29/03/15

Keluarga

ada yang mengatakan, kita sekarang mengalami krisis sosial. tingkat kriminalitas meningkat. juga di kalangan remaja dan anak-anak. orang main hakim sendiri, misalnya membakar begal. media sering mengabarkan kasus kekerasan seksual terhadap anak, pengguguran kandungan, pembuangan bayi, pernikahan usia dini, dan perceraian yang tampaknya terjadi hampir di semua lapisan sosial. anak melaporkan ibu kandungnya kepada polisi. lembaga keluarga rupanya juga dilanda krisis. bukan hanya di kota-kota, bahkan juga di desa-desa.

ketika membicarakan masalah pendidikan aktual, khususnya pendidikan karakter, gejala krisis keluarga ini jarang disinggung. lemahnya karakter siswa, menurut kerangka pikir populer, semata-mata disebabkan oleh guru dan dikondisikan oleh lingkungan sekolah. kerangka pikir ini mereduksi pendidikan sehingga pengertiannya tidak lebih luas daripada sekolah. ia mengisolasi sekolah dari lembaga-lembaga pendidikan lain. sekolah dan keluarga, dalam hal pendidikan, dipandang tak berkaitan. tanggung jawab atas kerusakan moralitas anak dan remaja lebih dibebankan di pundak sekolah. akar masalahnya tidak dilacak pada krisis keluarga. 

padahal, kalau kita hitung, sumbangan keluarga terhadap pembentukan maupun pengrusakan karakter anak lebih besar ketimbang sumbangan sekolah. sering, residu krisis keluarga terbawa masuk ke ruang kelas. guru harus menghadapi siswa dengan kenakalan luar biasa akibat keluarganya remuk. ayah dan ibunya bertengkar terus, hampir bercerai, bahkan telah bercerai. mereka adalah tipe orang tua yang waktunya habis terbeli oleh pekerjaan. saudaranya pecandu narkoba. kerjanya keluyuran tak menentu. jarang di rumah. keluarga besarnya terlibat konflik hebat karena rebutan warisan. 

di rumah, siswa tersebut tidak memperoleh cukup perhatian dan kasih sayang. di kelas, dia mencari perhatian dengan berulah nakal. kepada siswa jenis ini, guru tidak bisa berbuat banyak. sukar pula bagi guru untuk mencegahnya menularkan kenakalan kepada siswa lain. jadi, sebenarnya, akar kenakalan anak dan remaja, hulu pangkal kerusakan karakter mereka ada pada keluarga, bukan pada sekolah. maka, pembenahan dan penggantian kurikulum, berapa kali pun itu dilakukan, bukan jalan efektif untuk menurunkan tingkat kerusakan karakter anak dan remaja, apalagi untuk menghilangkannya sama sekali. perbaikan kualitas pedagogik guru, juga bukan jalan yang efektif. 

mau atau tidak, kita harus menoleh pada lembaga keluarga. fungsi keluarga sebagai lembaga pendidikan, khususnya pendidikan karakter, baik karakter yang bersifat individual maupun sosial, harus diperkuat. kita harus kembali menempuh jalan kependidikan yang dibangun ki hadjar.

barangkali, di indonesia, ki hadjar-lah orangnya yang pertama kali memandang pendidikan sebagai gejala sosial. dia tidak mengisolasi sekolah dari lembaga-lembaga sosial lain yang berfungsi pedagogis. sekolah hanya salah satu pusat pendidikan. ada dua pusat pendidikan lain, yaitu keluarga dan komunitas sebaya. keluarga adalah poros ketiga pusat pendidikan yang (semestinya) saling terhubung ini. pengaruh sekolah dan komunitas sebaya terhadap dinamika keluarga tidak sebesar pengaruh keluarga terhadap dinamika sekolah dan komunitas sebaya. dalam salah satu artikelnya, ki hadjar menulis, "keluarga itulah tempat pendidikan yang lebih sempurna sifat dan ujudnya daripada pusat [pendidikan] lain-lainnya" (Ki Hadjar, 1935). 

karena alasan ini, ki hadjar menerbitkan Keluarga, berkala yang berfokus pada masalah pendidikan (dalam) keluarga. tujuannnya, membimbing ibu dan ayah, yang kebanyakan tidak punya pengetahuan pedagogis dan psikologi pendidikan yang cukup, dalam hal parenting. karena hal ini pula, dia merancang sistem pendidikan indigenous, paguron tamansiswa, yang pada dasarnya merupakan perluasan lembaga keluarga. ki hadjar menyebut dirinya sebagai bapak, sedangkan pawiyatan tamansiswa dianggapnya sebagai ibu. dalam "rumah" tamansiswa, guru lelaki tidak lagi disebut Meneer, tidak pula disebut Mr., tetapi dipanggil Bapak dan Ki; guru perempuan tidak disebut Mevrouw atau Juffrow, tidak pula Mrs., tetapi dipanggil Ibu dan Nyi. sebagaimana anak-anak dalam sebuah keluarga, siswa-siswi tamansiswa saling mengasuh, saling mengasah, saling mengasih, saling mengajar dan mendidik satu sama lain. pendidikan berlangsung tidak sebatas di ruang kelas dan selama jam pembelajaran formal. pendidikan terjadi di mana saja dan kapan saja, long life education, kata Unesco; deschooling society, kata Ivan Illich.

kira-kira, demikianlah gambaran pendidikan yang diharapkan ki hadjar, suatu harapan yang tidak mendapat sambutan memadai dari pembuat kebijakan pendidikan saat ini. sekolah kita menerapkan sistem klasikal barat, bahkan sekaligus dengan filosofinya yang darwinistis. keluarga sebagai pusatnya pusat pendidikan hampir diabaikan sama sekali. ketiga pusat pendidikan, keluarga, komunitas sebaya, dan sekolah dimaknai sebagai unit sosial-pedagogis yang terpisah. menteri anis baswedan baru-baru ini saja membentuk dirjen keayahbundaan di bawah naungan departemen yang dipimpinnya. hingga sekarang belum begitu jelas apa kerja dan bagaimana kinerjanya. 

saya terpaksa menyimpulkan, realitas pendidikan kita menyimpang entah berapa jauh dari idealitas ki hadjar. paling banter, kita hanya mengingat tut wuri handayani-nya saja, slogan yang telah klise dan kosong. pandangan kependidikan kita atomistis. tidak ada perhatian besar terhadap keluarga sebagai lembaga pedagogis. jika kukuh dengan pandangan pendidikan tersebut, mungkinkah krisis sosial diatasi secara sistemis dan tuntas? mungkinkah pendidikan memainkan peran luhurnya sebagai ujung tombak revolusi mental?

24/03/15

kenyang itu bid'ah

bid'ah artinya inovasi atau kebaruan. arti kata kerjanya, bada'a--yabda'u, adalah mengadakan sesuatu yang baru, tanpa mengikuti model yang telah ada sebelumnya. yang diciptakan benar-benar sesuatu yang baru. pada tindakan bid'ah, tidak ada kesinambungan antara masa lalu dan masa kini.

tapi arti kata bid'ah yang elementer ini jarang digunakan pendakwah, baik dari kalangan modernis maupun tradisional. khususnya bagi kalangan islam modernis, bid'ah tampaknya bermakna apa pun (1) yang mengada-ada, (2) yang tidak dilakukan baginda rasul dan sahabat-sahabatnya, dan (3) yang menyalahi kaidah tauhid. bid'ah adalah pola, gaya, dan cara ibadah baru yang menjurus pada kesyirikan. ia penyimpangan dari agama islam yang murni.

penyimpangan itu tidak mewujud semata-mata dalam bentuk fikihiyah, misalnya tarawih, halal bi halal, tahlil, talqin, dan qunut. ia rupanya juga mewujud dalam bentuk etika atau tasawuf. imam al-ghazali, dalam ihya', menulis bahwa seorang--barangkali--tabiin pernah berkata bahwa bid'ah yang mula-mula muncul adalah kenyang. masyarakat islam generasi pertama, yang terbimibing langsung oleh baginda rasul, menjauhi kenyang. mereka makan ketika lapar, berhenti sebelum kenyang.

baginda rasul amat berhati-hati dalam hal makan. yasadipura II, pujangga-santri surakarta, dalam serat sasasasunu menulis, baginda rasul terbiasa makan sehari sekali, yaitu pada siang hari, disertai minum tiga tegukan. sebuah hadits menyebutkan, baginda rasul mengatur isi lambungnya, sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk bernapas. bisa kita bayangkan, betapa sedikitnya porsi makan baginda rasul, kira-kira sebungkus nasi kucing, lebih kurang seperlima bungkus nasi padang.

tidak jarang, porsi makan baginda rasul lebih sedikit daripada itu. di pagi hari, ketika tahu bahwa tidak ada persediaan makan di rumah, baginda rasul berpuasa. alasan beliau berpuasa jelas tidak hanya itu. kebiasaan beliau, sebagaimana kebiasaan nabi dan rasul lain, adalah berpuasa sunah. dalam puasanya, baginda rasul tidak selalu bisa bersahur. santapan berbukanya hanya tiga biji kurma, sekitar setengah atau sepertiga bungkus nasi kucing, lebih kurang sepersepuluh bungkus nasi padang. beliau berbuka, beliau makan, sekadar untuk menegakkan punggung. inilah salah satu sunah rasul: lapar.

segera setelah baginda rasul meninggal dan zaman fajar islam berlalu, sunah lapar itu pun perlahan-lahan dilupakan. umat islam menjauhi kelaparan dan mengakrabi kekenyangan. mereka telah menciptakan bid'ah. kenyang adalah perilaku yang menyimpang dari dan tidak sejalan dengan sunah baginda rasul. semakin kenyang, nafsu pun semakin besar, syahwat pun semakin buas, pikiran pun semakin liar. jadi, kenyang merupakan tantangan besar bagi tauhid dan akhlak, bukan? bukankah kenyang itu bid'ah dan hulu pangkal bid'ah-bid'ah yang lain?

menjauhi bid'ah fikihiyah hendaknya dimulai dari menjauhi bid'ah etika, antara lain bid'ah kenyang. ini mudah dikatakan, tetapi sangat sulit dilakukan.

22/03/15

Syariat dalam Sastra Jawa

Clifford Geertz, antropolog dari Universitas Chicago, pada 1960-an mengadakan penelitian di Jawa Timur. Dia menerbitkan laporan penelitiannya dalam bentuk buku, The Religion of Java. Menurutnya, masyarakat Jawa terpilah menjadi tiga golongan, yaitu santri, priyayi, dan abangan. sederhananya, santri adalah kelas pedagang muslim, priyayi adalah kelas bangsawan, dan abangan adalah masyarakat kelas bawah. santri berideologi islam puritan, sedangkan priyayi dan abangan berideologi sinkretis, gabungan unsur animisme-dinamisme, hindu, buddha, dan islam. kerangka berpikir Geertz menkonfrontasi islam dengan non-islam, santri dengan priyayi dan abangan. dalam kerangka berpikir itu, santri dipandang jauh dari dunia wayang; priyayi dan abangan kurang kenal islam, bahkan tidak menyukai agama arab itu.

banyak pihak tidak setuju dengan kerangka sosial yang ditemukan, ditawarkan, dan cenderung dipaksakan Geertz. trikotominya merupakan generalisasi berlebihan. ketiga golongan masyarakat jawa menurut Geertz, pada kenyataannya tidak terpilah secara jelas dan tegas. ada priyayi yang sekaligus santri. dia akrab tidak saja dengan dunia wayang, melainkan juga dengan kitab-kitab klasik agama islam. ada santri yang menyukai wayang dan sastra jawa, bahkan menggunakannya sebagai media dakwah. kaum abangan bukan sama sekali tak kenal syahadat, rukun iman, dan rukun islam. bukan kategori mutlak, tetapi klasifikasi Geertz senyatanya merupakan kontinum perkembangan islam di jawa baik secara individual maupun sosial, yang merentang dari tingkat abangan hingga tingkat santri. sepanjang rentangan itu, kaum priyayi bergerak dinamis.

sebab itulah, kita menemukan priyayi semacam mangkunegara IV yang dalam karya piwulangnya, wedhatama, mengkritik santri dul yang nggubel sarengat. di kutub lain, kita pun menjumpai hamungkubuwono I yang banyak membangun masjid, juga diponegoro yang memimpin perang jihad muslim se-jawa melawan kafir belanda.

pergerakan dinamis kaum priyayi sepanjang rentangan abangan-santri merupakan kesimpulan yang kita petik dari fakta sejarah. fakta sejarah sendiri adalah hasil tarik ulur antara idealitas dengan tantangan kenyataan. maka, pergerakan--katakanlah--ideologis kaum priyayi yang dinamis tersebut merupakan penyimpangan dari ideologi yang semula dirancang. apakah ideologi priyayi yang sebenarnya? apakah ruh kepriyayian itu?

saya tidak bermaksud menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan mengusulkan pendapat yang pasti dan selesai. dalam hal itu, saya tidak punya wewenang dan kemampuan. saya hanya ingin bercerita tentang sebuah karya sastra jawa yang tidak banyak dibicarakan, yaitu serat sasanasunu.

Yasadipura II: Santri-Pujangga Jawa
sasanasunu, kadang disbut sanasunu saja, ditulis yasadipura II, satu dari tiga pujangga bukan-raja surakarta yang paling terkenal dan berpengaruh. dua pujangga lainnya adalah ayahnya, yasadipura I, dan cucunya, ranggawarsita III. sarjana barat menilai, mereka telah melakukan renaissance kebudayaan jawa dengan menyadur dan menulis sejumlah besar karya sastra. mereka meletakkan dasar-dasar bagi perkembangan kebudayaan jawa setelah perang hingga sekarang.

yasadipura II diperkirakan lahir pada 1760 dan meninggal pada 1844, artinya dia menyaksikan dan mengalami perang jawa. bahkan, lebih dari itu, dia ambil bagian dalam perang jawa, sebagai juru tulis surat-surat pakubuwono IV kepada diponegoro. pakubuwono IV diam-diam memihak diponegoro. dugaan saya, yasadipura II juga memihak diponegoro.

Yasadipura II mempelajari baik budaya jawa maupun agama islam. keturunan sultan pajang ini lama nyantri di pesantren tegalrejo, ponorogo, jawa tengah, sebuah lembaga pendidikan islam yang tampaknya berhubungan dekat dengan keraton surakarta. keluarga besarnya merupakan santri yang taat. ayahnya belajar di pesantren kedu. ketika dibuang belanda di palembang, kakeknya, padmanegara, berguru kepada seorang ulama bernama kiyai jaenal abidin.

sebagai pujangga yang mengerti seluk-beluk budaya jawa dan punya wawasan keislaman yang mendalam berkat pendidikan pesantrennya, yasadipura II menghasilkan karya-karya yang berkarakter islam, walaupun karakter itu tidak selalu ditampakannya secara blak-blakan. berapa banyak jumlah karyanya, tidak diketahui pasti. masing-masing ahli menyebut angka yang berbeda. berapa jumlah pasti karya Yasadipura II sukar dihitung karena dia kerap menulis karya-karya tertentu bersama dengan ayahnya. kadang, Yasadipura I menulis bagian pertama sebuah karya, bagian berikutnya dirampungkan yasadipura II; atau sebaliknya, Yasadipura II yang memulai, Yasadipura I yang mengakhiri.

namun demikian, sering dinyatakan bahwa hampir dapat dipastikan, serat dewa ruci, serat sasanasunu, serat bratasunu, serat menak, panitisastra digubah atau pun disadur oleh Yasadipura II. ada pula yang mengatakan bahwa Yasadipura II ambil bagian dalam penulisan serat Centhini, ensiklopedi kebudayaan jawa. dewa ruci dan centhini, di samping wulangreh, wedhatama, dan babad tanah jawi, merupakan karya sastra yang populer di kalangan masyarakat jawa. jadi, yasadipura II, yang santri itu, punya andil besar dan elementer dalam membangun kebudayaan jawa, termasuk, tentu saja, kebudayaan priyayi jawa atau kebudayaan keraton. salah satu karya yang tampaknya sengaja dia tulis untuk menegakkan dan memantapkan islam jawa di lingkungan keraton adalah serat sasanasunu.

Sasanasunu: biografi dan strukturnya
yasadipura II menulis sasanasunu pada 1747 tahun jawa, sekitar 1820 M, 5 tahun sebelum perang jawa meletus. perang jawa memang disebabkan oleh komplikasi faktor struktural. namun demikian, faktor kulural atau masalah moral tidak kurang pentingnya, lebih-lebih dari sudut pandang orang Jawa. periode menjelang perang jawa adalah tahun-tahun kemerosotan moral, bersamaan dengan semakin merasuknya intervensi kolonial ke dalam lingkaran keraton. dinamika kultural berkembang ke arah yang negatif karena adanya pertemuan antara priyayi jawa dengan kebudayaan barat, walaupun pertemuan dua budaya yang berbeda ini tentulah bukan satu-satunya penyebab.

merosotnya moralitas di lingkungan priyayi ternyata sejalan dengan merosotnya moralitas di kalangan rakyat di luar tembok keraton. mabuk, madat, dan berjudi sudah menjadi perilaku rakyat yang gampang ditemui. kematian karena madat, tidak kecil jumlahnya. banyak orang menjadi miskin karena berjudi. aneka masalah sosial ini bergema dalam dan tercermin pada serat sasanasunu, khusunya pada bagian yang membahas tentang syariat.

sasanasunu tersusun dari 4 bagian, dengan 466 bait yang dirangkai menjadi 14 pupuh: 5 dhandhanggula, 3 sinom, 2 kinanthi, 1 asmaradana, 1 megatruh, 1 pucung, dan 1 mijil. bagian pertama, pembukaan, dilanjutkan dengan keterangan tentang sistematika penulisan. bagian kedua, pembahasan. ada 12 masalah yang dibahas. panjang-pendek pembahasan tidak konsisten. ada masalah yang pembahasannya menghabiskan 71 bait, tetapi ada juga yang hanya memerlukan pembahasan sepanjang 3 bait. secara berurutan, kedua belas masalah yang dibahas itu adalah (1) takdir sebagai manusia, (2) anugerah sandang pangan, (3) nafkah, (4) syariat islam, (5) aturan berpakaian dan kegemaran, (6) persahabatan, (7) makan, tidur, dan bepergian, (8) menghormati tamu, (9) adab berbicara, (10) status sosial, (11) susutnya derajat dan berpindahnya wahyu, dan (12) perubahan zaman (zaman kalisengara).

Syariat di Mata Yasadipura II
bagi saya, sesuai dengan topik tulisan ini, masalah yang paling menarik adalah masalah ke-4, yaitu syariat islam, yang dalam sasanasunu disebut sarengat dan/atau sarak. perhatian yang dicurahkan yasadipura II terhadap masalah ini bisa dibilang besar. pembahasan syariat cukup panjang, hingga 45 bait, lebih dari satu pupuh, sepersepuluh isi serat sasanasunu. sarjana yang menyetujui pendapat Geertz bahwa priyayi bukan santri, lebih jauh lagi bahwa jawa kurang islam bahkan tidak islam, pasti terkejut dengan pandangan dan ajaran Yasadipura II tentang syariat. dia memberi syariat harga yang tinggi.

yasadipura II menulis bahwa kita, anak cucunya, wajib memeluk agama islam tidak secara nominal belaka, melainkan hingga melaksanakan sarengat kanjeng rasul. perintah dan larangan harus diingat. semua hukum, harus diperhatikan. bahkan, perkara yang meragukan (mutasyabihat) harus pula dicermati. halal dan haram, harus dimengerti, baik makna lahiriahnya maupun batiniahnya. yang halal lebih dari sekadar yang dibolehkan. halal adalah segala yang termasuk ke dalam kabaikan. hasil dan tujuan kehalalan adalah kesucian hati (tyase suci) dan kesadaran (nora lali). jika itu berhasil dicapai, tidak ada lagi tabir penghalang dan pembatas antara kita dengan Tuhan. tabir itu tidak tersingkap sepanjang kita mengabaikan apa yang haram. sebab, yang haram sesungguhnya tabir penghalang dan pembatas itu sendiri. apabila kita menghindari segala yang haram, segala doa kita pasti diterima. inilah imbalan atas kepatuhan kita dalam melaksanakan syariat.

 secara hierarki laku keagamaan, syariat ada pada posisi yang fundamental. syariat itu laku badaniah (lakuning badan), tarekat itu laku hati (lakuning hati), hakikat itu laku jiwa (lakuning nyawa), sedangkan makrifat itu laku rasa (ing rasa den pakeling). karena itu, sebagi laku keagamaan dasariah, syariat tidak boleh ditinggalkan. kalau ditinggalkan, akibatnya merusak: badan kita tidak sanggup mewadahi kecenderungan spiritual buah dari laku hakikat, tarekat, dan makrifat.

sarengat lakuning badan
tarekat lakuning ati
kakekat lakuning nyawa
makripat ing lakuneki
ing rasa den pakeling
kawruhana lakunipun
nanging aja atilar
ing sarengat lakuneki
yen tilara nora kuwat badanira

(transliterasi oleh sudibjo ZA, 1980: 107)

ternyata, pandangan dan ajaran yasadipura II tentang sufisme tidak heterodoks. itu artinya, jauh dari penilaian umum yang selama ini berkembang, kejawaan pada dasarnya dibangun dengan asas keislaman yang neo-sufistis. kejawaan, khususnya yasadipura II sebagai peletak dasar-dasar kejawaan, bersikap tidak positif terhadap heretisme.

yasadipura II tampaknya memahami bahwa dalam perjalanan spiritual syariat bukan tangga yang apabila pejalan spirtual telah mencapai puncak pengalaman rohani, tangga itu boleh dan bisa dibuang begitu saja. lebih dari sekadar tangga, syariat adalah wadah. syariat bahkan merupakan tata krama. bagi orang jawa, meninggalkan tata krama termasuk perkara tabu. karena syariat adalah tata krama hamba terhadap tuhannya juga terhadap makhluk-Nya, syariat pun tabu untuk ditinggalkan. yang meninggalkan syariat adalah pendurhaka besar yang terlaknat. dia telah dikendalikan setan. dia bakal mendapat murka kangjeng rasulullah, juga murka tuhan. murka kangjeng rasulullah identik dengan murka tuhan karena kangjeng rasulullah sebenarnya merupakan iluminasi (tajali) tuhan.

agar tidak dimurkai tuhan dan tidak menjadi pendurhaka besar yang terlaknat, kita jangan kafir, jangan pula musryik. berbeda dari dosa maksiat, dosa musyrik sukar pemulihannya. pertaubatan dari dosa musysrik, kecil kemungkinan diterimanya. jika tuhan tidak menerima pertaubatan tersebut, kita bakal mengalami berbagai malapetaka (pancabaya). jadi, mengabaikan syariat, itulah penyebab malapetaka dan bencana.

karena itu, jangan mengabaikan syariat. jangan pula meremehkan dan mengolok-olok kitab suci di mana terdapat dalil-dalil syariat. jika tak mampu melaksanakan hukum islam, jangan membantah dan mencelanya. yang menertawai orang yang salat, adalah penjelmaan setan. dosanya berlipat ganda, yaitu dosa meninggalkan salat dan dosa mengolok-olok orang yang salat, sebagaimana berlipat gandanya dosa peminum arak yang menghalalkan arak.

meskipun ada tuntutan keras untuk menjalankan syariat, yasadipura II mengakui, mengikuti dengan sempurna jejak ketaatan nabi (ngepleki sarengat nabi) tidaklah mudah. sekali pun demikian, jika tuhan menghendaki, kita pasti bisa menjalankan syariat secara tuntas sehingga memperoleh gelar mukmin sejati (mukmin kas).

Lima Jenis Mabuk
jika tuhan menghendaki, kita pasti bisa, misalnya, menjauhi minumam keras. minuman keras harus dijauhi dan dihindari karena dua hal. pertama, karena haram. kedua, karena tidak ada manfaatnya. orang yang mabuk, kesadarannya hilang. kehati-hatian (weweka) dan tata krama (subasita) juga hilang. perhatiannya tidak menghadap kepada tuhan lagi (ginggang madhepe mring Suksma). inilah kerugian dan kerusakan akibat mabuk minuman keras.

mabuk memang seringkali disebabkan minuman keras. tapi, karena yasadipura II merumuskan pengertian mabuk yang melampaui batasan fisis fikihiyah, maka baginya mabuk karena minuman keras bukan satu-satunya jenis mabuk--saya kira, dalam wawasan yasadipura II, sebagaimana dalam wawasan Imam Ghazali, fikih merupakan bagian dari tasawuf. menurut Yasadipura II, mabuk ada lima jenis. pertama, mabuk minuman keras. kedua, mabuknya anak muda. anak muda yang rupawan cenderung sombong. merasa paling tinggi dan paling baik. itu indikasi bahwa dia kehilangan kesadaran, artinya dia pada hakikatnya mabuk. mabuk jenis ini, seperti halnya mabuk karena minuman keras, hukumnya haram.

kedua, mabuk kawiryawan. kata kawiryawan sulit dicari padanannya dalam bahasa indonesia. sudibjo ZA, penerjemah serat sasanasunu edisi departemen pendidikan dan kebudayaan (1980), menerjemahkan kawiryawan sebagai kewibawaan, dan menerjemahkan endeming kawiryawan sebagai mabuk kewibawaan atau mabuk akan kesenangan. terjamahan itu tampaknya terlalu jauh. arti harfiah dari kawiryawan adalah kepahlawanan, tetapi dia tampaknya digunakan pula untuk arti yang lebih khusus: kepahlawanan yang berhubungan dengan keprajuritan. prajurit negara yang secara populer dipahlawankan menikmati pencapaian psikologi dan duniawi yang istimewa. pencapaian itu berpotensi membuatnya mabuk.

sederhananya, kawiryawan barangkali dapat dipahami sebagai heroisme, sifat merasa menjadi pahlawan. orang bisa mabuk karena heroisme. dia merasa kuat, hebat, dan menang sendiri. dia selalu ingin memperoleh setinggi-tingginya penghormatan dan sebanyak-banyaknya kesenangan. siang malam ingin merasakan kesenangan. ingin selalu makan enak dan tidur enak. ingin terus hidup dalam kesenangan yang silih berganti. sebagaimana dua jenis mabuk sebelumnya, mabuk karena heroisme tidak dibolehkan. hanya ada satu cara yang realistis untuk menghindari mabuk jenis ini, yaitu membersihkan hati dari heroisme. yasadipura II memang memahami fikih sebagai bagian dari tasawuf.

mabuk keempat, mabuk hawa nafsu. ini jenis mabuk yang membahayakan. pengikut hawa nafsu merasa benar sendiri. baginya, orang lain selalu salah. kalau nafsunya tak terpenuhi, dia bersikap keras dan kasar terhadap orang lain, khususnya orang-orang terdekatnya, antara lain isteri dan temannya. dia mudah kalap karena bermata gelap dan berpikir pendek. dengan dampak seburuk itu, mabuk hawa nafsu dilarang agama. hukumnya sudah jelas: haram. islam menentang perilaku jahiliyah ini.

mabuk kelima, gemar tanpa batas terhadap sesuatu. contohnya, memelihara burung secara wajar, itu tidak buruk; tidak pula dilarang. tapi, gemar memelihara burung secara berlebihan, buruk akibatnya. penghasilan bisa habis hanya untuk membeli dan merawat burung. anak isteri tak terurus. keluarga remuk. ketanpa-batasan pada akhirnya tidak pernah baik. karena itu, dia dilarang. hukum menggemari sesuatu tanpa batas adalah haram.

mabuk karena minuman keras dan keempat jenis mabuk lain haram karena punya satu kesamaan: sama-sama menyebabkan pelakunya lupa kepada tuhan. kebajikan bermakna apa lagi yang dapat kita lakukan kalau kita sudah melupakan tuhan. pondasi kebajikan bermakna, amal saleh istilah quraniknya, adalah kesadaran (eling). orang arab menyebut eling sebagai dzikr. yasadipura II memungkasi pembicaraan tentang mabuk dengan kalimat berikut.

....
kalamun manungsa wis
kanggonan ndem lilimeku
kagem dadya satunggal
tan wurung nemu nisthip
aben-aben katekan bilahi dunya

nora nganggo ing ngakirat
ing dunya bae pinanggih
denya sru karam makaram

sudibjo ZH menerjemahkannya sebagai berikut.

....
jika seseorang telah
ditempati kelima jenis mabuk itu
pastilah akan mengalami kepapaan
bahkan mungkin akan mengalami siksa dunia

tak usah menunggu lagi zaman akhirat kelak
di dunia ini saja sudah ia temui kesengsaraan itu
semua itu disebabkan karena sangat menggemari hal-hal yang haram
....

Hukum Madat dan Judi
setelah membahas keharaman mabuk, yasadipura II menerangkan hukum madat. keputusan fikihiyah yasadipura II tentang madat, tegas. madat itu haram karena memabukkan. syariat mengharamkan apa pun yang bikin mabuk. apabila kita sudah kecanduan opium, kita sebenarnya tidak lagi mengonsumsi opium, tapi sebaliknya, kita malah dimakan opium; dudu wong kang mangan apyun/apyun kang mangan janma. akibat terburuk opium atau madat bagi konsumennya adalah kematian. karena itu, penghisap opium sesungguhnya menganiaya diri sendiri. islam tidak membenarkan penganiayaan baik terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri.

akan tetapi, hukum mengonsumsi opium tidak selalu haram. untuk tujuan pengobatan, opium boleh dikonsumsi dengan kadar dan takaran terbatas. opium halal, dengan sejumlah syarat dan ketentuan. ketika menjelaskan tentang kehalalan bersyarat opium ini, yasadipura II merujuk pada kitab sarahbayan, barangkali teks fikih yang populer di kalangan santri jawa pada masanya. yasadipura II tidak merasa perlu menyebutkan judul asli kitab tersebut dan siapa pengarang dan pensyarahnya.

seringkali, penghisap opium juga penjudi. karena dua hal ini, yaitu madat dan judi, kita menjadi orang yang durjana. perjudian papar Yasadipura II, dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam jurang kehidupan yang hina. itulah sebabnya, syariat mengharamkan perjudian.

lan malih wawaleringwang
nak putu ywa nglakoni
ing penggawe ngabotohan
kalebu nisthaning urip
dhasaring sarakneki
kinaramaken satuhu
laire luwih nistha
dadya lip-alipaneki
wong durjana saking madat ngabotohan

ada lagi laranganku
yang anak cucu tak boleh menjalankannya
ialah berjudi
berjudi itu termasuk pekerjaan hina
menurut asas di dalam hukum syarak
pun diharamkan
secara lahir pun sudah nista
dan hal itu dapat menjadi jalan kesesatan
dasar seorang durjana biasanya karena madat dan judi

(transliterasi dan translasi oleh sudibjo ZA, 1980: 113-4; 17)

Dilarang Percaya Ramalan
selain madat dan judi, percaya terhadap ramalan hasil perhitungan wuku-pun diharamkan. percaya akan hal itu bukan saja tidak baik, tetapi juga meracuni tauhid. pelakunya dinilai kufur oleh syariat. dia menduakan tuhan, sasat ngroro pangeran. gejala yang sejenis dengan wuku, yaitu ilmu laduni, falak, falkiyah, dan nujum, menurut kaul fikih yang kuat (kaul ingkang ekas), juga diharamkan.

tampaknya, yang dimaksud falak (palak) dan falkiyah (palkiyah) oleh Yasadipura II bukanlah astronomi, tetapi astrologi, atau astronomi yang digunakan secara menyimpang untuk tujuan meramal nasib. wuku, laduni, palak, palkiyah, dan nujum adalah kata-kata yang mengacu pada sebuah gejala yang sama, yaitu ramalan.

Yasadipura II, di samping mengemukakan pendapat yang kuat tentang ramalan, juga menunjukkan pendapat yang lemah (kaul langip). ini menunjukkan, dia mengajarkan syariat dengan penuh pengertian dan pemakluman, tetapi juga dengan ketegasan, tanpa terlampau memaksakan suatu pendapat yang kebenarannya dia yakini.

pendapat yang lemah tentang ilmu ramal-meramal menyatakan, yen sira yun uninga ing ngelmu kasab//kang winening ing agama, diterjemahkan dengan: sekirannya engkau ingin mengerti tengang ilmu kasab (ilmu mencari nafkah)//hendaknya mengambil yang dibenarkan oleh agama (sudibjo ZA, 1980: 18). penerjemahan ilmu kasab sebagai ilmu mencari nafkah, dalam konteks ini, saya pikir tidak pas. 

memang, kasab dalam bahasa arab merupakan bentuk turunan dari akar kata k-s-b, yang artinya berhubungan dengan usaha untuk mencari atau memperoleh harta. kalau arti harfiah ini yang dipakai, kita gagal membangun makna satuan teks yang bulat dan menyeluruh. antara keharaman ilmu meramal dengan ilmu mencari nafkah, tidak ada hubungan langsungnya. ilmu kasab dengan arti seperti ini baru dapat kita gunakan jika kita menakwilkan frasa 'ilmu kasab' berdasarkan data-data tekstual yang melingkunginya. artinya, pengertian 'ilmu kasab' diperluas sedemikian rupa sehingga sesuai dengan konteks tektstualnya. dengan begitu, ilmu kasab dipahami sebagai 'ilmu mencari nafkah berlandaskan ramalan' atau 'ilmu meramal yang dimanfaatkan untuk mendukung usaha mencari nafkah'.

namun demikian, kita tak perlu bersusah payah menakwilkan 'ilmu kasab'. sebab, kata 'kasab' pada frasa tersebut boleh jadi diturunkan dari akar k-s-b, tetapi boleh jadi pula diturunkan dari akar h-s-b. lidah jawa sukar mengucapkan h. sebab itu, huruf h sering dibunyikan secara 'kreatif' menjadi 'k'. jadi, 'ilmu kasab' yang disebut Yasadipura II adalah 'ilmu hasab' yang disalah-bunyikan. arti akar h-s-b antara lain menghitung, membilang, menyangka, mengira, dan (kira-kira) cukup. ilmu wuku atau pawukon termasuk ngelmu petungan, ilmu hitung atau matematika klenik. palak, palkiyah, dan nujum, sebagaimana pawukon, mengandung aspek matematis. hanya laduni yang tidak bersifat matematis. barangkali, matematika klenik yang digunakan untuk meramal inilah yang disebut Yasadipura II sebagai ilmu kasab. ilmu laduni digolongkan sebagai ilmu kasab karena identik dengan ramalan.

menurut kaul yang lemah, kita boleh mempelajari ilmu kasab, tetapi tidak semua ilmu kasab, melainkan hanya ilmu kasab yang dibenarkan agama. kendati Yasadipura II membentangkan kepada kita dalam sasanasunu pendapat lemah tentang ramalan atau ilmu kasab, dia tampak tidak bersimpati dengan pendapat ini. kelihatannya, dilihat dari keterangan yang diberikannya untuk pendapat kuat dan pendapat lemah--keterangan tentang pendapat kuat lebih panjang, yasadipura II mengambil pendapat yang kuat. dia memberi tekananan khusus bahwa (percaya) ramalan itu dilarang syariat.

larangan yang datang dari jantung budaya jawa ini mengejutkan. kehidupan masyarakat jawa tidak dapat dipisahkan dari ramalan, khususnya pawukon atau petungan. ramalan bahkan merupakan unsur pembangun kebudayaan jawa. sementara itu, yasadipura II, sebagai peletak dasar kebudayaan jawa, justru melarang pawukon.

Fikih Gamelan
tidak kurang mengejutkan daripada hal itu adalah larangan memainkan gamelan. namun, larangan ini tidaklah mutlak. leluhur jawa, tulis Yasadipura II, melarang anak cucunya memainkan gamelan pada upacara pernikahan. dia tidak menjelaskan apa alasannya.

gamelan dilarang bukan saja kerena leluhur telah melarangnya, tetapi juga karena syariat pun melarangnya. sebenarnya, masalah musik dan nyanyian hingga sekarang masih merupakan polemik fikihiyah. satu pendapat tegas mengharamkannya. pendapat lain cukup toleran. Yasadipura II tidak berpihak kepada pendapat yang pertama.

menurutnya, gamelan boleh dimainkan, asal tidak pada upacara pernikahan. pada upacara khitanan (tetakan) dan nujuh bulan (tingkeban), gamelan boleh dimainkan, walaupun itu tampak kelewat mewah (gegedhen nganggo gamelan). Yasadipura II sadar, hal itu memang sedikit melanggar peraturan (narajang waler sakedhik). tapi, bagaimana pun juga, gamelan telah menjadi tradisi (kalumrahaning urip). lagipula, sudah sepantasnyalah kita, sebagai abdi raja, memainkan gamelan pada upacara khitanan dan nujuh bulan.

tradisi menhendaki kita untuk tetap memainkan gamelan, meskipun itu dilarang leluhur dan syariat. jalan keluar dari dilema ini, sebelum gamelan dimainkan, kita berdoa memohon restu (dan ampun) kepada tuhan. kedua, perlu pula diadakan ritual untuk memohon restu dari leluhur. bila direstui, gamelan dimainkan. restu itu disampaikan melalui mimpi.

Kewajiban Belajar
kalau hukum gamelan masih problematis, hukum belajar tidak. kita harus belajar, dengan sungguh-sungguh. pelajar harus memperhatikan dan menjalankan etika menuntut ilmu.

den kerep nggugulang ngelmi
nggugurua para ngulama
lawan den kerep tatakon
minta waraning sujana
den bisa anoraga
aywa kuminter kumingsun
nadyan silih wusa bisa

api-apia tan bangkit
angarah wuruking liyan
menawa liya murade
kabecikan lan kamulyan
awit saking tumitah
prepteng wusananing maut
kamulyaning sangkan paran

rajin-rajinlah engkau mempelajari ilmu
berguru kepada para ulama
dan bertanyalah sebanyak mungkin
dalam hal minta ajaran para budiman
dan disertai pula dengan sopan santun
sekali-kali jangan sok pintar atau merasa diri paling hebat
meskipun engkau sudah mengetahui sesuatu masalah

lebih baik berpura-pura tidak dapat atau tidak mengerti
dalam usaha mendapatkan pengetahuan dari yang lain
siapa tahu ternyata penjelasannya berbeda
dan ternyata dapat mendatangkan kebaikan dan kemuliaan
duniawi
hingga ukhrawi
yang dapat disebut kemuliaan awal akhir

(transliterasi dan translasi oleh sudibjo ZA, 1980: 118; 21)

Kaifiyat Baca Kitab
kaifiyat atau metode membaca kitab dapat dimengerti sebagai bagian dari etika menuntut ilmu. Yasadipura II mengingatkan, dalam membaca kitab, janganlah kita terlena sehingga melupakan dan tidak mengamalkan ajaran yang dikandungnya. jangan pula terpesona dengan lagu pembacaannya saja. kitab-kitab jawa, termasuk yang ber-genre piwulang, dibacakan dalam forum dengan melagukannya. pembacaan berlagu ini disebut macapatan, persis seperti santri bertilawah al-quran.

karena asyik berlagu, pembaca lupa mengurai ajaran dan makna kitab yang dibacanya. lebih buruk dari itu, bagi muda-mudi, khususnya pada zaman Yasadipura II, forum macapatan malah menjadi ajang pamer keindahan suara. hal itu, tulis Yasadipura II, selain tidak bermanfaat, juga ngalingi lalandheping tyas, menabiri ketajaman hati.

macapatan, membaca kitab dengan berlagu, bukan tidak boleh. bukan pula tidak ada manfaatnya. metode macapatan justru diperlukan agar pembaca tidak lekas bosan. juga agar kita tertarik dan gemar membaca. akan tetapi, metode macapatan jangan sampai membuat kita lalai, mengesampingkan tujuan sejati membaca kitab atau buku. Yasadipura II menutup nasihatnya tentang kaifiyat membaca kitab dengan, kang winoco den aemut/catheten ing wardayanta; apa yang dibaca harus diingat, catatlah dalam hati sanubarimu. kalimat ini mengakhiri pembahasan tentang masalah syariat dalam serat sasanasunu, yang menggambarkan pandangan dan ajaran Yasadipura II tentang syariat.

serat sasanasunu menunjukkan bahwa jawa pada dasarnya identik dengan islam. klasifikasi sosial geertzian, yang memisahkan santri, priyayi, dan abangan, terbantah oleh data tekstual yang kita temukan dalam sasanasunu. klasifikasi tersebut pada kenyataannya merupakan kontinum perkembangan islam baik secara individual maupun sosial. pada puncak perkembangan itu kita menemukan pribadi semacam yasadipura II yang di dalam dirinya terhimpun kepriyayian sekaligus kesantrian. dalam kasus yasadipura II dan serat sasanasunu karangannya, priyayi bukan hanya identik dengan santri, jawa bukan hanya identik dengan islam, tetapi bahkan kesantrian merupakan galih kepriyayian, dan islam merupakan galih kejawaan (kejawen).

keraton jawa, dalam konteks ini keraton surakarta di mana Yasadipura II mengabdi dan mengajar, mengembangkan wawasan islam yang ortodoks tetapi moderat. berdasarkan data tekstual dalam serat sasanasunu, Yasadipura II adalah santri-pujangga yang cenderung berpaham neo-sufisme. doktrin yang diajarkannya tidak heretik. dia mengarus-utamakan syariat. baginya syariat merupakan wadah atau wadak, sedangkan isi atau ruhnya adalah tasawuf. yasadipura II, sebagaimana imam al-ghazali, memahami fikih sebagai bagian dari tasawuf.

syariat, fikih, dalam serat sasanasunu, dengan demikian juga dalam sastra jawa secara relatif, memperoleh perhatian dan kedudukan tinggi dan istimewa. yasadipura II tampaknya menulis sedemikian banyak karya sastra antara lain untuk mengajarkan islam dengan medium kebudayaan jawa.

21/03/15

hikayat polisi tidur

polisi tidur, di negara kita, barangkali ada di jalan beraspal di daerah mana pun. tapi, dugaan saya, yogya merupakan daerah dengan jumlah polisi tidur terbanyak. hampir di setiap bukan jalan utama, kendaraan bermotor yang kita naiki harus terantuk polisi tidur. 

jarak polisi tidur yang satu dengan lainnya bervariasi. ada yang ratusan meter, tapi ada pula yang belasan, bahkan beberapa, meter saja. tinggi dan lebarnya pun bervariasi. yang paling rendah barangkali 3 cm, dengan lebar tidak sampai 5 cm. tapi, ada juga polisi tidur yang bikin jengkel, tingginya mungkin mencapai hampir 20 cm, lebarnya lebih kurang 1 meter. kalau mobil sedan dan motor metik melewatinya, bagian bawah kendaraan yang dirancang untuk jalan yang rata itu, pasti bergesekan dengan puncak polisi tidur.

mengapa banyak polisi tidur di yogya? seorang khatib, asli orang yogya, dalam ceramah jumatnya menjelaskan hal ini. menurutnya, kronologi kebangkitan polisi tidur adalah sebagai berikut. 

setelah kemerdekaan, yogya berkembang menjadi kota besar. perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, tumbuh bagai cendawan di musim penghujan. entah berapa banyak anak muda, dengan latar belakang budaya bukan jawa, berduyun-duyun memasuki perguruan-perguruan tinggi tersebut. mereka tinggal di pondokan pelajar yang ditawarkan warga setempat. yang menyewa rumah, juga banyak. demi menunjang kegiatan belajarnya, mahasiswa-mahasiswa luar jawa dibekali kendaraan bermotor, sebagian besar motor, sebagian kecil mobil. 

ada yang mengendarai motor dengan menarik tuas gas semaunya sendiri. itu juga mereka lakukan di malam hari, ketika warga beristirahat. mulanya warga memberi peringatan kepada mahasiswa tak tahu tata krama itu. tapi, lama kelamaan, peringatan itu kehilangan kesaktiannya. mahasiswa berkendara secara gila lagi. entah terinspirasi dari mana, warga kemudian mewujudkan gagasan cerdasnya: mencegah kebut-kebutan motor dengan membuat polisi tidur. sedikit polisi tidur saja, ternyata tidak efektif. maka, diperbanyaklah jumlah polisi tidur. 

jadi, polisi tidur sebenarnya strategi orang yogya untuk mengatasi masalah lalu lintas, ketertiban, dan kenyamanan. stretegi itu muncul karena komunikasi sudah buntu. sebabnya, mahasiswa pendatang tidak paham dengan budaya orang yogya. sebaliknya, orang yogya menilai orang lain menurut ukuran budayanya sendiri. sebab kedua, aparat pemerintah kurang baik kerjanya. tidak begitu berfungsi. aparat pemerintah yang baik akan mengumpulkan kedua belah pihak, warga asli dan mahasiswa pendatang, untuk berembug sehingga satu sama lain saling memahami.

jika forum silaturahmi seperti itu ada, polisi tidur tak perlu ada. yogya butuh bukan polisi tidur, tetapi forum silaturahmi. polisi tidur tidak menyelesaikan masalah. saya yakin, warga asli sendiri, jujur sajalah, tersiksa oleh gangguan tetap polisi tidur. lagipula, kan tidak lucu, daerah yang menjual diri sebagai tujuan pariwisata punya jalan dengan polisi tidur begitu banyak. perjalanan wisata pelancong pasti terganggu. polisi tidur bisa merusak citra yogya di manca negara.

manfaat forum silaturahmi banyak. tidak hanya untuk membicarakan masalah kenyamanan dan ketertiban kampung sehubungan dengan tata tertib berkendaraan. dia juga dapat kita gunakan sebagai forum untuk membicarakan masalah sosial yang hari-hari ini bikin orang yogya semakin pusing: kriminalitas anak dan remaja, pernihakan usia dini, konsumsi miras dan narkoba, seks bebas, hingga penyebaran paham islam radikal.

18/03/15

QS Hud 25-49

di manakah islam berada?

setiap hari, seorang muslim wajib salat 5 kali, 17 rakaat. pada setiap rakaat, dia membaca surah al-fatihah. paruh terakhir al-fatihah berisi doa. bukan sembarang doa, tapi doa yang sangat dasar dan penting, yaitu doa memohon petunjuk, mengharap hudan atau hidayat. hidayat inilah yang dicari-cari oleh kangjeng sunan kalijaga, mahaguru umat islam tanah jawa. hidayat ini pulalah yang diajarkan secara tertulis oleh pujangga pamungkas jawa, yaitu ranggawarsita III, melalui kitabnya yang masyhur, wirid hidayat jati.

ihdina al-shirata al-mustaqim; shirat alladzina an'amta 'alaihim. anugerahi kami petunjuk berupa jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat. inilah bagian pertama doa yang terdapat dalam surah al-fatihah tersebut. siapakah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah itu? jawabannya ditemukan pada bagian lain al-quran. 

ada empat golongan manusia yang memperoleh nikmat. dengan demikian, mereka pun mendapat petunjuk. golongan pertama, para nabi. kedua, orang yang berintegritas dan tidak terbelah jiwanya (al-shiddiq). ketiga, pahlawan yang wafat dalam berjuang di jalan Allah (al-syahid). keempat, orang yang luhur akhlaknya (al-shalih).  keempat kualitas mulia ini boleh jadi terhimpun pada diri seorang manusia. ada manusia yang punya satu, dua, atau tiga kualitas saja.

golongan manusia yang diberi petunjuk yang memperoleh porsi paparan cukup besar dalam surah hud adalah para nabi. dari semua nabi yang namanya diajarkan kangjeng rasul, hanya 7 nabi yang dikisahkan dalam surah hud. mereka adalah nuh, hud, saleh, ibrahim, luth, syuaib, dan musa. musa, syuaib, dan nuh digambarkan sebagai manusia yang berpihak kepada golongan lemah dengan status sosial rendah yang merupakan korban ketidakadilan struktural. mereka membela gabah den interi, gabah yang ditampi, jenis manusia yang nasibnya terombang-ambing tak menentu. 

musa berpihak kepada dan membela bani israil yang diperbudak firaun. sebegitu keras dan lama perbudakan itu berlangsung, sampai-sampai musa menghadapi banyak kesulitan dalam upayanya membebaskan bani israil dari mentalitas budak. sekalipun demikian, musa tidak melepaskan keberpihakannya kepada bani israil, golongan yang lemah di negeri mesir pada zamannya. syuaib juga berpihak kepada golongan masyarakat yang lemah secara ekonomi. bahkan, beliau dipandang sebagai bagian golongan masyarakat ini. mereka adalah korban dari kerakusan pengusaha dan penguasa bangsa madyan.

sebagaimana musa dan syuaib, nuh pun berpihak kepada golongan masyarakat yang tidak beruntung. di negeri nuh, kaum yang tidak beruntung disebut araadzil. kata ini merupakan turunan dari bentuk dasar r-dz-l. mashdarnya, radzaalah, mengandung arti berkonotasi negatif: hina, buruk, keji, jahat. maka, araadzil adalah golongan masyarakat yang bukan hanya lemah secara ekonomi, tetapi juga lemah secara moral, sehingga para bangsawan menstigma mereka sebagai manusia yang hina, buruk, keji, dan jahat. 

barangkali tidak salah kalau kita berpikir bahwa fakir, miskin, yatim piatu, pencuri, pelacur, pemabuk, difabel, budak, preman, dan gelandangan termasuk ke  dalam golongan araadzil. kepada merekalah nuh berpihak. bukan para bangsawan yang membanggakan keluhuran dan keberadabannya, tetapi golongan araadzil-lah yang justru menerima dengan hati terbuka pesan tauhid yang disampaikan nuh. 

islam sesungguhnya berada di kalangan araadzil ini. karena itu, kangjeng rasul kabarnya pernah berdoa agar diwafatkan bersama-sama kaum fakir miskin. beliau pernah bercerita tentang seorang pelacur yang memperoleh rahmat karena memberi minum seekor anjing. kita pun ingat, betapa kangjeng rasul begitu memuliakan ibnu ummi maktum yang tuna netra itu. beliau juga memberikan kepada bilal bin rabbah, budak berkulit hitam, posisi keagamaan yang tinggi dan terhormat.

sebagai rasul, baik kangjeng rasul maupun nuh teguh berpihak kepada golongan araadzil. nuh tidak mencabut keberpihakannya meskipun dimusuhi dan diancam kaum bangsawan. mereka bermaksud mengusir golongan araadzil dari negerinya, tetapi nuh tidak setuju. nuh justru membela golongan araadzil yang telah beriman. kalau aku [ikut-ikutan] mengusir mereka, kata nuh, siapa yang akan menolongku dari [hukuman] Allah? menurut nuh, Allah juga memberikan kebaikan kepada golongan araadzil. kendati kelihatan hina dan tak beradab, mereka adalah manusia yang pasti punya kebaikan. mereka pasti memiliki akhlak luhur meskipun sekecil biji sawi. seharusnya, mereka di-emong, bukan malah dihina, dijauhi, dan disingkirkan. mereka bukan beban sosial, apalagi sampah masyarakat.

kaum bangsawan memaksa nuh agar tidak menghalangi mereka mengusir kaum araadzil. nuh tetap pada pendiriannya. hal inilah, di samping perendahan dan penghinaan yang disasarkan kaum bangsawan terhadap nuh, yang menimbulkan konfrontasi hebat antara pihak nuh dan pihak bangsawan. tidak lama kemudian nuh memperoleh wahyu untuk membuat bahtera. melihat perilaku ganjil nuh tersebut, penghinaan kaum bangsawan semakin menjadi-jadi.  nuh membalas penghinaan itu dengan berkata, kalau sekarang kalian menghina kami, maka pasti kami nanti akan menghina kalian sebagaimana kalian menghina kami. 

apakah nuh benar-benar menghina kaum bangsawan ketika banjir bandang melanda negerinya? tidak ada keterangan tentang hal itu karena keterangan tersebut memang tak perlu. sebagai rasul yang punya sifat welas asih di atas rata-rata, nuh, saya pikir, tidak tega menghina kaum bangsawan ketika mereka tergulung ombak setinggi gunung. saat itu tampaknya perhatian nuh terpusat kepada anaknya. nuh tidak menyangka bahwa anaknya juga ikut tergulung ombak. ini bagian dari kisah nuh yang paling dramatis dan tragis.

dari jauh, dari atas geladak bahteranya, nuh memanggil-manggil anaknya. ananda, naiklah bersama kami; jangan engkau berpihak kepada orang-orang yang ingkar. orang-orang ingkar itu jauh dari dan menentang kebenaran. mereka tidak membela kaum araadzil, bahkan hendak mengusirnya dari negeri. ajakan nuh, sayang sekali, ditampik oleh anaknya. anaknya binasa termakan air bah bersama kaum bangsawan yang ingkar, yang sombong, yang menolak kebenaran, yang berlaku diskriminatif terhadap kaum araadzil. 

kematian anaknya secara hina itu, merupakan kenyataan getir yang bagi nuh tak logis. karena itu, beliau mengadu kepada Allah. Gusti, ujar nuh, anakku itu keluargaku--[mengapa Engkau binasakan dia]; [tapi, meskipun demikian, hamba percaya bahwa] sesungguhnya janjimu [untuk menghukum orang-orang yang ingkar] itu benar; Engkau adalah sebaik-baik hakim. 

perkataan tersebut menggambarkan bahwa nuh masih, meskipun dalam kadar yang kecil, memegang pandangan yang terbingkai oleh logika, konvensi, dan tradisi. beliau masih mendefinisikan keluarga secara empiris. Allah kemudian meluaskan cakrawala berpikir nuh hingga melampaui apa yang nampak. 

seperti kita, walaupun bergelar rasul, nuh juga manusia. setelah diangkat sebagai rasul, dia masih harus belajar. dan bagi nuh, salah satu pelajaran yang paling berharga barangkali pelajaran tentang siapa keluarga yang sebenarnya. dalam pandangan Allah, anaknya yang binasa oleh gelombang air bah, bukanlah bagian dari keluarganya. Wahai nuh, firman Allah, sesungguhnya dia bukan bagian dari keluargamu; sebab, amalnya tidaklah saleh. 

kriteria kekeluargaan bukanlah darah, tetapi amal saleh. rendah-luhurnya akhlak, itulah yang menentukan siapa keluarga kita sebenarnya. meskipun dengan si fulan kita tak punya hubungan darah, tetapi akhlak fulan demikian luhur terhadap kita dan terhadap orang lain, fulan haruslah kita pandang dan kita terima sebagai keluarga. 

tidak semata-mata kepada nuh, firman Allah tentang pengertian keluarga yang hakiki tersebut ditujukan pula kepada kanjeng rasul dan pengikutnya; artinya kepada kita juga. pengikut kangjeng rasul, kaum muslim generasi awal, menghadapi masalah besar berkenaan dengan pengertian keluarga. mereka memeluk islam, sementara saudara, ayah, ibu, atau anaknya belum mau menerima kebenaran. muncul pertanyaan , apakah mereka harus terus memandang keluarganya yang belum beriman sebagai keluarga, padahal keluarganya itu tidak jarang menyiksa mereka agar kembali ke pangkuan agama leluhur. bagaimana seharusnya mereka bersikap terhadap keluarganya yang belum beriman dan memusuhi mereka?

surah hud, melalui kisah nuh, memberi jawaban. mereka tidak harus memandang keluarganya yang belum beriman sebagai keluarga. keluarga sejati adalah siapa pun yang telah menerima kebenaran islam dan beramal saleh. sekali lagi, batasan keluarga dan bukan keluarga adalah akhlak luhur. diasumsikan bahwa siapa pun yang telah menerima islam akan berusaha untuk memiliki akhlak luhur. 

itu artinya, seorang muslim mesti berusaha keras untuk memperoleh petunjuk, meneladani manusia-manusia yang dilimpahi nikmat, yaitu para nabi, para sidik, para saleh, dan para syahid. mereka berpihak kepada kaum araadzil. mereka selamat dari pembinasaan, sedangkan kaum bangsawan yang ingkar dan diskriminatif terhadap kaum araadzil dibinasakan dengan cara yang hina dan mengerikan. 

13/03/15

Teks Eksposisi

Pengertian
Kata 'eksposisi', berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi IV, punya tiga arti. Salah satunya, uraian atau paparan yang bertujuan menjelaskan maksud dan tujuan. Paparan tersebut misalnya berbentuk karangan. Contoh kalimat yang menggunakan kata 'eksposisi' dengan arti ini adalah Guru bahasa Indonesia kami sedang mengajarkan karangan eksposisi.

Pengertian teks eksposisi lebih khusus daripada arti kata 'eksposisi' yang terdapat dalam KBBI itu. Fungsi teks eksposisi tidak sekadar menjelaskan maksud dan tujuan. Sebab, teks eksposisi adalah jenis teks yang berfungsi untuk mengungkapkan gagasan atau mengusulkan sesuatu berdasarkan argumentasi yang kuat.

Pengertian ini menekankan bahwa gagasan yang diungkapkan atau sesuatu yang diusulkan harus didukung dengan bukan argumentasi biasa apalagi lemah, tetapi dengan argumentasi yang kuat. Argumentasi dikatakan kuat apabila penalarannya logis dan disertai bukti faktual atau data nyata, antara lain berupa angka statistik, peristiwa relevan, dan contoh kasus.  Dengan demikian, argumentasi yang kita bangun tidak mudah runtuh. Gagasan yang didukung oleh argumentasi itu sukar dibantah. Jadi, keterampilan menulis teks eksposisi diperlukan untuk meyakinkan orang lain sehingga dia membenarkan, menyetujui, dan mendukung gagasan, usulan, pendapat, atau opini kita.

Dalam surat kabar, teks eksposisi biasanya terdapat pada rubrik editorial, opini, atau analisis. Editorial adalah teks eksposisi yang merupakan pendapat redaktur surat kabar terhadap isu aktual yang menjadi perhatian surat kabar tersebut. Opini adalah teks eksposisi yang merupakan pendapat pembaca, lazimnya tokoh atau pakar, tentang isu aktual tertentu. Analisis adalah teks eksposisi yang merupakan buah pikir seorang ahli tentang masalah-masalah aktual yang berhubungan dengan bidang ilmunya. Redaksi surat kabar menunjuk ahli tersebut untuk memaparkan gagasannya secara tertulis dalam suatu rubrik khusus.

Teks eksposisi hampir sama dengan teks diskusi. Kedua jenis teks ini sama-sama memaparkan pendapat (tesis) dengan argumentasi yang kuat. Hanya saja, jika dalam teks eksposisi hanya dipaparkan pendapat positif atau pendapat negatif tentang suatu persoalan, dalam teks diskusi kedua pendapat tersebut, baik yang positif maupun yang negatif, disandingkan bersama-sama. Teks diskusi, karena itu, lebih kompleks daripada teks eksposisi.

Struktur
Struktur teks eksposisi sederhana, yaitu pernyataan pendapat (tesis), argumentasi, dan penegasan ulang pendapat. Ketiga bagian tersebut disusun secara berurutan.

Pernyataan pendapat (tesis), yang terletak pada bagian awal teks dan berfungsi sebagai pembuka, berisi pokok pendapat, tesis, gagasan, atau opini penulis tentang topik tertentu. Pendapat itu bisa bernada positif atau negatif.  Sebagai contoh, pada bagian awal teks eksposisinya penulis menyatakan kesetujuannya terhadap ujian nasional online. Penulis menunjukkan kepada pembaca bahwa dia membenarkan dan mendukung diadakannya ujian nasional secara online. Ini merupakan pendapat bernada positif.

Pada bagian teks eksposisi berikutnya, yaitu bagian argumentasi, penulis memaparkan butir-butir alasan mengapa dia menyetujui, membenarkan, dan mendukung ujian nasional online. Ujian nasional harus dan bisa diadakan secara online karena a, b, c, dan seterusnya. Alasan yang dikemukakan tidak saja harus logis, melainkan juga hendaknya didukung bukti nyata dan data faktual. Semakin logis penalaran, semakin kuat argumentasi. Semakin relevan dan memadai bukti nyata dan data faktual yang diketengahkan, semakin meyakinkanlah pendapat/tesis teks ekposisi tersebut.

Teks eksposisi ditutup dengan penegasan ulang pendapat. Fungsinya, untuk menyimpulkan seluruh argumentasi pada bagian sebelumnya. Juga untuk meyakinkan pembaca. Pada teks eksposisi, penegasan ulang pendapat tidak bersifat opsional, melainkan wajib ada.

Tentang panjang pendeknya teks eksposisi, tidak ada aturan baku yang membatasi. Teks eksposisi yang baik tidak ditentukan oleh panjang pendeknya, melainkan oleh judul, komposisi, dan diksinya. Selain itu, juga diukur dari logika yang dibangun untuk merangkai himpunan data/fakta yang disajikan dalam bagian argumentasi.

Contoh 1
Teknologi Tepat Guna Memberdayakan Ekonomi Keluarga

Program kewirausahaan untuk perluasan kesempatan kerja yang dilakukan lewat penerapan teknologi tepat guna (TGT) dapat memberdayakan ekonomi rumah tangga. Kegiatan ini banyak dimanfaatkan terutama oleh masyarakat pedesaan. ada beberapa alasan dan contoh mengapa TTG dapat memberdayakan ekonomi keluarga.

Pertama, program kewirausahaan terapan TTG pembuatan susu kedelai dapat meningkatkan taraf hidup tanpa mengurangi tenaga kerja. Adanya terapan teknologi tepat guna akan meningkatkan nilai tambah dengan tenaga kerja yang tetap, tetapi penghasilan bisa bertambah.

Di samping itu, program ini juga dapat meningkatkan produktivitas. Produk kedelai yang diolah dengan TTG akan menghasilkan kualitas susu kedelai yang lebih baik dalam waktu lebih singkat.

Teknologi tepat guna (TTG) dapat juga digunakan untuk menggali potensi suatu wilayah untuk meningkatkan ekonomi masyarakatnya. TTG dapat menjadi sarana untuk menciptakan peluang kerja mandiri dan memperluas kesempatan kerja.

Oleh karena itu, program tersebut perlu dikembangkan karena terbukti dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Sumber: Buku siswa mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas VII SMP/MTs, Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan, hlm. 93-94.

Contoh 2
Ekonomi Indonesia Akan Melampaui Jerman dan Inggris

Indonesia menjadi buah bibir pada saat pelaksanaan Sidang Tahunan International Monetery Fund (IMF)/World Bank (WB) 2012 di Tokyo, 9-14 Oktober 2012 lalu. Buletin resmi yang dibagikan IMF kepada seluruh peserta sidang mengangkat satu topik khusus mengenai Indonesia. Media itu mengangkat hasil riset McKinsey dan Standard Chartered yang mengatakan bahwa ekonomi Indonesia kan melampaui Jerman dan Inggris pada tahun 2030.

Keyakinan itu tentu beralasan. indonesia diperkirakan memiliki sekitar 90 juta orang yang berada di kelompok konsumsi (consuming class). Angka ini adalah angka terbesar di dunia setelah Cina dan India. dengan kekuatan itu, pada tahun 2030 Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi nomor tujuh dunia dengan nilai pendapatan nasional sebesar 1,8 triliun dolar AS dari sektor pertanian, konsumsi, dan energi.

Indonesia saat ini sedang berada pada laju transformasi yang pesat menuju ke arah tersebut. saat ini, ekonomi Indonesia berada pada posisi 16 dunia dengan pendapatan domestik nasional sebesar 846 miliar dolar AS tahun 2011. Angkat itu akan terus tumbuh hingga mencapai 1,8 triliun dolar AS mulai tahun 2017. Pada tahun 2030, hanya Amerika Serikat, Cina, India, Jepang, Brasil, dan Rusia yang berada di atas ekonomi Indonesia.

Kekuatan terbesar ekonomi Indonesia tidak hanya berupa ekspor yang didukung oleh kekuatan tenaga kerja dan komoditas, melainkan juga kekuatan konsumsi domestik dan jasa-jasa, yang menjadi motor penggerak ekonmi nasional. Melihat potensi yang sedemikian besar, dalam beberapa sesi diskusi sidang IMF yang sempat saya ikuti, para investor asing mengharapkan makin banyak pilihan investasi di Indonesia.

Harapan para investor tersebut tentu merupakan peluang dan tantangan bagi Indonesia. upaya melakukan pendalaman pasar keuangan (financial deepening) menjadi penting dalam memberikan ragam pilihan investasi bagi para investor. Di sisi lain, pembenahan di sektor riil dan infrastruktur perlu terus dilakukan secara serius guna mendukung arah untuk menjadikan ekonomi Indonesia yang terbesar di Asia Tenggara.

Saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada pada kisaran 5 % hingga 6 %, apabila dapat terus dipertahankan, akan menambah jumlah masyarakat kelas menengah hingga 90 juta orang dengan pendapatan per kapita lebih dari 3.600 dolar AS. Apabila kita mampu mendorong pertumbuhan hingga 7 %, jumlah itu bertambah lagi dengan masyarakat menengah mencapai 170 juta orang.

Berbagai perkembangan dari sidang IMF/WB di Tokyo pekan lalu kembali mengingatkan kita tentang besarnya potensi Indonesia dan sempitnya momentum yang sedang kita lalui saat ini. Apabila potensi itu tidak diwujudkan dalam aksi dan momentum yang baik dilewatkan begitu saja karena kita begitu asyik dengan urusan lain, prediksi para investor tersebut tidak akan menjadi kenyataan. Tentu pilihan ada di tangan kita semua saat ini.

Sumber: Buku siswa mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas X SMA/MA, Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik, hlm. 82-83.