26/06/16

Setelah Malam, Datanglah Siang

Malam tidak kekal. Siang pun tidak hadir selamanya. Setalah malam, datang siang. Sesudah siang, tibalah malam. Lanskap langit pun berganti. Senja pergi selangkah demi selangkah. Matari turun panggung. Giliran bulan menampilkan wajahnya yang cantik dan cemerlang. Di sekelilingnya, bertebaran jutaan bintang.
Begitulah al-Quran memberikan amsal cakra manggilingan. Lakon kehidupan bagai roda yang berputar. Yang berada di atas, tidak selamanya di atas. Yang hidup, tidak selamanya hidup. Yang berjaya, tidak selamanya berjaya. Yang kuat, tidak selamanya kuat. Yang pintar, tidak selamanya pintar. Yang cantik, tidak selamanya cantik. Yang kaya, tidak selamanya kaya. Yang muda, tidak selamanya muda. Malam tidak selamanya. Siang tidak selamanya.
Setiap makhluk punya batas akhir. Ajal akan datang. Mati sedang menanti. Maut sedang menunggu. Makhluk tidak mungkin terbebas dari sifat fana. Entah kapan, tapi pasti, makhluk bakal lenyap. Tiada satu pun tersisa, kecuali ruh keabadian. Semua yang ada di muka bumi, pasti sirna. Yang tetap ada, selamanya ada, adalah wajah-Nya.
Kasunyatan tersebut begitu jelas. Begitu tak tarbantah. Juga begitu intim. Tapi pikiran kita sering mengembara terlampau jauh. Keinginan kita sering terbang terlalu tinggi. Akibatnya, kita jadi kelewat berjarak dari kenyataan.
Kenyataan berkata, siapa ada di atas, bakal turun. Tapi kita menyangkal: saya pasti di atas selamanya. Saya akan jadi raja selamanya. Saya akan jadi pejabat selamanya. Saya akan jadi figur terhormat, selamanya. Saya akan menikmati status dan gengsi tinggi, selamanya. Ketika masa demisioner datang, ketika masa pensiun menghampiri, kita pun terhenyak. Ternyata, apa yang selama ini diyakini sebagai kebenaran, hanyalah sangkaan belaka. Raja hanya jabatan sementara. Presiden, gubernur, bupati, camat, lurah, juga hanya peran sosial sementara. Setelah seorang raja turun, dia digantikan raja selanjutnya. Setelah siang berlalu, malam pun hadir. Setelah malam rampung, siang pun memulai jejaknya.
Ibrahim bin Adham, sang guru dari Khurasan itu, pernah ditegur keras oleh Khidr. Waktu itu Ibrahim menjabat sebagai raja Balkh. Seorang musafir, entah dari penjuri bumi mana, sekonyong-konyong masuk istana, langsung menghampiri Ibrahim yang sedang duduk di singgasana. Pakaiannya serba sederhana. Dekil dan kotor.
“Hai musafir,” tanya sang raja “apa keperluanmu datang ke istanaku?”
Tamu gelandangan itu menjawab, “Hamba butuh tempat istirah. Hamba ingin menginap di sini, Yang Mulia. Sebentar saja. Barang semalam dua malam.”
Ibrahim panas. Wajahnya memerah. “Kaukira istanaku ini penginapan?”
“Lho, bukannya memang demikian, Paduka? Bolehkah hamba bertanya?”
“Apa yang hendak kautanyakan?”
“Sebelum Paduka, siapa yang bersemayam di singgasana yang sedang Paduka duduki itu?”
“Ayahku.”
“Sebelum ayahanda Paduka?”
“Kakekku. Itu sudah jelas.”
“Sebelum kakenda Paduka?”
“Buyutku.”
“Lantas, apa bedanya singgasana Paduka itu dengan ranjang penginapan? Apa bedanya istana ini dengan hotel? Apa bedanya, Paduka? Apa bedanya?”
Ibrahim terdiam, seketika termenung. Air matanya mengaliri pipi. Dia baru ingat, raja hanya jabatan sementara. Hidupnya akan khatam di liang lahat. Kemudian, anaknya dinobatkan sebagai raja baru. Dunia tidak bisa, tidak pula mungkin, jadi sandaran hati. Sebuah tekad pun menyelinap masuk ke dalam dada: mencari Yang Abadi, tonggak kokoh yang tak hanyut diseret arus perguliran siang dan malam.
“Hai musafir, siapa sebenarnya Engkau?” tanya Ibrahim, setelah tenggelam dalam permenungan.
Musafir itu hanya menjawab dengan diam. Lalu pergi meninggalkan Ibrahim. Melangkah keluar dari pintu istana, entah ke penjuru bumi mana. Ditinggalkan begitu saja, Ibrahim kembali tenggelam dalam lautan permenungan. Dia merasa gersang. Dia mengalami kehampaan. Dia berhadapan dengan rentetan pertanyaan oneng: untuk apa kau melakukan semua ini? Apa makna kehidupan ini? Apakah untuk ini kau diciptakan? Siapa engkau? Dari mana dan akan ke mana engkau?
Ibrahim kemudian melepaskan mahkota, juga jubah raja. Mengenakan pakaian rakyat jelata, yang fakir dan gelandangan. Mendermakan seluruh harta. Dia pun mengembara untuk mencari jawaban, mencari makna, mencari hikmah, mencari Yang Abadi. Kota demi kota disinggahi. Gurun demi gurun dilalui. Dari Balkh, dia berjalan hingga ke Mekah, akhirnya hingga ke Siria, tempat ajal menjemputnya dengan lemah lembut. Ibrahim bin Adham, sebagaimana manusia lain, sebagaimana makhluk hidup yang lain, akhirnya mati. Yang hidup, tidak selamanya hidup. Entah kapan, tapi pasti, dia bakal mati. Tiada kehidupan hakiki, kecuali Yang Maha Hidup.
Dalam setiap kematian, kita menyadari kefanaan diri, mengingat Dia Yang Tidak Berajal. Dalam setiap kasunyatan, kita mengenal diri untuk mengenal-Nya. Begitulah seharusnya. Tapi keharusan jelas bukan kenyataan sehari-hari.
Batara Darma pernah menguji putranya, Yudhistira. “Apakah hal yang paling mengherankan di dunia ini?” tanya Batara Darma.
Perlahan, tenang, dan mantap, Yudhistira menjawab, “Hal yang paling mengherankan di dunia ini adalah, setiap hari terjadi kematian. Tapi, orang-orang tidak memikirkannya.” Kematian dianggap peristiwa massal yang biasa, yang tak perlu dipikirkan. Tak perlu dipertanyakan, mengapa kehidupan mesti diakhiri kematian. Tak perlu dipersoalkan, apa yang ada di balik dan di belakang kematian. Hakikat kehidupan yang fana ini, tak perlu dipermasalahkan.
Kebanyakan orang memang bersikap demikian. Tapi Chairil tidak. Dia bukan orang kebanyakan. Setelah neneknya meninggal, hatinya galau bukan kepalang. Dia gelisah, seperti Camus gelisah, seperti Heidegger gelisah. Kehidupan jadi terasa sia-sia. Absurd. Tak terpahami. Mengapa kehidupan mesti berakhir dengan kematian? Apa makna kasunyatan ini? Maka, pada Oktober 1942, Chairil menulis puisi pertamanya. Judulnya Nisan, sebuah ode untuk almarhum neneknya.

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta.

Chairil muda bingung, mengapa kehidupan neneknya, perempuan yang sangat baik itu, mesti berakhir dengan kematian? Dan dia lebih bingung lagi, mengapa neneknya menerima kematian, yang datang tiba-tiba untuk merenggut seluruh kesenangan, dengan segala keridaan? Sejak neneknya meninggal, selama tujuh tahun ke depan, Chairil bergumul dengan jalinan pertanyaan oneng tersebut. Apakah pada akhirnya Chairil menemukan jawaban, kita tak tahu pasti. Sejarah hanya merekam, pada 1949 dia menulis Derai-Derai Cemara.

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

Chairil akhirnya menyadari dan merasakan, hari memang dan pasti akan jadi malam. Siang hari tidak hadir selamanya. Siang hari ada batasnya. Sesudah siang, tibalah malam. Dahan pohon tidak selamanya kokoh. Pada waktunya, dia akan merapuh, jatuh dipukul angin yang terpendam. Dedaunan yang dulu muda itu pun sekarang mengering kemudian gugur. Dunia ini fana. Setiap makhluk punya ajal. Dan bagi manusia seperti Chairil, ajal itu semakin lama semakin menambah keterasingannya dari cinta sekolah rendah. Kepastian datangnya ajal menyebabkan Chairil tidak dapat mencecap segenap nikmat kesenangan duniawi.
Mengapa ajal datang, mengapa kehidupan berujung pada kematian, tetap tak terjawab. Bagi Chairil, hal itu tetap jadi misteri, tetap tidak diucapkan. Berhadapan dengan kematian, ternyata manusia tidak bisa bersikap lain kecuali menyerah. Bendera putih dikerek naik ke pucuk tiang. Kita pun mengaku kalah, tunduk, menyerah. Kita pun bersyahadat. Taslim, islam, tampaknya satu-satunya jawaban dari misteri kematian, dari problem of evil, dari segenap absurditas kehidupan.
Al-Quran menyatakan, islam adalah agama fitrah, agama yang selaras dengan conditio humana, juga dengan state of nature. Sejak zaman Bapa Adam hingga kiamat kelak, hanya ada satu agama rohani yang dapat kita jadikan pakaian untuk memuliakan pribadi, hanya ada satu agemaning aji, yaitu agama kemenyerahan, kepasrahan, kesumarahan, ketundukan, keridaan. Itulah islam. Islam dalam maknanya yang terdalam dan terdasar ini adalah ruh yang merasuk ke dalam jasad semua agama formal.
Dan dengan jalannya sendiri, bermula dari permenungannya yang intensif akan kematian, Chairil menemukan ruh itu. Dia menemukan makna: hidup hanya menunda kekalahan puncak, sebelum pada akhirnya kita sepenuh-penuhnya menyerah. Misteri kematian mempertemukan Chairil dengan Tuhan. Berhadapan dengan-Nya, Chairil merasa seperti laron yang terbang memburu api lilin, terjun ke dalam api tersebut, lalu terbakar habis di dalamnya. Dalam Doa, Chairil menulis

….
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
….
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling.

Laron telah habis terbakar. Hilang bentuk. Remuk. Fana. Tiada. Nol. Yang ada, satu-satunya yang ada, tinggal kerdip lilin di kelam sunyi. Semua yang ada di muka bumi, pada hakikatnya fana dan pada akhirnya akan sirna sama sekali. Yang ada, tinggal wajah-Nya, tinggal Dia satu-satunya. Ketika laron tiada lagi, api lilin tampak nyata gamblang. Tidak satu pun benda yang menghalangi pandangan mata kita. Ketika Chairil telah merasa hilang bentuk dan remuk di dalam Tuhan, dia tidak bisa berpaling dari-Nya. Dalam kesadaran akan kefanaan itu, disaksikanlah keabadian, Yang Abadi. Charil telah menemukan-Nya. Diam-diam Chairil menyembunyikan rahasia perjumpaan dengan-Nya dalam puisi.
Perjumpaan itu, pengenalan itu, tidak akan terjadi sekiranya Chairil tidak merenungi kematian neneknya. Seandainya dia tidak terheran-heran akan kasunyatan kematian, kita tidak mewarisi puisi-puisi indah gubahan Chairil: Nisan, Derai-Derai Cemara, Doa, yang semuanya adalah gema dari suluk dan munajat yang ditulis para guru pada masa dulu. Juga gema dari pesan Nabi: matilah sebelum engkau mati. Menjadi tiada untuk menyaksikan Sang Ada. Mengenal diri untuk mengenal-Nya. Menyadari kefanaan untuk merasakan keabadian. Merenungi perguliran malam dan siang untuk menguak misteri kehidupan.
Saya kira, inilah rahasianya mengapa Nabi menangis persis setelah dua ayat dari surat Al ‘Imran ini diturunkan menjelang subuh hari, titik waktu antara malam dan siang, momen pergantian malam dan siang.

Sesungguhnya
dalam kesinambungan penciptaan langit dan bumi
dan pergantian malam dan siang
tersembunyi isyarat-isyarat keber-ada-an-Nya
bagi penjaga rahasia hati

yaitu orang-orang yang mengingat Allah
ketika berdiri, ketika duduk, ketika berbaring
dan merenungkan misteri
kesinambungan penciptaan langit dan bumi
sehingga bermunajat mereka:
O, Tuhan kami, tidaklah Engkau
menciptakan semua ini sia-sia
Maha Suci Engkau
lindungi kami dari api neraka

(QS Al ‘Imran: 190-191)

Menerima ayat-ayat sesunyi dan semenggatarkan itu, betapakah Nabi tidak menangis? Mata kita pun, jika menghayati kandungan makna ayat-ayat itu, tentu berkaca-kaca. Pipi terasa hangat. Kita pun tanpa sadar menangis sepuas-puasnya. “Dan karena hidup itu indah,” tulis Sapardi dalam Dalam Diriku “aku menangis sepuas-puasnya”. Barangkali inilah puncak kebahagiaan: keinsyafan akan misteri dan paradoks kehidupan. Dzikir yang tak kunjung putus. Kas(ah)idan jati. Sasahidan, kesaksian akan keber-ada-an-Nya. Kesadaran akan kebermaknaan hidup. Penemuan hikmah bahwa kehidupan nyatanya tidaklah sia-sia, tidaklah absurd.
Datangnya kematian setelah kehidupan, perguliran malam dan siang, cakra manggilingan, semua kasunyatan itu ternyata adalah cara-Nya mengenalkan diri kepada hamba. “Aku,” firman-Nya dalam sebuah hadits suci masyhur “adalah perbendaharaan tersembunyi. Aku cinta untuk dikenal. Secara sinambung, Aku ciptakan makhluk. Dengan-Ku mereka mengenal-Ku.” Rahasia penciptaan adalah pengenalan. Daya penggerak penciptaan adalah cinta. Tujuan penciptaan adalah ibadah.
Sekali lagi, kehidupan tidak sia-sia. Kehidupan tidak absurd. Ada isyarat suci di balik problem of evil. Ada makna yang terpendam jauh di kedalaman simbol. Ada hikmah yang terhampar di semesta raya dan dalam diri kita. Ada kebahagiaan dalam cobaan. Karena itu, kita tak perlu membayangkan bahwa Sisyphus berbahagia. Biarlah Camus terkubur bersama khutbahnya.


Bumi Mataram, malam Senin, 21 Ramadan 1437 H

14/06/16

Jembatan Itu Bernama Agama

Ahmad Tohari pernah menulis sebuah cerpen berjudul Orang-Orang Seberang Kali. Tokoh utamanya adalah kyai yang tinggal di suatu desa yang religius, katakanlah kampung santri. Sebuah sungai memisahkan kampung santri ini dengan kampung seberang sana. Tidak hanya memisahkan secara geografis, tetapi juga secara kebudayaan.
Kalau penduduk kampung sang kiai pada umumnya saleh, penduduk kampung seberang sana abangan, jadi awam dalam hal agama, bahkan direndahkan sebagai orang bodoh. Warga kampung abangan gemar berjudi sabung ayam. Seorang tokoh kampung yang kecanduan judi sabung ayam, mengalami sakaratul maut yang ganjil. Sebelum nyawa lepas dari badannya, dia bertingkah seperti ayam jago yang menang sabung: berkeliling halaman rumah, mengepak-kepakkan tangan laksana jago mengepak-kepakkan sayap, lantas berdiri tegap dengan membusungkan dada, mengumandangkan kokok kejayaan, setelah itu tersungkur rebah ke tanah.
Adegan simbolis itulah yang memikat saya ketika saya membaca cerpen tersebut pada kali pertama. Saya menganggap cerpen itu ditulis dengan plot yang memuncak, dengan bagian akhir sebagai simpul makna. Setelah saya renung-renungkan, anggapan terburu-buru ini tidak tepat benar. Memang plot Orang-Orang Seberang Kali memuncak, tetapi simpul maknanya tidak diletakkan di ujung, melainkan di pertengahan cerpen, dengan adegan: sang kiai berjalan meniti jembatan pinang yang melintang di atas sungai yang menghubungkan kedua tepinya.
Dengan meniti jembatan itu, sang kiai sedang akan memasuki dunia yang lain, dunia abangan yang tidak selalu sesuai, bahkan banyak berbeda, dengan dunia santri yang selama ini dihidupinya. Dia sedang menyeberang dari dunia santri ke dunia abangan. Tapi, sebetulnya dia tidak hanya menyeberang. Lebih dari itu, dia menghubungkan kedua dunia tersebut. Jadi, peran dan fungsinya analog dengan peran dan fungsi jembatan pinang yang menghubungkan dua tepian sungai, yang sedang dititinya. Sang kiai adalah jembatan pinang itu sendiri. Atau, dikatakan secara terbalik, jembatan pinang itu merupakan simbol bagi sang kyai, bagi kekyaian.
Pesan Orang-Orang Seberang Kali pun menjadi terang-benderang: kyai harus menghubungkan dua dunia, dua kebudayaan, yang sukar bertemu, yaitu dunia santri dan dunia abangan. Dia tidak boleh bersikap eksklusif dan isolatif dalam kesantriannya, sembari meninggalkan dan menyalahkan kaum abangan. Seorang kiai harus menjadi jembatan. Soalnya, kebanyakan kiai tidak mampu bersikap demikian. Bagi mereka, santri adalah santri, abangan adalah abangan. Tidak ada jembatan. Abangan dan santri selamanya musuh abadi.
Walaupun kenyataan berkata demikian, imbauan simbolis Ahmad Tohari melalui cerpennya itu tetap mengandung kebenaran. Kyai sudah seharusnya hidup sebagai jembatan, sebagaimana Baginda Muhammad yang juga hidup sebagai jembatan. Pertama-tama jembatan spiritual, selanjutnya jembatan sosial.
Pemimpin keagamaan yang bertugas sebagai jembatan spiritual itulah yang oleh Nasr disebut manusia pontifikal. Kata pontifikal berasal dari kata dasar pontifex, artinya jembatan. Langit dan bumi, keilahian dan kemanusiaan, bagai dua tepi sungai yang terpisah. Harus ada jembatan yang menghubungkan langit dan bumi, ialah manusia pontifikal, dengan mana umat yang tinggal di bumi dapat menjalani kehidupan duniawi dalam rangka naik menuju langit tertinggi.
Konsep Nasr tentang manusia pontifikal, yang diperluasnya dari konsep al-insan al-kamil Ibnu Arabi, berhenti pada aspek spiritual ini. Implikasinya, manusia pontifikal tampil sebagai figur satu dimensi, sosok spiritual belaka, yang seolah-olah tidak memiliki dimensi sosial. Padahal, justru dalam kancah sosial-lah spiritualitas manusia pontifikal diuji. Kancah sosial akan mengesahkan dan melegitimasi apakah seseorang berhak menyandang gelar kudus manusia pontifikal atau tidak.
Mengapa Nasr luput mengembangkan konsep manusia pontifikalnya secara sosial? Kalau didekati secara hermeneutis, jawabannya berpulang pada biografi Nasr. Nasr lahir sebagai putra seorang cendekiawan berjabatan tinggi dalam pemerintahan Iran pada zamannya. Setelah memperoleh pendidikan terbaik di Iran, dia belajar di MIT, kemudian di Harvard. Sepulang dari Amerika, Nasr segera memperoleh tempat istimewa dalam lingkaran Syah Iran.
Pendeknya, secara sosial, Nasr bagian dari masyarakat kelas atas, tepatnya kelas elit. Kemiskinan dan kelaparan tidak menghantui masa kecil dan masa mudanya. Karena itu, jika konsep manusia pontifikalnya berhenti pada tataran spiritual, itu wajar-wajar saja. Realitas sosial yang keras berada di luar jangkauan horizon eksistensialnya.
Itulah yang membedakan Nasr dengan pemikir lain senegerinya, Ali Syariati. Penulis Manusia Haji yang mati muda secara misterius itu mengembangkan apa yang dalam lingkungan Katolik dinamai teologi sosial, dengan pendekatan Marxisme. Proyek Syariati adalah menurunkan ke bumi doktrin teologi Islam yang sebelumnya terbang melayang-layang di langit metafisis.
Bagi Syariati, Islam tidak saja harus menjawab, tetapi sejatinya merupakan jawaban, problem sosial. Tapi, di tangan ulama yang kehilangan etos sosial karena berbagai faktor, teologi Islam menjadi tidak bermanfaat bagi kaum marjinal yang tertindas, kaum miskin yang kelaparan, kecuali sebagai teodisi. Agama menjadi sekadar obat penenang yang tidak menyembuhkan—sebagai candu, kata Marx.
Di belahan dunia Islam yang lain, yaitu di Pakistan, proyek teologis Syariati digeluti pula oleh Asghar Ali Engineer. Islam tidak bisa mengelak dari fitrah keberpihakannya kepada kaum marjinal. Ia harus hadir sebagai kawan sekaligus pembela mereka. Di Indonesia, proyek teologi sosial Syariati dan Engineer diterjemahkan dalam bentuk praksis oleh Ahmad Dahlan dengan jalan dan gayanya sendiri.
Mbah Dahlan mendirikan Muhammadiyah, kemudian membangun organ-organ operasionalnya, antara lain sekolah, badan amal usaha, dan rumah sakit. Nama mula-mula rumah sakit Muhammadiyah, Pertolongan Kesengsaraan Umum (PKU), menegaskan ruh sosial teologi Mbah Dahlan. Sayangnya, setelah puluhan tahun ditinggalkan Mbah Dahlan, Muhammadiyah semakin menjauh dari khittah-nya sebagai institusi teologi sosial.
Kini Muhammdiyah cenderung menjadi lembaga elitis yang tenggelam dalam ideologi kelas menengah. Mbah Dahlan berpihak kepada kaum marjinal, sedangkan Muhammadiyah kontemporer berpihak kepada kelas menengah. Mbah Dahlan menjadi jembatan yang menghubungkan kaum kaya dan kaum miskin, sementara Muhammadiyah kontemporer terisolasi dan eksklusif dalam elitismenya.
Kepada pemimpin Muhammadiyah khususnya, juga kepada ulama pada umumnya, cerpen Orang-Orang Seberang Kali mengingatkan: agama, juga pemimpin agama, bertugas sebagai jembatan sosial. Agama adalah jembatan yang menghubungkan golongan santri dan golongan abangan, kelas menengah dan kelas bawah. Santri modern pada umumnya berlatar belakang sosial kelas menengah, sedangkan wong cilik muslim pada umumnya berkultur abangan.
Namun demikian, tugas kejembatanan Islam tidak berlaku dalam ruang internal masyarakat Islam saja. Islam pun harus menguniversalkan dan mentransendensikan dirinya dalam rangka mengambil peran sebagai jembatan bagi agama-agama yang berseberangan. Pada zaman Nabi, Islam menjadi jembatan bagi Nasrani dan Yahudi, dua agama abarahamik yang sukar berjabat tangan dalam damai. Pada zaman wali, Islam di Jawa relatif berhasil menjadi jembatan agama-agama, perihal yang menjelaskan mengapa Islam di Jawa tampak sinkretis.
Akan tetapi, saat ini Islam telah isolatif dan eksklusif, duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan Nasrani, Yahudi, Hindu, Buddha, dan agama-agama lain. Umat Islam menghancurkan jembatan religius yang telah dibangun leluhurnya kemudian membangun bentengnya sendiri. Konsekuensinya, kerahmatan Islam bagi semesta selalu dan selalu dipertanyakan.

Supaya kembali ke trayektori kerahmatannya, Islam perlu kembali menjadi jembatan. Ulama perlu kembali menjadi manusia pontifikal, baik dalam arti spiritual, lebih-lebih dalam makna sosial. Meminjam terminologi Ghazali, ilmu mesti disertai amal. Mudah dikatakan, tetapi pasti susah dilaksanakan, apalagi kalau kita mempertimbangkan kondisi sosial objektif Islam saat ini. 

07/06/16

Lelaki Telanjang Kaki

Lelaki ini aneh. Waktu itu Baghdad telah jadi kota besar, metropolis Islam, latar kisah Aladin dan 1001 Malam. Penduduk kota umumnya berpenampilan kece dan terhormat. Mereka ingin dipandang sebagai warga muslim yang berbudaya dan berperadaban.
Tapi lelaki ini aneh. Pada zamannya, dia adalah kontras bagi Baghdad yang sedang bersolek. Pakaiannya sederhana, bahkan kelewat sederhana. Siapa pun yang melihatnya untuk pertama kali, pasti mengira dia pengemis. Pengemis + gelandangan. Berjalan ke mana pun, dia tidak mengenakan terompah. Tidak juga sepatu. Dia merasa harus menapaki bumi dengan kaki telanjang.
Lelaki telanjang kaki, itulah gelar keagungannya, yang dalam bahasa Arab disebut al-hafi. Dia memang agung. Ahmad bin Hambal adalah muridnya. Imam besar Mazhab Hambali ini begitu sering mengunjungi al-Hafi. Sampai-sampai, santrinya tidak habis pikir. Bertanyalah si santri yang bingung ini, “Sekarang nJenangan kan ulama top dalam ilmu hadits, fikih, kalam, dan berbagai disiplin ilmu lain, tapi nJenangan malah berguru kepada al-Hafi, gelandangan awam itu. Apa pantas?”
“Memang,” jawab Ahmad bin Hambal “dibanding al-Hafi, saya lebih mengenal semua ilmu yang kamu sebutkan tadi. Tapi, al-Hafi lebih mengenal Allah daripada saya.” Jadi, kepada al-Hafi, Ahmad bin Hambal menimba ilmu tentang Allah. Kelak, ilmu ini dikenal sebagai makrifat. Kebudayaan Jawa menyebutnya dengan sejumlah nama, antara lain ngelmu kasampurnan, sastra gendhing, dan hidayat jati. Hanya ulama tertentu, yang dipilih langit, yang memperoleh kewenangan mengajarkan ilmu dasariah ini. Dan al-Hafi termasuk ulama yang dipilih langit.
Mengapa langit memilih al-Hafi, ceritanya begini. Kita mulai dari kelahirannya. Lahir di Marw, Turkmenistan pada 150 H, 767 M, dia diberi nama Bishr. Ayahnya bernama al-Harits. Entah bagaimana mula bukanya, ketika dewasa Bishr tinggal di Baghdad dan tenggelam dalam kehidupan kelam. Malam-malamnya dipenuhi arak dan tuak. Dia terkenal sebagai preman.
Barangkali dia jenuh dengan gaya hidup seperti itu. Barangkali dia merasa gersang, hampa, oneng. Tentang perasaan Bishr ini, kita hanya bisa ber-barangkali. Tapi tentang religiositasnya, kita bisa merasa yakin bahwa Bishr memendam hal itu di kedalaman lubuk hatinya. Selama menjalani kehidupan kelam, Bishr menyimpan sendiri religiositasnya. Religiositas jadi kesunyiannya sendiri. Apa bukti religiositas pemabuk Bishr?
Seperti biasanya, malam itu dia mabuk lagi. Ketika melangkah sempoyongan di jalanan, dia melihat sehelai kertas bertuliskan kalimat basmalah. Lalu, dia mengambilnya. Tiba di rumah, kertas itu dibersihkannya, disemprotnya dengan wewangian, dan dihias dengan bunga. Bishr kemudian meletakkan kertas itu di tempat yang tinggi dan terhormat. Bayangkan, seorang pemabuk melakukan tindakan kudus yang bahkan sering tak terpikir oleh ulama sekali pun, apalagi ulama yang hatinya berkiblat pada dunia.
Wajarlah kalau malam itu, ya, malam itu juga, seorang wali dalam mimpinya menerima pesan langit yang harus disampaikan kepada Bishr. “Engkau,” demikian bunyi pesan itu “telah mewangikan nama-Ku. Aku pun mewangikan namamu. Engkau telah meninggikan nama-Ku. Aku pun meninggikan namamu. Engkau telah mensucikan nama-Ku. Aku pun mensucikan namamu. Demi keagungan-Ku, niscayalah Aku mewangikan namamu di dunia ini dan di akhirat kelak.”
Ketika bangun dari tidur, sang wali tertegun. Mimpiku ini memang pesan dari langit atau hanya karangan setan? Inilah pertanyaan yang mungkin melintas di benaknya saat itu. Dia membatin, “Bishr adalah seorang awam. Pemabuk pula. Barangkali pandangan mata hatiku sedang kabur.” Untuk mengecek kebenaran mimpinya, dia pun berwudu, salat, lalu kembali tidur. Ternyata dia didatangi mimpi yang itu-itu juga.
Esok paginya, dia segera mencari Bishr. Sang wali menyambangi rumah tempat Bishr berpesta arak.
Kepada penghuni rumah, dia bertanya, “Apa Bishr di sini?”
“Ya, itu dia. Sedang minum. Mabuk berat tuh.”
“Katakan kepadanya, aku membawa pesan untuknya.”
Mendengar hal itu, Bishr menjumpai sang wali. “Pesan dari siapa?”
“Pesan dari Allah.”
“Waduh,” seru Bishr. Tangisnya pun meledak.
“Ini pesan merendahkan atau pesan meninggikan? Tunggu, izinkan aku menyampaikan sesuatu kepada kawan-kawanku dulu.”
Di depan kawan-kawannya sesama pemabuk, Bishr mengucapkan kata-kata perpisahan. “Bung, aku baru saja menerima undangan. Aku akan pergi. Selamat tinggal. Selamanya, kalian tidak akan melihatku berpesta arak lagi.”
Sejak saat itu, Bishr menghayati kehidupan asketik. Dia menjadi aneh bagi Baghdad, kontras tajam bagi kota pesolek itu. Kini, sahabatnya bukan arak dan tuak lagi, melainkan haus dan lapar, fakir dan papa. Pakaiannya begitu sederhana, seperti pakaian pengemis. Ke mana pun, dia tak pernah memakai alas kaki.
Dia pernah ditanya, “Kenapa nJenengan tidak mengenakan terompah atau sepatu?”
“Pada hari ketika saya beruluk salam dengan Allah, saya bertelanjang kaki. Semenjak itu saya malu memakai alas kaki. Lagipula, Allah juga berkata kepadaku, ‘Aku telah menjadikan bumi sebagai karpetmu’. Tak patutlah kalau saya manapaki karpet Sang Raja dengan terompah.”
Bishr al-Hafi memang berkata begitu. Tapi selain adab, bertelanjang kaki juga bisa bermakna lain, khususnya bagi kita yang jangankan beruluk salam, mengenal Allah saja belum. Bertelanjang kaki, saya pikir, adalah pasemon, metode al-Hafi memberikan pengajaran religiositas kepada kita. Perkenankan saya mencuplik sebuah bait dari Ziarah Tanah Jawa, puisi gubahan penyair yang puisi-puisinya sering saya kutip, Iman Budhi Santosa.
Lepaskan pula terompah sepatu dan seluruh buku
menapaklah dengan kaki telanjang
biar pasir kerikil memijat kembali
telapak kakimu yang berkarat dan membesi
Kaki telanjang adalah lambang cara dan syarat pencarian ilmu. Bukan sembarang ilmu, melainkan akarnya, induknya, hulunya segala ilmu. Pada zaman Yunani Kuno, ilmu ini bernama philosophia, cinta (dan) kearifan. Dalam dunia Islam, ilmu ini disebut tasawuf atau makrifat atau al-hikmah al-muta’aliyah. Dalam Hindu, dikenal sebagai sanatana dharma. Dalam Buddha, disebut prajnaparamitha.
Semua berbicara tentang kesuwungan yang dicapai setelah pendakian spiritual (al-‘aqabah) yang minta ampun beratnya. Berat minta ampun, sebab pendaki harus terus-menerus melawan keakuannnya (mukhalafah al-nafs) hingga keakuan tersebut lebur larut dalam samudera ketiadaan. Kabarnya, itulah kesuwungan, taman (al-jannah) tempat pencari ilmu mengalami kebahagiaan sejati.
Dalam pencarian ilmu itu, dalam pendakian spiritual itu, dia harus bertelanjang kaki. Dia harus menanggalkan terompah dan sepatu. Terompah dan sepatu adalah lambang keberadaban, kehormatan, kemuliaan, ketinggian, keberpunyaan. Simbol prestige dan martabat. Dia harus meninggalkan itu semua bukan hanya secara empiris tetapi lebih secara hakiki.
Maksudnya, dia perlu masuk ke dalam kesadaran kefakiran. Dia tidak memiliki sesuatu pun. Al-Qur’an mengingatkan, Allah Maha Kaya, sedangkan kita hanyalah kaum fakir di hadapan-Nya. Dengan kesadaran kefakiran itu, dia berkemungkinan mengalami kenikmatan spiritual. “Orang yang jadi bagian dari kenikmatan spiritual,” tulis William James dalam The Varieties of Religious Experience “akan membuang apa yang dimilikinya seperti membuang terompah.” Berjalan dengan kaki telanjang menandakan penerimaan, kebercukupan, dan kekayaan rohani. Sugih tanpa bandha, kata Sosrokartono.
Selain menanggalkan terompah, pencari ilmu juga disyaratkan melupakan buku. Buku melambangkan tumpukan klaim kebenaran. Kalau klaim tersebut benar, dengan kandungan buku, kita menyaksikan Tuhan. Tapi, kalau klaim kebenaran itu salah, hanya karena membaca buku, karena ingin (merasa/dipuji) pintar, jarak kita dengan-Nya bertambah jauh.
Klaim kebenaran, dari zaman ke zaman, menjelma dalam berbagai wujud: mitos, logos, sains, adat, bahkan tafsir kitab suci. Adakalanya, mau tak mau, siap tak siap, kita perlu merobek-robek tabir-tabir itu biar pasir kerikil memijat kembali telapak kaki kita yang berkarat dan membesi, agar pada akhirnya kasunyatan tersingkap di depan mata hati.
Tentang melupakan buku ini, ada cerita menarik seputar Bishr al-Hafi. Sebagaimana Bukhari, Muslim, dan ulama hadits lain, Bishr juga mengumpulkan hadits. Dia catat hadits-hadits itu dalam buku-bukunya. Akhirnya, buku catatan itu terkumpul hingga tujuh peti. Dia tidak mengajarkan, apalagi mencetak, kumpulan haditsnya. Al-Hafi malah menggali tanah untuk mengubur buku-buku tersebut.
Kenapa? “Saya ingin, saya bernafsu, mengajarkan hadits. Seandainya tak punya keinginan untuk itu, saya sudah mengajarkannya.” Bahkan, bagi al-Hafi, hadits pun jadi tabir spiritual. Mengajarkan hadits bisa jadi perpanjangan keinginan dan kepentingan pribadi. Begitulah al-Hafi, dia tampaknya memang sudah dibebaskan dari keinginan dan kehendak dan kepentingan pribadi. Lelaki telanjang kaki dari Baghdad itu tampaknya telah mencapai kesuwungan. Namanya diwangikan, ditinggikan, dan disucikan di dunia dan di akhirat.
Tidak salah jika Ahmad bin Hambal begitu menghormatinya, bahkan merasa perlu berguru kepadanya. Tidak hanya manusia, bahkan bighal pun menghormati al-Hafi. Ternyata, selama al-Hafi tinggal dan hidup di Baghdad, tak seekor pun bighal membuang kotoran di kota tersebut. Sebab, bumi Baghdad sedang ditapaki oleh kaki telanjang al-Hafi.
Suatu malam, seorang warga Baghdad berkata, “Ah, Bishr al-Hafi telah tiada.” Setelah diselidiki, ucapannya terbukti. Memang al-Hafi meninggal malam itu. Bagaimana dia tahu bahwa al-Hafi meninggal malam itu? “Sepanjang hidup al-Hafi,” ujarnya “di Baghdad tak tampak kotoran bighal. Malam ini aku menemukan kotoran bighal. Artinya, al-Hafi telah tiada.”
Al-Hafi memang telah tiada. Lebih seribu tahun silam dia berpulang. Dia wafat pada 227 H, 841 M. Tapi, sejatinya al-Hafi masih hidup di alam sana, alam kelanggengan. Barangkali sekarang dia sedang bercengkerama dengan Sang Kekasih. Barangkali dia sedang melihat saya menulis artikel kecil tentang kehidupannya ini, atau dia sedang memandang Anda membaca artikel ini.

Apa pun yang tengah dilakukannya kini, kita perlu berterima kasih kepadanya. Terima kasih, karena al-Hafi, dengan pasemon kaki telanjangnya telah mengajari kita cara dan syarat mencari ilmu. Maka, marilah kita ber-al-Fatihah untuk beliau, Abu Nashr Bishr bin al-Harits al-Hafi, sang guru dari Baghdad….

02/06/16

Ber-uzlah dari Media

Serakah, pada zaman ini, bukan sekadar masalah moral. Untuk mengatasinya, nasihat saja tak cukup. Telah banyak penceramah yang mengutuk keserakahan dan mengajak masyarakat hidup sederhana. Tapi, serakah masih ada. Seakan tak berkurang. Malah, boleh jadi bertambah-tambah. KPK masih saja menangkapi para pejabat korup.
Kita tak bisa lagi melihat keserakahan dengan paradigma lama. Secara tradisional, serakah dipandang sebagai penyimpangan etik personal. Setan menggoda seseorang untuk serakah. Orang menjadi serakah karena imannya tak kuat sehingga termakan bujukan setan. Maka, menurut paradigma tradisional, agar perilaku serakah tak muncul, iman perlu dikuatkan. Cara manjur untuk menguatkan iman adalah memberikan nasihat.
Pada masa lampau, ketika sistem sosial masih merupakan gema dari sistem religius, menggunakan metode dakwah semacam itu untuk membasmi keserakahan memang membuahkan hasil positif. Tapi sekarang, ketika sistem sosial menjadi bagian sistem pasar, hal itu seperti memukul asap.
Kapitalisme mutakhir yang berekspansi secara global dengan teknologi informasi dan transportasi, merevolusi pola interaksi manusia, dari pola yang cenderung etis dan manusiawi, ke pola yang ekonomistik. Bagiku, orang lain adalah kapital yang aku akumulasikan untuk memperoleh sebesar-besarnya laba. Demikian makna eksistensial konsep kapital-sosial Pierre Bourdieu, filsuf sosial dari Perancis.
Implikasi pola interaksi manusia yang ekonomistik itu adalah terbentuknya masyarakat ekonomi. Meski memproduksi komoditas, masyarakat ekonomi lebih merupakan masyarakat konsumen daripada masyarakat produsen. Individu didesak struktur sosial, yang telah menghuni alam bawah sadarnya, untuk menciptakan komoditas yang kemudian dijual untuk memperoleh uang. Dia kemudian didesak lagi untuk dengan uang tersebut membeli komoditas yang dinafsuinya dan belum tentu dibutuhkannya.
Mengapa itu terjadi? Pangkalnya: media. Pada zaman kapitalisme mutakhir yang ditopang tekonologi informasi, peran sosial media tak bisa diabaikan. Media membangun opini publik. Media, sebagaimana digarisbawahi cendekiawan publik Amerika, Noam Chomsky, adalah alat propaganda. Media tak saja menyetir pikiran masyarakat, tapi juga menggerakkan masyarakat ke arah tertentu yang direncanakan.
Media menyediakan ruang istimewa bagi iklan. Terutama dengan iklan itu, suatu lembaga media bertahan hidup. Target iklan tak lain kecuali membujuk pemirsa, masyarakat, untuk membeli komoditas tak sebatas demi memiliki, tapi juga demi merebut identitas dan posisi sosial yang lebih bergengsi. Iklan membentuk pemikiran publik yang dilandasi hasrat konsumsi.
Media menciptakan masyarakat konsumen: masyarakat yang haus gengsi dan lapar eksistensi, terus-menerus mengejar trend, kecanduan belanja, selalu mencari apa yang dipandang sebagai kebahagiaan, tapi tak kunjung menemukan kepuasan. Media, terkondisikan hukum pasar, menciptakan masyarakat yang serakah, yang dikutuk untuk selalu mencari tanpa pernah menemukan, bagai kuda yang mengejar ekornya sendiri.
Karena bergaul sebegitu intim dengan media, kita diam-diam menjadi bagian masyarakat konsumen. Artinya, secara personal, di alam bawah sadar kita telah lahir monster keserakahan. Aku bernafsu untuk membeli dan memiliki begitu banyak sesuatu—walaupun pada hakikatnya tak aku butuhkan—demi memperoleh gengsi setinggi mungkin, posisi sosial seterhormat mungkin, nama seharum mungkin, popularitas sebesar mungkin. Itulah salah satu sebab korupsi sukar diberantas.
Kalau memang demikian kasunyatan sosial yang melingkungi kita, efektifkah menumpas keserakahan dengan dakwah verbal? Bukan sekadar masalah moral, pada zaman kita serakah juga gejala struktural. Secara sosial, penyakit serakah perlu diobati dengan strategi dakwah struktural. Secara personal, untuk mengalahkan monster keserakahan yang menghuni alam bawah sadar, kita perlu ambil jarak dari dan bersikap kritis terhadap media, tentu juga terhadap iklan.
“Bagi hati,” kata Syaikh Ibnu Athaillah al-Sakandari, sufi masyhur dari Mesir, “tak ada yang lebih bermanfaat daripada uzlah. Dengan uzlah, hati menyelam jauh ke dalam lubuk samudera renungan.” Dengan uzlah, kita menimbang kembali mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang indah dan mana yang jelek, mana yang dibutuhkan dan mana yang hanya dinafsui. Pada zaman ini, uzlah di-laku-kan antara lain dengan mengambil jarak dari media dan kritis terhadapnya. Selamat ber-uzlah dari media….