27/05/16

Manusia Modern, Agama, dan Islam

Sejak paruh kedua abad ke-20, gereja Katolik Eropa menghadapi tantangan besar: dekristenisasi. Gelombang sekulerisme semakin tidak terbendung. Semangat ritualistik masyarakat Eropa merosot. Geraja mulai ditinggalkan jemaat. Manusia modern menjadi semakin skeptis terhadap agama.
Apakah skeptisisme manusia modern hanya terarah pada agama Katolik saja? Ternyata tidak. Agama lain pun, dalam hal ini yang berkarakter legalistik dan sistemik, yaitu Islam, menjadi sasaran kritik, kalau bukan objek sinisme dan kebencian, sekurang-kurangnya kecurigaan. Inilah barangkali yang menjadi bingkai paradigmatik sebagian orientalis dalam mengkritik agama Islam dan mengkronstuksi citra Islam yang serba negatif dalam diskursus akademik. Kritik manusia modern terhadap Islam semakin menajam ketika peristiwa besar yang mengubah konfigurasi dunia Islam terjadi: revolusi di Iran pada 1979. Bertolak belakang dengan visi yang sekian abad, sejak era Renaissance, diperjuangkan manusia modern untuk menempatkan agama di bawah kontrol negara, revolusi Islam Iran merobohkan tatanan negara modern untuk kemudian meletakkan agama di atas dan sebagai dasar bagi negara.
Tentu saja, karena itu manusia modern secara psikofilosofis menyikapi revolusi Islam tersebut, juga gemanya ke seantero wilayah Islam, sebagai ancaman humanitas. Mereka takut, sejarah bukan mengarah lurus maju ke depan meninggalkan masa lalu yang kelam, tetapi mundur ke belakang ke abad pertengahan, kurun yang dalam literatur Eropa disebut sabagai Dark Age, zaman kegelapan, ketika lembaga agama mengatur gerak langkah kerajaan dengan kewenangan hampir absolut, kondisi yang mengantarkan gereja dan kerajaan melakukan korupsi kolektif dalam tindak kezaliman terhadap humanitas.
Kebangkitan negara bangsa, juga apologi filosofis atas keberadaannya, berakar pada trauma historis yang dialami masyarakat Eropa akibat perselingkuhan gelap antara agama dengan kerajaan pada abad pertengahan. Geraja memapankan teologi skolastik yang mengawang-awang di langit metafisik dan jauh dari kerasnya kenyataan hidup sehari-hari di bumi. Agama gagal menjalankan peran mesianistiknya untuk, dalam ungkapan biblikal, memberi roti kepada orang-orang lapar. Agama menjadi tidak berpijak pada realitas.
Sebagai respons atas kemandulan dan kesontoloyan agama tersebut, sejumlah cendekiawan maju untuk mengkritik agama. Sebab, setelah ditelusuri cermat, agamalah yang menjadi biang kerok derita masyarakat. Terpangil oleh hati nurani dan akal sehat, mereka menabahkan diri untuk siap menjadi martir seperti Socrates yang dihukum minum racun karena kebenarannya, seperti nabi-nabi yang diusir dari kampung halamannya bahkan dibunuh karena menyebarkan kebenaran, atau seperti teladan agung mereka sendiri: Kristus yang rela disalib demi menebus dosa manusia dan membangun kerajaan ilahi.
Martin Luther menawarkan proyek reformasi, dengan mana lahirlah agama Kristen Protestan, suatu agama yang dilandasi semangat modern dan berpijak pada realitas. Copernicus dan Galileo membantah heliosentrisme skolastik dan menyodorkan geosentrisme saintifik. Decartes mengganti kesadaran teosentris dengan kesadaran baru: antroposentrisme yang berpusat pada pikiran. Poros sejarah bukan lagi Tuhan, melainkan manusia. Pada kurun selanjutnya, Comte menyatakan bahwa agama hanyalah masa lalu bagi umat manusia, sembari menegaskan bahwa sains positif adalah alat yang diperlukan manusia modern untuk mencapai progresi. Jauh sebelum negara-bangsa berdiri setelah revolusi Perancis, Hobbes menulis risalah Leviathan-nya: agama harus diperlakukan sebagai alat bagi negara-kekuasaan dalam rangka mencapai stabilitas dan kedamaian sosial. Feuerbach menyatakan bahwa Tuhan adalah proyeksi manusia, tidak lebih dari sekadar imajinasi dan konsep belaka. Marx melihat agama, yang berada pada ranah suprastruktur masyarakat kapitalis, sebagai candu bagi kelas pekerja, juga sebagai perpanjangan tangan ideologi kapitalisme. Selanjutnya, Nietzsche memproklamasikan kematian Tuhan, kemudian Freud mengkategorikan agama sebagai gejala kegilaan.
Dengan kecenderungan intelektual untuk mengeluarkan agama dari ruang publik dan mengurungnya dalam ruang privat, bahkan menghapuskan keberadaan agama sekali pun dalam ruang privat, tidak heran jika manusia modern membaca Islam-sebagai-teks hampir selalu dengan pendekatan hermeneutika kecurigaan, lebih-lebih setelah Revolusi Islam Iran, lebih-lebih lagi setelah terorisme al-Qaeda. Jadi, kritik manusia modern terhadap Islam tidak saja disebabkan sikap sementara umat Islam yang eksklusif dan radikal, tetapi juga dilatarbelakangi oleh trauma sejarah yang mereka alami pada abad pertengahan.
Karena itu, untuk menepis kecurigaan manusia modern terhadap Islam, selain harus menampilkan Islam sebagai agama yang penuh kasih sayang, umat Islam pun harus memfungsikan agama sebagai jawaban terhadap persoalan ekonomi-politik rakyat. Teologi memang merupakan bangunan metafisis, tetapi ia perlu menunjukkan wajah praksisnya. Bahwa ketuhanan merupakan continuum kemanusiaan, demikian pula sebaliknya, perlu diterjemahkan dari sekadar konsep menjadi aksi. Fikih tidak tinggal diam saat menyaksikan rakyat, umat Islam lapis bawah, menjadi korban kerakusan kapital, yang seringkali menggunakan negara sebagai perangkat persuasif, koersif, bahkan represif. Ulama berperan sebagai anjing galak yang menggonggong apabila terjadi korupsi kekuasaan, bukan menjadi anjing yang menjilat kaki tuannya: penguasa yang gagal menjalankan fungsi kekhalifahan sebagai manifestasi kehambaan.

Ringkasnya, sebagaimana garis besar ajaran Nabi Muhamad, di samping dituntut untuk kembali ke khittah-nya sebagai agama kasih sayang, Islam pun harus tampil kembali sebagai agama kerakyatan, yang memberi roti pada orang-orang lapar, atau dalam bahasa hadits: memberi makan bagi orang yang lapar, memberi pakaian bagi orang yang telanjang, memberi tempat berteduh bagi orang yang kehujanan, memberi tongkat bagi orang yang buta. Persoalannya, sejauh mana saat ini Islam, khususnya Islam di nuswantara, berpihak kepada rakyat? 

20/05/16

Mencari Akar Radikalisme Islam



Setelah komunisme ambruk, sejarah mendapatkan tantangan baru: radikalisme Islam. Sejak tahun pertama alaf kedua masehi, persisnya ketika menara kembar Wall Trade Center dirobohkan pesawat teroris, hampir seluruh media global secara sinambung melaporkan aktivisime radikal umat Islam. Radikalisme Islam kemudian menjadi semakin terorganisasi dan terlembaga dengan berdirinya Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS).
ISIS, negara teror ini, tidak saja bertanggung jawab atas rangkaian teror di negara-negara Eropa, tetapi juga memaksa sejumlah besar rakyat Timur Tengah mencari suaka ke Eropa. Selain menghancurkan umat Islam dari dalam, radikalisme Islam juga menggoncang kemapanan dan keseimbangan tata demografis Eropa.
Radikalisme Islam pun menjadi problem yang harus segera dicari solusinya. Keharusan dan kesegaraan solusi atas problem kemanusiaan ini mendorong sementara kalangan menawarkan, bahkan mengeksekusi, solusi yang reaktif: ISIS ditumpas dengan perang kontra-teroris. Kenyataan menunjukkan, solusi reaktif seperti itu bukan mengatasi masalah, melainkan memperkompleks dan mengamplifikasi masalah, laksana memadamkan api bukan dengan air, melainkan dengan minyak tanah.
Radikalisme Islam memang masalah mendesak, tetapi kita perlu berpikir dingin untuk mencari jalan keluarnya, pertama-tama dengan menelusuri akar radikalisme. Mengapa radikalisme Islam muncul? Mengapa perilaku beragama umat Islam menjadi radikal, sedangkan doktrin Islam justru bertumpu pada kedamaian dan berorientasi pada kasih sayang? Pendek soal: apa latar belakang sosial-historis ambivalensi umat Islam? Lebih menukik lagi: apa faktor filosofis dari ambivalensi tersebut?
Artikel ini ingin menjawab persoalan musykil itu dengan berangkat dari tiga pandangan. Pertama, pandangan Fazlur Rahman yang memeriksa kebangkitan radikalisme Islam dalam konteks sejarah epistemik umat Islam. Kedua, pandangan Amartya Sen yang meletakkan radikalisme Islam dalam diskusi pascakolonial. Ketiga, pandangan Hannah Arendt tentang banalitas kejahatan. Arendt, yang menggeluti filsafat politik, suntuk dengan problematika Yahudi, dan meninggal pada 1970-an, jelas tidak menulis tentang radikalisme Islam. Namun demikian, renungan filsafatnya dapat digunakan sebagai kerangka untuk memahami radikalisme Islam hingga ke akarnya yang terdalam.  
Pandangan Fazlur Rahman tentang radikalisme Islam terasa mengejutkan. Pendapat mainstream menyatakan bahwa radikalisme Islam berakar pada karakter agama Islam itu sendiri yang integral, holistik, dan total. Islam tidak menerima sekularisme. Dalam Islam tidak ada pembedaan mana ruang kudus, mana ruang sakral. Seluruh dimensi manusia berada dalam atmosfer kekudusan. Misi Islam radikal untuk meniadakan negara sekuler dan mendirikan negara agama berpangkal dari integralisme dan totalisme Islam.
Rahman, dalam Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (1982), menyodorkan pandangan yang berkebalikan. Memang Islam merupakan agama yang integralistik, tetapi radikalisme Islam tidak muncul karena karakter integral Islam. Radikalisme Islam justru dilahirkan dalam lingkungan epistemik umat Islam yang bernuansa sekuler. Pada abad pertengahan, era keemasan Islam, ulama klasik merumuskan konsep ilmu yang dikotomistik. Mereka membelah ilmu, yang tadinya merupakan kesatuan, menjadi dua kategori, yaitu ilmu umum dan ilmu agama. Diferensiasi epistemik itu kemudian menjelma sebagai diferensiasi kosmik. Kalau dulu bagi umat Islam dunia merupakan kesatuan yang bulat, sekarang dunia terbelah menjadi dua, yaitu ranah umum dan ranah agama, ruang yang profan dan ruang yang kudus.
Ketika Islam berjumpa dengan modernitas dan modernisme pada era kolonial, ruang profan mendesak ruang kudus ke pinggir gelanggang. Modernisme Barat hadir, maju, memonopoli kesadaran kolektif, kemudian mengalahkan agama. Karena itu, gerakan neo-revivalisme dan neo-fundamentalisme bangkit, kemudian menyusun barisan untuk mengambil kembali apa yang bagi mereka telah dirampas modernitas. Islam radikal mengumandakan perang sabil, jihad, melawan Barat.
Dari uraian ringkas tentang penalaran Rahman itu, terlihat bahwa pandangan Rahman yang sosial-historis berkaitan dengan fakta kolonialisme Dunia Ketiga, yang sebagian besar merupakan wilayah Islam, tetapi fakta kolonialisme tersebut bagi Rahman bukan akar utama dari radikalisme Islam. Amartya Sen mengambil posisi yang berbeda. Sebagaimana tampak dalam bukunya, Krisis dan Identitas (2016), Sen meletakkan radikalisme agama terutama dalam konteks pascakolonial. Kolonialisme Dunia Ketiga menimbulkan apa yang disebut Sen sebagai dialektika berpikir kaum terjajah, paralel dengan apa yang disebut Bhabha sebagai ambivalensi. Masyarakat pascakolonial bersikap ambivalen terhadap (mantan) penjajahnya. Mereka membenci, tetapi sekaligus mengagumi, penjajah. Relasi hate and love terjajah-penjajah ini sejalan dengan terbentuknya inferioritas mental kaum terjajah di hadapan kaum penjajah.
Akibatnya, relasi kedua pihak tidak bisa sejajar dan setara, kaum terjajah senantiasa meletakkan dirinya di bawah kaum penjajah, Timur memposisikan dirinya di bawah Barat. Berhadapan dengan Barat, bahkan setelah penjajahan formal berakhir, Timur yang terjajah, termasuk Islam, memperlakukan dirinya sebagai “Sang Lain”, musuh abadi imperialis-kolonialis Barat. Radikalisme Islam adalah kelanjutan dari dialektika berpikir kaum terjajah ini.
Walaupun berbeda pendapat pada level permukaan, pada dasarnya Rahman dan Sen memandang radikalisme Islam juga sebagai gejala filosofis. Itulah yang mendorong saya untuk menemui Hannah Arendt. Setelah mengikuti persidangan Adolf Eichmann, penjahat perang kelas kakap yang bertanggung jawab atas pembantaian jutaan orang Yahudi dalam Perang Dunia Kedua, Arendt menulis laporan panjang, Eichmann in Jerusalem: a Report on the Banality of Evil. Menurut Arendt, pandangan kita tentang kejahatan selama ini perlu dikoreksi. Kejahatan tidak melulu bersifat mitologis. Pelaku kejahatan tidak selalu terdorong oleh daya-daya satanik yang melenyapkan akal sehatnya.
Kejahatan merupakan perkara sehari-hari yang banal: lazim, biasa, dangkal, mekanis. Kejahatan terjadi karena pelaku kejahatan tidak berpikir. Itu saja persoalannya. Tapi, perlu diperjelas, berpikir dalam pandangan Arendt tidak bisa dilepaskan dari kemanusiaan. Artinya, selama seseorang berpikir, selama dia mengambil kemanusiaan sebagai pertimbangan dalam keputusan-keputusannya, dia tidak akan jatuh dalam tindak kejahatan yang tidak manusiawi. Tapi, kalau tidak berpikir secara demikian, dia akan jatuh dalam banalitas kejahatan. Pelaku kejahatan yang banal mengelak dari tanggung jawab dengan berlindung dalam konsep atas-nama, dalam kasus Eichmann adalah atas-nama negara. Dia mencuci tangannya dari dosa dengan air ideologi. Karena itu, Eichmann tidak merasa bersalah atas kejahatan yang telah dilakukannya, bahkan dia bangga dengan hal itu. Dia merasa telah menjalankan kewajibannya secara hukum sebagai fungsi bagi negara.
Aksi terorisme, yang dilakukan Islam radikal, adalah kejahatan jenis itu. Radikalisme Islam merupakan sebentuk banalitas kejahatan. Teroris muslim tidak merasa bersalah, juga berdosa, atas kejahatan yang telah dilakukannya. Bersandar pada ideologi, berlindung dalam konsep atas-nama Tuhan, mereka bangga dengan aksi terornya, bahkan memandang hal itu sebagai keharusan dan kewajiban. Aksi teror yang mereka lakukan sebagai banalitas kejahatan terjadi karena mereka tidak berpikir sebagai manusia. Memang mereka berpikir, tetapi bukan sebagai manusia pribadi yang niscaya hidup dalam kebersamaan dengan manusia lain, melainkan sebagai sekadar fungsi dari ideologi keislaman tertentu yang merupakan aplikasi dari tafsir relatif atas sumber-sumber ajaran Islam.
Pertanyaannya, mengapa umat Islam terkena kutukan banalitas kejahatan tersebut? Saya tidak berkemampuan, juga tidak berpretensi, untuk memberikan jawaban. Saya hanya ingat bahwa dalam dunia keilmuan Islam, filsafat telah secara programatik dipinggirkan. Jika diamati secara hermeneutis, program peminggiran—saya lebih suka menyebutnya pembatasan—filsafat harus diakui tidak dapat dituduh bersalah. Tapi, harus diakui pula, program pembatasan filsafat tersebut telah menimbulkan dampak kultural yang negatif, bahkan destruktif. Sikap anti-intelektualisme yang dipegang mayoritas umat Islam sejak zaman pertengahan ternyata merupakan salah satu faktor, di antara sekian faktor, yang membidani kelahiran banalitas kejahatan Islam radikal, sebagaimana kebijakan anti-intelektualisme Hitler turut membidani kelahiran banalitas kejahatan Eichmann.
Dengan demikian, untuk menjawab persoalan radikalisme Islam, kita tidak bisa puas dengan hanya menyebarkan wacana bahwa Islam merupakan kasih sayang bagi semesta, seraya merespons problem ketidakadilan sosial dengan praksis teologi sosial. Untuk melengkapi upaya-upaya tersebut, kita perlu mengembalikan Islam kepada kodratnya sebagai agama akal dengan menghidupkan kembali gairah berfilsafat dalam Islam.
Dalam rangka membendung arus radikalisme, sudah menjadi tugas kita untuk menyambut filsafat dengan tangan terbuka dan merayakannya dengan suka cita, tentu tanpa meninggalkan kesadaran dan menanggalkan kritisisme. Tentu juga dengan mengingat bahwa sebagaimana mata memiliki batas pandang terjauh, akal pun memiliki batas pikir terjauh. Di belakang batas itu, terhampar samudera misteri yang tidak terselami akal. Perlulah mengerahkan segenap potensi akal untuk sampai pada batas itu agar kita tidak terjatuh dalam banalitas kejahatan atas-nama Islam, juga agar pondasi religiositas kita tidak rapuh.

13/05/16

Teguh, Komunitas, dan Gerakan Literasi



Teguh Ranusastra Asmara berpulang. Nama itu, saya sekadar tahu, belum kenal. Memang, dalam satu dua acara sastra saya pernah melihat beliau. Sekadar melihat dari jauh. Sebab, saya sadar, dalam jagad sastra Yogya beliau orang besar, sedangkan saya, ah siapalah, mengaku sebagai orang yang belajar menulis pun malu. Bermimpi menjadi penulis, saya tidak berani.

Pernah pula saya melihat beliau di kantin Taman Budaya Yogya. Waktu itu beliau sedang berbicara dengan kawan-kawannya yang seniman, sementara saya sedang beromong kosong dengan seorang sahabat. Dari jarak cukup dekat, saya melirik-lirik beliau. Ingin rasanya berkenalan. Tapi keinginan itu kandas oleh minder: saya bukan siapa-siapa, tidak punya nama, tidak punya karya yang pantas ditunjukkan. Akhirnya, saya simpan dalam-dalam keinginan tersebut untuk pada akhirnya dibiarkan raib.

Dari sembarang tulisan dan tuturan yang kebetulan saya dapatkan, saya menyimpulkan bahwa Teguh adalah orang besar. Namun, kurang dikenal di panggung sastra nasional. Beliau besar bukan hanya karena karyanya, tetapi lebih karena kesetiaan dan keteguhannya dalam berkomunitas sastra.
Pada 1960-an, setelah dunia sastra kita tercabik-cabik oleh perkelahian Lekra melawan Manifes Kebudayaan, sejumlah sastrawan muda Yogya diam-diam merintis jalan baru, barangkali untuk keluar dari kemampetan dan kesumpekan kebudayaan itu. Umbu Landu Paranggi, Ragil Suwarno Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara, Iman Budhi Santosa, dan beberapa nama lain membentuk Persada Studi Klub (PSK), komunitas sastra yang kemudian menjadi rumah bagi sastrawan muda dan bakal sastrawan.
Bergerak dalam sunyi, jauh dari gemebyar dan gemerlap panggung sastra nasional, komunitas ini perlahan-lahan mengader sastrawan baru, seorang per seorang, angkatan per angkatan. PSK menjadikan Malioboro, yang saat itu belum terasa gerah gersang dan hampa hambar seperti sekarang, sebagai rumah kebudayaan, sebagai universitas kehidupan. Tiga dari sekian banyak nama besar yang lahir dari rahim PSK adalah Cak Nun, Linus Suryadi Ag., dan Korrie Layun Rampan.
Mengapa sebuah komunitas sunyi ternyata melahirkan sastrawan-sastrawan besar? Marilah kita perhatikan proses yang dipergulati orang-orang PSK, sebagaimana dikenang Iman Budhi Santosa dalam puisinya, Orang-Orang Malioboro 1969.

Orang-Orang Malioboro 1969

Rumah kami Malioboro
            Mata kami Malioboro
Hati kami Malioboro
            Buku kami Malioboro
Puisi kami Malioboro

Di antara debu, trotoar, dan tahun-tahun kelabu
secarik kertas, berita dalam sepotong koran bekas
pernah jadi teramat perlu; di sini. Karena terik matahari
tak menjanjikan senja benar-benar temaram
malam direngkuh sinar rembulan
dan pagi pasti memuat cericit burung gereja
mengeja lapar yang semalam tertunda
tersangkut pada bentangan kabel telepon di atas kepala kita

Di pojok stasiun Tugu, masih melintas kereta demi kereta
sedang kami malah menyimpan cemas dalam saku
dalam kata, dalam senyum, ketika hanya secarik catatan
layak dibanggakan, dipamerkan
pengganti ijazah yang terlipat dalam angan-angan

Menyusuri Malioboro, pagar tembok jadi bangku
taman dan pokok asam merangkai sunyi
lebih indah dan santun dari hening rumah sendiri.
Kadang ada debat, mengadu kutipan-kutipan dari buku tua
menguji jejak pujangga, menukar pena dengan tajamnya lidah
yang tak terukur oleh rumus matematika

Ya, kami pernah di sini. Menyaksikan lampu-lampu
menjelma mercuri, mengukur panjangnya langkah
dari keraton hingga pemberhentian ini
dengan baju lusuh, mulut tabu mengaduh
tanpa sedikit pun berani memandang langit
negeri berawan yang robek dan belum terjahit

Bertahun-tahun kami mengais remah cerita
yang bertebaran di kaki lima
sepanjang Senisono sampai hotel Garuda
untuk bekal sabar mengolah musim dan cuaca.
Bertahun-tahun kami bertabrakan
dengan angin pesat dari tenggara
yang membuat bibir retak dan kering
namun, juga yang memberi tahu bagaimana belajar menjadi batu
yang tak pernah lapuk dalam terkaman waktu.
Bertahun-tahun kami menapak bumi keras
menginjak duri, teriris tatapan beringas
terpinggirkan bunyi klakson
terhalang bangunan toko, tiang listrik,
dan pengemis yang terus memohon.

Sungguh, kami tidak berhenti, dan hanya berhenti
ketika puluhan kisah wayang sudah tersimpan dalam hati.
Ketika sahabat bukan lagi orang-orang sakti
tapi, juga tembok dan beton, lukisan dan puisi
air comberan dan pemantik api

Di Malioboro, kami pernah menjadi bayi
pernah bertapa, sekaligus bercinta
pernah menyerupai sampah
pernah belajar mengeja
pernah tak dikenal tetangga
pernah menghitung bintang, mengikuti jejak tikus tua
membangun sarang yang nyaman
di bawah tanah kelahiran kedua
bernama Yogyakarta

2009

Tak perlu saya tafsir, puisi itu, dengan bahasanya yang tidak gelap, mengungkapkan banyak hal tentang proses belajar sastra dalam komunitas PSK. Terkesan keras dan berat. Tapi, kawah Candradimuka memang harus membakar Jebeng Tetuka agar menjelma Gatotkaca. Emas memang harus berulang kali disepuh dalam api membara, berulang kali pula dipalu dengan godam untuk menyapihnya dari suasa. Tanpa proses yang meluluh-lantakkan benteng eksistensi pribadi, tidak mungkin lahir sastrawan besar. Besar bukan hanya secara popularitas, tapi lebih secara kepribadian.
Walaupun tak perlu ditafsirkan, dari puisi di atas, saya mencatat dua hal. Pertama, orang-orang PSK, ketika mereka berproses, ternyata tidak lagi punya gantungan masa depan. Kesuksesan berkat pendidikan formal, tinggal mimpi masa lalu. Mereka merasakan kerapuhan dalam menjalani proses bersastra. Kebanggaan mereka bukan masa depan yang pasti atau telah dipastikan, tapi hanya secarik catatan yang mungkin tak laku dijual. Akan nasibnya sendiri, mereka merasa gamang.
Kedua, mereka saling menjalin persahabatan, persaudaraan, paseduluran, kekeluargaan. Dan bagi mereka, sahabat bukan hanya orang-orang sakti, tokoh-tokoh yang telah punya nama, orang-orang yang telah punya keahlian bersastra. Mereka juga bersahabat dengan siapa-siapa yang dilupakan, direndahkan, disepelekan, dipinggirkan, dibuang, distigma buruk, dipandang tak berarti, dianggap tiada: tembok, beton, lukisan, puisi, bahkan air comberan dan pemantik api.
Semua benda tersebut, bagi saya, adalah simbol yang menandakan orang-orang hilang yang tak diakui dan tak dilirik. Mereka adalah korban dari keakuan dan keangkuhan kita, akhlak yang lahir dari paradigma berpikir untung-rugi, dari watak saudagar.
Karena bersahabat dengan orang-orang hilang, kita menyaksikan kehadiran orang kecil dalam karya sastrawan PSK, dalam karya Iman, dalam karya Cak Nun, dalam karya Linus. Dalam karya mereka, orang kecil tidak saja dimanfaatkan sebagai hiasan untuk berpromosi, tapi dijunjung tinggi-tinggi sebagai pahlawan yang tak berniat menjadi pahlawan. Dalam perjuangan hidup sehari-hari, orang-orang kecil itu seringkali, atau malah selalu, kalah. Tapi, dalam kekalahan mereka tersembunyi kemenangan sejati, suatu kemenangan mental dan spiritual.
Persahabatan yang merupakan lelaku budaya itu, paseduluran itu, pada gilirannya menumbuhkan visi kemanusiaan: dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan; bukan kerabat bukan keluarga, jika mati ikut kehilangan. Orang lain, dia yang terpinggirkan, dilupakan, direndahkan, bahkan dianggap tiada, adalah bagian dari diriku. Penderitaan orang lain, yang kelaparan, sakit, dan terlunta-lunta di jalanan, adalah penderitaanku juga. Mereka manusia, aku pun manusia. Kau tersayat, kata Sutardji, aku berdarah. Kalau satu bagian tubuh sakit, kata Nabi Muhammad, bagian tubuh lain ikut menderita.
Tanpa me-laku-kan jihad besar untuk menekan keakuan dalam bermasyarakat, juga dalam berkomunitas, sukar membayangkan terwujudnya idealitas kemanusiaan. Orang-orang hilang yang tidak diperhatikan dan dipeluk mesra adalah gerombolan korban yang sedang menyiapkan rencana balas dendam untuk mengobrak-abrik tatanan komunitas dari dalam. Secara pasif dengan meninggalkan komunitas itu. Secara aktif dengan melancarkan pemberontakan.
Sepanjang apa umur komunitas ditentukan oleh seteguh apa perjuangan kita untuk menekan keakuan dan memeluk mesra orang-orang hilang. Ketika atmosfer keakuan telah meliputi komunitas, komunitas itu sesungguhnya telah hancur binasa, walaupun secara fisik masih bertahan. Bagai jasad tanpa ruh. Adalah omong kosong berbicara tentang paseduluran dalam komunitas para saudagar.
Karena itu, dalam rangka membangun dan melanggengkan komunitas dengan semangat paseduluran, orang-orang hilang mesti dihargai, betapa pun mereka tampak tak berharga, tak berguna, tak berkemampuan. Komunitas, dari tataran terkecil hingga tataran terbesar, yaitu negara, disangga bukan hanya oleh orang sakti, apalagi oleh orang yang merasa sakti, tapi juga oleh orang-orang hilang; dijaga bukan hanya oleh jati dan mahoni, tapi juga oleh rumput, semak belukar, dan rumpun daun sikejut. Dalam Belajar pada Siang, pada Malam, Iman Budhi Santosa menulis:

Aku belajar menghargai rumput
semak belukar dan rumpun daun sikejut
sebab, bukan hanya jati mahoni
yang patut menjaga erosi negeri ini

Lantas, dengan apa keakuan ditekan? Salah satunya, dengan mengisyafi hakikat puncak. Di antara latar belakang keakuan adalah nafsu untuk mewujudkan mimpi pribadi, dorongan gelap untuk mencapai puncak kesuksesan pribadi. Selama mendaki menuju puncak kesuksesan pribadi itu, kita hanya mendekati orang-orang yang kita anggap mampu mencapai puncak atau telah mencapai puncak. Mereka yang tampak tak berkemampuan, kita lupakan. Saingan yang tampak berpotensi menjegal jalan, kita singkirkan. Selama mendaki menuju puncak, kita tanpa sadar menjatuhkan orang lain. Aku berhitung, di puncak sana, tidak boleh ada orang lain. Di puncak sana, hanya akan dan boleh ada satu orang: aku sendiri. Tidak seorang pun boleh lebih dariku.
Setelah mencapai puncak sendirian, apakah aku menemukan kebahagiaan sejati? Sama sekali tidak. The winner, Coelho menyimpulkan, stands alone. Sang pemenang hidup sendirian. Di puncak, dia mengalami kesepian yang menyiksa. Agar terhindar dari siksa kesepian itu, juga agar kemounitas terbangun dan terjaga, kita perlu menihilkan puncak dan memberinya makna baru, makna yang sesuai dengan harapan-harapan kebudayaan. Itulah yang ditawarkan Suminto A. Sayuti, sastrawan cum kritikus sastra yang pernah berproses dalam PSK, melalui puisnya yang berjudul Syair Puncak.

Syair Puncak

Jangan tanyakan puncak. Mendakilah terus ke Utara
Karna puncak tak pernah ada. Ialah kerendahhatian yang
diam tanpa suara
Maka kita pun dataran rendah. Sepetak sawah bagi petani
kecil
Sejengkal kolam bagi ikan-ikan mungil. Rimbun daun bagi
birahi sepasang burung. Secercah cahaya bagi peja-
lan larut. Sebaris tawa bermakna.
Sebait puisi abadi. Tak ada puncak ketika di ketinggian
Tak ada puncak ketika kemah hunian kita dirikan dalam
diri

Yogyakarta, 2012

Petani kecil, ikan-ikan mungil, sepasang burung, dan pejalan larut dapat dibaca sebagai simbol-simbol yang melambangkan orang hilang. Bagi negara, suatu komunitas besar, mereka tidak dipandang berarti, apalagi berharga. Tapi, bagi siapa pun yang telah menginsyafi makna puncak, yang menyadari bahwa aku hanyalah dataran rendah, mereka menjadi sangat berarti, sangat berharga.
Apalah artinya dataran rendah tanpa petani kecil yang mengolah sepetak sawah, ikan-ikan mungil yang berenang di kolam, sepasang burung yang meluapkan birahi dalam selubung rimbun daun. Dataran rendah itu akan kelihatan gersang, lengang, tak indah, tak bermakna. Eksistensiku sebagai dataran rendah ditentukan oleh eksistensi petani kecil, ikan-ikan mungil, sepasang burung yang tenggelam dalam birahi.
Eksistensi pribadiku, selain tentu eksistensi komunitas, ditentukan oleh eksistensi orang-orang hilang yang adalah sahabatku, saudaraku, sedulurku. Ketika mereka tidak hadir, aku merasa ada yang kurang. Ketika mereka tersayat, aku berdarah. Ketika mereka dipanggil pulang oleh langit, aku merasa kehilangan. Dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan.
Itulah pelajaran kecil yang saya petik dari sejarah komunitas PSK, model komunitas literasi yang pernah hampir kehabisan penerus. Untuk memanggil kembali ruh komunitas PSK dan meniupkannya ke dalam tubuh generasi sastra baru, juga untuk menggairahkan dan menyemarakkan kehidupan sastra Yogya, beberapa tahun lalu PSK mengadakan reuni. Punggawa-punggawanya, antara lain Cak Nun, Teguh, dan Iman, berkumpul. Hasilnya, terbitlah majalah sastra Sabana, mengambil nama rubrik sastra yang pernah dikelola Umbu, sang guru dalam PSK, tikus tua yang membangun sarang yang nyaman/ di bawah tanah kelahiran kedua/bernama Yogyakarta.
Majalah itu menyediakan ruang bagi pelbagai komunitas sastra di nusantara. Meski berperan nyata dalam membangun kehidupan sastra kita, mereka bagaikan anak hilang, tak dipandang dewa-dewi sastra Jakarta. Maka, Sabana menjadi forum silaturahmi bagai pelbagai komuntas sastra, pelbagai sastrawan, entah besar entah kecil. Majalah itu menjadi simbol paseduluran orang-orang sastra.
Sabana memperluas lingkup PSK, menyebarkan semangat paseduluran PSK. Semangat untuk menghargai tembok, beton, lukisan, puisi, air comberan, dan pemantik api. Semangat untuk mengingat rumput, semak belukar, dan rumpun daun sikejut. Semangat untuk memeluk mesra petani kecil, ikan-ikan mungil, sepasang burung yang mabuk birahi, dan pejalan larut. Semangat untuk menyapa orang-orang hilang, mengundang mereka, memberi ruang bagi mereka.
Sebagai anggota PSK, dalam proses tersebut, terlebih dalam proses panjang perjalanan PSK sejak lahir hingga sekarang, Teguh Ranusastra Asmara tentulah berperan penting. Sebab itu, Teguh adalah orang besar dalam kancah sastra Yogya, juga kancah sastra nasional. Hanya saja, beliau bergerak di bawah permukaan.
Sebagai sastrawan, mungkin namanya tidak masuk barisan sastrawan yang karyanya terpampang dalam koran nasional, tidak pula terekam dalam majalah sastra Horison. Tapi, atas segenap gerakan sastra, artinya juga gerakan literasi, yang dijalankannya dalam sunyi, kita mengenangnya sebagai pelampah kebudayaan. Untuk menyatakan rasa terima kasih kepada beliau, kita mencatat nama beliau dalam ingatan bersama.
Terima kasih Pak Teguh, selamat jalan….

Yogyakarta, 12 Mei 2016

08/05/16

Berdikari, Keinginan yang Mustahil

Siapa tak kenal Soekarno? Dia proklamator Republik Indonesia. Salah seorang founding fathers bangsa kita, di samping Hatta. Oleh pemujanya—jadi lebih dari sekadar pengagumnya—Soekarno diperlakukan sebagai raja, Ratu Adil, bahkan dewa. Dewa kebal dari dosa. Dia tidak berada di luar lingkaran kebenaran.
Tapi, bagi korban-korban politiknya, juga bagi para kritikusnya, Soekarno adalah manusia biasa. Sebagaimana manusia pada umumnya, Soekarno ialah paradoks yang harmonis, ambivalensi yang dinamis. Bukan saja tidak luput dari kesalahan, tetapi dia kerap salah, walaupun motif tindakannya belum tentu salah.
Di antara semua kesalahan Soekarno, ada jenis kesalahan yang jarang dibicarakan, yaitu kesalahannya dalam berbahasa. Karena berbahasa identik dengan menalar, kesalahan berbahasa Soekarno itu menjadi kesalahan berpikir juga.
Dia mengenalkan istilah berdikari, akronim dari berdiri di atas kaki sendiri, yang kemudian menjadi jargon politik, salah satu jangkar konseptual ideologi Marhaenismenya. Dengan menciptakan istilah itu, dalam satu jurus ujar, Soekarno melakukan dua kali kesalahan berbahasa.
Pertama, dia mengbastrakkan apa yang konkret. Dia menciptakan kata yang menyihir. Kata sihir yang mengandung sihir kata, digunakan dalam propaganda. Tujuannya, memengaruhi audiens. Lebih lugasnya, menyetir audiens. Kata-kata, apalagi yang abstrak, yang acuan indrawinya tak mudah dilacak, bisa menjelma sebagai mantra jika masuk dalam gelanggang politik.
Terpukau kata berdaya sihir, audiens tidak merasa perlu mengusut maknanya yang awal. Kata seperti itu diterima begitu saja hanya karena terdengar hebat atau tampak gagah. Kata berdaya sihir, berdikari misalnya, menjauhkan audiens dari kritisisme. Politik bahasa Soekarno ini kelak ditiru penerusnya, Soeharto, dengan hasil yang lebih efektif. Soeharto tahu betul, menguasai bahasa adalah mengendalikan pikiran.
Kesalahan berbahasa kedua bukan lagi pada berdikari sebagai sebuah akronim, tetapi pada frasa yang diakronimkan menjadi berdikari itu: berdiri di atas kaki sendiri. Berdiri di atas kaki sendiri adalah tindakan yang mustahil. Sejak dunia diciptakan sampai dihancurkan kelak, berdikari tidak mungkin terjadi, kecuali kalau kita mengamputasi salah satu kaki kita, kemudian kaki yang lain tegak di atas bangkai kaki amputasian tersebut. Itu pun kita berdiri secara tidak sempurna. Berdiri yang sempurna adalah berdiri dengan sepasang kaki, kanan dan kiri.
Mengapa Soekarno, dalam kasus berdiri di atas kaki sendiri, gagal berpikir logis? Barangkali, karena imajinasinya melambung kelewat tinggi sehingga lepas dari kontrol logika. Penderitaan hidup yang panjang, dari penjara ke penjara, dari pembuangan ke pembuangan, kadang menerbangkannya ke langit khayal yang tinggi. Akibatnya, dia tidak selalu berpijak di bumi logika. Dalam psikonalisis, gejala kegagalan berbahasa sekaligus kegagalan menalar yang disebabkan tekanan kejiwaan adalah hal yang wajar.
Secara psikoanalisis, sebagai manusia biasa, kesalahan berbahasa Soekarno bisa dimaklumi. Tapi sebagai founding fathers, teladan kebangsaan dalam hal berpikir—laku budaya paling elementer—kesalahan berbahasa Soekarno tidak bisa, juga tidak boleh, dilupakan.
Walaupun artinya tidak logis, maksud berdiri di atas kaki sendiri cukup terang. Soekarno ingin rakyat Indonesia secara mikro, bangsa Indonesia secara makro, mandiri dalam bidang ekonomi. Tidak bergantung kepada siapa pun. Tidak didikte bangsa lain. Itulah syarat kemerdekaan hakiki, yang pada gilirannya menjadi syarat keadilan sosial dan kesejahteraan bersama. Selama ekonomi kita dikendalikan bangsa lain, keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat hanya omong kosong.
Pada zamannya, gagasan kemandirian ekonomi bangsa bukan monopoli Soekarno. Dalam hal ini, dia bukan penemu gagasan jenial. Kemandirian ekonomi bangsa adalah episteme, visi kolektif kaum pergerakan nasional, sebagai antitesis pengalaman kolonialistik.
Hatta bicara tentang kemandirian ekonomi. Dia merintis dan mengawal gerakan koperasi. Ki Hadjar juga mengajarkan kemandirian ekonomi. Kalau Soekarno menciptkan semboyan berdiri di atas kaki sendiri, Ki Hadjar menggubah pepatah Jawa opor bebek mentas awake dhewek, bebek opor mematangkan dirinya sendiri. Bebek yang sedang dimasak opor, mengeluarkan minyak. Dengan minyak mandiri itu, bebek matang, kemudian dientas sebagai santapan yang siap makan. Kita tak perlu memasak opor bebek dengan minyak eksternal, seperti jika kita menggoreng ayam.
Agar sesuai dengan nalar, frasa berdiri di atas kaki sendiri perlu dimodifikasi. Hanya dimodifikasi, tidak diganti total, untuk menghormati Soekarno dan pemikirannya. Modifikasinya: berdiri dengan kaki sendiri. Dengan begitu, metafornya menjadi gamblang dan berdaya.
Ada godaan metonimik dalam frasa modifikatif tersebut: berdiri dengan kaki sendiri, bukan dengan kaki orang lain. Berdiri dengan kaki sendiri, itulah berdiri yang sejati dan sempurna. Jika kita sebenarnya mampu berdiri dengan kaki sendiri, tetapi ternyata berdiri dengan topangan orang lain, kita sewajarnya dan seharusnya merasa tidak percaya diri. Hal itu menunjukkan betapa jongkoknya mentalitas kita. Saya yakin, persis begitulah Soekarno memahami semboyan berdikari-nya.

Dengan segenap ambivalensinya, Soekarno membangunkan rakyatnya dari tidur keterjajahan. Dia menyalakan api kemerdekaan yang lama padam dalam dada mereka. Lepas dari kesalahannya dalam berbahasa dan menalar, juga dari dosa-dosa politiknya, kita berkewajiban mengenangnya. Mengenangnya sebagai pejuang yang rapuh. Mengenangnya sebagai manusia yang mengejar kebenaran, tetapi sesekali tersandung keteledoran, sehingga terjatuh dalam kesalahan. Kita, yang sama-sama manusia, juga demikian: ambivalen. Tanpa sadar, ambivalensi kita itu sering tampil dalam tindak berbahasa.