dengan melagukannya. pembacaan berlagu ini disebut macapatan, persis seperti santri bertilawah al-quran.

karena asyik berlagu, pembaca lupa mengurai ajaran dan makna kitab yang dibacanya. lebih buruk dari itu, bagi muda-mudi, khususnya pada zaman Yasadipura II, forum macapatan malah menjadi ajang pamer keindahan suara. hal itu, tulis Yasadipura II, selain tidak bermanfaat, juga ngalingi lalandheping tyas, menabiri ketajaman hati.

macapatan, membaca kitab dengan berlagu, bukan tidak boleh. bukan pula tidak ada manfaatnya. metode macapatan justru diperlukan agar pembaca tidak lekas bosan. juga agar kita tertarik dan gemar membaca. akan tetapi, metode macapatan jangan sampai membuat kita lalai, mengesampingkan tujuan sejati membaca kitab atau buku. Yasadipura II menutup nasihatnya tentang kaifiyat membaca kitab dengan, kang winoco den aemut/catheten ing wardayanta; apa yang dibaca harus diingat, catatlah dalam hati sanubarimu. kalimat ini mengakhiri pembahasan tentang masalah syariat dalam serat sasanasunu, yang menggambarkan pandangan dan ajaran Yasadipura II tentang syariat.

serat sasanasunu menunjukkan bahwa jawa pada dasarnya identik dengan islam. klasifikasi sosial geertzian, yang memisahkan santri, priyayi, dan abangan, terbantah oleh data tekstual yang kita temukan dalam sasanasunu. klasifikasi tersebut pada kenyataannya merupakan kontinum perkembangan islam baik secara individual maupun sosial. pada puncak perkembangan itu kita menemukan pribadi semacam yasadipura II yang di dalam dirinya terhimpun kepriyayian sekaligus kesantrian. dalam kasus yasadipura II dan serat sasanasunu karangannya, priyayi bukan hanya identik dengan santri, jawa bukan hanya identik dengan islam, tetapi bahkan kesantrian merupakan galih kepriyayian, dan islam merupakan galih kejawaan (kejawen).

keraton jawa, dalam konteks ini keraton surakarta di mana Yasadipura II mengabdi dan mengajar, mengembangkan wawasan islam yang ortodoks tetapi moderat. berdasarkan data tekstual dalam serat sasanasunu, Yasadipura II adalah santri-pujangga yang cenderung berpaham neo-sufisme. doktrin yang diajarkannya tidak heretik. dia mengarus-utamakan syariat. baginya syariat merupakan wadah atau wadak, sedangkan isi atau ruhnya adalah tasawuf. yasadipura II, sebagaimana imam al-ghazali, memahami fikih sebagai bagian dari tasawuf.

syariat, fikih, dalam serat sasanasunu, dengan demikian juga dalam sastra jawa secara relatif, memperoleh perhatian dan kedudukan tinggi dan istimewa. yasadipura II tampaknya menulis sedemikian banyak karya sastra antara lain untuk mengajarkan islam dengan medium kebudayaan jawa.